Bab Tujuh (Chapter Seven)

Penafsiran Alkitab (Biblical Interpretation)

Paulus mengirim surat kepada Timotius:

Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau. (1 Timotius 4:16, tambahkan penekanan).

Setiap pelayan harus ingat hal ini di dalam hatinya, sambil memperhatikan, pertama-tama kepada dirinya sendiri, dan meyakini bahwa ia menjadi teladan kesucian.

Kedua, ia harus memperhatikan ajarannya dengan cermat, karena keselamatan kekal baginya dan keselamatan kekal bagi orang yang mendengarkannya tergantung pada hal yang dia ajarkan, seperti tulisan Paulus pada ayat di atas.[1]

Jika seorang pendeta memegang doktrin palsu atau menolak berkata kebenaran kepada orang-orang, maka akibatnya bisa membawa kehancuran kekal baginya dan orang-orang lain.

Tetapi, pelayan pemuridan tak punya alasan untuk mengajar doktrin palsu, karena Allah telah memberinya Roh Kudus dan FirmanNya untuk memimpinnya kepada kebenaran. Sebaliknya, pelayan yang bermotif keliru sering hanya meniru ajaran-ajaran populer dari pelayan lain, tanpa ia sendiri mempelajari Firman, dan ia cenderung melakukan kesalahan doktrin dan pengajarannya. Tindakan aman bagi pelayan dalam hal itu adalah memurnikan hatinya, sehingga ia yakin bahwa motifnya hanya untuk (1) menyenangkan Allah, dan (2) membantu orang-orang untuk siap berdiri di hadapan Yesus, bukannya menjadikan dirinya kaya, kuat atau populer. Juga, ia harus tekun belajar Firman Tuhan sehingga ia memahami secara menyeluruh dan seimbang tentang hal itu. Paulus juga bersurat kepada Timotius,

Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu. (2 Timotius 2:15).

Membaca, mempelajari dan merenungkan Firman Tuhan haruslah menjadi disiplin yang terus dilakukan oleh seorang pendeta. Roh Kudus akan menolongnya mengerti Firman Tuhan dengan lebih baik ketika ia rajin belajar, sehingga dapat dijamin ia akan “menangani firman kebenaran dengan akurat.” Satu masalah besar dalam gereja sekarang adalah kesalahan penafsiran Firman Tuhan oleh pelayan, sehingga menyesatkan orang-orang yang diajarinya. Kesalahan itu menjadi masalah serius. Yakobus ingatkan,

Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. (Yakobus 3:1).

Karena itu, pelayan pemuridan harus tahu cara penafsiran Firman Tuhan dengan benar, demi memahami dan menyampaikan arti dengan akurat maksud tiap teks yang diberikan.

Menafsirkan Firman Tuhan dengan benar dilakukan dengan cara yang sama dengan menafsirkan perkataan orang lain dengan benar. Jika ingin mengerti dengan akurat maksud seorang penulis atau pembicara, kita harus terapkan aturan-aturan khusus dalam membuat tafsiran, yakni aturan-aturan sesuai akal-sehat. Dalam bab ini, kita akan perhatikan tiga aturan penting dalam menafsirkan Alkitab secara gamblang, yakni (1) Bacalah dengan pemahaman otak, (2) Bacalah berdasarkan konteks, dan (3) Bacalah dengan jujur.

Aturan #1: Bacalah dengan pemahaman otak. Tafsirkan apa yang anda baca secara apa adanya jika apa yang anda baca tidak jelas dinyatakn maksudnya agar dipahami sebagai bermakna kiasan atau simbolik.

Seperti karya-karya sastra lain, Alkitab penuh dengan gaya bahasa metafora, hiperbola dan antropomorfisme. Tiap gaya bahasa itu harus dipahami sebagaimana adanya.

Gaya bahasa metafora adalah perbandingan kemiripan-kemiripan antara dua benda yang tak sama. Alkitab mengandung banyak metafora. Satu metafora terdapat dalam perkataan Kristus selama Perjamuan Terakhir:

Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28).

Apakah Yesus bermaksud bahwa roti yang Ia berikan kepada murid-muridNya adalah tubuhNya dalam arti sebenarnya dan bahwa anggur yang mereka minum adalah darahNya dalam arti sebenarnya? Akal sehat menyatakan Tidak. Alkitab berkata bahwa Yesus memberi mereka roti dan anggur; Alkitab tidak menyatakan penggantian menjadi daging dan darah, dalam arti sebenarnya. Petrus dan Yohanes, yang hadir pada Perjamuan Terakhir itu, tak pernah menulis hal itu dalam surat-surat mereka, dan tak mungkin murid-murid makan daging dan minum darah seperti orang kanibal!

Ada orang berpendapat, “Tetapi Yesus berkata bahwa roti dan anggur adalah tubuh dan darahNya, maka saya percaya apa yang Yesus katakan!”

Yesus juga pernah berkata bahwa Ia adalah pintu (lihat Yohanes 10:9). Apakah Ia benar-benar jadi pintu yang ada engsel dan tombolnya? Yesus pernah berkata bahwa Ia adalah pokok anggur dan kitalah carang-carangnya (lihat Yohanes 15:5). Apakah Yesus benar-benar jadi pokok anggur? Apakah kita benar-benar jadi carang-carang pohon anggur? Yesus pernah berkata bahwa Ia adalah terang dunia dan roti yang turun dari sorga (lihat Yohanes 9:5; 6:41). Apakah Yesus juga sinar matahari dan roti?

Jelas, semua ungkapan di atas adalah gaya bahasa metafora, yakni perbandingan dua hal yang pada dasarnya tidak sama namun memiliki beberapa kemiripan. Dalam hal lain, Yesus bagaikan pintu dan pokok anggur. Pernyataan-pernyatan Yesus pada Perjamuan Terakhir adalah metafora juga. Anggur bagaikan darahNya (dalam beberapa hal). Roti bagaikan tubuhNya (dalam beberapa hal).

Perumpamaan oleh Kristus (Christ’s Parables)

Beberapa perumpamaan dari Kristus memakai gaya bahasa simili, yang sama dengan gaya bahasa metafora, namun simili selalu memakai kata seperti, layaknya atau demikianlah. Simili memberi pelajaran rohani juga dengan membandingkan kemiripan antara dua hal yang sebenarnya tidak sama. Itu yang penting diingat ketika kita menafsirkannya; jika tidak kita bisa keliru mencari arti dalam tiap detil pada tiap perumpamaan. Metafora dan simili selalu mencapai tempat di mana kemiripan berakhir dan ketidakmiripan dimulai. Misalnya, jika saya berkata kepada istri saya, “Matamu bagaikan kolam air”, maksud saya adalah matanya biru, dalam dan menarik. Saya tidak bermaksud, ikan dapat berenang di matanya, burung mendarat di atasnya, dan airnya membeku selama musim dingin.

Coba perhatikan tiga perumpamaan Yesus berikut, semuanya simili, yang pertama perumpamaan tentang Pukat:

“Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama pukat yang dilabuhkan di laut, lalu mengumpulkan berbagai-bagai jenis ikan. Setelah penuh, pukat itupun diseret orang ke pantai, lalu duduklah mereka dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam pasu dan ikan yang tidak baik mereka buang. Demikianlah juga pada akhir zaman: Malaikat-malaikat akan datang memisahkan orang jahat dari orang benar, lalu mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi. (Matius 13:47-50).

Apakah kerajaan sorga dan pukat pada dasarnya sama? Sama sekali tidak! Keduanya sangat jauh berbeda, namun ada beberapa kemiripan. Ketika ikan dipilih dan dipisahkan dalam dua kategori, yang dikehendaki dan yang tak dikehendaki, ketika ditarik dari sebuah pukat, maka hal itu bagaikan dalam Kerajaan Allah. Suatu hari orang jahat dan orang benar, yang kini hidup bersama, akan dipisahkan. Tetapi, di situlah tak ada kemiripannya. Ikan berenang; manusia berjalan. Nelayan memisahkan ikan. Malaikat akan memisahkan orang-orang yang jahat dari antara orang-orang yang baik. Ikan dinilai dari sebaik apa citarasanya setelah dimasak. Manusia dinilai sesuai ketaatan atau ketidaktaatannya kepada Tuhan. Ikan yang baik dimasukkan dalam kemasan dan ikan yang tidak baik dibuang. Orang benar akan mewarisi Kerajaan Allah dan orang jahat akan dibuang ke neraka.

Perumpamaan di atas adalah contoh sempurna tentang bagaimana metafora dan simili merupakan perbandingan yang tak sempurna karena hal-hal yang dibandingkan pada dasarnya tidak mirip. Kita tak ingin mengartikan lebih jauh maksud si pembicara, dengan asumsi bahwa ketidakmiripan adalah sebenarnya kemiripan. Misalnya, kita tahu bahwa “ikan yang baik” berakhir jadi masakan, dan “ikan yang buruk” kembali masuk air untuk berenang. Yesus tak menyebutkan hal itu! Ini akan bertentangn dengan maksudNya.

Perumpamaan unik itu tidak mengajarkan (tak peduli kata orang) strategi “penginjilan pukat”, di mana kita coba menjaring tiap orang masuk ke gereja, yang baik dan yang buruk, apakah mereka mau datang atau tidak! Perumpamaan ini tidak mengajarkan bahwa pantai adalah tempat terbaik untuk bersaksi. Perumpamaan ini tidak membuktikan bahwa Pengangkatan Gereja terjadi saat berakhirnya Masa Kesukaran. Perumpamaan ini tidak mengajar bahwa keselamatan kita adalah murni pilihan berdaulat oleh Allah karena ikan pilihan dalam perumpamaan itu tak terkait dengan alasan pemilihannya. Jangan paksakan untuk mencari arti yang tak perlu ke dalam perumpamaan yang Yesus ceritakan!

Tetap Berjaga-Jaga (Remaining Ready)

Berikut ini adalah Perumpamaan Sepuluh Gadis yang Yesus ceritakan:

Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka. Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia!. Gadis-gadis itupun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam. Tetapi jawab gadis-gadis yang bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ. Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu! Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya. (Matius 25:1-13).

Apakah pelajaran utama dari perumpamaan di atas? Pelajarannya ada pada kalimat akhir: Berjaga-jagalah untuk kedatangan Tuhan, karena Ia mungkin saja menunda lebih lama dari yang anda harapkan. Itulah pelajarannya.

Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, Yesus berbicara kepada murid-muridNya yang terdekat (lihat Matius 24:3; Markus 13:3), yang taat mengikutiNya saat itu. Jadi, jelaslah arti dari perumpamaan itu, yakni bisa saja Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas tidak berjaga-jaga saat Yesus datang kembali. Karena itu Yesus mengingatkan mereka. Sehingga, perumpamaan itu mengajarkan bahwa mereka yang kini siap menanti kedatangan Kristus bisa saja tidak siap ketika Ia benar-benar datang kembali. Kesepuluh gadis pada awalnya berjaga-jaga, tetapi lima gadis tidak berjaga-jaga. Seandainya mempelai laki-laki kembali lebih segera, maka kesepuluh gadis mungkin saja telah memasuki pintu menuju ruang pesta perkawinan.

Tetapi, apa artinya menjadi lima gadis bodoh dan lima gadis bijak? Apakah hal itu membuktikan hanya setengah jumlah dari orang-orang yang mengaku percaya yang akan berjaga-jaga ketika Kristus kembali? Tidak.

Apakah arti minyak? Apakah minyak melambangkan Roh Kudus? Tidak. Apakah minyak mengungkapkan kepada kita bahwa hanya mereka yang telah dibaptis dengan Roh Kudus akan membuat mereka masuk ke sorga? Tidak.

Apakah kembalinya mempelai laki-laki di tengah malam mengungkapkan bahwa Yesus akan kembali di tengah malam? Tidak.

Mengapa mempelai laki-laki tidak meminta gadis-gadis bijak untuk mengenali kelima gadis bodoh yang ada di depan pintu? Jika mempelai laki-laki meminta gadis-gadis bijak untuk mengenali kelima gadis bodoh, mungkin seluruh maksud dari perumpamaan ini tak tercapai, karena gadis-gadis bodoh akhirnya dapat masuk.

Mungkin ketika gadis-gadis bodoh tak lagi menyalakan lampu dan tertidur, sehingga orang-orang percaya yang bodoh mulai berjalan dalam kegelapan rohani dan rohaninya tertidur, dan akhirnya mereka dihukum. Mungkin hal serupa terjadi saat pesta perkawinan dalam perumpamaan itu dan perkawinan Anak Domba nanti; tetapi begitulah pemahaman orang, tanpa memaksakan arti ke perumpamaan itu atau ke detil-detilnya.

Menghasilkan Buah (Bearing Fruit)

Mungkin tafsiran terjelek yang pernah saya dengar mengenai perumpamaan Kristus adalah penjelasan seorang pengkhotbah tentang Perumpamaan Gandum dan Lalang. Pertama, mari kita baca perumpamaan berikut:

Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya. Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi. Ketika gandum itu tumbuh dan mulai berbulir, nampak jugalah lalang itu. Maka datanglah hamba-hamba tuan ladang itu kepadanya dan berkata: Tuan, bukankah benih baik, yang tuan taburkan di ladang tuan? Dari manakah lalang itu? Jawab tuan itu: Seorang musuh yang melakukannya. Lalu berkatalah hamba-hamba itu kepadanya: Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut lalang itu? Tetapi ia berkata: Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu. Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar; kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku.” (Matius 13:24-30).

Inilah penjelasan si pengkhotbah:

Ternyata, ketika gandum dan lalang mulai berbulir, keduanya kelihatan persis sama. Tak seorangpun dapat mengenali jika keduanya gandum atau lalang. Itulah caranya dalam dunia dan di gereja. Tak seorangpun bisa mengenali siapa orang-orang Kristen sejati dan siapa orang-orang yang tidak percaya. Keduanya tak dapat dikenali dari cara hidup mereka, karena banyak orang Kristen tidak menaati Kristus lebih dari orang-orang yang tidak percaya. Hanya Allah mengetahui hati mereka, dan Ia akan memisahkan mereka pada akhirnya.

Tentunya, penjelasan tersebut bukan maksud dari Perumpamaan Gandum dan Lalang! Ternyata, hal di atas mengajarkan bahwa orang percaya memang sangat berbeda dengan orang yang tak percaya. Perhatikanlah, hamba-hamba menyadari bahwa lalang telah ditanam ketika gandum menghasilkan biji-bijinya (lihat ayat 26). Lalang tak menghasilkan buah, dan itulah cara mudah untuk mengenali lalang. Menurut saya, adalah penting Yesus memilih lalang yang tak berbuah untuk menggambarkan orang-orang jahat yang akhirnya dikumpulkan dan dilemparkan ke neraka.

Hal penting dari perumpamaan itu jelas: Orang yang benar-benar diselamatkan menghasilkan buah; orang yang belum diselamatkan tidak menghasilkan buah. Walaupun Allah tidak menghukum orang jahat namun ketika ia hidup di tengah-tengah orang yang diselamatkan, kelak nanti Ia akan memisahkannya dari orang-orang benar dan melemparnya ke neraka.

Yesus sebenarnya menjelaskan perumpamaan itu, sehingga kita tak perlu mencari artinya di luar penjelasanNya:

Maka Yesuspun meninggalkan orang banyak itu, lalu pulang. Murid-murid-Nya datang dan berkata kepada-Nya: “Jelaskanlah kepada kami perumpamaan tentang lalang di ladang itu.” Ia menjawab, kata-Nya: “Orang yang menaburkan benih baik ialah Anak Manusia; ladang ialah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan dan lalang anak-anak si jahat. Musuh yang menaburkan benih lalang ialah Iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai itu malaikat. Maka seperti lalang itu dikumpulkan dan dibakar dalam api, demikian juga pada akhir zaman. Anak Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan mengumpulkan segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan dari dalam Kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi. Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar! (Matius 13:36-43).

Gaya Bahasa Hiperbola (Hyperbole)

Gaya bahasa yang lazim ditemukan dalam Alkitab adalah hiperbola. Hiperbola adalah pengungkapan yang dilebih-lebihkan yang sengaja dibuat untuk memberi penekanan. Ketika seorang ibu berkata kepada anaknya, “Ibu panggil kamu seribu kali untuk pulang makan malam”, ini adalah kalimat bergaya bahasa hiperbola. Contoh gaya bahasa hiperbola dalam Alkitab adalah kalimat Yesus tentang pemenggalan tangan kanan:

Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. (Matius 5:30).

Jika Yesus berkata dengan arti sebenarnya berarti setiap kita yang berbuat dosa dengan memakai tangan kanan harus memenggal tangan itu, maka kita semua pasti kehilangan tangan kanan! Sudah tentu, masalah dengan dosa tidak pada tangan kita. Mungkin, Yesus mengajar bahwa dosa dapat membawa kita ke neraka, dan cara menghindari dosa adalah melenyapkan cobaan dan hal-hal yang membuat kita tersandung.

Gaya Bahasa Antropomorfisme (Anthropomorphism)

Gaya bahasa ketiga dalam Alkitab adalah antropomorfism, ungkapan sifat-sifat manusia yang dikenakan kepada Allah agar kita dapat memahamiNya. Misalnya, Kejadian 11:5:

Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu. (Kejadian 11:5).

Mungkin inilah antropomorfisme karena tak mungkin Allah yang maha-tahu benar-benar bebergian dari sorga dan turun ke Babel untuk menyelidiki orang-orang yang sedang membangun menara!

Banyak sarjana Alkitab menganggap setiap pernyataan Alkitab yang menggambarkan bagian-bagian tubuh Allah, seperti lengan, tangan, hidung, mata dan rambut, sebagai antropomorfisme. Sudah tentu, kata mereka, Allah yang maha-kuasa tidak sebenarnya memiliki anggota-anggota tubuh seperti yang dikatakan oleh manusia. Tetapi, saya tidak setuju karena beberapa alasan. Pertama, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa kita telah diciptakan dalam gambar dan rupa Allah:

Berfirmanlah Allah : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (Kejadian 1:26, tambahkan penekanan).

Sebagian orang berkata bahwa manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah hanya dalam arti bahwa manusia memiliki kesadaran-diri, tanggung-jawab moral, kemampuan untuk menalar dan lain-lain. Tetapi, ada pernyataan yang sangat mirip dengan Kejadian 1:26, hal yang terdapat pada beberapa pasal kemudian:

Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya. (Kejadian 5:3, tambahkan penekanan).

Jadi, penampakan fisik Set mirip dengan ayahnya. Jika itu maksud Kejadian 5:3, sudah tentu ungkapan yang persis sama berarti hal yang sama dalam Kejadian 1:26. Akal sehat dan penafsiran yang jelas berkata bahwa hal itu benar.

Juga, kita punya beberapa gambaran tentang Allah melalui para penulis Alkitab yang melihatNya. Misalnya, Musa, bersama tujuh-puluh tiga orang Israel, melihat Allah:

Dan naiklah Musa dengan Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel. Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah. Tetapi kepada pemuka-pemuka orang Israel itu tidaklah diulurkan-Nya tangan-Nya; mereka memandang Allah, lalu makan dan minum. (Keluaran 24:9-11).

Bila anda bertanya kepada Musa apakah Allah memiliki tangan dan kaki, apa yang mungkin dikatakannya?

[2]

 

Nabi Daniel juga mendapatkan visi dari Allah Bapa dan Allah Anak:

Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut Usianya [Allah Bapa]; pakaian-Nya putih seperti salju dan rambut-Nya bersih seperti bulu domba; kursi-Nya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang berkobar-kobar; suatu sungai api timbul dan mengalir dari hadapan-Nya; seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya. Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan dibukalah Kitab-kitab. ….. Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia [ Allah Anak]; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah. (Daniel 7:9-10, 13-14).

Jika ditanyakan kepada Daniel, apakah Allah memiliki rambut putih dan memiliki bentuk yang membuatNya sanggup duduk di tahta, apa yang mungkin dikatakanNya?

Dengan demikian, saya yakin bahwa Allah Bapa memiliki bentuk yang mengagumkan yang mirip dengan bentuk seorang manusia, walaupun Ia tak berasal dari daging dan darah, namun roh (lihat Yohanes 4:24).

Bagaimana dapat membedakan bagian Alkitab yang harus ditafsirkan dalam arti sebenarnya dan bagian yang harus ditafsirkan secara kiasan/simbolis? Hal itu mudah dilakukan bagi siapapun yang berpikir secara logis. Tafsirkan segala sesuatu apa adanya jika tak tidak ada alternatif lain daripada menafsirkan yang tertulis secara kiasan/simbolis. Misalnya, para nabi Perjanjian Lama dan kitab Wahyu penuh simbolisme, sebagian dijelaskan, sebagian tak dijelaskan. Tetapi simbolisme tak sulit dikenali.

Aturan #2: Bacalah berdasarkan konteks. Setiap perikop harus ditafsirkan dengan memperhatikan perikop-perikop di sekitarnya dan keseluruhan Alkitab. Konteks sejarah dan budaya harus juga diperhatikan sedapat mungkin.

Membaca Alkitab tanpa mempertimbangkan konteks langsung dan konteks Alkitabiah mungkin jadi penyebab kesalahan penafsiran.

Mungkin saja kita mau agar Alkitab berkata sesuatu yang kita inginkan dengan cara mengisolasi ayat-ayat Alkitab dari konteksnya. Misalnya, apakah anda tahu bahwa Alkitab berkata bahwa Allah tidak ada? Dalam Mazmur 14 kita baca, “Tidak ada Allah ” (Mazmur 14:1). Tetapi, jika kata-kata itu ditafsirkan dengan tepat, kita harus membacanya dalam konteksnya: “Orang bebal berkata dalam hatinya: “Tidak ada Allah.” (Mazmur 14:1, tambahkan penekanan). Kini, ayat itu muncul dengan arti yang berbeda!

Contoh lain: Saya pernah dengar ada pengkhotbah yang menyatakan agar orang-orang Kristen perlu “dibaptis dengan api.” Ia mulai berkhotbah dengan membaca kata-kata Yohanes Pembaptis dalam Matius 3:11: “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.”

Berdasarkan ayat itu, ia mengembangkan khotbahnya. Saya ingat ia berkata, “Tidaklah cukup bila kalian dibaptis dengan Roh Kudus! Yesus juga ingin membaptiskan kalian dengan api, seperti yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis!” Selanjutnya ia jelaskan bahwa saat kita telah “dibaptis dengan api”, kita mendapat semangat untuk bekerja bagi Tuhan. Akhirnya ia mengajak maju orang-orang yang ingin “dibaptiskan dengan api.”

Sayangnya, pengkhotbah itu melakukan kekeliruan klasik dengan membuat ayat Alkitab keluar dari konteksnya.

Apa maksud Yohanes Pembaptis ketika ia berkata bahwa Yesus akan membaptis dengan api? Untuk mencari jawaban, kita perlu baca dua ayat sebelum ayat itu, dan satu ayat setelah ayat itu. Kita mulai dengan dua ayat sebelumnya. Yohanes berkata:

Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. (Matius 3:9-10, tambahkan penekanan).

Pertama, kita pelajari bahwa hari itu sebagian pengikut Yohanes adalah orang-orang Yahudi yang menganggap keselamatan mereka berdasarkan garis keturunannya. Jadi, khotbah Yohanes bersifat penginjilan.

Kita juga pelajari, Yohanes mengingatkan bahwa orang yang belum selamat beresiko akan dibuang ke dalam api. Tampaknya kita dapat berkesimpulan bahwa “api” yang disebut di ayat 10 adalah api yang sama di ayat 11.

Fakta itu menjadi lebih jelas ketika dalam ayat 12:

Alat penampi sudah ditangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan.” (Matius 3:12, tambahkan penekanan).

Pada ayat 10 dan ayat 12, api yang disebut oleh Yohanes adalah api neraka. Pada ayat 12, ia secara kiasan menyatakan bahwa Yesus akan membagi orang-orang menjadi dua kelompok, yakni kelompok gandum, yang Ia akan “kumpulkan ke dalam lumbung”, dan kelompok debu jerami, yang akan dibakarNya “dalam api yang tidak terpadamkan.”

Dengan melihat ayat-ayat sekitarnya, maksud Yohanes pada ayat 11 adalah Yesus akan membaptiskan orang-orang apakah dalam Roh Kudus jika mereka orang-orang percaya, atau dengan api jika mereka orang-orang tak percaya. Karena itu masalahnya, maka kita tak perlu berkhotbah kepada orang-orang Kristen agar mereka dibaptis dengan api!

Dengan keluar dari konteks ayat-ayat ini, kita harus juga perhatikan bagian lain dalam Perjanjian Baru. Bisakah kita memperoleh contoh dalam Kisah Para Rasul di mana orang-orang Kristen konon “dibaptis dengan api”? Tidak. Yang terdekat adalah gambaran Lukas mengenai hari Pentakosta ketika murid-murid dibaptis dengan Roh Kudus dan lidah-lidah api yang sewaktu-waktu muncul di atas kepala mereka. Tetapi Lukas tak pernah berkata bahwa inilah “baptisan dengan api.” Dan, adakah teguran atau perintah dalam suratan-suratan kepada orang-orang Kristen untuk “dibaptis dengan api”? Tidak. Karena itu, cukup kita simpulkan bahwa orang Kristen tak perlu mencari baptisan dengan api.

Injil Sesat yang Berasal Dari Alkitab (A False Gospel Derived From the Scripture)

Karena para pengkhotbah dan guru tak memperhatikan konteks, mereka sering salah menyampaikan Injil itu sendiri; mereka salah menafsirkan Alkitab. Karena itu, berkembanglah ajaran sesat mengenai kasih karunia Allah.

Misalnya, pernyataan Paulus tentang keselamatan sebagai hasil kasih karunia dan bukan hasil pekerjaan, dalam Efesus 2:8, telah disalahgunakan untuk mendukung injil sesat, karena konteks diabaikan. Paulus menuliskan:

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. (Efesus 2:8-9).

Banyak orang terfokus khusus pada pernyataan Paulus tentang keselamatan oleh kasih karunia, yakni pemberian, dan bukan hasil usaha. Berbeda dengan kesaksian ratusan ayat Alkitab, banyak orang berkata bahwa tak ada hubungan antara keselamatan dan kesucian. Maka, sebagian orang berkata bahwa pertobatan tak perlu dilakukan demi keselamatan. Ini contoh klasik bagaimana Alkitab disalahtafsirkan karena konteksnya diabaikan.

Pertama, perhatikan apa yang dikatakan dalam keseluruhannya oleh perikop yang tengah dibahas. Paulus tidak berkata bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia, tetapi kita diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Iman adalah sebagian dari persamaan keselamatan yang setara dengan kasih karunia. Alkitab berkata bahwa iman tanpa perbuatan adalah tak berguna, mati, dan tak dapat menyelamatkan (lihat Yakobus 2:14-26). Jadi, Paulus tidak mengajarkan bahwa kesucian tidak relevan dalam keselamatan. Ia berkata bahwa hasil usaha kita bukan hal yang menyelamatkan kita; dasar keselamatan kita adalah kasih karunia Allah. Kita tak pernah diselamatkan tanpa kasih karunia Allah, tetapi jika kita merespon kasih karunia Allah dengan iman, keselamatan sebenarnya terjadi dalam kehidupan kita. Hasil keselamatan adalah ketaatan, buah dari iman yang sungguh-sungguh. Dengan memperhatikan konteks tidak lebih dari ayat berikutnya, maka hal itu sudah didukung dengan bukti. Paulus katakan:

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalam nya. (Efesus 2:10).

Alasan Roh Kudus memulihkan kita, dan kita jadi ciptaan baru dalam Kristus, adalah karena kita dapat berjalan dengan pekerjaan baik dalam ketaatan. Jadi, persamaan keselamatan oleh Paulus kelihatan seperti berikut ini:

Kasih Karunia + Iman = Keselamatan + Ketaatan

Jadi, kasih karunia ditambah iman sama dengan (atau menghasilkan) keselamatan ditambah ketaatan. Ketika kasih karunia Allah ditanggapi dengan iman, hasilnya selalu adalah keselamatan dan pekerjaan yang baik.

Namun mereka yang memelintir perkataan Paulus dari konteksnya membuat rumusan:

Kasih karunia + Iman – Ketaatan = Keselamatan

Jadi, kasih karunia ditambah iman tanpa (atau minus) ketaatan sama dengan (atau menghasilkan) keselamatan. Menurut Alkitab, rumusan ini adalah sesat.

Bila kita lebih membaca konteks perkataan Paulus, kita juga temukan bahwa situasi di Efesus sama dengan situasi di manapun Paulus berkhotbah. Yakni, orang-orang Yahudi mengajari para petobat baru yang bukan orang Yahudi di zaman Paulus sehingga mereka harus disunat dan menaati beberapa aspek seremonial Hukum Taurat Musa jika mereka ingin diselamatkan. Dalam konteks sunat dan pekerjaan seremonial, Paulus ingat ketika ia menulis tentang pekerjaan-pekerjaan yang tak menyelamatkan kita (lihat Efesus 2:11-22).

Jika kita baca lebih lanjut, dengan lebih memahami konteks surat Paulus kepada jemaat Efesus, jelas terlihat bahwa Paulus percaya kesucian adalah hal penting bagi keselamatan:

Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. Demikian juga perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono–karena hal-hal ini tidak pantas–tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur. Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah. Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka. (Efesus 5:3-6, tambahkan penekanan).

Jika Paulus percaya bahwa kasih karunia Allah akhirnya menyelamatkan orang yang sundal, cemar atau serakah, ia takkan pernah menuliskan kata-kata ini. Pengertian yang dimaksudkan oleh Paulus dari kata-katanya dalam Efesus 2:8-9 hanya dapat dipahami dengan benar dalam konteks seluruh suratnya kepada jemaat Efesus.

Kegagalan Total Jemaat Galatia (The Galatian Fiasco)

Demikian juga, kata-kata Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia ditafsirkan keluar dari konteksnya. Hasilnya menyebabkan penyimpangan Injil, hal yang ingin dikoreksi oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia.

Tema keseluruhan surat Paulus kepada jemaat di Galatia adalah “Keselamatan dengan iman, dan bukan dengan pekerjaan Hukum Taurat.” Tetapi, apakah maksud Paulus agar pembacanya berkesimpulan bahwa kesucian tak diperlukan untuk masuk dalam Kerajaan Allah? Tentu tidak.

Pertama, perlu dicatat bahwa Paulus sekali lagi menyerang orang-orang Yahudi yang datang ke Galatia dan mengajar para petobat baru bahwa mereka tak dapat selamat jika tidak disunat dan menaati Hukum Taurat Musa. Paulus berkali-kali menyebut masalah tentang sunat dalam suratnya, karena sepertinya itu jadi penekanan utama para ahli peraturan Yahudi (lihat Galatia 2:3, 7-9, 12; 5:2-3, 6, 11; 6:12-13, 15). Paulus tak peduli dengan jemaat di Galatia yang terlalu taat pada perintah-perintah Kristus; ia peduli kepada mereka yang tak lagi beriman dalam Kristus untuk keselamatan mereka, tetapi dalam sunat dan dalam tiap upaya mereka yang tidak penting dalam mematuhi Hukum Taurat Musa.

Ketika kita perhatikan keseluruhan konteks surat Paulus kepada jemaat di Galatia, ia menulis pada pasal 5:

Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat. Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu–seperti yang telah kubuat dahulu–bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (Galatia 5:18-21, tambahkan penekanan).

Jika Paulus ingin menyampaikan kepada jemaat di Galatia bahwa mereka mungkin saja tidak suci dan tidak masuk ke sorga, maka tak mungkin ia menulis kata-kata itu. Pesannya bukanlah agar orang-orang yang tidak suci dapat masuk ke sorga, tetapi mereka tak dapat diselamatkan, yakni mereka yang tak peduli kasih karunia Allah dan pengorbanan Kristus dengan coba mendapatkan keselamatannya melalui sunat dan Hukum Taurat Musa. Bukan sunat, tetapi iman kepada Yesus, yang membawa keselamatan yang mengubah setiap orang percaya menjadi ciptaan baru yang suci:

Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya. (Galatia 6:15).

Jadi, betapa penting kita memahami konteks ketika menafsirkan Alkitab. Cara Injil bisa disalahartikan melalui Firman Tuhan adalah pengabaian konteks. Kita bisa terheran-heran dengan hati “para pelayan” yang membuat tafsiran secara gamblang sehingga hal itu harus dilakukan tanpa tergesa-gesa.

Misalnya, saya pernah mendengar ada pengkhotbah yang berkata bahwa kita tak boleh menyebut murka Allah ketika mengabarkan Injil, karena Alkitab berkata, “kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan” (Roma 2:4). Menurutnya, cara benar untuk menyampaikan Injil adalah hanya membicarakan kasih dan kebaikan Allah. Tampaknya, cara itu akan membawa orang-orang untuk bertobat.

Tetapi ketika kita baca konteks ayat yang dikutip oleh pengkhotbah itu dari Roma pasal kedua, ternyata ayat-ayat Alkitab menyebutkan hal tentang penghakiman dan kemarahan suci Allah! Konteks langsung mengungkapkan bahwa tidak mungkin arti yang Paulus maksudkan adalah perkataan si pengkhotbah tadi:

Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah ? Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan? Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan. Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman. Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani, (Roma 2:2-9, tambahkan penekanan).

Acuan Paulus kepada kebaikan Allah adalah kebaikan yang Allah tunjukkan saat Ia menunda kemarahan! Dan orang heran bagaimana pendeta dapat memperjelas pernyataan yang janggal menjadi konteks yang lebih besar dari Alkitab, yang di dalamnya ada banyak contoh dari pengkhotbah yang mengingatkan orang-orang berdosa untuk bertobat.

Konsistensi Alkitab (Scripture’s Consistency)

Karena ilham dari satu Pribadi, pesan Alkitab seluruhnya konsisten. Maka itu kita bisa meyakini konteks untuk membantu menafsirkan arti yang Allah maksudkan pada perikop tertentu. Allah tidak berkata sesuatu dalam satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain, dan bila tampak Allah berkata sesuatu, kita terus belajar sampai penafsiran kedua ayat tadi menjadi selaras. Misalnya, dalam Khotbah di Atas Bukit, bisa saja awalnya Yesus agak membuat kontradiksi, bahkan mengoreksi, hukum moral dalam Perjanjian Lama. Misalnya:

Kamu telah mendengar firman: “Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.” Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. (Matius 5:38-39).

Yesus mengutip langung dari Hukum Taurat Musa, lalu membuat pernyataan yang tampak bertentangan dengan Hukum itu. Bagaimana kita menafsirkan perkataanNya? Apakah Allah telah merubah pikiranNya terhadap masalah moralitas mendasar? Apakah balas dendam adalah perilaku yang bisa diterima di masa perjanjian lama, bukan di masa perjanjian baru? Konteksnya akan mendukung.

Yesus khusus berbicara kepada murid-muridNya (lihat Matius 5:1-2), orang-orang yang sebelumnya mendapat pengetahuan Firman Tuhan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mengajar di sinagoga-sinagoga. Di sinagoga, murid-murid mendengarkan Hukum Taurat yang menyebutkan, “Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi”; ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah membelokkan arti perintah itu dengan mengabaikan konteksnya. Allah tidak ingin perintah itu ditafsirkan sebagai syarat bagi umatNya untuk selalu melakukan pembalasan pribadi untuk hal-hal kecil. Tenyata, Ia berkata dalam Hukum Taurat Musa bahwa pembalasan adalah hak Tuhan (lihat Ulangan 32:35), dan umatNya harus berbuat baik kepada musuh mereka (lihat Keluaran 23:4-5). Namun ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengabaikan perintah-perintah itu dan menafsirkan sendiri tentang hukum Allah tentang “mata ganti mata”, yakni hukum yang memberi mereka hak balas dendam pribadi.

[3]

Mereka mengabaikan konteks.

Perintah Allah tentang “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” terdapat dalam konteks perintah-perintahNya yang membuat keadilan di pengadilan Israel (lihat Keluaran 21:22-24; Ulangan 19:15-21). Membuat aturan untuk sistem pengadilan itu adalah pewahyuan tentang ketidaksetujuan Allah akan balas dendam pribadi. Hakim-hakim yang netral, yang memeriksa bukti, jauh lebih mampu mengadili dibandingkan orang-orang yang tersudut dan tertuduh. Allah berharap agar pengadilan dan para hakim bersikap netral dalam menjatuhkan hukuman sesuai kejahatan. Sehingga “mata ganti mata dan gigi ganti gigi.”

Dengan demikian, kita dapat selaraskan hal yang kontradiktif. Yesus membantu para pengikutNya, yakni orang-orang yang mendengarkan ajaran sesat sepanjang hidupnya, untuk memahami kehendak Allah bagi mereka dalam hal balas dendam pribadi, yang disebut dalam Hukum Taurat Musa, namun artinya telah dibelokkan oleh orang-orang Farisi. Yesus tidak membuat kontradiksi dengan Hukum Taurat yang diberikanNya kepada Musa. Ia hanya mengungkapkan pengertian aslinya.

Hal itu juga membuat kita memahami kehendak Yesus bagi kita terkait dengan perselisihan, yang bisa saja dibawa ke pengadilan. Allah tidak mengharapkan bangsa Israel untuk mengabaikan apapun pelanggaran yang diderita oleh sesama orang Israel, jika tidak Ia tak mungkin membuat sistem peradilan. Demikian juga, Allah tidak ingin orang-orang Kristen mengabaikan apapun pelanggaran yang diderita oleh sesama orang percaya (atau orang-orang yang tidak percaya). Perjanjian Baru mensyaratkan orang Kristen yang masih berseteru untuk tak memerlukan mediasi dari sesama orang percaya (lihat 1 Korintus 6:1-6). Dan bisa saja orang Kristen memanggil orang tak percaya ke pengadilan sekuler terkait dengan perselisihan atas kejahatan besar. Kejahatan besar termasuk memukul mata atau gigi! Kejahatan kecil adalah hal-hal yang Yesus sebutkan, seperti menampar pipi, atau tuntutan penyelesaian masalah kecil (seperti baju anda), atau dipaksa berjalan sejauh satu mil. Allah ingin umatNya untuk meniruNya dan menunjukkan kasih karunia yang luar-biasa kepada orang berdosa dan orang jahat yang tak punya akal sehat.

Dengan ungkapan di atas, ada orang percaya yang bermaksud baik yang, dengan asumsi bahwa dia taat kepada Yesus, menolak memberi tekanan hukum untuk menghadapi orang yang kedapatan mencuri dari mereka. Mereka anggap orang percaya itu sedang “memberikan pipi lain”, ketika ternyata orang percaya itu memberi kesempatan si pencuri untuk mencuri lagi, sehingga si pencuri mengetahui tak ada konsekwensi bagi kejahatan. Orang Kristen demikian tidak berjalan dalam kasih terhadap orang lain, sehingga akan membiarkan barangnya dicuri oleh pencuri yang sama! Allah ingin pencuri untuk menanggung kejahatannya melalui pengadilan dan pertobatan. Namun ketika seseorang menyerang anda dengan kejahatan kecil, seperti menampar pipi, jangan tuntut dia ke pengadilan atau berbalik menamparnya. Tunjukkan belas-kasihan dan kasih kepadanya.

Penafsiran Perjanjian Lama dengan Memperhatikan Perjanjian Baru (Interpreting the Old in Light of the New)

Tafsirkanlah ayat-ayat dalam Perjanjian Baru dengan memperhatikan Perjanjian Lama, dan juga tafsirkanlah ayat-ayat dalam Perjanjian Lama dengan memperhatikan Perjanjian Baru. Misalnya, sejumlah orang percaya yang tulus hati telah membaca peraturan tentang makanan dari Musa, dan menyimpulkan bahwa orang-orang Kristen harus membatasi makanan sesuai peraturan itu. Tetapi, jika mereka baca dua perikop dalam Perjanjian Baru, maka akan ditemukan bahwa peraturan tentang makanan dari Musa tidak berlaku bagi mereka yang dalam Perjanjian Baru:

Maka jawab-Nya [Yesus]: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal. (Markus 7:18-19)

Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka. Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran. Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh Firman Allah dan oleh doa. (1 Timotius 4:1-5).

Dalam perjanjian baru, kita tidak tunduk pada Hukum Taurat Musa, tetapi kepada Hukum Kristus (lihat 1 Korintus 9:20-21). Walaupun Yesus mendukung aspek-aspek moral Hukum Taurat Musa (sehingga memasukkan aspek-aspek itu ke dalam Hukum Kristus), baik Yesus dan para rasul tidak mengajarkan orang-orang Kristen untuk wajib menaati peraturan tentang makanan di zaman Musa.

Tetapi, jelas orang-orang Kristen mula-mula membuat orang-orang Yahudi bertobat, yang menaati aturan tentang makanan di zaman pejanjian lama oleh karena ketetapan budaya mereka (lihat Kisah Para Rasul 10:9-14). Dan ketika orang-orang bukan Yahudi mulai percaya kepada Yesus, orang-orang Kristen Yahudi mula-mula meminta mereka mengikuti secara terbatas aturan tentang makanan dari zaman Musa, murni untuk menghormati tetangga mereka orang-orang Yahudi yang mungkin saja merasa tersinggung (lihat Kisah Para Rasul 15:1-21). Dengan demikian, tak ada salahnya orang-orang Kristen yang mengikuti raturan tentang makanan di zaman Musa selama mereka tidak percaya bahwa menaati aturan itu bukanlah hal yang menyelamatkan mereka.

Sebagian orang Kristen mula-mula juga yakin bahwa memakan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala adalah keliru. Paulus mengajarkan orang-orang percaya yang berpikir (seperti dirinya) untuk berjalan dalam kasih kepada saudara-saudara mereka yang “lemah iman” (lihat Roma 14:1), dan tak melakukan hal yang membuat mereka mengingkari kata-hatinya. Jika ada orang berpantang makanan sebagai keyakinannya di hadapan Allah (meskipun keyakinan itu tak berdasar), hormati dia atas pengabdiannya, bukan mengecamnya karena kesalah-pahamannya. Demikian juga, orang yang berpantang makanan tertentu, sebagai keyakinan pribadinya, tak akan mengecam orang yang tidak berpantang. Kedua kelompok orang itu harus berjalan bersama dalam kasih, karena sudah tentu Allah memerintahkan hal itu (lihat Roma 14:1-23).

Dalam hal apapun, karena Alkitab merupakan pewahyuan yang terus berlaku, kita harus selalu menafsirkan pewahyuan lama (Perjanjian Lama) dengan terang pewahyuan baru (Perjanjian Baru). Tak satupun pewahyuan yang Allah pernah berikan itu bertentangan; pewahyuan selalu melengkapi.

Konteks Budaya dan Sejarah (Cultural and Historical Context)

Jika mungkin, perhatikan juga konteks budaya dan sejarah dari perikop-perikop Alkitab yang kita pelajari. Dengan mengetahui aspek-aspek unik tentang budaya, geografi dan sejarah dari satu latar-belakang Alkitab, maka kita mendapat dukungan untuk memperoleh pandangan yang mungkin telah hilang dari kita. Tentu, kita perlukan buku-buku penunjang selain Alkitab. Pelajaran Alkitab yang baik dapat mendukung kita di bidang tersebut.

Beberapa contoh tentang bagaimana informasi sejarah atau budaya dapat membingungkan kita ketika membaca Alkitab:

1). Kita terkadang membaca dalam Alkitab tentang orang-orang yang menaiki atap rumah (lihat Kisah Para Rasul 10:9) atau turun melalui atap (lihat Markus 2:4). Kita jadi tahu bahwa pada masa Alkitab, atap rumah di Israel umumnya datar, dan sudah ada anak tangga di bagian luar rumah yang menuju ke atap itu. Bila kita tak tahu hal itu, maka kita terbayang ada tokoh dalam Alkitab berjalan-jalan di atap dan memegangi cerobong rumah!

2). Kita baca Markus 11:12-14 bahwa Yesus mengutuki pohon ara karena pohon itu tak berbuah, meskipun “saat itu bukan musim berbuah ara.” Kita jadi tahu bahwa pohon ara biasanya berbuah bahkan saat bukan musim berbuah ara, sehingga Yesus tetap konsisten dalam perkataanNya.

3). Kita baca dalam Lukas 7:37-48 tentang wanita yang memasuki rumah seorang Farisi di mana Yesus sedang makan. Alkitab berkata bahwa ketika wanita itu berdiri di belakang Yesus, sambil menangis, ia mulai membasahi kakiNya dengan air matanya, menyeka kakiNya dengan rambutnya, dan mencium dan mengurapi kakiNya dengan minyak wangi. Kita heran bagaimana itu dapat dilakukan ketika Yesus duduk di meja sambil makan. Apakah wanita itu merangkak di bawah meja? Bagaimana ia sanggup menembus kaki-kaki orang-orang yang sedang makan?

Jawabannya ada dalam pernyataan Lukas bahwa Yesus sedang “bersandar ke meja” (Lukas 7:37). Di masa itu, orang-orang terbiasa makan dengan bersandar pada sisi tubuh di lantai di sekeliling meja rendah, menyandarkan diri pada satu lengan dan menyuap mulut dengan lengan dan tangan lain. Dalam posisi tubuh itu, Yesus dimuliakan oleh wanita itu.

Hal itu juga membuat kita mengerti bagaimana Yohanes dapat bersandar ke dada Yesus pada saat Perjamuan Tuhan untuk bertanya kepadaNya. Yohanes berbaring pada satu sisi dengan membelakangi Yesus, dan ia bersandar ke dada Yesus untuk bertanya secara tak langsung (lihat Yohanes 13:23-25). Lukisan terkenal dari DaVinci tentang Perjamuan Terakhir, yang menunjukkan Yesus duduk di meja dengan enam murid di sisi kiri dan enam murid di sisi kanan; sang pelukis lalai membuat lukisan itu tanpa mendasarkan pada Alkitab. Da Vinci perlu tahu konteks sejarah!

Pertanyaan Umum tentang Pakaian (A Common Question tentang Clothes)

Saya sering mendapat pertanyaan dari pendeta-pendeta di seluruh dunia, yakni: “Apakah bisa diterima bila wanita Kristen memakai celana panjang, bila dilihat bahwa Alkitab melarang wanita memakai pakaian pria?”

Pertanyaan yang baik untuk dijawab dengan menerapkan aturan penafsiran yang jelas dan melalui konteks budaya.

Pertama, kita periksa larangan dalam Alkitab bagi wanita yang memakai pakaian pria (dan sebaliknya):

“Seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki dan seorang laki-laki janganlah mengenakan pakaian perempuan, sebab setiap orang yang melakukan hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu. (Ulangan 22:5).

Kita harus bertanya, “Apa maksud Allah memberikan perintah ini? ”Apa maksudNya membuat wanita tidak boleh memakai celana panjang?

Tidak, bukan itulah maksudNya, karena tak ada pria di Israel memakai celana panjang ketika Allah dulunya mengatakan hal tersebut. Celana panjang tidak dianggap sebagai pakaian pria atau pakaian siapapun. Kenyataannya, pakaian pria pada masa Alkitab tampak lebih mirip pakaian wanita sekarang ini! Itulah sedikit informasi sejarah dan budaya yang mendukung kita dalam menafsirkan dengan benar apa yang hendak Allah katakan.

Jadi apa yang dulu menjadi maksud Allah?

Kita baca bahwa siapapun yang memakai pakaian yang dipakai oleh lawan jenisnya merupakan kekejian bagi Tuhan. Tampaknya hal itu sangat serius. Jika seseorang memakai selendang wanita dan menaruhnya di kepalanya selama tiga detik, apakah tindakan itu menjadi kekejian bagi Tuhan? Iini tampak meragukan.

Agaknya, Tuhan menentang orang yang sengaja berpakaian sehingga ia tampak sama dengan lawan jenisnya. Mengapa ada orang mau melakukan hal itu? Hanya karena ia ingin menggoda lawan jenisnya, yakni penyimpangan seks yang disebut transvestitisme. Saya kira, kita bisa paham bagaimana hal itu dianggap kekejian bagi Tuhan.

Jadi, tak bisa langsung disimpulkan bahwa memakai celana panjang bagi wanita adalah keliru, sesuai Ulangan 22:5, jika ia tidak melakukan hal itu sebagai penyimpangan seksual. Selama ia masih kelihatan sebagai wanita, ia tak berdosa dengan memakai celana panjang.

Sudah tentu, Alkitab mengajarkan agar wanita berpakaian sopan (lihat 1 Timotius 2:9), dan ia tidak layak memakai celana panjang ketat dan memunculkan lekuk tubuh (seperti juga baju atas dan rok ketat) karena pakaian demikian dapat merangsang pria. Banyak pakaian yang dipakai oleh wanita di negara-negara Barat sangat tak layak dan menjadi pakaian yang dipakai oleh wanita tuna susila di negara-negara berkembang. Wanita Kristen tak boleh memakai pakaian di depan umum dengan maksud untuk tampil “seksi.”

Beberapa Pemikiran Lain (A Few Other Thoughts)

Menariknya, saya tak pernah mendapat pertanyaan dari pendeta-pendeta di China tentang wanita yang memakai celana panjang. Mungkin karena sebagian besar wanita di China sudah lama memakai celana panjang. Saya ditanyai mengenai wanita dan celana panjang oleh para pendeta yang melayani di negara-negara di mana kebanyakan orang tidak memakai celana panjang. Ini menunjukkan prasangka budaya yang sifatnya pribadi.

Juga ada hal menarik. Saya tak pernah mendapat pertanyaan serupa oleh pelayan wanita di Myanmar, tempat di mana pria memakai rok tradisional, yang disebut longgi. Lagi-lagi, pakaian wanita dan pakaian pria bervariasi dari satu budaya ke budaya lain, sehingga kita harus hati-hati agar tidak memaksakan pemahaman budaya kita pada Alkitab.

Saya heran mengapa begitu banyak pria, yang berharap wanita untuk tidak memakai celana panjang berdasarkan Ulangan 22:5, merasa tidak wajib menerapkan Imamat 19:27 bagi diri mereka. Mereka berkata,

Janganlah kamu mencukur tepi rambut kepalamu berkeliling dan janganlah engkau merusakkan tepi janggutmu. (Imamat 19:27).

Dengan mengabaikan Imamat 19:27, bagaimana bisa pria mencukur janggut pemberian Tuhan, sebagai ciri perbedaan pria dari wanita, lalu pria menuduh wanita yang bercelana panjang sebagai mencoba tampil seperti pria? Pendapat itu tampak agak munafik!

Di lain pihak, informasi sejarah membuat kita lebih mengerti maksud Tuhan dalam Imamat 19:27. Mencukur tepi rambut kepala berkeliling adalah bagian dari ritual agama penyembah berhala. Allah tak ingin umatNya tampak seperti menyembah patung berhala.

Siapa yang Berbicara (Who is Speaking?)

Kita harus selalu paham siapa yang berbicara dalam satu perikop tertentu, karena informasi kontekstual akan membantu kita dengan benar dalam menafsirkan perikop itu. Walaupun segala sesuatu dalam Alkitab diilhamkan untuk ada dalam Alkitab, bukan segala sesuatu dalam Alkitab adalah Firman Tuhan yang diilhami. Apa maksudnya?

Banyak perikop Alkitab mencatat perkataan orang yang tidak diilhami. Karena itu, kita tak boleh beranggapan bahwa segala sesuatu yang diucapkan oleh orang-orang dalam Alkitab diilhami oleh Allah.

Misalnya, beberapa kesalahan pengutipan kata-kata Ayub dan teman-temannya seolah-olah kata-kata tersebut diilhami Allah. Ada dua alasan mengapa ini keliru. Pertama, dalam tigapuluh-empat pasal, Ayub dan teman-temannya berdebat. Mereka tak mencapai kesepakatan. Jelaslah, bukan segala sesuatu yang mereka katakan merupakan Firman Tuhan yang diilhamkan karena Allah Sendiri tidak membuat pertentangan.

Kedua, pada penutup kitab Ayub, Allah Sendiri berbicara, dan Ia menghardik Ayub dan teman-temannya karena mengatakan hal-hal yang tidak benar (lihat Ayub 38-42).

Kita harus melakukan langkah pencegahan yang sama ketika membaca Perjanjian Baru. Dalam beberapa hal, Paulus tegas menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu dari tulisannya hanyalah pendapatnya sendiri (lihat 1 Korintus 7:12, 25-26, 40).

Siapa yang Dituju? (Who is Being Addressed?)

Kita bertanya siapa yang berbicara dalam satu perikop Alkitab, dan juga catat siapa yang dituju. Bila kita tak melakukannya, bisa saja kita tafsirkan bahwa sesuatu tak berlaku bagi kita, yang ternyata berlaku bagi kita. Atau, kita tafsirkan sesuatu yang berlaku bagi kita yang sebenarnya tak berlaku bagi kita.

Misalnya, ada orang menuntut janji yang terdapat dalam Mazmur 37, dengan meyakini bahwa ayat itu berlaku padanya:

Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. (Mazmur 37:4).

Tetapi, apakah janji itu berlaku bagi setiap orang yang membaca atau mengetahui ayat itu? Tidak, jika kita baca konteksnya, ternyata ayat itu hanya berlaku bagi orang-orang tertentu yang memenuhi lima syarat:

Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. (Mazmur 37:3-4).

Jadi, betapa penting sekali kita mengetahui kepada siapa sesuatu ditujukan.

Contoh lain adalah:

Berkatalah Petrus kepada Yesus: “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!” Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Markus 10:28-30).

Ungkapan “menerima kembali seratus kali lipat” sangat populer di beberapa kalangan ketika seseorang memberi uang untuk membantu seorang penginjil. Tetapi, apakah janji itu berlaku bagi orang-orang tersebut? Tidak, hal itu ditujukan kepada orang-orang yang sebenarnya meninggalkan keluarga, ladang pertanian, atau rumah untuk mengabarkan Injil, seperti yang dilakukan oleh Petrus, yang bertanya kepada Yesus apa kira-kira upah yang didapatkan olehnya dan murid-murid lainnya.

Hal yang menarik, tampaknya orang yang selalu berkhotbah tentang pengembalian seratus kali lipat tampaknya terokusk pada rumah dan ladang, dan bukan pada anak-anak dan penganiayaan yang juga dijanjikan kepada mereka! Sudah tentu, Yesus tidak menjanjikan bahwa barangsiapa yang meninggalkan rumahnya akan mendapat ganti seratus rumah. Ia berjanji, bila mereka meninggalkan keluarga dan rumahnya, para anggota keluarga rohani yang baru akan membuka rumah mereka sebagai tempat tinggal. Murid-murid sejati tak peduli dengan kepemilikan karena mereka sendiri tak memiliki apapun —mereka hanyalah pengelola milik Allah.

Teladan Akhir (A Final Example)

Ketika orang-orang membaca “Khotbah Yesus di Atas Bukit Zaitun” dalam Matius 24-25, sebagian mereka keliru menganggap bahwa Ia berbicara kepada orang yang belum selamat, sehingga mereka keliru menyimpulkan bahwa apa yang dikatakanNya tak berlaku bagi mereka. Mereka membaca Perumpamaan Hamba yang Tidak Setia dan Perumpamaan Sepuluh Gadis, seolah-olah kedua perumpamaan itu ditujukan bagi orang-orang tidak percaya. Tetapi, seperti sudah dikatakan, kedua perumpamaan itu ditujukan kepada murid-murid terdekat Yesus (lihat Matius 24:3;Mark 13:3). Karena itu, jika Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas perlu diberi peringatan akan kemungkinan mereka tidak siap ketika Yesus kembali, demikian juga kita diberi peringatan. Peringatan Yesus dalam “Khotbah Yesus di Atas Bukit Zaitun” juga berlaku bagi setiap orang percaya, bahkan mereka yang tidak berpikir demikian oleh karena mereka tidak mencatat siapa yang dituju oleh Yesus.

Aturan #3 Bacalah dengan Jujur. Jangan paksakan teologi anda dalam suatu teks. Jika anda baca hal yang bertentangan dengan keyakinan anda, jangan coba ubah Alkitab, tetapi ubah keyakinan anda.

Kita sering melakukan pendekatan ke Alkitab dengan kecenderungan yang sudah ada di pikiran kita sebelumnya. Karena itu, seringkali kita sangat sulit membaca Alkitab dengan jujur. Kita tinggalkan cara pemaksaan keyakinan kita kepada Alkitab, bukannya membiarkan Alkitab membentuk teologi kita. Kita kadang memburu ayat-ayat Alkitab yang mendukung doktrin-doktrin kita, dan tak peduli ayat-ayat yang menentang keyakinan kita. Ini disebut sebagai “pembuktian lewat teks”.

Baru-baru ini, saya temukan contoh pemaksaan teologi ke dalam sebuah teks. Ada seorang guru membaca Matius 11:28-29, kutipan yang sangat terkenal dari Yesus:

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. (Matius 11:28-29)

Lalu, guru itu menjelaskan bahwa Yesus menawarkan dua kelegaan berbeda. Pertama (tampaknya), kelegaan keselamatan dalam Matius 11:28, dan kedua, kelegaan pemuridan dalam Matius 11:29. Kelegaan pertama diperoleh bila kita datang pada Yesus; kelegaan kedua diperoleh bila kita berserah padaNya sebagai Tuhan, atau memikul kukNya.

Namun, apakah pengertian itu yang Yesus maksudkan? Bukan, itu hanya pemaksaan arti ke dalam teks yang tidak dinyatakan secara gamblang atau secara tersirat. Yesus tidak berkata bahwa Ia menawarakan dua kelegaan. Ia menawarkan kelegaan kepada mereka yang letih-lesu dan berbeban-berat, dan cara mendapatkan kelegaan satu-satunya adalah memikul kuk Yesus, yakni berserah kepadaNya. Jelas, arti itulah yang Yesus maksudkan.

Mengapa guru itu menafsirkan demikian? Karena pengertian yang jelas dari perikop itu tak sesuai dengan keyakinannya bahwa ada dua jenis orang Kristen yang pasti ke sorga — orang percaya dan murid. Sehingga ia tidak menafsirkan perikop ini dengan jujur.

Tentunya, seperti kita lihat bagian-bagian lain dari ayat-ayat Alkitab dalam buku ini saat kita perhatikan teologi tersebut, bahwa penafsiran guru itu tak sesuai dengan konteks kelegaan yang Yesus ajarkan. Dalam Perjanjian Baru, tidak ada ayat yang mengajarkan tentang dua jenis orang Kristen yang pasti ke sorga, yakni orang percaya dan murid. Setiap orang percaya sejati adalah murid. Orang yang bukan murid bukan orang percaya. Pemuridan adalah buah dari iman yang sungguh-sungguh.

Usahakanlah baca Alkitab dengan jujur, dengan hati yang murni. Bila kita mau lakukan demikian, hasilnya nanti berupa kesungguhan hati dan ketaatan yang lebih kepada Kristus.

 


[1] Jelas, Paulus tidak percaya kepada keselamatan kekal yang tanpa syarat, jika tidak ia mungkin telah mengatakan kepada Timotius, orang yang diselamatkan, bahwa ia perlu melakukan sesuatu, agar keselamatannya.terjamin.

[2] Musa juga pernah melihat punggung Allah ketika Ia “berjalan berdampingan.” Allah memegang tanganNya sehingga menghalangi Musa agar tidak dapat melihat wajahNya; lihat Keluaran 33:18-23.

[3] Harus dicatat juga bahwa Yesus berkata sebelumnya dalam khotbahNya bahwa jika kebenaran dari pendengarNya tidak mengungguli kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, maka mereka tidak akan masuk sorga (lihat Matius 5:20). Yesus kemudian melanjutkan dengan mengungkapkan beberapa cara tertentu di mana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tak memilikinya.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Tujuh (Chapter Seven)

Bab Delapan (Chapter Eight)

Khotbah di Bukit (The Sermon on the Mount)

 

Oleh karena pelayan pemuridan ingin melakukan pemuridan dengan mengajar murid untuk menaati semua perintah Kristus, ia pasti tertarik pada Khotbah di Bukit oleh Yesus. Tidak ada khotbah yang lebih panjang yang pernah dicatat Alkitab yang disampaikan oleh Yesus, dan Khotbah di Bukit itu penuh dengan perintah-perintahNya. Pelayan pemuridan pasti mau menaati dan juga mengajari murid-muridNya tentang segala sesuatu yang Yesus perintahkan dalam Khotbah itu.

Dengan demikian, saya ingin bagikan pemahaman saya tentang Khotbah dalam Matius pasal 5 sampai pasal 7. Saya mengajak setiap pelayan untuk mengajar murid-muridnya tentang Khotbah di Bukit ayat demi ayat. Saya berharap, tulisan-tulisan saya dapat membantu setiap pelayan sesuai tujuan tersebut.

Sebagai tinjauan umum dan untuk menekankan tema-tema utama, berikut ini garis-garis besar Khotbah di Bukit.

I). Yesus mengumpulkan para pendengarNya (5:1-2)

II). Pengantar (5:3-20)

A). Karakteristik dan berkat-berkat dari orang yang diberkati (5:3-12)

B). Peringatan untuk terus menjadi garam dan terang (5:13-16)

C). Hubungan Hukum Taurat dengan pengikut Kristus (5:17-20)

III). Khotbah: Jadilah lebih benar dibandingkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (5:21-7:12)

A). Saling mengasihi, tidak seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (5:21-26)

B). Jagalah kemurnian seks, tidak seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (5:27-32)

C). Bersikap jujur, tidak seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (5:33-37)

D). Jangan membalas dendam, seperti yang dilakukan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (5:38-42)

E). Jangan benci musuh-musuhmu, seperti yang dilakukan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (5:43-48)

F). Lakukan kebaikan dengan motif yang benar, tidak seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (6:1-18)

1). Berilah kepada orang miskin dengan motif yang benar (6:2-4)

2). Berdoalah dengan motif yang benar (6:5-6)

3). Doa yang bertele-tele dan pengampunan (6:7-15)

a). Instruksi mengenai doa (6:7-13)

b). Perlunya saling mengampuni (6:8-15)

4). Berpuasa dengan motif yang benar (6:16-18)

G). Jangan layani uang, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (6:19-34)

H). Jangan berbantah-bantahan dengan saudara-saudaramu (7:1-5)

I). Jangan buang-buang waktu memagi kebenaran kepada orang yang tak menghargai kebenaran itu (7:6)

J). Dorongan untuk berdoa (7:7-11)

IV). Kesimpulan: Ikhtisar Khotbah

A). Pernyataan kesimpulan (7:12)B). Peringatan untuk taat (7:13-14)

C). Cara mengenali nabi-nabi palsu dan orang-orang percaya palsu (7:15-23)

D). Peringatan akhir melawan ketidaktaatan dan ikhtisar (7:24-27)

Yesus Mengumpulkan Para PendengarNya (Jesus Gathers His Audience)

Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka. (Matius 5:1-2).

Seolah-olah Yesus sengaja mengurangi jumlah pengikutNya dengan berjalan menjauhi “orang banyak” dan menaiki gunung. Kita tahu bahwa “murid-muridNya datang kepadaNya”, seolah menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang rindu mendengarkan Mereka bersusah-payah mendaki gunung ke tempat di mana Yesus akhirnya beristirahat. Tampaknya, sudah ada banyak orang, sebagai “kerumunan orang” dalam Matius 7:28.

Yesus lalu memulai khotbahNya, dengan berbicara kepada murid-muridNya, dan dari awal kita mendapat tanda seperti apa nanti tema yang menantang dariNya. Ia berkata bahwa mereka diberkati jika mereka memiliki karakter tertentu, karena karakter-karakter itu milik orang-orang yang pasti ke sorga. Yang menjadi keseluruhan khotbahNya itu adalah —Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah. Ucapan-Ucapan Bahagia, seperti sebutan dalam Matius 5:3-12, banyak mengandung tema itu.

Yesus menguraikan beberapa sifat berbeda sebagai karakter orang-orang yang diberkati, dan Ia menjanjikan berkat-berkat tertentu kepada mereka. Pembaca yang kurang serius sering menganggap bahwa tiap orang Kristen harus menempatkan dirinya dalam satu, dan hanya satu, Ucapan Bahagia. Tetapi, para pembaca yang serius menyadari bahwa Yesus tidak membuat golongan orang-orang percaya yang akan menerima berkat-berkat berbeda, namun setiap orang percaya sejati akan menerima satu berkat nanti yang mencakup semua, yakni mewarisi kerajaan sorga. Tak ada cara lain untuk menafsirkan FirmanNya:

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.

Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.

Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.

Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.

Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.

Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.

Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu. (Matius 5:3-12)

Berkat-berkat dan Ciri-ciri Karakter (The Blessings and Character Traits)

Pertama, perhatikan semua janji berkat. Yesus berkata bahwa orang-orang yang diberkati akan (1) empunya Kerajaan Sorga, (2) dihibur, (3) memiliki bumi, (4) dipuaskan, (5) beroleh kemurahan, (6) melihat Allah, (7) disebut anak-anak Allah, dan (8) empunya Kerajaan Sorga (pengulangan nomor 1).

Apakah Yesus ingin kita berpikir bahwa hanya mereka yang miskin di hadapan Allah dan mereka yang dianiaya oleh sebab kebenaran akan mewarisi Kerajaan Allah? Apakah mereka yang suci hatinya akan melihat Allah dan hanya mereka yang membawa damai akan disebut anak-anak Allah, sedangkan mereka yang tak termasuk keduanya tidak akan mewarisi Kerajaan Allah? Apakah mereka yang membawa damai tidak akan menerima belas-kasihan dan mereka yang patut dikasihani tidak disebut anak-anak Allah? Jelaslah semua kesimpulan itu salah. Karena itu, kesimpulan yang lebih baik adalah bahwa banyak berkat yang dijanjikan adalah berkat-berkat yang melimpah dari satu berkat besar, yakni mewarisi Kerajaan Allah.

Kini perhatikan ciri-ciri yang berbeda yang Yesus gambarkan: (1) miskin di hadapan Allah, (2) berduka-cita, (3) lembah-lembut, (4) haus akan kebenaran, (5) murah hati, (6) suci hati, (7) membawa damai, dan (8) dianiaya.

Apakah Yesus ingin kita berpikir bahwa seseorang bisa saja murni hatinya namun tidak punya belas kasihan? Bisakah seseorang dianiaya oleh karena kebenaran tetapi tidak lapar dan haus akan kebenaran? Jawabannya, jelas tidak. Banyak ciri karakter orang yang diberkati menjadi sifat-sifat yang dimiliki oleh semua orang yang diberkati.

Jelas, Khotbah di Bukit menggambarkan ciri-ciri karakter para pengikut sejati Yesus. Dengan menguraikan sifat-sifat itu kepada murid-muridNya, Yesus menjamin, merekalah yang diberkati dan diselamatkan dan akan masuk ke sorga. Kini, mereka mungkin merasa tidak diberkati oleh karena berbagai penderitaan, dan dunia yang melihatnya mungkin tak menganggap mereka diberkati, tetapi di mata Allah mereka diberkati.

Orang-orang yang tidak cocok dengan gambaran Yesus tak akan diberkati dan tak akan mewarisi kerajaan sorga. Setiap pendeta pemuridan harus yakini bahwa orang-orang di dalam jemaatnya tahu akan hal itu.

Ciri-ciri Karakter Mereka yang Diberkati (The Character Traits of the Blessed)

Ada delapan ciri dari orang-orang yang diberkati yang sebagian perlu dibuat penafsiran. Misalnya, kebaikan apa yang ada tentang “miskin di hadapan Allah”? Saya cenderung berpikir bahwa Yesus menggambarkan sifat pertama yang harus dimiliki seseorang jika ia ingin diselamatkan, yakni ia harus menyadari kemiskinan rohaninya. Seseorang harus mula-mula memahami kebutuhannya akan seorang Juruselamat sebelum ia diselamatkan, dan sudah ada orang-orang seperti itu di antara pengikut Yesus yang baru saja menyadari kefanaan mereka. Betapa diberkatinya mereka dibandingkan dengan orang-orang Israel yang congkak dan buta terhadap dosa-dosa mereka!

Sifat pertama itu melenyapkan keyakinan seseorang untuk mencukupi diri sendiri dan pemikiran tentang kelayakan memperoleh keselamatan. Orang yang benar-benar diberkati adalah ia yang menyadari bahwa ia tak punya apa-apa untuk dipersembahkan kepada Allah dan kebenarannya sendiri adalah “kain kotor” (Yesaya 64:6, KJV).

Yesus tidak ingin siapapun untuk berpikir bahwa ia dapat memiliki sifat-sifat diberkati, murni dengan usahanya sendiri. Tidak. Seseorang diberkati, yakni diberkati oleh Allah jika ia memiliki karakter orang yang diberkati. Semua itu berasal dari kasih karunia Allah. Orang, yang Yesus bicarakan, diberkati tidak hanya oleh karena apa yang menunggunya di sorga, tetapi oleh karena pekerjaan yang telah Allah lakukan dalam kehidupannya di bumi. Dalam kehidupan saya, ketika saya melihat sifat-sifat orang-orang yang diberkati, seharusnya saya ingat bukan tentang apa yang saya lakukan, tetapi tentang apa yang telah Allah lakukan bagi saya oleh kasih karuniaNya.

Yang Berduka-Cita (The Mournful)

Jika karakter pertama didaftarkan di urutan pertama karena sifat pertama itu yang perlu dimiliki oleh orang-orang yang pasti ke sorga, mungkin sifat kedua juga didaftarkan pada urutan yang berarti: “Berbahagialah orang yang berdukacita” (Matius 5:4). Mungkinkah Yesus membuat gambaran tentang pertobatan dan penyesalan yang sungguh di dalam hati? Saya kira tidak, karena Alkitab jelas menyatakan bahwa dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan (lihat 2 Korintus 7:10). Pemungut cukai yang berduka yang pernah Yesus bicarakan adalah contoh orang yang diberkati. Dengan rendah hati, ia menundukkan kepalanya di Bait Allah, memukul-mukul dadanya dan berseru-seru memohon belas-kasihan Allah. Orang-orang Farisi di dekatnya, saat berdoa, dengan bangga mengingatkan Allah bahwa mereka telah memberi perpuluhan dan berpuasa dua kali seminggu, tetapi si pemungut cukai meninggalkan tempat itu dengan dosa yang telah diampuni. Dalam kisah itu, pemungut cukai diberkati, tetapi orang-orang Farisi tidak diberkati (lihat Lukas 18:9-14). Dengan keyakinan dari Roh Kudus, saya kira ada orang yang tengah berduka di antara para pengikut Yesus. Dia akan segera dihibur oleh Roh Kudus!

Jika Yesus tidak sedang berbicara tentang dukacita awal dari orang yang bertobat yang datang kepadaNya, mungkin Ia sedang membuat gambaran dukacita yang dirasakan oleh semua orang percaya sejati ketika mereka terus menghadapi dunia yang memberontak melawan Allah yang mengasihi mereka. Paulus mengungkapkan perasaannya “aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati.” (Roma 9:2).

Orang Yang Lemah Lembut (The Gentle)

Karakter ketiga, yakni lemah-lembut, juga ditulis dalam Alkitab sebagai salah satu buah Roh (lihat Galatia 5:22-23). Kelemah-lembutan bukanlah sifat yang dikembangkan sendiri. Orang-orang yang telah menerima kasih karunia Allah dan Roh tinggal di dalam diri mereka juga diberkati untuk dijadikan lemah lembut. Mereka suatu hari akan mewarisi bumi, karena hanya orang-orang benar akan tinggal di bumi baru ciptaan Allah. Orang-orang yang mengaku Kristen yang jahat dan kejam harus berhati-hati. Mereka tidak berada di antara orang-orang yang diberkati.

Lapar dan Haus akan Kebenaran (Hungering for Righteousness)

Karakter keempat, yakni lapar dan haus akan kebenaran, menggambarkan kerinduan di dalam hati sebagai pemberian Allah bagi setiap orang yang dilahirkan kembali. Orang ini berdukacita oleh ketidakbenaran di dalam dunia dan di dalam dirinya. Orang ini membenci dosa (lihat Mazmur 97:10; 119:128, 163) dan mencintai kebenaran.

Bila kita baca kata kebenaran dalam Alkitab, kita sering segera menerjemahkannya sebagai “kedudukan sah dari kebenaran yang diberikan kepada kita oleh Kristus”, tetapi tak selamanya kata itu berarti begitu. Seringkali kata itu berarti, “kualitas hidup yang benar menurut standar Allah.” Jelas, arti inilah yang Yesus maksudkan, karena tiada alasan bagi seorang Kristen untuk lapar akan apa yang sudah dimilikinya. Orang yang telah dilahirkan dari Roh ingin hidup dengan benar, dan dijamin akan “dipuaskan” (Matius 5:6), dan yakin bahwa Allah, oleh kasih karuniaNya, akan menyelesaikan pekerjaan yang telah dimulaiNya di dalam mereka (lihat Filipi 1:6).

Perkataan Yesus di sini juga meramalkan waktu untuk bumi baru, bumi “di mana terdapat kebenaran” (2 Petrus 3:13). Lalu tidak akan ada dosa. Tiap orang akan mengasihi Allah dengan seluruh hatinya dan mengasihi sesamanya seperti mengasihi diri sendiri. Kita yang kini lapar dan haus akan kebenaran kemudian akan dipuaskan. Doa dari dalam hati akan sepenuhnya dijawab, “Jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga” (Matius 6:10).

Orang Yang Murah Hati (The Merciful)

Sifat kelima, yakni murah-hati atau berbelas-kasihan, adalah juga sifat yang umumnya dimiliki oleh setiap orang yang lahir-baru oleh karena memiliki Allah yang pemurah yang tinggal di dalam dirinya. Orang yang tidak murah-hati atau tidak berbelas-kasihan tidak diberkati oleh Allah, dan ia bukanlah orang yang ikut mendapat kasih karuniaNya. Rasul Yakobus sependapat: “Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan.” (Yakobus 2:13). Jika seseorang berdiri di hadapan Allah dan menerima penghakiman yang tanpa ampun, menurut anda, apakah ia akan ke sorga atau ke neraka?

[1]

Jawabannya sudah jelas.

Yesus pernah bercerita tentang seorang hamba yang mendapat kemurahan-hati atau belas-kasihan dari tuannya, namun kemudian ia tak mau memberikan sedikit belas-kasihan kepada sesama hambanya. Ketika tuannya tahu apa yang terjadi, ia “menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya” (Matt 18:34). Semua hutang yang sebelumnya diampuni dikembalikan lagi. Lalu, Yesus mengingatkan murid-muridNya, ”Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Matius 18:35). Jadi, menolak mengampuni saudara dalam Kristus yang memohon pengampunan akan memmulihkan kembali dosa-dosa kita yang sebelumnya telah diampuni. Akibatnya, kita diserahkan kepada penyiksaan sampai kita mengembalikan pinjaman yang tak pernah kita kembalikan. Bagi saya, orang itu tak akan menuju sorga. Lagi-lagi orang-orang yang tak berbelas-kasihan tidak akan menerima belas-kasihan Allah. Mereka tidak termasuk orang-orang yang diberkati.

Orang Yang Suci Hati (The Pure in Heart)

Sifat keenam dari orang yang pasti ke sorga adalah suci hati. Tidak seperti banyak orang yang mengaku Kristen, pengikut sejati Kristus tidak hanya suci dari segi luarnya. Oleh kasih karunia Allah, hatinya telah disucikan. Ia benar-benar mengasihi Allah dari dalam hatinya, dan hal itu mempengaruhi pergumulan dan motifnya. Yesus berjanji bahwa orang itu akan melihat Allah.

Saya ingin bertanya, apakah kita percaya bahwa ada orang Kristen sejati yang tidak suci hatinya, sehingga tak akan melihat Allah? Apakah Allah akan berkata kepadanya, “Anda dapat masuk sorga, tetapi anda tak akan pernah melihatKu”? Tidak, setiap orang benar yang pasti ke sorga memiliki hati yang suci.

Pembawa Damai (The Peacemakers)

Daftar berikutnya adalah pembawa damai. Ia akan disebut anak Allah. Yesus memberi gambaran setiap pengikut sejati Kristus, karena setiap orang yang percaya dalam Kristus adalah anak Allah (lihat Galatia 3:26).

Orang yang dilahirkan dari Roh adalah pembawa damai, dalam tiga hal berikut.

Pertama, ia telah berdamai dengan Allah, yang dulunya adalah musuhnya (lihat Roma 5:10).

Kedua, sejauh mungkin, orang itu hidup berdamai dengan orang-orang lain. Di dalam dirinya, tidak ada tanda perseteruan dan perselisihan. Paulus menulis bahwa orang yang melakukan perseteruan, iri hati, amarah, perselisihan, percideraan dan roh pemecah tidak akan mewarisi Kerajaan Allah (lihat Galatia 5:19-21). Orang percaya sejati akan menempuh jarak ekstra untuk menghindari perseturuan dan berdamai dalam hubungannya dengan orang lain. Ia tidak berdamai dengan Allah selagi ia tidak mengasihi saudara-saudaranya (lihat Matius 5:23-24; 1 Yohanes 4:20).

Ketiga, dengan menyebarkan Injil, pengikut sejati Kristus juga membantu orang lain untuk berdamai dengan Allah dan temannya. Mungkin, dengan menyinggung ayat ini dari Khotbah di Bukit, Yakobus menulis, “Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai.” (Yakobus 3:18).

Yang Teraniaya (The Persecuted)

Akhirnya, Yesus menyebut berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran. Jelas, Ia sedang berbicara tentang orang yang hidup benar, tidak hanya orang yang menganggap bahwa kebenaran Kristus telah diberikan kepadanya. Orang yang menaati perintah-perintah Kristus adalah dia yang dianiaya oleh orang-orang yang tidak percaya. Orang itu akan mewarisi kerajaan Allah.

Penganiayaan apa yang sedang dibicarakan oleh Yesus? Penyiksaan? Mati sahid? Bukan, Ia secara khusus menyebut perihal dianiaya dan difitnahkan segala yang jahat oleh karena namaNya. Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang menjadi Kristen sejati, sudah jelas bagi orang tak percaya, jika orang itu memfitnah orang percaya. Berapa banyak orang yang menyebut dirinya Kristen sangat berbeda dengan orang yang bukan Kristen sehingga orang tak percayapun memfitnahnya? Mereka bukanlah orang-orang Kristen. Seperti Yesus berkata, “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.” (Lukas 6:26). Ketika semua orang berbicara hal yang baik tentang anda, itulah tanda bahwa anda orang percaya yang palsu. Dunia membenci setiap orang Kristen sejati (lihat juga Yohanes 15:18-21; Galatia 4:29; 2 Timotius 3:12; 1 Yohanes 3:13-14).

Garam dan Terang (Salt and Light)

Ketika Yesus menjamin murid-muridNya yang taat bahwa mereka ada di antara orang-orang yang diubahkan dan diberkati yang ditentukan akan mewarisi kerajaan sorga, maka Ia menyatakan peringatan. Tidak seperti para pengkhotbah modern yang terus-menerus memberi jaminan kepada mereka yang tergolong kambing-kambing rohani bahwa mereka tak dapat kehilangan keselamatan yang konon mereka miliki, Yesus mengasihi murid-murid sejatiNya cukup dengan mengingatkan bahwa mereka bisa saja keluar dari kategori orang-orang yang diberkati.

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:13-16).

Perhatikan bahwa Yesus tidak mendesak murid-muridNya untuk menjadi garam atau menjadi terang. Ia berkata (secara kiasan) bahwa mereka sudah menjadi garam, dan Ia mendesak mereka untuk tetap asin. Ia berkata (secara kiasan) bahwa mereka sudah menjadi terang, dan meminta agar tidak membiarkan terang mereka tersembunyi, tetapi tetap bersinar. Betapa beda khotbah ini dengan banyak khotbah lain yang disampaikan kepada mereka tentang keinginan orang-orang yang mengaku Kristen untuk menjadi garam dan terang. Jika, seseorang tidak menjadi garam dan terang, maka ia bukan murid Kristus. Ia bukan orang yang diberkati. Dan ia tidak akan ke sorga.

Pada zaman Yesus, garam dipakai terutama sebagai pengawet daging. Sebagai pengikut Kristus yang taat, kita adalah pengawet dunia yang berdosa ini agar dunia tidak membusuk dan rusak. Tetapi jika kita menjadi seperti dunia dalam perilaku kita, kita sungguh “tidak ada gunanya lagi” (ayat 13). Yesus mengingatkan orang-orang yang diberkati untuk tetap asin, dengan menjaga karakter yang unik. Mereka harus tetap berbeda dengan dunia sekitar, jika tidak mereka akan jadi “tawar”, sehingga pantas “dibuang dan diinjak-injak.” Itulah salah-satu dari banyak peringatan, di dalam Perjanjian Baru, yang ditujukan kepada orang-orang percaya sejati agar tidak kembali berbuat dosa. Jika garam adalah garam, maka rasanya asin. Demikian juga, pengikut Yesus bertindak seperti pengikut Yesus; jika tidak, mereka bukanlah pengikut Yesus, meskipun dulu mereka pengikut Yesus.

Pengikut sejati Kristus adalah juga terang dunia. Terang selalu bersinar. Jika tidak bersinar, maka bukan terang. Dalam analogi ini, terang melambangkan pekerjaan baik kita (lihat Matius 5:16). Yesus tidak meminta orang yang tak punya pekerjaan untuk mengemis-ngemis, namun Ia meminta orang yang bekerja dengan baik untuk tidak menyimpan kebaikan dari orang lain. Dengan melakukan demikian, ia akan memuliakan Bapa di sorga karena pekerjaanNya di dalam dirinya adalah sumber kebaikannya. Di sini kita lihat keseimbangan yang indah dari pekerjaan baik dari Allah dan kerjasama kita denganNya; kedua hal itu diperlukan bagi setiap orang untuk tetap suci.

Hubungan Hukum Taurat dengan Pengikut Kristus (The Law’s Relationship to Christ’s Followers)

Perhatikan satu paragraf baru dalam Alkitab. Paragraf ini adalah bagian yang penting, yakni pengantar kepada banyak perkataan Kristus di bagian akhir KhotbahNya.

“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Matius 5:17-20).

Jika Yesus mengingatkan pengikutNnya untuk melawan pemikiran bahwa Ia datang untuk menghapuskan Hukum Taurat atau kitab-kitab Para Nabi, lalu kita dapat simpulkan bahwa sebagian pengikutNya sedang membuat dugaan. Kita perkirakan mengapa mereka menduga-duga. Mungkin teguran Yesus kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membuat sebagian orang berpikir bahwa Ia menghapus kitab-kitab Taurat dan para Nabi.

Walau demikian, Yesus jelas ingin murid-muridNya untuk menyadari kekeliruan dugaan tersebut. Ia adalah pemberi ilham ilahi dalam seluruh Perjanjian Lama, sehingga tentu Ia tak akan menghapus setiap hal yang telah Ia katakan melalui Musa dan para Nabi. Sebaliknya, sesuai perkataanNya, Ia telah menggenapi kitab-kitab Taurat dan para Nabi.

Bagaimana tepatnya Ia menggenapi kitab-kitab Taurat dan para Nabi? Sebagian orang berpikir bahwa Yesus sedang berbicara tentang penggenapan ramalan kedatangan Mesias. Walaupun Yesus sudah benar-benar (atau akan) menggenapi setiap ramalan kedatangan Mesias, yang tidak seluruhnya apa yang dipikirankanNya. Jelaslah, konteks menunjukkan bahwa Ia juga berbicara tentang semua yang dituliskan dalam kitab-kitab Taurat dan para Nabi, pada “satu iota atau satu titikpun” (ayat 18) dari kitab-kitab Taurat dan pada ”yang paling kecil” (ayat 19) dari perintah-perintah itu.

Orang-orang lain menduga maksud Yesus adalah Ia menggenapi Hukum Taurat dengan memenuhi syarat untuk kita melalui tindakan Yesus agar hidup taat dan berkorban sampai mati (lihat Roma 8:4). Tetapi, seperti terungkap dalam konteks, bukan itu yang Dia pikirankan. Pada ayat-ayat berikutnya, Yesus tak menyebutkan apa-apa tentang kehidupan atau kematianNya sebagai titik acuan untuk menggenapi Hukum Taurat. Sebaliknya, pada kalimat berikut, Ia menyatakan bahwa Hukum Taurat tetap relevan sampai “langit dan bumi berlalu” dan “semuanya selesai”, hal-hal yang menjadi acuan setelah kematianNya di atas kayu salib. Ia lalu menyatakan bahwa sikap orang-orang terhadap Hukum Taurat bahkan mempengaruhi status mereka di sorga (ayat 19), dan orang-orang harus menaati Hukum Taurat bahkan lebih dari yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat atau orang-orang Farisi, atau mereka tidak akan masuk ke sorga (ayat 20).

Jelaslah, selain menggenapi nubuatan tentang kedatangan Mesias, jenis, dan bayangan Hukum Taurat, juga penaatan syarat-syarat Hukum Taurat bagi kita, Yesus juga berpikir tentang pengikutNya yang menaati perintah-perintah Hukum Taurat dan melakukan hal-hal yang dikatakan oleh para Nabi. Dalam satu hal, Yesus menggenapi Hukum Taurat dengan mengungkapkan maksud sejati dan murni dari Allah di dalamnya, dengan mendukung dan menjelaskan sepenuhnya, dan melengkapi yang masih kurang agar para pengikutNya memahaminya.

[2]

Kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menggenapi pada ayat 17 juga diterjemahkan dalam Perjanjian Baru sebagai melengkapi, menyelesaikan, mengisi, dan melaksanakan sepenuhnya. Hal ini hampir saja dilakukan oleh Yesus, yang dimulai dengan empat kalimat berikutnya.

Tidak, Yesus tidak datang untuk menghapuskan, melainkan menggenapi kitab-kitab Taurat dan para Nabi, yakni “mengisinya sampai penuh.” Ketika saya ajarkan Khotbah di Bukit kepada orang-orang, saya sering tunjukkan setengah gelas air sebagai contoh dari pewahyuan Allah yang diberikan dalam kitab-kitab Taurat dan para Nabi. Yesus tidak datang untuk menghapuskan kitab-kitab Taurat dan para Nabi (ketika saya katakan hal itu, saya bertindak seolah-olah saya akan membuang air segelas penuh). Sebaliknya, Ia menggenapi kitab-kitab Taurat dan para Nabi (ketika saya ambil sebotol air dan mengisinya sampai penuh). Tindakan ini dapat membantu dalam memahami maksud Yesus.

Pentingnya Menaati Hukum Taurat (The Importance of Keeping the Law)

Mengenai penaatan perintah-perintah di dalam kitab-kitab Taurat dan para Nabi, Yesus tak mungkin membuat maksudNya lebih membawa pengaruh. Ia mengharapkan murid-muridNya untuk menaatinya. Perintah-perintah itu tetap dianggap penting hingga kini. Nyatanya, cara mereka menghargai perintah-perintah itu akan menentukan status mereka di sorga: “Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.” (5:19).

Kita sampai pada ayat 20: “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”

Perhatikan, itu bukan pemikiran baru, tetapi pernyataan akhir terkait dengan ayat-ayat sebelumnya dengan memakai kata sambung maka. Seberapa pentingkah tindakan menaati perintah-perintah itu? Setiap orang menaati perintah-perintah itu lebih dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk masuk kerajaan sorga. Kita lihat lagi, Yesus tetap teguh dengan temaNya —Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah.

Agar tidak bertentangan dengan Kristus, pelayan pemuridan tak pernah menjamin setiap orang untuk memiliki keselamatan yang kebenarannya tidak melebihi kebenaran yang dimiliki ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Kebenaran Macam Apa Yang Dibicarakan oleh Yesus? (Of What Kind of Righteousness Was Jesus Speaking?)

Ketika Yesus menyatakan bahwa kebenaran kita harus melebihi kebenaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, apakah Ia tidak menyinggung pada kedudukan sah tentang kebenaran yang diberikan kepada kita sebagai pemberian cuma-cuma? Tidak, Yesus tidak menyinggung hal itu. Pertama, konteks tidak sesuai dengan penafsiran itu. Sebelum dan setelah pernyataan itu (dan dalam keseluruhan perikop Khotbah di Bukit), Yesus berbicara tentang menaati perintah-perintah, yakni hidup dengan benar. Penafsiran yang paling lazim tentang FirmanNya adalah kita harus hidup lebih benar dibandingkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Dan, betapa janggal bila kita berpikir bahwa Yesus menempatkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi pada standar di mana Ia tidak menempatkan murid-muridNya sendiri pada standar yang sama. Betapa bodohnya kita berpikir bahwa Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena melakukan dosa yang sama dengan yang dilakukan oleh murid-muridNya, tetapi Ia tidak mengecam murid-muridNya, hanya karena mereka memanjatkan “doa keselamatan.”

[3]

 

Masalahnya kita tak ingin mendapatkan arti jelas dari ayat tersebut, karena ayat itu tampak seperti pengesahan. Masalahnya adalah kita tak memahami korelasi yang tak terpisahkan antara kebenaran sebagai akibat dan kebenaran praktis. Tetapi, Rasul Yohanes paham. Ia menulis: “Anak-anakku, janganlah membiarkan seorangpun menyesatkan kamu. Barangsiapa yang berbuat kebenaran adalah benar” (1 Yohanes 3:7). Kita juga tidak memahami korelasi antara kelahiran baru dan kebenaran praktis seperti pemahaman Yohanes juga: “Jikalau kamu tahu, bahwa Ia adalah benar, kamu harus tahu juga bahwa setiap orang yang berbuat kebenaran lahir dari pada-Nya.” (1 Yohanes 2:29).

Dalam pernyataanNya pada Matius 5:20, Yesus bisa saja menambahkan, “Dan jika engkau bertobat, benar-benar dilahirkan kembali, dan menerima karunia kebenaran cuma-cuma dariKu melalui iman yang hidup, maka kebenaran praktismu akan melebihi kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi pada saat engkau bekerja-sama dengan kuasa RohKu yang berdiam di dalam diri.”

Cara Menjadi Lebih Suci daripada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (How to be Holier than the Scribes and Pharisees)

Pertanyaan yang sering muncul untuk menanggapi pernyataan Yesus pada Matius 5:20 adalah: Tepatnya, seberapa benar ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu? Jawabnya: Sangat tidak benar.

Suatu kali, Yesus menyebut mereka sebagai “kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27). Yakni, mereka tampak benar dari luar, tetapi di dalamnya jahat. Mereka melakukan tugas besar untuk menaati setiap noktah Hukum Taurat, namun mengabaikan roh dari Hukum Taurat itu, mereka sering membenarkan diri dengan membelokkan atau bahkan mengubah perintah-perintah Allah.

Nyatanya, kesalahan mendasar dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah fokus utama Yesus pada bagian akhir dari Khotbah di Bukit. Kita tahu bahwa Yesus mengutip beberapa perintah Allah yang sudah dikenal, dan setelah mengutipnya, Ia menyebut perbedaan antara noktah dan roh dari tiap perintah. Dalam melakukan itu, Ia berkali-kali membeberkan tentang pengajaran sesat dan kemunafikan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, dan Ia ungkapkan harapanNya yang tulus bagi murid-muridNya.

Yesus memulai setiap contoh dengan kata-kata, “Kalian sudah mendengarnya.” Ia berbicara kepada orang-orang yang mungkin belum pernah membaca, namun hanya mendengar gulungan kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibacakan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi di sinagoga-sinagoga. Bisa dikatakan, para pendengarNya sudah sering mendapat pengajaran sesat sepanjang hidup mereka, ketika mereka mendengar ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membelokkan Firman Tuhan dan melakukan gaya hidup mereka yang tidak suci.

Saling Mengasihi, Tidak Seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Love Each Other, Unlike the Scribes and Pharisees)

Dengan memakai perintah keenam sebagai titik acuan pertamaNya, Yesus mulai mengajari murid-muridNya tentang kehendak Allah bagi mereka, dan pada saat yang sama Ia membeberkan kemunafikan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. (Matius 5:21-22).

Pertama, perlu dicatat bahwa Yesus mengingatkan sesuatu yang dapat membuat orang masuk neraka. Itulah tema utama dariNya —Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi berkhotbah melawan pembunuhan, dengan mengutip perintah keenam, yang mengingatkan bahwa membunuh dapat menyeret orang ke pengadilan.

Tetapi, Yesus ingin murid-muridNya tahu apa yang tidak disadari oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi —sudah ada pelanggaran yang jauh “lebih tidak penting” yang dapat menyeret seorang ke pengadilan, sepertinya pengadilan oleh Allah. Karena begitu pentingnya kita saling mengasihi (perintah terbesar kedua), ketika memarahi saudara, kita harus anggap diri kita bersalah di pengadilan. Jika, kita ucapkan kata-kata kemarahan padanya dengan cara tidak sopan, maka pelanggaran kita bahkan jauh lebih serius, dan kita harus anggap diri kita bersalah di pengadilan tertinggi Allah. Dan jika kita akukan lebih dari itu, dengan ucapan kebencian kepada saudara melalui hardikan kedua, maka kita bersalah di hadapan Allah dan akan masuk neraka!

[4]

Ini serius!

Hubungan kita dengan Allah disesuaikan dengan hubungan kita dengan saudara kita. Jika kita membenci saudara, maka kita tidak memiliki kehidupan kekal. Yohanes menulis,

Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam diri nya. (1 Yohanes 3:15).

Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. (1Yohanes 4:20).

Betapa penting kita saling mengasihi dan, sesuai perintah Yesus, kita usahakan pendamaian kembali ketika kita saling menyakiti (lihat Matius 18:15-17).

Selanjutnya Yesus berkata:

Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. (Matius 5:23-24).

Dengan kata lain jika hubungan kita dengan saudara kita tidak benar, maka hubungan kita dengan Allah tidak benar. Orang-orang Farisi dianggap salah karena hanya mengutamakan hal-hal yang tak penting, “nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan” seperti kata Yesus (Matius 23:23-24). Mereka menekankan pentingnya membayar perpuluhan dan memberi korban, tetapi mengabaikan hal yang jauh lebih penting, yakni perintah kedua terbesar untuk saling mengasihi. Betapa munafiknya seseorang yang membawa korban, yang menunjukkan kasihnya kepada Allah, selagi melanggar perintah terpenting kedua dariNya! Hal inilah yang Yesus peringatkan.

Masih tentang ketegasan penghakiman Allah, selanjutnya Yesus berkata:

Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas. (Matius 5:25-26).

Kita sebaiknya menjauhi ruang pengadilan Allah dengan cara hidup sedekat mungkin dalam damai dengan saudara-saudara kita. Jika ada saudara memarahi kita, dan dengan keras kepala kita menolak berdamai kembali “pada perjalanan menuju pengadilan”, yakni perjalanan kita dalam kehidupan untuk berdiri di hadapan Allah, maka kita akan menyesalinya. Perkataan Yesus di sini sangat mirip dengan semua peringatanNya mengenai kesamaan si hamba yang tak memberi ampun dalam Matius 18:23-35. Hamba yang diampuni namun menolak mengampuni harus membayar kembali hutangnya, dan ia diserahkan kepada algojo “sampai ia mengembalikan semua hutangnya” (Matius 18:34). Di sini Yesus juga mengingatkan akan konsekwensi kekal yang mengerikan dari tindakan kita yang tidak mengasihi saudara kita.

Jagalah Kemurnian Seks, tidak Seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Be Sexually Pure, Unlike the Scribes and Pharisees)

Perintah ketujuh adalah contoh kedua dari Yesus mengenai bagaimana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menaati pesan itu selagi tak mengindahkan roh Hukum Taurat. Yesus mengharapkan murid-muridNya menjadi lebih murni dalam hal seks dibandingkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. (Matius 5:27-30).

Perlu dicatat lagi bahwa Yesus memenuhi tema utamaNya —Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah. Ia mengingatkan lagi tentang neraka dan hal yang orang harus lakukan untuk menjauhi neraka.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tak dapat mengabaikan perintah ketujuh, jadi, secara luar, mereka menaatinya, tetap setia kepada istri masing-masing. Namun mereka membayangkan bercinta dengan wanita lain. Mereka secara mental menelanjangi wanita yang mereka lihat di pasar. Mereka berzinah di dalam hati, sehingga melanggar roh perintah ketujuh. Berapa banyak orang di gereja kini yang tak berbeda dengan mereka?

Allah tentu mau tiap orang untuk benar-benar suci dalam hal seks. Jelas, hubungan seks dengan istri orang lain adalah keliru, dan juga keliru bila membayangkan berhubungan seks dengan wanita itu. Yesus tidak menambahkan hukum yang lebih ketat kepada persyaratan yang sudah ada dalam Hukum Taurat Musa. Perintah kesepuluh jelas berisi larangan terhadap hawa-nafsu: “Jangan mengingini isterinya.” (Keluaran 20:17).

Apakah di antara orang-orang yang mengikuti Yesus, ada yang disalahkan? Mungkin juga. Apa yang telah mereka lakukan? Mereka pastinya sudah bertobat ketika Yesus perintahkan. Apapun anggapannya, orang yang penuh dengan hawa nafsu harus menghentikan perilakunya, karena dia akan masuk neraka.

Tentu, tiada orang yang berakal sehat menganggap bahwa tujuan Yesus bagi orang yang penuh hawa-nafsu adalah harus mencungkil matanya atau memotong tangannya. Orang yang penuh hawa-nafsu yang mencungkil matanya hanya akan menjadi orang mata-satu tetapi penuh hawa-nafsu! Yesus secara dramatis dan tulus menekankan pentingnya menaati roh perintah ketujuh. Kekekalan tergantung kepada penaatan perintah ini.

Dengan mengikuti teladan Kristus, pelayan pemuridan akan menegur murid-muridNya untuk “memotong” apapun yang menyebabkan mereka tersandung. Bila penyebanya TV kabel, kabelnya harus diputus. Bila penyebanya acara rutin TV, maka TV disingkirkan. Bila penyebanya majalah, hentikan berlangganan majalah. Bila penyebanya Internet, putuskan hubungan Internet. Bila penyebanya jendela terbuka, tutup kain gordinnya. Dengan melakukan tiap tindakan itu, kita akan terhindar dari kekekalan fana di neraka. Karena pelayan pemuridan sungguh mengasihi kawanan dombaNya, ia akan menceritakan kebenaran dan memberi peringatan kepada mereka, seperti yang dilakukan Yesus.

Cara Lain Melakukan Perzinahan (Another Way to Commit Adultery)

Contoh berikut dari Yesus sangat terkait dengan contoh yang baru dibahas, yang mungkin menjadi alasan penyebutannya berikut ini. Anggaplah contoh ini sebagai penjelasan lanjutan bukannya sebagai topik baru. Masalahnya adalah, “Hal lain yang dilakukan oleh orang-orang Farisi sama dengan perzinahan.”

Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah. (Matius 5:31-32).

Itulah contoh bagaimana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membelokkan Hukum Taurat Allah untuk mempermudah gaya hidup mereka yang penuh dosa.

Andaikan kita ciptakan tokoh imajinasi orang Farisi pada zaman Yesus. Di seberang jalan orang itu ada wanita yang menarik yang diingininya. Ia menggodanya ketika bertemu dia setiap hari. Wanita itu tampak tertarik padanya, dan keinginannya makin betambah. Ia ingin melihatnya tanpa busana, dan membayangkannya dalam fantasi-fantasi seks. Oh, seandainya orang itu dapat memilikinya!

Namun orang itu bermasalah. Ia sudah menikah, dan agamanya melarang perzinahan. Ia tak ingin melanggar perintah ketujuh (meskipun ia telah melanggar perintah itu tiap kali ia bernafsu). Apa yang dapat dilakukannya?

Ada solusi! Jika bercerai dari pasangannya kini, ia bisa kawin dengan wanita yang ada dalam pikirannya! Tetapi, apakah boleh bercerai? Seorang teman orang Farisi itu berkata kepadanya Ya! Ada ayat Alkitab untuk itu! Ulangan 24:1 berkata tentang pemberian surat cerai kepada istri ketika ia diceraikan. Perceraian harus sesuai aturan pada keadaan-keadaan tertentu! Namun, apa keadaan-keadaan itu? Ia teliti membaca perkataan Allah:

“Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya … (Ulangan 24:1).

Nah! Ia dapat menceraikan istrinya jika ia temukan ketidaksenonohan pada istrinya! Dan ia temukan! Istrinya tidak semenarik wanita di jalanan! (Ini bukan contoh yang dibuat-buat. Menurut Rabbi Hillel, yang terkenal karena ajarannya tentang perceraian di zaman Yesus, suami dapat menceraikan istrinya dengan sah jika ia temukan seseorang yang lebih menarik, karena hal itu membuat istrinya saat itu “tidak senonoh” di matanya. Rabbi Hillel juga mengajarkan bahwa suami dapat menceraikan istrinya jika ia terlalu banyak memberi garam ke makanannya, atau berbicara dengan pria lain, atau tak sanggup melahirkan anak baginya).

Jadi orang Farisi yang penuh hawa-nafsu itu menceraikan istrinya secara sah dengan memberi surat cerai kepada istrinya dan segera menikahi wanita yang ada di fantasinya. Dan ia tidak sedikitpun tunduk pada tanggung-jawab atas kesalahan asalkan Hukum Taurat telah ditaati!

Pandangan Berbeda (A Different View)

Sudah tentu, Allah melihat setiap hal dengan cara berbeda. Ia tak pernah berkata bahwa hal yang “tidak senonoh” dalam Ulangan 24:1-4 memang benar seperti itu, atau bahkan bila alasannya sesuai aturan untuk bercerai. Kenyataannya, perikop itu tidak berkata apa-apa terkait dengan saat perceraian dianggap sah atau tidak sah. Perikop ini hanya berisi larangan menghadapi wanita yang sudah dua kali bercerai atau wanita yang sekali bercerai/pernah menjanda untuk mengawini kembali suami pertama. Sesuai perikop itu, perkataan bahwa pasti telah terjadi “ketidaksenonohan” di mata Allah yang membuat perceraian itu dibolehkan adalah pemaksaan pengertian ke dalam teks itu.

Dalam hal apapun, dalam pikiran Allah, gambaran orang yang disebutkan tadi tidak berbeda dengan seorang pezinah. Ia melanggar perintah ketujuh. Kenyataannya, ia bahkan lebih bersalah dibandingkan pezinah biasa, karena ia bersalah melakukan “perzinahan ganda.” Apa itu? Pertama, ia berzinah dalam dirinya. Yesus lalu berkata, “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Matius 19:9).

Kedua, karena istri yang kini diceraikan harus mencari suami lain agar dapat bertahan hidup, di pandangan Allah, orang-orang Farisi telah melakukan hal yang sama dengan memaksa istrinya untuk berhubungan seks dengan pria lain. Sehingga, ia menyalahkan wanita itu karena “perzinahan”

[5]

Yesus berkata, “Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (Matius 5:32, tambahkan penekanan).

Yesus bahkan menuduh orang Farisi yang berhawa-nafsu dengan “perzinahan tiga kali” bila pernyataanNya, “dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (Matius 5:32), berarti bahwa Allah menganggap orang Farisi bertanggung-jawab atas “perzinahan” yang dilakukan oleh suami baru dari bekas istrinya.

[6]

 

Di zaman Yesus, perzinahan menjadi masalah penting, karena kita baca di mana beberapa orang Farisi bertanya kepadaNya, “Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Matius 19:3). Pertanyaan mereka adalah cermin isi hati mereka. Jelaslah, beberapa dari mereka mempercayai bahwa perceraian dibolehkan dengan alasan apapun.

Saya harus tambahkan juga hal yang memalukan ketika orang-orang Kristen memakai ayat-ayat Alkitab yang sama tentang perceraian, salah menafsirkan ayat-ayat itu, dan menempatkan rantai pengikat yang berat kepada anak-anak Allah. Yesus tidak berbicara tentang orang Kristen yang diceraikan ketika ia tidak diselamatkan, dan, saat menemukan calon teman hidup yang cantik yang juga mengasihi Kristus, ia menikahinya. Hal itu berbeda dengan perzinahan. Jika hal itu yang Yesus maksudkan, maka kita harus ubah Injil, karena Injil tak lagi mengampuni semua dosa orang-orang berdosa. Mulai sekarang kita khotbahkan, “Yesus mati untuk anda, dan jika anda bertobat dan percaya kepadaNya, semua dosamu akan diampuni. Tetapi, jika anda telah diceraikan, yakinlah bahwa anda tak akan menikah lagi, atau anda akan hidup dalam perzinahan, dan Alkitab berkata bahwa pezinah akan masuk neraka. Juga, jika anda telah diceraikan dan dinikahi lagi, sebelum anda datang kepada Kristus, anda perlu lakukan satu dosa lagi dan ceraikan pasangan anda sekarang. Jika tidak, anda akan terus hidup dalam perzinahan, dan para pezinah tidak akan selamat.”

[7]

Apakah itu namanya Injil?

[8]

 

Bersikaplah Jujur, Tidak seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Be Honest, Unlike the Scribes and Pharisees)

Contoh ketiga dari Yesus tentang perilaku keliru dan penerapan keliru ayat-ayat Alkitab oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi terkait dengan perintah Allah untuk berkata yang benar. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah mengembangkan cara yang sangat kreatif untuk berdusta. Kita pelajari dari Matius 23:16-22 bahwa mereka tidak menganggap diri mereka wajib menjalani sumpahnya jika mereka bersumpah demi Bait Allah, altar, atau sorga. Tetapi, jika mereka bersumpah demi emas di Bait Allah, korban di altar, atau demi Allah di sorga, mereka dulunya wajib memenuhi sumpah itu! Inilah persamaan orang dewasa dengan anak yang menganggap ia terbebas dari keharusan untuk mengatakan kebenaran selama jari-jarinya disilangkan di belakang badannya. Yesus mengharapkan murid-muridNya untuk mengatakan kebenaran.

Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun. Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. (Matius 5:33-37).

Perintah Allah mengenai sumpah tidak berkata apapun tentang sumpah atas sesuatu yang lain. Allah mau umatNya berbicara kebenaran sepanjang waktu, sehingga tak perlu ada kata-kata sumpah, selamanya.

Tak ada yang salah dengan sumpah, karena sumpah tak lebih dari ucapan kaul atau janji. Kenyataannya, sumpah untuk menaati Allah adalah baik. Keselamatan dimulai dengan sumpah untuk mengikuti Yesus. Tetapi, ketika orang harus bersumpah demi sesuatu untuk meyakinkan orang lain agar mempercayainya, sudah lazim diketahui bahwa orang itu biasanya berbohong. Orang yang selalu berkata benar tak perlu bersumpah, selamanya. Namun banyak gereja kini dipenuhi para pendusta, dan para pelayan sering jadi pemimpin dalam penipuan dan kelicikan.

Pelayan pemuridan menunjukkan contoh menghasilkan kebenaran dan mengajarkan murid-muridNya untuk selalu berkata benar. Pelayan tahu bahwa Yohanes mengingatkan bahwa semua pembohong akan dilempar masuk ke lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang (lihat Wahyu 21:8).

Jangan Membalas Dendam, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Don’t Take Revenge, as do the Scribes and Pharisees)

Hal berikutnya yang Yesus sebutkan dalam daftar keluhan adalah penyimpangan orang-orang Farisi terhadap ayat yang sangat terkenal dalam Perjanjian Lama. Kita telah perhatikan perikop ini dalam bab tentang Penafsiran Alkitab.

Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.” (Matius 5:38-42).

Hukum Taurat Musa berkata bahwa ketika seseorang didapati bersalah di pengadilan karena mencederai orang lain, hukumannya harus sama dengan akibat yang ditimbulkan. Jika ia merontokkan gigi orang lain, maka, dengan jujur dan adil, giginya harus dirontokkan. Perintah ini diberikan agar didapatkan keadilan untuk didamaikan di pengadilan atas kasus pelanggaran berat. Allah melembagakan sistem pengadilan dan para hakim menurut Hukum Taurat demi menurunkan kejahatan, menjamin keadilan, dan mencegah balas-dendam. Dan Allah memerintahkan hakim untuk bersikap netral dan adil dalam menjatuhkan hukuman. Mereka harus mengadili “mata ganti mata dan gigi ganti gigi.” Tetapi ungkapan dan perintah itu selalu ada dalam perikop-perikop mengenai keadilan di ruang pengadilan.

Tetapi, sekali lagi, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menyimpangkan perintah, dengan mengubahnya menjadi perintah yang menjadikan perbuatan balas-dendam pribadi sebagai kewajiban suci. Tampaknya, mereka mengadopsi kebijakan “toleransi nol”, dengan melakukan pembalasan bahkan untuk pelanggaran kecil.

Tetapi, Allah selalu mengharapkan lebih banyak dari umatNya. Balas dendam adalah sesuatu yang nyata-nyata dilarang olehNya (lihat Ulangan 32:35). Perjanjian Lama mengajarkan bahwa umat Allah harus menunjukkan kebaikan kepada musuh-musuhnya (lihat Keluaran 23:4-5; Amsal 25:21-22). Yesus mendukung kebenaran ini dengan berkata kepada murid-muridNya untuk memberikan pipi sebelah dan menempuh satu mil lagi ketika berurusan dengan orang-orang jahat. Ketika kita disalahkan, Allah inginkan kita untuk tetap penuh kasih, membalas kejahatan dengan kebaikan.

Apakah Yesus mengharapkan kita untuk membiarkan orang-orang untuk mengambil keuntungan dari kita, dengan membiarkan mereka menghancurkan hidup kita jika mereka mau? Apakah keliru bila kita menuntut seorang yang tidak percaya ke pengadilan, dengan mencari keadilan atas perbuatan yang dilakukan terhadap kita? Tidak. Yesus tidak berbicara tentang mencari keadilan di pengadilan atas pelanggaran berat, namun tentang melakukan balas-dendam pribadi atas pelanggaran kecil. Perhatikan, Yesus tidak berkata bahwa kita harus memberikan leher kita untuk dicekik oleh orang yang baru saja membacok punggung kita. Ia tidak berkata bahwa kita harus memberikan rumah kita kepada seseorang ketika ia meminta mobil kita. Yesus hanya berkata agar kita menunjukkan toleransi dan belas-kasihan yang besar ketika menemukan pelanggaran kecil dan tantangan biasa bila berurusan dengan orang angkuh. Ia ingin kita menjadi lebih baik dari yang diharapkan oleh orang angkuh itu. Dengan standar itu, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tidak datang mendekat.

Mengapa banyak orang yang mengaku Kristen mudah diserang? Mengapa mereka begitu cepat kecewa dengan serangan yang sepuluh kali lebih kecil daripada tamparan di pipi? Apakah mereka diselamatkan? Pelayan pemuridan menjadi contoh dengan memberi pipi lain, dan ia mengajarkan kepada murid-muridNya untuk melakukan hal yang sama.

Jangan Benci Musuhmu, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Don’t Hate Your Enemies, as do the Scribes and Pharisees)

Akhirnya, Yesus menyatakan satu lagi perintah Allah yang telah diubah oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk menyenangkan hati mereka yang penuh kebencian.

Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Matius 5:43-48).

Dalam Perjanjian Lama, Allah berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18), tetapi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mempunyai definisi lain. Bagi mereka, sesama adalah orang-orang yang mengasihi mereka. Orang lain adalah musuh, dan karena Allah berkata untuk mengasihi sesama, maka kita boleh membenci musuh-musuh kita. Tetapi, menurut Yesus, bukan itu maksud Allah.

Yesus lalu mengajarkan dalam kisah orang Samaria yang Baik Hati bahwa kita harus peduli kepada setiap orang sebagai sesama kita.

[9]

Allah ingin kita mengasihi setiap orang, termasuk musuh-musuh kita. Itulah standar Allah bagi anak-anakNya, yakni standar kehidupanNya Sendiri. Ia memberikan matahari dan hujan untuk menumbuhkan tanaman, kepada orang-orang baik dan orang-orang jahat. Kita harus meneladaniNya, dengan menunjukkan kebaikan kepada orang yang tak layak mendapatkan kebaikan. Ketika kita lakukan kebaikan, tampaklah bahwa kita adalah “anak-anak Bapa [kita] yang di sorga.” (Matius 5:45). Orang yang murni dilahirkan kembali bertindak seperti Bapanya.

Kasih yang Allah mau kita tunjukkan kepada musuh-musuh kita bukanlah emosi atau persetujuan kita akan kejahatan mereka. Allah tidak meminta kita untuk menunjukkan perasaan bersahabat kepada mereka yang menentang kita. Ia tidak meminta kita untuk mengatakan hal yang tidak benar, dengan ucapan bahwa musuh kita adalah orang-orang baik. Tetapi Ia berharap agar kita berbelas kasihan kepada mereka dan bertindak sukarela dengan maksud itu, paling tidak dengan menyapa mereka dan mendoakan mereka.

Perhatikan bahwa Yesus sekali lagi menekankan tema utamaNya —Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah. Ia berkata kepada murid-muridNya bahwa jika mereka hanya mengasihi orang yang mengasihi mereka, mereka tidak lebih baik dari orang-orang bukan Yahudi penyembah berhala dan pemungut cukai, dua jenis orang yang, menurut keyakinan orang Yahudi, pasti masuk neraka. Dengan kata lain, seseorang yang hanya mengasihi orang lain yang mengasihinya akan masuk neraka.

Lakukan Kebaikan dengan Motif yang Benar, tidak seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. (Do Good for the Right Motives, Unlike the Scribes and Pharisees)

Yesus mengharapkan para pengikutNya untuk hidup suci, dan juga tetap suci karena alasan yang tepat. Mungkin mereka menaati perintah-perintah Allah dan masih membuatNya tidak senang jika ketaatan mereka karena motif yang keliru. Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena mereka melakukan pekerjaan yang baik semata-mata untuk membbuat orang lain terkesan (lihat Matius 23:5). Ia mengharapkan murid-muridNya untuk hidup berbeda.

Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong [orang-orang yang mendengarkan Yesus tahu kepada siapa tujuan perkataan Yesus], supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. (Matius 6:1-4).

Yesus berharap pengikutNya untuk memberi sedekah kepada kaum miskin. Hukum Taurat memerintahkan hal itu (lihat Keluaran 23:11; Imamat 19:10; 23:22; 25:35; Ulangan 15:7-11), namun ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi melakukannya dengan meniup terompet, untuk memanggil kaum miskin demi mendapatkan sedekah di depan banyak orang. Namun berapa banyak orang yang mengaku Kristen tidak memberikan apapun kepada kaum miskin? Mereka tidak melakukannya dengan sasaran untuk menguji motif-motif mereka dalam bersedekah. Jika kepentingan diri sendiri mendorong ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk mengkoar-koarkan pemberian sedekah mereka, apa yang mendorong orang-orang yang mengaku Kristen untuk mengabaikan kesulitan kaum miskin? Dalam hal ini, apakah kebenaran mereka mengungguli kebenaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi?

Seperti sebutan Paulus dalam 1 Korintus 3:10-15, kita dapat juga melakukan hal-hal baik karena alasan yang keliru. Jika motif kita tidak murni, maka perbuatan baik kita tak akan mendapat upah. Paulus menulis, bisa saja ada orang yang mengabarkan Injil dengan motif tidak murni (lihat Filipi 1:15-17). Seperti yang dinyatakan Yesus, cara yang baik untuk meyakini bahwa pemberian kita terdorong dengan hati yang murni adalah memberi secara diam-diam, tak membiarkan tangan kiri tahu perbuatan tangan kanan. Pelayan pemuridan mengajarkan murid-muridNya untuk memberi kepada kaum miskin (asalkan para murid tahu caranya), dan ia diam-diam melakukan apa yang ia khotbahkan.

Berdoa dan Berpuasa dengan Alasan yang Benar (Prayer and Fasting for the Right Reasons)

Yesus juga berharap para pengikutNya berdoa dan berpuasa, dan mereka melakukannya agar tak terlihat oleh orang lain, namun menyenangkan hati Bapa mereka. Jika tidak, mereka tak ada bedanya dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang akan masuk neraka, yang berdoa dan berpuasa hanya untuk mendapatkan pujian manusia, sebagai upah yang fana. Yesus memperingatkan pengikutNya:

“Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang [orang-orang yang mendengarkan Yesus tahu kepada tujuan perkataan Yesus]. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.

“Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa [lagi-lagi, orang-orang yang mendengarkan Yesus tahu kepada siapa tujuan perkataan Yesus]. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:5-6, 16-18).

Berapa banyak orang yang mengaku Kristen tak punya kehidupan yang suka berdoa dan tak pernah berpuasa?

[10]

Dalam hal ini, bagaimana bisa kebenaran orang-orang itu sebanding dengan kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang mempraktekkan kedua hal tersebut (meskipun demi alasan yang keliru)?

Penyimpangan Berkenaan dengan Doa dan Pengampunan (A Digression Regarding Prayer and Repentance)

Selagi membahas tentang doa, Yesus beralih sedikit untuk mengajar secara lebih khusus kepada murid-muridNya mengenai cara mereka harus berdoa. Yesus inginkan agar kita berdoa dengan cara kita yang tidak menghina BapaNya dengan menyangkali, melalui doa-doa kita, hal yang telah diungkapkanNya tentang diriNya. Misalnya, karena Allah tahu kebutuhan kita sebelum kita meminta dariNya (Ia tahu segala sesuatu), tak ada alasan kita mengulang-ulang kata-kata yang tak berarti ketika berdoa:

Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. (Matius 6:7-8).

Sebenarnya, doa kita mengungkapkan sebaik apa kita mengenal Allah. Orang yang mengenalNya, ketika terungkap dalam FirmanNya, berdoa sampai akhir sehingga kehendakNya akan terjadi dan Ia dimuliakan. Keinginan terbesarnya adalah menjadi suci, benar-benar menyenangkanNya. Ini tercermin dalam doa Yesus, yakni Doa Bapa Kami, yang termasuk dalam pengajaran Yesus kepada murid-muridNya. Doa itu mengungkapkan harapanNya bagi prioritas dan pengabdian kita:

[11]

 

Karena itu berdoalah demikian: “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. (Matius 6:9-11).

Kepedulian paling utama dari setiap murid Kristus adalah memuliakan nama Tuhan, sehingga ia dapat dihormati, dipandang dan diperlakukan sebagai yang suci.

Sudah tentu, setiap orang yang berdoa agar nama Tuhan dimuliakan haruslah suci dalam dirinya sendiri, sambil memuliakan nama Tuhan. Jika tidak, maka ia dianggap berpura-pura. Jadi, doa Bapa Kami mencerminkan keinginan kita agar orang lain menyerahkan diri mereka kepada Allah seperti yang sudah kita lakukan.

Permohonan kedua doa model itu adalah: “Datanglah kerajaanMu.” Ide satu kerajaan bermakna bahwa ada seorang Raja yang memerintah kerajaanNya. Setiap murid Kristen rindu bertemu dengan rajaNya, Oknum yang mengatur kehidupannya, memerintah atas seluruh bumi. Wah, setiap orang akan berlutut kepada Raja Yesus dalam iman yang taat!

Permohonan ketiga memperkuat permohonan pertama dan permohonan kedua: “Jadilah kehendakmu di bumi seperti di sorga.” Bagaimana kita dapat berdoa seperti itu, dengan tulus hati berserah diri kepada kehendak Tuhan dalam kehidupan kita? Murid sejati ingin agar kehendak Tuhan terjadi di atas bumi seperti di sorga —dengan sempurna dan tuntas.

Dibandingkan memiliki makanan yang tetap ada, yakni “makanan sehari-hari”, yang lebih penting bagi kita adalah memuliakan Tuhan, jadilah kehendakNya, dan datanglah kerajaanNya. Ada alasan mengapa permohonan keempat ini ditempatkan di urutan keempat. Namun, permohonan itu mencerminkan pengaturan prioritas kita dengan benar, dan di sini tak disebutkan soal ketamakan. Murid-murid Kristus melayani Allah dan bukan mammon. Pikiran mereka tidak terfokus pada mengumpulkan harta di bumi.

Saya ingin tambahkan, permohonan keempat ini dapat menunjukkan bahwa doa model ini menjadi doa yang selalu dipanjatkan setiap hari, pada setiap permulaan hari.

Doa Model Terus Berlanjut (The Model Prayer Continues)

Apakah murid-murid Kristus pernah melakukan dosa? Kadang-kadang mereka lakukan, karena Yesus mengajarkan mereka untuk minta pengampunan atas dosa-dosa mereka.

“Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.) Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Matius 6:12-15).

Murid-murid Yesus menyadari bahwa ketidaktaatan mereka menyakiti hati Allah, dan ketika mereka berdosa, mereka merasa malu. Mereka mau noda dihapuskan, dan syukurlah Bapa sorgawi yang pemurah bersedia mengampuni mereka. Namun mereka harus meminta ampun, yakni permohonan kelima dalam Doa Bapa Kami.

Tetapi, status mereka yang diampuni menjadi syarat bagi mereka untuk mengampuni orang lain. Karena telah diampuni dari begitu banyak dosa, maka mereka harus mengampuni setiap orang yang memohon ampun (dan untuk mengasihi dan berdamai kembali dengan orang yang tidak memohon ampun). Jika mereka menolak mengampuni, Allah tidak akan mengampuni mereka.

Permohonan keenam dan terakhir ialah permohonan yang mencerminkan keinginan seorang murid sejati untuk menjadi suci: “Jangan membawa kami kepada pencobaan, tetapi lepaskan kami daripada yang jahat [atau ‘si jahat’].” Murid yang sejati sangat merindukan kesucian yang ia minta dari Allah untuk tidak membawanya kepada situasi di mana ia bisa dicobai, agar ia tidak menyerah. Tambahan pula, ia memohon Allah agar menyelamatkannya dari setiap kejahatan yang bisa saja menawannya. Sudah tentu itulah doa besar yang dipanjatkan pada permulaan setiap hari, sebelum kita menghadapi dunia ini yang penuh kejahatan dan cobaan. Dan sudah tentu kita dapat berharap agar Allah menjawab doa ini sehingga Ia meminta kita untuk berdoa!

Orang yang mengenal Allah mengerti mengapa keenam permohonan doa ini sangat tepat. Alasannya terdapat pada kalimat terakhir doa itu: “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya” (Matius 6:13). Allah adalah Raja agung yang memerintah seluruh kerajaanNya di mana kita adalah hamba-hambaNya. Ia maha-kuasa, dan tak seorangpun berani melawan kehendakNya. Segala kemuliaan milikNya selamanya. Ia layak untuk kita taati.

Apa tema dominan dari Doa Bapa Kami? Kesucian. Murid-murid Kristus ingin agar nama Allah dimuliakan, sehingga pemerintahanNya akan terbentuk di atas bumi, dan kehendakNya terjadi dengan sempurna di mana-mana. Bagi mereka, hal itu lebih penting dibandingkan dengan makanan. Mereka ingin menyenangkanNya, dan ketika mereka tak sanggup, mereka memohon ampun dariNya. Sebagai orang-orang yang telah diampuni, mereka mengampuni orang lain. Mereka ingin menjadi suci secara sempurna, selama mereka mau menghindari cobaan, karena cobaan memberi kesempatan untuk berbuat dosa. Seorang pemurid mengajarkan hal-hal tersebut kepada murid-muridNya.

Murid dan Harta Bendanya (The Disciple and His Material Possessions)

Topik berikut mengenai Khotbah di Bukit berpotensi menggangu orang yang mengaku Kristen yang motivasi utamanya dalam hidup adalah terus mengumpulkan harta:

“Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Matius 6:19-24).

Yesus memerintahkan agar kita tidak mengumpulkan harta di atas bumi. Lalu, apa yang menjadi “harta”? Dalam arti sebenarnya, harta adalah barang yang disimpan dalam laci harta, disimpan di suatu tempat, tak pernah digunakan untuk hal yang praktis. Yesus mendefiniskan harta sebagai benda yang menarik ngengat, karat dan pencuri. Dengan kata lain “benda-benda yang tak penting.” Ngengat memakan apa yang ada di sudut-sudut kloset kita, bukan yang ada pada pakaian yang sering kita pakai. Karat memakan benda-benda yang jarang kita pakai. Di negara-negara yang lebih berkembang, pencuri paling sering mencuri benda-benda yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh orang-orang, yakni barang seni, perhiasan, peralatan mahal, dan benda-benda yang digadaikan.

Murid-murid sejati telah “melepaskan dirinya dari segala miliknya” (lihat Lukas 14:33). Merekalah penjaga uang milik Allah, sehingga setiap keputusan untuk mengeluarkan uang meupakan keputusan rohani. Apa yang kita belanjakan dengan uang kita mencerminkan apa yang mengendalikan hidup kita. Ketika kita mengumpulkan “harta”, menyimpan uang dan membeli hal yang tak penting, kita menyatakan bahwa Yesus tidak mengendalikan kita, karena jika Ia mengendalikan kita, kita akan melakukan hal-hal yang lebih baik dengan uang yang Ia percayakan kepada kita.

Apa hal-hal yang baik itu? Yesus memerintahkan kita untuk mengumpulkan harta di sorga. Bagaimana mungkin? Ia menyatakan dalam Injil Lukas: “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat.” (Lukas 12:33).

Dengan memberi uang untuk membantu kaum miskin dan menyebarkan Injil, kita mengumpulkan harta di sorga. Yesus meminta kita untuk mengambil sesuatu yang pasti menyusut sampai pada titik di mana sesuatu itu tak lagi berharga, dan menginvestasikan- nya pada sesuatu yang tak akan pernah menyusut. Itulah yang sedang dilakukan oleh pelayan pemuridan, dan ia mengajar murid-muridnya untuk melakukan hal demikian juga.

Mata yang Buruk (The Bad Eye)

Apa maksud Yesus ketika Ia berbicara tentang orang-orang bermata baik dengan tubuh yang penuh terang dan orang-orang bermata jahat dengan tubuh penuh kegelapan? FirmanNya pasti terkait dengan uang dan kebendaan, karena itulah yang dibicarakanNya tentang sebelum dan setelah.

Kata bahasa Yunani yang diterjemahkan “jahat” dalam Matius 6:23 sama dengan kata yang diterjemahkan dalam Matius 20:15 sebagai “iri hati.” Di dalamnya, kita baca seorang tuan yang berkata kepada hambanya, “Iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” Jelas, dalam arti sebenarnya, mata tak mungkin iri hati. Jadi ungkapan “mata yang iri (atau jahat)” berbicara tentang orang yang mempunyai keinginan yang tamak. Sehingga, kita mengerti jelas maksud Kristus dalam Matius 6:22-23.

Orang yang memiliki mata yang baik melambangkan orang yang suci hatinya, yang membiarkan cahaya kebenaran masuk ke dalam dirinya. Jadi, ia melayani Allah dan mengumpulkan harta, bukan di bumi, tetapi di sorga tempat hatinya berada. Orang yang memiliki mata jahat menutup terang kebenaran agar tak memasuki hatinya, karena dianggapnya ia sudah punya kebenaran, sehingga ia dipenuhi kegelapan, dengan percaya pada dusta. Ia mengumpulkan harta di bumi di mana hatinya berada. Ia percaya bahwa tujuan hidupnya adalah pemuliaan diri. Uang adalah allahnya. Ia pasti tidak akan ke sorga.

Apa artinya memiliki uang sebagai allahmu? Artinya, uang memiliki tempat dalam kehidupan anda yang seharusnya hanya dimiliki Allah. Uang mengarahkan hidupmu, dan uang menghabiskan energi, pikiran dan waktumu. Uang menjadi sumber sukacita anda. Anda mengasihinya.

[12]

Itu sebabnya Paulus menyamakan ketamakan dengan perzinahan, dengan menyatakan bahwa tak seorangpun yang tamak akan mewarisi Kerajaan Allah (lihat Efesus 5:5; Kolose 3:5-6).

Tetapi Allah dan uang ingin menjadi tuan dalam kehidupan kita, dan Yesus berkata bahwa kita tak dapat melayani kedua-duanya. Maka, kita pahami bahwa Yesus tetap dengan tema utamaNya —Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah. Ia menjelaskan bahwa banyak orang penuh dengan kegelapan, yang allahnya adalah uang, yang hatinya ada di bumi dan yang mengumpulkan harta duniawi; orang-orang ini tidak berada di jalan sempit yang menuju kepada kehidupan.

Orang Miskin yang Tamak (The Covetous Poor)

Perasaan kuatir akan hal-hal kebendaan tidak hanya keliru bila dikaitkan dengan barang mewah. Seseorang bisa saja keliru dengan perasaan kuatir akan hal-hal kebendaan, bahkan bila benda-benda itu berupa kebutuhan pokok. Lalu Yesus berkata:

Karena itu [yakni, berdasarkan yang baru saja Kukatakan] Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannyapun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Matius 6:25-34).

Banyak pembaca buku ini tidak sanggup mencari hubungan dengan orang yang Yesus maksudkan. Kapan saat terakhir anda kuatir tentang makanan, minuman atau pakaian?

Namun, kata-kata Yesus tentu berlaku bagi kita semua. Jika kita keliru bila kuatir akan hal-hal yang pokok dalam kehidupan, berapa banyak lagi kekeliruan yang akan terjadi dengan kuatir akan hal-hal yang tidak pokok? Yesus mengharapkan murid-muridNya untuk tetap fokus mencari dua hal: KerajaanNya dan kebenaranNya. Ketika seorang yang mengaku Kristen tak sanggup memberikan perpuluhan (saya bisa tambahkan perintah dalam perjanjian lama), namun ia sanggup mendapatkan banyak benda yang tidak pokok, apakah ia hidup menurut standar Kristus dengan pertama-tama mencari Kerajaan dan kebenaranNya? Jawabannya, sudah jelas.

Jangan Suka Mencari Kesalahan (Don’t be a Fault-Finder)

Kumpulan perintah berikut dari Yesus kepada para pengikutNya berkaitan dengan dosa menghakimi dan mencari-cari kesalahan:

Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu. (Matius 7:1-5).

Dalam perikop ini, walaupun secara langung atau tak langsung Yesus tidak menuduh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, mereka tentu dianggap berdosa; mereka mencari-cari kesalahanNya!

Dalam peringatan ini, apa sebenarnya maksud Yesus dengan menghakimi orang lain?

Pertama, kita perhatikan hal yang tidak Ia maksudkan, yakni kita tidak boleh membeda-bedakan dan menilai karakter orang hanya dengan memperhatikan perbuatannya. Hal itu cukup jelas. Segera setelah itu, Yesus memerintahkan murid-muridNya untuk tidak melempar mutiara kepada babi-babi atau memberikan barang yang kudus kepada anjing (lihat 7:6). Secara kiasan, Ia jelas berbicara tentang jenis-jenis orang, yang menyebutkan mereka sebagai babi dan anjing, orang-orang yang tak menghargai nilai dari benda-benda kudus, yakni “mutiara”, yang akan mereka dapatkan. Mereka bukan orang-orang yang diselamatkan. Dan tentunya, jika kita menaati perintah itu, kita harus menilai apakah orang-orang digolongkan sebagai babi dan anjing.

Lagipula, Yesus dengan singkat berkata kepada pengikutNya untuk menilai guru-guru palsu, “serigala berbulu domba” (lihat 7:15), dengan melihat buah-buahnya. Jelas, untuk menaati perintah Yesus, kita harus perhatikan gaya hidup orang dan membuat penilaian.

Demikian juga, Paulus berkata kepada jemaat di Korintus:

Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut diri nya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. (1 Korintus 5:11).

Syarat untuk menaati perintah itu adalah saksikan gaya hidup orang dan nilai orang itu berdasarkan kesaksian kita.

Rasul Yohanes juga berkata agar kita dapat membedakan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari Iblis. Dengan memperhatikan gaya hidup orang, jelaslah siapa yang diselamatkan dan siapa yang tidak diselamatkan (lihat 1 Yohanes 3:10).

Dengan demikian, membedakan karakter orang dengan memperhatikan perbuatannya dan menilai apakah ia milik Allah atau Iblis bukanlah dosa menghakimi terhadap apa yang diperingatkan Kristus. Jadi, apa maksud Yesus?

Perhatikan bahwa Yesus berbicara tentang mencari-cari kesalahan kecil, noda-noda, dengan seorang saudara (perlu dicatat, Yesus memakai kata saudara tiga kali dalam perikop ini). Yesus tidak mengingatkan kita untuk menghakimi orang-orang sebagai yang tidak percaya dengan melihat kesalahan mereka yang nyata-nyata (seperti yang Ia perintahkan untuk kita lakukan dalam khotbah ini). Sebaliknya, instruksi ini dimaksudkan untuk bagaimana orang Kristen harus memperlakukan orang Kristen lainnya. Mereka tidak boleh saling mencari-cari kesalahan, dan memang hendaknya demikian ketika mereka sendiri tak peduli pada kesalahan mereka yang lebih besar. Dalam hal ini, mereka adalah munafik. Seperti pernah Yesus katakan kepada banyak orang yang menghakimi secara munafik, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yohanes 8:7).

Rasul Yakobus, yang suratnya seringkali menyerupai Khotbah di Bukit, demikian juga menulis, “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.” (Yakobus 5:9). Hal itu juga membantu kita untuk memahami peringatan Yesus untuk kita hindari, yakni mencari-cari kesalahan dengan sesama orang percaya, lalu menyebarkan temuan kita, dengan saling berbantah-bantah. Itulah salah satu dosa yang paling sering muncul di gereja, dan mereka yang bersalah menempatkan diri dalam posisi menghadapi penghakiman. Ketika kita menjelek-jelekkan sesama orang percaya, dengan mengungkap kesalahannya kepada orang lain, maka kita melanggar aturan emas, karena kita juga tak ingin orang lain menjelek-jelekkan kita tanpa kehadiran kita.

Dengan penuh kasih, kita dapat mendekati sesama orang percaya terkait dengan kesalahannya, namun hanya bila kita melakukannya tanpa kemunafikan, dan yakin bahwa kita tak bersalah (atau lebih bersalah) dari dosa yang sama seperti orang yang kita mintai keterangan. Tetapi, kita hanya buang-buang waktu bila melakukan hal tersebut dengan orang tak percaya, yang menjadi pokok ayat berikut. Yesus berkata,

Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” (Matius 7:6).

Demikian juga, Amsal berkata, “Janganlah mengecam seorang pencemooh, supaya engkau jangan dibencinya, kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya,” (Amsal 9:8). Suatu kali, Yesus berkata kepada murid-muridNya untuk mengebaskan abu dari kakinya untuk menentang mereka yang menolak Injil. Ketika “anjing-anjing” diketahui tak menghargai kebenaran, Allah tak ingin hamba-hambaNya membuang-buang waktu untuk menjangkau mereka, namun di saat bersamaan orang lain tidak diberikan.

Dorongan untuk Berdoa (Encouragement to Pray)

Akhirnya kita sampai pada bagian akhir dari bagian utama khotbah Yesus. Bagian itu dimulai dengan janji-janji doa yang menguatkan:

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya. (Matius 7:7-11).

“Nah!” kata pembaca. “Ini bagian Khotbah di Bukit yang tak terkait dengan kesucian.”

Semuanya tergantung pada pertanyaan kita, dengan mengetuk dan mencari dalam doa. Seperti mereka yang “lapar dan haus akan kebenaran”, kita rindu sekali menaati semua perintah Yesus dalam khotbahNya itu, dan kerinduan kita tentu tercermin dalam doa-doa kita. Kenyataannya, doa model yang sebelumnya Yesus sampaikan dalam khotbah yang sama adalah ungkapan keinginan akan terjadinya kehendak Tuhan dan akan kesucian.

Lagipula, versi dalam kitab Lukas untuk janji-janji doa berakhir dengan ungkapan, “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Lukas 11:13). Yesus tidak memikirkan pemberian barang-barang mewah ketika Ia menjanjikan “pemberian yang baik” bagi kita. Dalam pikiranNya, Roh Kudus adalah “pemberian yang baik”, karena Roh Kudus menyucikan dan menolong kita untuk menyebarkan Injil yang menyucikan orang-orang lain. Orang-orang suci akan masuk sorga.

Pemberian baik lainnya adalah apapun yang ada dalam kehendak Tuhan. Tuhan jelas sangat peduli dengan kehendakNya dan kerajaanNya, sehingga kita harus berharap agar doa-doa kita untuk mendapatkan sesuatu yang akan menambah manfaat kita dalam kerajaan Allah akan selalu dijawab.

Pernyataan Kesimpulan (A Summarizing Statement)

Kita sampai pada ayat yang dianggap sebagai pernyataan yang menjadi kesimpulan dari semua yang Yesus katakan sampai pada poin ini. Banyak komentator melewatkannya, tetapi kita tak melewatkannya. Ayat khusus ini jelas merupakan pernyataan kesimpulan, karena dimulai dengan kata karena itu. Jadi, pernyataan itu terkait dengan perintah-perintah sebelumnya, dan yang menjadi pertanyaan adalah: Berapa banyak perkataan Yesus dijadikan kesimpulan? Kita baca dan pikirkan:

Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. (Matius 7:12).

Pernyataan itu tidak bisa menjadi kesimpulan dari beberapa ayat sebelumnya mengenai doa, jika tidak pernyataan itu takkan berarti apa-apa.

Ingatlah, pada permulaan khotbahNya, Yesus mengingatkan kekeliruan pemikiran kita bahwa Ia datang untuk menghapuskan Hukum Taurat atau Kitab Para Nabi (lihat Matius 5:17). Dari pandangan itu dalam khotbahNya sampai pada ayat yang kini kita bahas, pada dasarnya Ia tak melakukan apapun selain mendukung dan menjelaskan perintah-perintah Allah dalam Perjanjian Lama. Dengan demikian Ia kini menggenapi segala sesuatu. Ia telah perintahkan, semua yang Ia berikan dari kitab-kitab Taurat dan para Nabi: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para Nabi.” (7:12). Frase “hukum Taurat dan kitab para Nabi” menghubungkan semua yang Yesus katakan antara Matius 5:17 dan 7:12.

Kini, ketika Yesus membuat kesimpulan khotbahNya, Ia menyatakan kembali tema utamaNya sekali lagi —Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah:

Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” (Matius 7:13-14).

Jelaslah pintu gerbang sempit dan jalan menuju kehidupan, yang dicari oleh sedikit orang, adalah lambang keselamatan. Pintu gerbang lebar dan jalan besar menuju kebinasaan, jalur bagi sebagian besar orang, melambangkan penghukuman. Jika segala sesuatu yang Yesus katakan sebelum pernyataan memiliki arti, jika khotbah ini membawa dampak logis, jika Yesus pandai sebagai ahli komunikasi, maka tafsiran paling umum adalah jalan sempit sebagai jalan untuk mengikuti Yesus, dengan menaati perintah-perintahNya. Jalan lebar akan menjadi jalur berlawanan. Dalam khotbah itu, ada berapa banyak orang yang mengaku Kristen berada di jalan sempit? Pelayan pemuridan tentu ada di jalan sempit, dan ia memimpin murid-muridNya menapaki jalan sempit itu.

Beberapa orang yang mengaku Kristen bingung karena, dalam khotbah itu, Yesus tidak berkata apapun tentang iman atau percaya kepadaNya di mana Ia berkata banyak hal tentang keselamatan dan penghukuman. Tetapi, bagi mereka yang mengerti korelasi yang tak terpisahkan antara keyakinan dan perilaku, khotbah itu tak menimbulkan masalah. Setiap orang yang menaati Yesus menunjukkan iman melalui perbuatannya. Barangsiapa yang tidak menaatiNya tidak mempercayai bahwa Dialah Anak Allah. Keselamatan kita tidak hanya menunjukkan kasih karunia Allah kepada kita, tetapi juga perubahan yang terjadi dalam kehidupan kita. Kesucian kita adalah kesucianNya.

Cara Mengenali Pemimpin Religius yang Sesat (How to Recognize False Religious Leaders)

Ketika Yesus melanjutkan perkataan kesimpulanNya, Ia lalu mengingatkan murid-muridNya tentang nabi-nabi palsu yang memipin orang-orang yang tidak menunjukkan perbedaan ke jalan lebar menuju kebinasaan. Mereka benar-benar bukan dari Allah, namun berkedok sebagai dari Allah. Semua pengajar sesat dan pemimpin sesat berada pada kategori ini. Bagaimana cara kita mengenali mereka?

“Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Matius 7:15-23).

Jelaslah, Yesus menunjukkan bahwa pengajar sesat sangat suka menipu. Mereka menampakkan tanda-tanda luarnya sebagai orang yang tulus. Mereka menyebut Yesus sebagai Tuhan mereka, bernubuat, mengusir roh-roh jahat dan melakukan mujizat-mujizat. Tetapi “bulu domba” hanya menyembunyikan “serigala yang kelaparan.” Mereka bukan domba sejati. Bagaimana bisa tahu jika mereka benar atau sesat? Karakter sejati mereka dapat dikenali dengan melihat “buah-buah” mereka.

Apa buah-buah yang Yesus bicarakan? Jelas, bukan buah-buah mujizat, tetapi buah-buah ketaatan kepada semua ajaran Yesus. Orang yang adalah domba sejati melakukan kehendak Bapa. Orang yang sesat “melakukan kejahatan” (7:23). Maka, kita bertanggung-jawab membandingkan kehidupan setiap orang dengan tiap ajaran dan perintah Yesus.

Semakin banyak guru palsu di gereja kini, dan kita tidak terkejut, karena Yesus dan Paulus telah lebih dulu memperingatkan, di akhir zaman yang mendekat, agar kita tak perlu mengharapkan hal-hal yang tak ada manfaatnya (lihat Matius 24:11; 2 Timotius 4:3-4). Nabi-nabi palsu yang paling sering muncul sekarang adalah orang-orang yang mengajarkan bahwa sorga menunggu orang-orang yang tidak suci. Mereka bertanggung-jawab atas penghukuman kekal jutaan orang. Tentang mereka, John Wesley menulis,

Betapa sangat mengerikan!—ketika para utusan Allah menjadi agen-agen Iblis!—ketika mereka yang ditugaskan untuk mengajarkan jalan ke sorga kepada orang-orang ternyata mengajarkan mereka jalan ke neraka…. Jika ditanya, “Mengapa, siapa gerangan yang melakukan…hal ini?”…Saya jawab, Sepuluh ribu orang bijak dan orang terhormat; bahkan semua orang itu, dari denominasi apapun, yang memberikan dorongan kepada orang sombong, orang yang suka main-main, orang yang penuh nafsu, pencinta dunia, orang yang suka kesenangan, orang yang tidak adil atau orang yang tidak baik, mahluk yang mudah, ceroboh, tak berbahaya dan tak berguna, orang yang tidak mendapat kritikan demi kebenaran, demi membayangkan ia berada di jalan menuju ke sorga. Merekalah nabi-nabi palsu dalam arti kata sebenarnya. Merekalah pengkhianat Allah dan manusia…. Mereka terus menghuni wilayah malam hari; dan kapanpun mereka mengikuti jiwa-jiwa merana, mereka telah hancurkan, “neraka akan dipindahkan dari bawah untuk menemui mereka pada saat mereka datang!”

[13]

 

Hal yang menarik, dalam Matius 7:15-23, Wesley secara khusus mengomentari tentang guru-guru palsu yang Yesus ingatkan untuk dilawan.

Perhatikan bahwa Yesus berkata dengan jelas, berbeda dengan perkataan banyak guru palsu kepada kita kini, bahwa mereka yang tidak menghasilkan buah akan dilempar masuk ke neraka (lihat 7:19). Lagipula, hal itu berlaku tidak hanya kepada guru-guru dan nabi-nabi, tetapi juga kepada setiap orang. Yesus berkata, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 7:21). Hal yang benar bagi nabi adalah benar juga bagi semua orang. Itulah tema utama Yesus— Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah. Orang yang tidak menaati Yesus pasti masuk neraka.

Juga perhatikan hubungan yang Yesus buat antara hakekat seseorang dipandang dari dalam dirinya dan hakekatnya dipandang dari luar. Pohon yang “baik” menghasilkan buah yang baik. Pohon yang “buruk” tak dapat menghasilkan buah yang baik.

Sumber buah yang baik yang muncul di luar adalah karakter orang itu. Oleh kasih karuniaNya, Allah telah mengubah karakter orang yang sungguh percaya kepada Yesus.

[14]

 

Peringatan Akhir dan Ikhtisar (A Final Warning and Summary)

Yesus menyimpulkan khotbahNya dengan peringatan akhir dan contoh yang menjadi kesimpulan. Seperti harapan anda, inilah ilustrasi dari temaNya— Hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah.

Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang men diri kan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang men diri kan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya. (Matius 7:24-27).

Ilustrasi akhir Yesus bukanlah formula untuk “sukses dalam hidup” seperti yang dipakai oleh beberapa orang. Konteks menunjukkan bahwa Yesus tak akan memberi saran tentang bagaimana mendapatkan banyak uang selama masa-masa sulit, dengan memiliki iman dalam janji-janjiNya. Inilah kesimpulan dari semua perkataan Yesus dalam KhotbahNya di Bukit. Orang yang melakukan perkataanNya adalah bijak dan akan bertahan; orang tak perlu takut akan murka Allah ketika murka itu menimpanya. Orang yang tidak menaatiNya adalah bodoh dan akan mengalami banyak penderitaan, dan akan mendapat ”hukuman kebinasaan selama-lamanya” (2 Tesalonika 1:9).

Jawaban atas Pertanyaan (Answer to a Question)

Tidak mungkin Khotbah di Bukit oleh Yesus hanya berlaku bagi para pengikutNya yang hidup sebelum pengorbanan kematian dan kebangkitanNya? Tidakkah mereka berada di bawah Hukum Taurat sebagai cara sementara mereka untuk mendapatkan keselamatan, tetapi setelah Yesus mati untuk dosa-dosa mereka, lalu diselamatkan dengan iman, sehingga membatalkan tema yang dijelaskan dalam khotbah ini?

Itulah teori yang buruk. Tak seorangpun diselamatkan oleh hasil usahanya. Keselamatan selalu oleh karena iman, sebelum dan selama pejanjian lama. Paulus berpendapat dalam Roma 4 bahwa baik Abraham (sebelum pejanjian lama) dan Daud (selama pejanjian lama) dibenarkan oleh iman dan bukan hasil usaha.

Lagipula, adalah mustahil bila para pengikut Yesus dapat diselamatkan oleh hasil usahanya, karena mereka semua telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (lihat Roma 3:23). Hanya kasih karunia Allah yang dapat menyelamatkan mereka, dan hanya iman dapat menerima kasih karuniaNya.

Sayangnya, banyak orang di gereja kini memandang semua perintah Yesus sebagai bukan tujuan, yang lebih dari sekedar membuat kita merasa bersalah sehingga kita mustahil diselamatkan melalui hasil usaha. Karena kita sudah ”mendapatkan pesan” dan telah diselamatkan dengan iman, kita dapat abaikan sebagian besar perintahNya. Jika tidak, tentu kita ingin orang lain “diselamatkan”. Lalu kita dapat menambahkan perintah-perintah lagi untuk menunjukkan kepada orang-orang betapa berdosanya mereka sehingga mereka akan diselamatkan oleh “iman” tanpa hasil usaha.

Namun demikian, Yesus tidak berkata kepada murid-muridNya, “Pergilah ke seluruh dunia dan lakukan pemuridan, dan yakinkan mereka untuk menyadari bahwa, ketika murid-murid merasa bersalah dan kemudian diselamatkan oleh iman, perintah-perintahKu telah menjadi tujuan dalam kehidupan mereka.” Sebaliknya, Ia berkata, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku …. ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu..” (Matius 28:19-20, tambahkan penekanan). Pelayan pemuridan akan melakukan hal tersebut.

 


[1]

Sangat menarik, ayat berikutnya dalam kitab Yakobus adalah, “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?” (Yakobus 2:14).

[2]

Memang benar apa yang sering disebut sebagai “aspek-aspek seremonial Hukum Taurat” juga “aspek-aspek moral Hukum Taurat”, walaupun banyak penjelasanNya mengenai penggenapanNya terhadap hukum seremonial diberikan oleh Roh KudusNya kepada para rasul setelah kebangkitanNya. Kita kini mengerti mengapa tidak perlu ada pengorbanan hewan pada zaman perjanjian baru, karena Yesus adalah Domba Allah. Kita juga tidak mengikuti hukum dalam perjanjian lama tentang makanan karena Yesus menyatakan semua makanan halal (lihat Markus 7:19). Kita tidak perluk pergumulan doa seorang imam kepala di bumi karena Yesus kini adalah Imam kepala kita, dan seterusnya. Tetapi, tidak seperti hukum seremonial, tak ada apapun dari hukum moral yang pernah diubah oleh apapun yang dilakukan atau dikatakan oleh Yesus, sebelum atau setelah kematian dan kebangkitanNya. Sebaliknya, Yesus menguraikan dan mendukung hukum moral dari Allah, seperti yang dilakukan oleh para rasul dengan ilham Roh setelah kebangkitanNya. Aspek-aspek moral Hukum Taurat Musa semuanya dicakup dalam Hukum Kristus, yakni hukum perjanjian baru. Ingatlah juga bahwa pada saat itu Yesus tengah berbicara kepada orang-orang Yahudi yang ada di bawah Hukum Taurat Musa. Jadi kata-kataNya dalam Matius 5:17-20 perlu ditafsirkan sesuai pewahyuan Yesus yang tengah berlangsung dalam Perjanjian Baru.

[3]

Lagipula, jika Yesus berbicara tentang kebenaran legal sebagai akibat yang kita terima sebagai karunia untuk percaya kepadaNya, mengapa tidak Ia menunjuk langsung pada kebenaran itu? Mengapa Ia mengatakan sesuatu yang mudah disalahpahami oleh orang yang tak berpendidikan yang berbicara dengan saya, yang tak pernah menduga bahwa saya berbicara tentang kebenaran sebagai akibat?

[4]

Ini berlaku pada hubungan kita dengan saudara-saudara kita dalam Kristus. Yesus menyebut para pemimpin agama tertentu sebagai orang-orang bodoh (lihat Matius 23:17), seperti yang disebut juga dalam Alkitab pada umumnya (lihat Amsal 1:7; 13:20).

[5]

Sudah tentu, Allah tidak meminta istri itu bertanggung-jawab atas perzinahan ketika ia kawin lagi; ia hanya korban perbuatan dosa suaminya. Jelaslah, perkataan Yesus tidak masuk akal jika istri itu tidak kawin lagi. Jika tidak, tiada penilaian di mana ia dapat dianggap sebagai istri berzinah.

[6]

Lagi-lagi, Allah tidak menganggap suami baru bertanggung-jawab atas perzinahan. Si suami baru itu melakukan hal yang benar, yakni menikahi dan menerima istri yang diceraikan. Namun, bila seseorang menyuruh seorang istri untuk menceraikan suaminya agar ia dapat mengawini wanita itu, maka ia bersalah karena berbuat perzinahan, dan itulah mungkin dosa yang dimaksudkan Yesus di sini.

[7]

Tentu, ada situasi lain yang dapat diperhatikan. Misalnya, istri Kristen, yang suaminya tak bercukur, menceraikan suaminya itu tentulah bersalah karena berzinah bila istri itu mengawini kembali seorang Kristen.

[8]

Pada bab berikut tentang perceraian dan pernikahan ulang, saya membahas masalah ini lebih luas.

[9]

Dengan harapan untuk membenarkan dirinya, seorang guru Hukum Taurat Yahudi bertanya kepada Yesus, “Siapakah sesamaku?” Anda yakin, ia sudah berpikir bahwa ia punya jawaban yang tepat. Yesus menjawabnya dengan kisah seorang Samaria yang baik hati, anggota kelompok yang dibenci oleh orang-orang Yahudi, yang membuktikan dirinya sebagai sesama bagi seorang Yahudi yang tertimpa kemalangan (lihat Lukas 10:25-37).

[10]

Nanti dalam buku ini, saya memasukkan bab tentang berpuasa.

[11]

Sebagian orang sayangnya menyatakan bahwa Doa Bapa Kami ini bukanlah doa yang dipakai oleh orang-orang Kristen karena doa ini tidak dipanjatkan “dalam nama Yesus.” Tetapi, dengan logika ini, kita harus membuat kesimpulan bahwa banyak doa dari para rasul yang dicatat dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat bukanlah “doa-doa orang Kristen.”

[12]

Pada kesempatan lain, Yesus membuat pernyataan yang sama tentang kemustahilan melayani Allah dan mammon, dan Lukas menyatakan kepada kita, “Semuanya itu didengar oleh orang-orang Farisi, hamba-hamba uang itu, dan mereka mencemoohkan Dia.” (Lukas 16:14). Lagi-lagi, pada Khotbah di Bukit, Yesus jelas-jelas mengungkapan praktek dan pengajaran orang-orang Farisi.

[13]

Buku berjudul the Works of John Wesley (Baker: Grand Rapids, 1996), karangan John Wesley, dicetak ulang dari edisi tahun 1872 yang diterbitkan oleh the Wesleyan Methodist Book Room, London, halaman 441, 416.

[14]

Saya ingin sekali mengambil kesempatan juga untuk mengomentari di sini tentang ungkapan yang lazim digunakan orang ketika mencari alasan berbuat dosa pada orang lain: “Kita tidak tahu apa yang ada di hati mereka.” Berbeda dengan hal ini, Yesus berkata bahwa penampakan luar menampilkan hal yang di dalam. Di tempat lain, Ia berkata, “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Matius 12:34). Ketika seseorang mengucapkan kata-kata kebencian, maka tampaklah kebencian mengisi hatinya. Yesus juga berkata kepada kita bahwa “sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” (Markus 7:21-22). Ketika seseorang berzinah, kita benar-benar tahu apa yang ada di dalam hatinya, yakni perzinahan.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Delapan (Chapter Eight)

Bab Lima (Chapter Five)

Pertumbuhan Gereja (Church Growth)

 

Anda seorang pendeta dan tentu ingin agar gereja anda bertumbuh. Wajarlah bila setiap pendeta memiliki keinginan tersebut. Tetapi, mengapa anda ingin gereja anda bertumbuh? Apa alasan yang ada di hati terdalam anda?

Apakah anda menghendaki gereja anda bertumbuh hingga berhasil? Apakah anda ingin dihormati dan merasa memiliki pengaruh? Apakah anda bersedia menyerahkan kekuasaan kepada orang lain? Apakah anda mengharapkan kekayaan? Semua alasan ini keliru bila anda menginginkan agar gereja anda bertumbuh.

Alasan yang tepat untuk mengharapkan pertumbuhan gereja adalah bila anda ingin gereja anda bertumbuh agar Allah dapat dimuliakan ketika semakin banyak orang yang diubahkan oleh Roh Kudus.

Tentu kita bisa saja membodohi diri sendiri, dengan menganggap setiap motif kita murni ketika ternyata motif itu sebenarnya hanya untuk kepentingan kita sendiri.

Bagaimana mengetahui motif yang benar? Bagaimana mengetahui bila kita benar-benar ingin mengembangkan Kerajaan Allah atau hanya membangun kerajaan kita sendiri?

Caranya adalah pantaulah reaksi di dalam diri terhadap keberhasilan pendeta-pendeta lain. Bila kita anggap motif kita murni, kita tulus menginginkan Kerajaan Allah dan gerejaNya bertumbuh. Namun, bila ada iri-hati atau kecemburuan di dalam hati ketika kita mendengar pertumbuhan gereja lain, maka terungkaplah bahwa motif kita kurang murni. Tampaknya kita tak begitu tertarik pada pertumbuhan gereja itu, tetapi pada pertumbuhan gereja kita. Mengapa demikian? Karena sebagian motif kita yakni mementingkan diri kita.

Kita bisa juga periksa motif kita dengan memantau reaksi dalam diri kita ketika mendengar sebuah gereja baru yang mulai beroperasi di daerah kita. Bila kita merasa terancam, itu tanda kita lebih peduli kepada kerajaan kita daripada Kerajaan Allah.

Bahkan pendeta di gereja besar atau gereja yang sedang bertumbuh dapat memeriksa motifnya dengan cara sama. Pendeta itu dapat bertanya pada diri sendiri, seperti, “Apakah saya memperhatikan perintisan gereja-gereja baru dengan mengirim dan mengutus pemimpin dan orang-orang dari jemaat saya, sehingga mengurangi jumlah jemaat saya?” Seorang pendeta yang sangat menentang ide tersebut mungkin saja tengah membangun gerejanya untuk kemuliaannya sendiri. (Di lain pihak, pendeta di gereja besar dapat merintis gereja baru untuk kemuliaannya juga, sehingga ia dapat membual dengan berkata betapa banyak gereja yang telah lahir dari gerejanya sendiri). Kita juga dapat bertanya, “Apakah saya berteman dengan pendeta-pendeta yang melayani gereja-gereja kecil atau apakah saya menjaga jarak dengan mereka, merasa diri lebih tinggi dari mereka?” Atau, “Apakah saya bersedia melayani hanya duabelas sampai duapuluh orang di sebuah gereja rumah, atau apakah keadaannya jadi terlalu sulit dengan ego saya?”

[1]

 

Gerakan Pertumbuhan Gereja (The Church Growth Movement)

Di toko-toko buku Kristen di seluruh Amerika dan Canada, sering ada rak-rak khusus untuk buku-buku mengenai pertumbuhan gereja. Buku-buku itu dan konsep-konsep yang ada di dalamnya telah tersebar ke seluruh dunia. Para pendeta ingin sekali mempelajari cara meningkatkan jumlah kehadiran jemaat di gerejanya, dan mereka seringkali buru-buru menerapkan saran dari para pendeta gereja besar di Amerika yang dianggap berhasil oleh karena ukuran bangunan gerejanya dan jumlah orang yang beribadah di hari Minggu.

Tetapi, para pendeta yang cepat paham, menyadari bahwa jumlah orang yang hadir dan ukuran bangunan tidak secara langsung menjadi indikasi kualitas pemuridan. Beberapa gereja di Amerika bertumbuh karena doktrin-doktrin menarik yang merupakan pemalsuan kebenaran Alkitabiah. Saya telah berbicara kepada banyak pendeta di seluruh dunia yang merasa terkejut dengan banyaknya pendeta di Amerika yang percaya dan menyebarluaskan bahwa sekali seorang diselamatkan, ia tak dapat kehilangan keselamatannya, tak peduli apa keyakinannya atau bagaimana ia hidup. Demikian juga, banyak pendeta di Amerika menyatakan Injil kasih karunia yang dialirkan dengan cuma-cuma, sehingga membuat orang-orang menganggap mereka dapat ke sorga tanpa kesucian. Beberapa orang menyebarkan injil kemakmuran, yang memuaskan ketamakan mereka yang agamanya adalah mendapatkan lebih banyak harta yang dapat dikumpulkannya di bumi. Para pendeta itu memakai teknik-teknik pertumbuhan gereja mereka yang tidak patut ditiru.

Saya telah membaca buku-buku tentang pertumbuhan gereja, dan perasaan saya campur-aduk tentang buku-buku itu. Banyak buku berisikan strategi dan saran yang cukup berdasarkan Alkitab, sehingga layak untuk dibaca. Namun, hampir semua buku didasarkan pada model gereja lembaga yang telah berusia 1700 tahun, bukan pada model gereja yang Alkitabiah. Jadi, fokusnya bukan pada pengembangan tubuh Kristus melalui peningkatan jumlah murid dan pemurid, tetapi pada pengembangan gereja-gereja lembaga, yang selalu memerlukan gedung lebih besar, lebih banyak staf gereja dan program-program, dan struktur yang lebih mirip sebuah usaha bisnis bukannya mirip sebuah keluarga.

Beberapa strategi pertumbuhan-gereja tampak mengesankan bahwa, demi mendapatkan jumlah anggota, ibadah-ibadah gereja dibuat lebih menarik bagi orang-orang yang tak ingin mengikuti Yesus. Mereka menyarankan penyampaian khotbah yang pendek dan positif, penyembahan tanpa ekspresi, banyak kegiatan sosial, sehingga uang tak pernah disebutkan, dan seterusnya. Kegiatan-kegiatan itu tak akan menghasilkan pemuridan bagi orang yang menyangkal dirinya sendiri dan menaati semua perintah Kristus. Justru ini akan membuat orang yang mengaku Kristen menjadi sama dengan dunia ini dan yang berada di jalan lebar menuju ke neraka. Cara itu bukanlah strategi Allah untuk memenangkan dunia, namun strategi Setan untuk memenangkan gereja. Maka, pertumbuhan itu bukanlah ”pertumbuhan gereja” tetapi “pertumbuhan dunia.”

Model yang Peka-Pencari (The Seeker-Sensitive Model)

Strategi pertumbuhan-gereja yang paling populer di Amerika sering disebut sebagai model yang “peka-pencari”. Dalam strategi ini, ibadah Minggu pagi didesain agar (1) orang Kristen merasa senang, dan mengundang teman-temannya yang belum selamat, dan (2) orang yang belum selamat mendengar Injil dengan cara-cara yang tidak menyerang orang itu sehingga ia dapat berhubungan dan mendapat pemahaman. Ibadah tengah minggu dan kelompok kecil khusus untuk mendisiplinkan orang-orang percaya.

Dengan cara itu, beberapa gereja berkembang besar. Di antara gereja-gereja lembaga di Amerika, gereja-gereja yang berkembang itu mendapat peluang terbesar untuk melakukan penginjilan dan pemuridan, selama orang-orang dilibatkan dalam kelompok kecil (seringkali mereka tidak dilibatkan) dan dimuridkan di tempat itu dan selama Injil tidak dikompromikan (ternyata, selalu dikompromikan ketika tujuannya tak lagi menyerang sifat keangkuhan manusia). Paling tidak, gereja-gereja yang peka-pencari telah melaksanakan strategi untuk menjangkau orang yang belum selamat, suatu hal yang tak dimiliki oleh sebagian besar gereja-gereja lembaga.

Bagaimana model yang “peka-pencari” di Amerika dibandingkan dengan model Alkitabiah untuk pertumbuhan gereja?

Dalam kitab Kisah Para Rasul, para rasul dan penginjil yang dipanggil Tuhan mengabarkan Injil di hadapan banyak orang dan dari rumah ke rumah, disertai dengan tanda-tanda mujizat yang menarik perhatian orang-orang tidak percaya. Mereka yang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus tunduk pada pengajaran para rasul, dan secara teratur bersekutu di rumah-rumah untuk belajar Firman Tuhan, melakukan karunia-karunia roh, merayakan Perjamuan Tuhan, berdoa bersama, dan seterusnya, semuanya dilakukan dengan pimpinan penatua/pendeta/penilik. Guru dan nabi yang dipanggil Tuhan berkeliling mengunjungi gereja-gereja. Setiap orang berbagi Injil dengan para teman dan tetangga. Tak ada gedung yang akan dibangun yang kelak menghambat pertumbuhan gereja dan memboroskan sumber-sumber yang ada di dalam Kerajaan Allah yang mendukung penyebaran Injil dan melakukan pemuridan. Di saat bertugas, para pemimpin dengan cepat dididik, bukannya dikirim ke seminari atau sekolah Alkitab. Semua itu membuat pertumbuhan gereja sangat cepat selama waktu tertentu, sampai semua orang yang mau menerima Injil dapat dijangkau di wilayah tertentu.

Bila diperbandingkan, model yang peka-pencari biasanya tak memiliki tanda-tanda mujizat, sehingga model ini tak memiliki cara ilahi melalui iklan, daya-tarik dan kata-kata yang meyakinkan. Model ini bergantung pada cara-cara pemasaran dan iklan untuk menarik orang-orang datang ke gedung untuk dapat mendengarkan pesan. Keahlian berpidato dan kekuatan persuasi si pengkhotbah menjadi cara utama untuk memberi keyakinan. Cara itu berbeda dengan metode Paulus, seperti dituliskannya, “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.” (1 Korintus 2:4-5).

Perbedaan Lagi (More Differences)

Pada umumnya, model yang peka-pencari tidak melibatkan rasul dan penginjil, karena figur utamanya adalah si pendeta. Pertanyaannya ”Apakah cara utama dalam memperoleh pertumbuhan gereja adalah mengeluarkan rasul dan penginjil dari peran mereka dalam penginjilan dan memberikan tanggung-jawab itu kepada pendeta?”

[2]

 

Pendeta yang peka-pencari berkhotbah sekali seminggu pada ibadah hari Minggu di mana orang-orang Kristen diajak untuk membawa orang-orang yang belum selamat. Sehingga dapat dikatakan bahwa Injil dapat didengar hanya sekali seminggu oleh orang-orang yang belum selamat itu. Mereka yang belum selamat pasti bersedia datang ke gereja, dan mereka diundang oleh anggota-anggota gereja yang mau mengundang mereka ke gereja. Dalam model Alkitab, rasul dan penginjil tetap menyebarkan Injil di tempat-tempat umum dan pribadi, dan semua orang percaya berbagi Injil bersama teman dan tetangganya. Dari kedua model ini, dengan cara apakah orang yang belum selamat mendengarkan Injil?

Model yang peka-pencari memerlukan gedung di mana orang-orang percaya tak merasa malu mengundang teman-temannya yang belum selamat, dan juga teman-temannya yang belum selamat tidak malu untuk datang. Langkah ini selalu butuh banyak uang. Sebelum Injil dapat “disebarkan”, maka harus ada atau didirikan gedung yang layak. Di Amerika, gedung harus ada di lokasi yang bagus, biasanya di pinggiran kota yang kaya. Sebaliknya, model Alkitabiah tak perlu gedung khusus, lokasi khusus atau uang. Penyebaran Injil tidak dibatasi oleh jumlah orang yang cukup untuk memasuki gedung khusus di hari Minggu.

Masih Ada Perbedaan Lagi (Still More Differences)

Ketika membandingkan beberapa gereja yang peka-pencari sesuai model Alkitab, ternyata ada beberapa perbedaan lagi.

Para rasul dan penginjil dalam Kisah Para Rasul berseru kepada orang-orang untuk bertobat, percaya kepada Tuhan Yesus dan dibaptis segera. Ketika bertobat, mereka diharapkan menjadi murid-murid Kritus, dengan memenuhi syarat yang ditetapkan olehNya untuk pemuridan, seperti uraian Lukas 14:26-33 dan Yohanes 8:31-32. Mereka semua mulai mengasihiNya dengan sangat, hidup menurut perkataanNya, memikul salib, dan meninggalkan hak milik harta-benda; mereka menjadi pengelola baru dari harta yang kini menjadi milik Allah.

Injil yang sering dikhotbahkan di gereja-gereja yang peka-pencari adalah berbeda. Allah sangat mengasihi orang berdosa, betapa Ia dapat memenuhi kebutuhan mereka, dan betapa mereka dapat diselamatkan dengan cara “menerima Yesus sebagai Juruselamat.” Setelah memanjatkan “doa keselamatan” yang singkat, karena tak pernah diberitahu tentang hal membayar harga untuk pemuridan, mereka seringkali diyakinkan bahwa mereka benar-benar diselamatkan dan diminta untuk ikut kelas demi memulai pertumbuhan dalam Kristus. Ketika mengikuti kelas itu (banyak orang tak pernah kembali ke gereja), mereka sering dibimbing melalui proses belajar yang tidak sistematik dan berfokus pada mendapatkan lebih banyak pengetahuan mengenai doktrin-doktrin tertentu bukannya menjadi taat kepada perintah-perintah Kristus. Puncak dari program “pemuridan” ini adalah saat orang percaya akhirnya mulai memberi perpuluhan dari pendapatannya untuk gereja (terutama untuk membayar jaminan hutang dan gaji pegawai biasa, berupa biaya pengelolaan khusus, dengan mendukung hal-hal yang bukan Allah perintahkan) dan dibimbing untuk percaya bahwa ia telah “menemukan pelayanannya” ketika ia mulai melakukan peran dukungan dalam gereja lembaga yang tak pernah disebut dalam Alkitab.

Apa jadinya bila pemerintah di negara anda, yang peduli karena tidak-cukupnya jumlah pria untuk menjadi tentara relawan, memutuskan untuk menjadi “peka-pencari”? Bayangkan pemerintah berjanji kepada calon pekerja, jika mereka ikut jadi relawan, maka tak ada yang dapat diharapkan dari mereka —cek bayarannya akan menjadi hadiah gratis. Mereka dapat saja bangun pagi kapan saja mereka mau. Mereka bisa saja berlatih bila mereka mau, sebaliknya mereka boleh menonton TV. Jika pecah perang, mereka bisa memilih ikut bertempur atau pergi ke pantai. Apakah hasilnya nanti?

Sudah pasti semakin banyak jabatan di ketentaraan! Namun pasukan itu bukan lagi angkatan perang, tak layak bertugas. Dan, itulah yang terjadi di gereja yang peka-pencari. Menurunkan standar hanya akan menambah jumlah orang yang hadir dalam ibadah hari Minggu, namun mengikis proses pemuridan dan ketaatan. Gereja yang peka-pencari, yang mencoba “memberitakan Injil” di hari Minggu dan “melakukan pemuridan” dalam ibadah tengah minggu, menemukan masalah bila gereja itu berkata kepada jemaat dalam ibadah tengah minggu bahwa hanya murid-murid Yesus yang akan masuk sorga. Orang lalu merasa seolah-olah mereka dibohongi di hari Minggu pagi. Jadi, gereja tersebut telah menipu orang dalam ibadah tengah minggu, dengan menyatakan pemuridan dan ketaatan sebagai opsi bukannya syarat bagi orang yang pasti ke sorga.

[3]

 

Saya tentu paham bahwa beberapa gereja lembaga memasukkan aspek-model Alkitabiah yang tidak dilakukan oleh gereja-gereja lain. Lagipula, model Alkitabiah paling efektif dalam memperbanyak jumlah murid dan pemurid.

Mengapa model Alkitabiah tidak dipraktekkan secara luas sekarang ini? Ada banyak alasan, namun dalam analisa akhir, alasan tidak diikutinya model Alkitabiah adalah karena tradisi, ketidakpercayaan dan ketidaktaatan. Banyak orang berkata bahwa model Alkitabiah mustahil dilakukan di dunia sekarang ini. Namun ternyata, model Alkitabiah sedang dijadikan contoh di seluruh dunia sekarang ini. Misalnya, ledakan pertumbuhan gereja di China selama setengah abad lalu disebabkan orang-orang percaya yang mengikuti model Alkitabiah. Apakah Allah berbeda di China dibandingkan di tempat lain?

Dengan kata lain, pendeta di luar Amerika harus hati-hati dengan metode pertumbuhan-gereja di Amerika yang sedang tren di seluruh dunia. Mereka jauh lebih berhasil dalam melakukan tujuan Kristus untuk pemuridan bila mereka menginginkan model Alkitabiah bagi pertumbuhan gereja.

Akibat (The Aftermath)

Dalam observasi saya, banyak pendukung ajaran modern tentang pertumbuhan-gereja tak tersentuh oleh sebagian besar pendeta di seluruh dunia. Banyak sekali pendeta menggembalakan dombanya yang hanya terdiri dari seratus orang. Banyak pendeta jadi patah semangat setelah mencoba cara-cara pertumbuhan gereja yang mandek atau yang menjadi bumerang karena kesalahan yang tidak mereka lakukan. Tak seorangpun tahu adanya beberapa faktor di luar kendali pendeta yang membatasi pertumbuhan gerejanya. Kita perhatikan sebagian dari faktor-faktor itu.

Pertama dan yang terutama, pertumbuhan gereja dibatasi ukuran populasi lokal. Jelas, sebagian besar gereja-gereja lembaga yang besar terdapat di wilayah metropolitan. Gereja-gereja lembaga itu sering memiliki jutaan umat yang menarik anggota-anggota baru ke gereja. Tetapi, jika angka-angka menjadi penentu keberhasilan, maka sebuah gereja harus dinilai, bukan oleh ukurannya, tetapi oleh persentase penduduk lokal. Atas dasar itu, gereja yang beranggotakan sepuluh orang jauh lebih sukses dibanding gereja lain dengan anggota sepuluh ribu orang. Gereja dengan anggota sepuluh orang di desa berpenduduk lima-puluh orang dianggap lebih sukses daripada gereja dengan sepuluh ribu anggota di kota berpenduduk lima juta. (Namun pendeta yang hanya melayani sepuluh orang takkan pernah diundang berbicara di konvensi tentang pertumbuhan-gereja).

Faktor Kedua yang Membatasi Pertumbuhan Gereja (A Second Limiting Factor to Church Growth)

Kedua, pertumbuhan gereja dibatasi oleh tingkat kejenuhan yang melanda orang-orang yang diperkenan oleh semua gereja di satu wilayah tertentu. Pada waktu tertentu, di satu daerah ada banyak orang membuka hatinya untuk Injil. Di saat mereka yang mau menerima Injil dijangkau, maka tak ada gereja yang bertumbuh, bila sebagian orang yang sudah menjadi anggota gereja pindah ke gereja lain (dengan cara itu, banyak gereja besar berkembang —dengan mengorbankan gereja-gereja lain di wilayahnya).

Sudah tentu, setiap orang Kristen kini tak mau menerima Injil pada satu waktu namun menerima pengaruh Roh Kudus. Sehingga, orang-orang yang kini tak mau menerima Injil mungkin berubah pikirannya untuk menerima Injil. Ketika hal itu terjadi, maka gereja-gereja dapat bertumbuh. Istilah “kebangunan rohani” terjadi ketika banyak orang yang segan menerima Injil tiba-tiba mau menerima Injil. Tetapi, jangan lupa, satu orang yang mau menerima Injil adalah juga kebangunan rohani skala kecil. Setiap kebangunan rohani besar dimulai dengan satu orang yang mau menerima Injil. Jadi, saudara pendeta, jangan pandang hina hari dengan permulaan yang kecil.

Yesus mengutus murid-muridNya untuk mengabarkan Injil ke kota-kota yang, Dia tahu, tak akan menerima, di mana tak seorangpun mau bertobat (lihat Lukas 9:5). Tetapi Yesus masih mengutus mereka untuk mengabarkan Injil di tempat itu. Apakah murid-murid itu gagal? Tidak, meskipun mereka tak mendapat petobat baru (dan tak ada pertumbuhan gereja) mereka berhasil, karena mereka menaati Yesus.

Demikian juga, Yesus masih mengutus pendeta-pendeta ke desa-desa, kota-kota dan pinggiran kota di mana Ia tahu bahwa hanya sedikit orang akan menerima Injil. Para pendeta yang setia melayani jemaat-jemaat kecil adalah berhasil di mata Tuhan, meskipun mereka dianggap gagal di mata ahli pertumbuhan gereja.

Karena belas-kasihan yang besar dari Allah, dan untuk menjawab pergumulan umatNya, pendeta di tiap daerah juga mendapat dorongan karena ia nyata-nyata bekerja untuk membantu orang yang sebelumnya tak mau menerima Injil dan akhirnya mau menerima Injil. Ia mempengaruhi orang yang belum selamat melalui ungkapan kata-hati, ciptaanNya, keadaan, penghukumanNya yang sementara, kesaksian hidup jemaatNya, khotbah Injil, dan jaminan Roh Kudus. Pendeta, tetaplah percaya diri. Tetap taat, berdoa dan berkhotbah. Sebelum terjadi kebangunan rohani besar-besaran, ada kebutuhan besar bagi suatu kebangunan. Dan, selalu ada orang yang memimpikan terjadinya kebangunan rohani. Teruslah bermimpi!

Faktor Ketiga yang Membatasi Pertumbuhan Gereja (A Third Limiting Factor to Church Growth)

Faktor ketiga yang membatasi pertumbuhan gereja adalah kemampuan si pendeta. Kebanyakan pendeta tak punya keahlian yang diperlukan untuk mengawasi sidang jemaat besar, dan itu bukan kesalahan jemaat. Mereka tak punya bakat organisasi, administrasi atau kemampuan berkhotbah/mengajar yang diperlukan bagi sidang jemaat besar. Jelaslah, Allah tak memanggil pendeta itu untuk melayani sidang jemaat besar, dan mereka keliru bila mencoba melayani, selain melayani gereja lembaga ukuran sedang atau gereja rumah.

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku terkenal mengenai kepemimpinan, karangan seorang pendeta senior di satu gereja besar di Amerika. Ketika saya baca halaman demi halaman, penulis menguraikan saran-saran yang dialaminya dan ditujukan bagi pendeta-pendeta sekarang, saya jadi berpikir: “Ia tak menceritakan bagaimana menjadi seorang pendeta —malahan ia bercerita bagaimana menjadi eksekutif puncak di perusahaan raksasa.” Dan tiada pilihan lain untuk pendeta senior gereja lembaga di Amerika. Ia butuh banyak staf pembantu, dan menangani staf adalah tugas sepenuh-waktu. Penulis buku itu cukup ahli untuk menjadi eksekutif puncak di perusahaan sekuler. (Dalam bukunya, ia sering mengutip ide-ide konsultan manajemen perusahaan besar terkenal, dengan menerapkan saran mereka untuk para pendeta). Tetapi, mungkin sebagian besar, pembaca tidak punya keterampilan dalam kepemimpinan dan pengelolaan yang dimiliki si pendeta.

Dalam buku itu, penulis jujur mengaitkan bagaimana, pada beberapa kesempatan ketika ia membangun jemaatnya yang besar, ia membuat kesalahan hampir fatal, yang bisa saja mengorbankan keluarganya atau masa depannya dalam pelayanan. Oleh kasih karunia Allah, ia bertahan. Tetapi pengalamannya mengingatkan saya akan banyak contoh ketika pendeta lain di gereja lembaga, yang ingin mengalami sukses yang sama, melakukan kesalahan serupa dan gagal total. Sebagian, yang mengabdikan diri untuk gerejanya, kehilangan anak-anaknya atau pernikahannya gagal. Sebagian menderita sakit syaraf atau kelelahan pelayanan yang parah. Yang lain menjadi sangat kecewa, hingga akhirnya meninggalkan pelayanan. Banyak juga yang bertahan, namun itulah yang terjadi. Mereka tetap hidup dalam keputusasaan, sembari terheran-heran mengapa pengorbanan mati-matian mereka ternyata berujung pada hasil yang sangat mengecewakan itu.

Ketika saya membaca buku itu, pikiranku terdorong terus oleh hikmat dari jemaat mula-mula, di mana tidak ada hal yang menyerupai gereja-gereja lembaga masa sekarang, dan tidak ada pendeta yang bertanggung-jawab untuk duapuluh-lima orang atau lebih. Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, banyak pendeta yang menganggap jemaatnya terlalu kecil harus memikirkan ulang pelayanan mereka berdasarkan Alkitab. Bila ada limapuluh orang anggota jemaat, gereja sebenarnya bisa lebih besar. Bila para pimimpinanya cakap di dalam gereja, dengan doa yang sungguh-sungguh mereka dapat mempertimbangkan untuk membagi gerejanya menjadi tiga gereja rumah dan menjual gedungnya, untuk melakukan pemuridan dan membangun Kerajaan Allah dengan cara Allah.

Bila tampak terlalu radikal, mereka dapat mulai memuridkan calon pemimpin masa depan, atau memulai kelompok kecil; bila mereka sudah memiliki kelompok kecil, beri mereka kebebasan untuk menjadi gereja rumah otonom untuk melihat apa yang terjadi.

Teknik-Teknik Lain untuk Pertumbuhan Gereja Masa Kini (Modern Other Modern Church-Growth Techniques)

Ada cara-cara lain yang tengah digalakkan kini sebagai hal penting bagi pertumbuhan gereja di samping model gereja yang peka-pencari. Dari cara-cara itu, banyak yang tidak Alkitabiah dan dikategorikan sebagai “peperangan rohani.” Cara-cara itu dikenal sebagai “hancurkan kekuatan belenggu”, “doa peperangan”, dan “pemetaan roh.”

Kita akan bahas sebagian dari cara-cara itu pada bab tentang Peperangan Rohani. Tetapi, pendeknya, kita terheran-heran mengapa cara-cara itu yang tak dikenal di zaman para rasul dianggap perlu untuk pertumbuhan gereja sekarang ini.

Banyak cara baru dalam pertumbuhan gereja adalah hasil pengalaman dari beberapa pendeta yang berkata, “Saya lakukan ini dan itu, dan gereja saya bertumbuh. Jadi bila anda lakukan hal yang sama, gereja anda akan juga bertumbuh.” Tetapi, sebenarnya, tak ada hubungan nyata antara pertumbuhan gereja dan hal-hal aneh yang mereka lakukan, meskipun mereka beranggapan lain. Hal itu sering terbukti ketika pendeta lain mengikuti ajaran-ajaran aneh itu, melakukan hal yang sama, dan gerejanya tak sedikitpun bertumbuh.

Seorang pendeta pertumbuhan gereja dapat saja berkata, “Ketika kita mulai meneriaki roh-roh jahat di atas kota kita, kebangunan rohani terjadi di gereja kita. Jadi, anda perlu meneriaki roh-roh jahat bila ingin kebangunan rohani terjadi di gereja anda.”

Namun, mengapa ada banyak kebangunan rohani yang hebat di seluruh dunia pada 2000 tahun lalu dalam sejarah gereja di mana tak seorangpun meneriaki roh-roh jahat yang ada di atas kota? Jadi, pendeta itu keliru, meskipun ia menganggap kebangunan rohani sebagai akibat teriakan kepada roh-roh jahat. Mungkin saja, orang-orang di dalam kotanya mulai menerima Injil, mungkin karena doa-doa bersama di gereja, dan pendeta itu kebetulan berada di sana sambil mengabarkan Injil ketika mereka menerima Injil. Sering terjadi, pertumbuhan gereja adalah hasil dari keberadaan di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. (Roh Kudus menolong kita berada di tempat yang tepat di waktu yang tepat).

Jika meneriaki roh-roh jahat di atas kota membawa kebangunan rohani kepada gereja tertentu, mengapa kebangunan rohani berjalan lambat setelah waktu yang lama, lalu berhenti, seperti yang selalu terjadi? Jika meneriaki roh-roh jahat adalah kuncinya, maka wajarlah bila kita terus meneriaki roh-roh jahat, dan setiap orang di kota akan datang kepada Kristus. Tetapi mereka tidak datang.

Sudah jelas kebenarannya bila kita hanya sedikit memikirkannya. Cara-cara pertumbuhan gereja menurut Alkitab adalah berdoa, berkhotbah, pengajaran, pemuridan, pertolongan Roh Kudus, dan lain-lain. Bahkan cara-cara Alkitab itu tidak menjamin pertumbuhan gereja, karena Allah telah membuat setiap manusia menjadi agen moral yang bebas. Ia bisa memilih bertobat atau tidak. Dapat dikatakan, bahkan Yesus gagal membuat pertumbuhan gereja di waktu tertentu ketika kota-kota yang dikunjungiNya tidak bertobat.

Dengan kata lain, kita perlu mempraktekkan cara-cara Alkitabiah untuk membangun gereja. Cara lain apapun hanya buang-buang waktu, dan wujud pekerjaan itu berupa kayu, rumput kering atau jerami yang sekali kelak akan dibakar api dan tidak akan mendapat upah (lihat 1 Korintus 3:12-15).

Akhirnya, tujuannya bukan hanya pertambahan jumlah jemaat, tetapi juga pemuridan. Bila gereja bertumbuh di saat kita melakukan pemuridan, pujilah nama Tuhan!

 


[1] Inilah keuntungan lain dari model gereja rumah — para pendeta tidak berusaha untuk memiliki sidang jemaat yang besar karena alasan-alasan yang keliru, karena ukuran jemaat terbatas oleh ukuran rumah.

[2] Inilah alasan mengapa sekarang ini ada banyak penginjil, guru, nabi dan bahkan rasul yang melayani gereja-gereja. Begitu banyak pelayanan yang dari Allah tidak diberikan tempat yang benar atau tempat apapun di dalam struktur gereja lembaga, dan juga pelayan non-pastoral berhenti melakukan pelayanan di gereja-gereja, dengan mengambil berkat besar dari gereja dan dipindahkan ke kumpulan orang-orang percaya di dalam struktur yang Alkitabiah. Tampaknya setiap orang telah melakukan langkah mundur dengan membangun kerajaannya, yakni gereja lembaga, tanpa peduli panggilan sejatinya.Karena seorang pendeta dianggap berhak memiliki perpuluhan dari “umatnya“, dan banyak dari dana itu dihabiskan untuk pembangunan dan pemeliharaan gedung, pelayan non-pastoral beralih melayani gereja-gereja dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan keuangan bagi pelayanannya untuk mana mereka sebenarnya dipanggil.

[3] Ingatlah bahwa syarat yang disebutkan olehYesus sebagai murid sejatiNya dalam Lukas 14:26-33 tidak dikatakan kepada orang-orang yang sudah percaya, seolah-olah Ia menawarkan langkah kedua dalam perjalanan rohani mereka. Sebaliknya, Ia berbicara kepada banyak orang. Menjadi muridNya adalah satu-satunya langkah awal yang ditawarkan oleh Yesus, yang tidak lebih dari langkah keselamatan. Hal itu bertentangan dengan ajaran kepada sebagian besar gereja yang peka-pencari.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Lima (Chapter Five)

Bab Enam (Chapter Six)

Pelayanan Pengajaran (The Ministry of Teaching)

Dalam bab ini, kita akan bahas banyak aspek pelayanan mengajar. Mengajar adalah tanggung-jawab rasul, nabi, penginjil,[1]

pendeta/penatua/penilik, guru (sudah tentu), dan juga semua pengikut Kristus, karena kita semua perlu melakukan pemuridan, mengajar murid-murid kita untuk menaati semua perintah Kristus.[2]

 

Seperti saya tekankan sebelumnnya, pendeta atau pelayan pemuridan mengajar pertama melalui teladan, dan kedua, secara verbal. Ia mengkhotbahkan apa yang dipraktekannya. Rasul Paulus, pemurid yang sangat berhasil, menulis:

Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus. (1 Korintus 11:1)

Itulah yang harus menjadi tujuan setiap pelayan —untuk sanggup berkata jujur kepada orang yang dipimpinnya, “Bertindaklah sepertiku. Bila engkau ingin tahu bagaimana seorang pengikut Kristus menjalani hidupnya, perhatikanlah aku.”

Bila dibandingkan, saya ingat ketika berkata kepada bekas jemaat yang saya layani, “Jangan ikuti saya … ikuti Kristus!” Walaupun hal itu tak terjadi pada saya saat itu, saya bukan orang baik untuk diteladani. Nyatanya, saya memang tidak mengikuti Kristus sebagaimana seharusnya, lalu saya berkata kepada siapa saja untuk melakukan apa yang tidak saya lakukan! Betapa berbedanya dari perkataan Paulus. Sebenarnya, bila kita tak dapat berkata pada orang untuk meneladani kita karena kita meneladani Kristus, kita tak boleh melayani, karena orang menjadikan pelayan sebagai teladannya. Gereja adalah cermin dari pemimpinnya.

Mengajarkan Persatuan dengan Teladan (Teaching Unity by Example)

Mari kita terapkan konsep itu kepada pengajaran dengan teladan untuk mengajarkan persatuan. Semua pendeta/penatua/penilik ingin agar umat yang dipimpinnya untuk bersatu. Mereka benci perpecahan di gereja lokal; mereka tahu perpecahan sangat dibenci di hadapan Tuhan. Yang terutama, Yesus memerintahkan kita untuk saling mengasihi seperti Ia mengasihi kita (lihat Yohanes 13:34-35). Tindakan saling mengasihi menandakan kita sebagai murid-muridNya bagi dunia yang melihat kita. Sehingga, sebagian besar pemimpin kawanan domba menegur domba-dombanya untuk saling mengasihi dan mempertahankan persatuan.

Namun, karena pelayan harus mengajar terutama melalui teladan kita, kita sering tak memiliki apa-apa dalam pengajaran tentang kasih dan persatuan dengan cara hidup kita. Misalnya, ketika kita kurang menunjukkan kasih dan persatuan dengan pendeta lain, kita sebenarnya memberi pesan yang tak sesuai dengan khotbah kita kepada jemaat. Kita berharap jemaat melakukan apa yang tidak kita lakukan.

Faktanya, kata-kata yang paling berarti yang Yesus gunakan berkenaan dengan persatuan ditujukan kepada para pemimpin yang berkaitan dengan hubungan mereka dengan pemimpin lain. Misalnya, pada Perjamuan Terakhir, setelah mencuci kaki murid-muridNya, Yesus berkata kepada mereka,

Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. (Yohanes 13:13-15). [Perhatikan, Yesus mengajar melalui teladan].

Para pendeta sering memakai perikop Alkitab itu untuk mengajar jemaatnya untuk saling mengasihi, yang pantas dilakukan. Tetapi, kata-kata di dalam perikop itu ditujukan kepada para pemimpin, yakni kedua-belas rasul. Yesus tahu bahwa gerejaNya nanti hanya punya harapan kecil untuk berhasil dalam misinya bila para pemimpin terpisah-pisah atau saling bersaing. Sehingga Ia menegaskan bahwa Ia mengharapkan para pemimpinNya untuk saling melayani dengan lemah lembut.

Dalam konteks budaya di zamanNya, Yesus menunjukkan pelayanan yang lemah-lembut dengan melakukan tugas seorang hamba di rumah, yakni mencuci kaki. Seandainya Ia mengunjungi budaya yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam sejarah, mungkin saja Ia telah menggali lubang jamban atau mencuci tempat sampah di rumah murid-muridNya. Ada berapa banyak pemimpinNya sekarang ini yang bersedia saling menunjukkan kasih dan kelemahlembutan seperti itu?

Dalam waktu kurang dari satu jam, Yesus bekali-kali menekankan pesan penting ini. Beberapa menit setelah mencuci kaki murid-muridNya, Yesus berkata kepada kelompok calon pemimpin gerejaNya di masa depan:

Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35).

Kata-kata itu tentu berlaku bagi semua murid Kristus, namun kata-kata itu awalnya diucapkan kepada pemimpin terkait dengan hubungan mereka dengan pemimpin lainnya.

Sekali lagi, beberapa menit kemudian, Yesus berkata,

Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. (Yohanes 15:12-13).

Ketahuilah bahwa Yesus lagi-lagi berbicara kepada para pemimpin.

Dalam beberapa detik, Ia kemudian berkata,

Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain. (Yohanes 15:17).

Beberapa menit kemudian, murid-murid Yesus mendengarNya berdoa untuk mereka,

Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita. (Yohanes 17:11, tambahkan penekanan).

Dan, beberapa detik kemudian, ketika Yesus melanjutkan doaNya, murid-muridNya mendengarkan Ia berkata,

Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku. (Yohanes 17:20-23, tambahkan penekanan).

Jadi, dalam waktu kurang dari satu jam, enam kali Yesus menegaskan, kepada para pemimpin masa depan yang dipilihNya, mengenai pentingnya persatuan dan menunjukkan kesatuan dengan saling mengasihi dan melayani dengan rendah hati. Bagi Yesus, itu sangat penting. Persatuan mereka adalah faktor penting di dunia yang percaya kepadaNya.

Sebaik Apa Hal Yang Sedang Kita Lakukan? (How Well Are We Doing?)

Sayangnya, selagi kita berharap domba-domba untuk bersatu dengan kasih, kebanyakan kita saling bersaing dan memakai cara-cara tidak etis untuk membangun gereja dengan mengorbankan gereja-gereja lain. Kita menghindari persekutuan dengan pendeta-pendeta lain yang doktrinnya berbeda. Kita bahkan tak mau bersatu dengan menempel papan nama di depan gereja kita agar dilihat oleh seluruh dunia, dengan pesan kepada semua orang: “Kami tidak seperti orang-orang Kristen lain di gedung-gedung gereja lain.” (Dan kami telah bertugas mendidik dunia dalam hal kurangnya persatuan, ketika sebagian besar orang yang tak percaya tahu bahwa Kekristenan adalah lembaga yang terpecah-pecah).

Pendek kata, kita tak mempraktekkan sesuai khotbah kita, dan teladan kita mengajarkan jemaat lebih dari khotbah kita tentang persatuan. Kita bodoh bila berpikir bahwa rata-rata orang Kristen akan bersatu dan saling mengasihi saat pemimpin mereka berperilaku beda.

Solusi terbaik adalah pertobatan. Kita harus bertobat dari menjadi teladan yang keliru di hadapan orang-orang percaya dan orang-orang dunia. Kita harus mengenyahkan setiap penghalang yang memisahkan kita dan mulai saling mengasihi sesuai perintah Yesus.

Itu berarti kita harus lebih dulu bertemu dengan pendeta-pendeta lain dan para pelayan, termasuk pendeta yang memiliki sudut-pandang doktrin berbeda. Saya tak berbicara tentang persekutuan dengan pendeta-pendeta yang tidak lahir baru, yang tak berusaha menaati Yesus, atau yang melayani untuk keuntungan pribadi. Merekalah serigala berbulu domba; Yesus berkata bahwa cara mengenali mereka adalah dari buah-buahnya.

Tetapi, saya berbicara tentang para pendeta dan pelayan –saudara-saudara sejati dalam Kristus– yang berusaha menaati setiap perintah Yesus. Bila anda seorang pendeta, anda harus sungguh-sungguh mengasihi pendeta-pendeta lain, dengan melakukan kasih di depan jemaatmu. Cara memulainya adalah mendatangai pendeta-pendeta lain di wilayah anda dan meminta maaf karena tak mengasihi mereka sebagaimana seharusnya. Tindakan ini akan meruntuhkan tembok-tembok pemisah. Lalu, buat komitmen untuk membuat persekutuan rutin dengan makan bersama, memberi dorongan dan saling menegur dan mendoakan. Ketika itu terjadi, anda akhirnya dengan penuh kasih dapat membicarakan doktrin-doktrin yang cenderung memisahkan anda, sambil mengusahakan persatuan, apakah akhirnya anda sepakat atau tidak, mengenai segala hal yang anda diskusikan. Kehidupan dan pelayanan saya banyak diperkaya ketika akhirnya saya mau mendengarkan pelayan yang doktrinnya lain dengan doktrin yang saya yakini. Saya banyak kehilangan berkat selama bertahun-tahun karena saya berhenti mengalir.

Anda dapat tunjukkan kasih dan persatuan dengan mengundang pendeta-pendeta lain untuk berkhotbah di gereja anda atau persekutuan gereja rumah, atau gereja anda melakukan persekutuan gabungan dengan gereja-gereja lain atau gereja-gereja rumah.

Anda dapat mengubah nama gereja anda agar dunia tidak melihat perpecahan anda dengan gereja-gereja lain. Anda bisa turunkan nama denominasi atau perkumpulan anda dan memihak tubuh Kristus, dengan memberi pesan kepada setiap orang bahwa anda percaya Yesus tengah membangun hanya satu gereja, bukan banyak gereja berbeda yang tak dapat saling hidup berdampingan.

Saya tahu hal tersebut tampak radikal. Tetapi, mengapa melakukan satu hal untuk mempertahankan hal yang tak pernah Yesus mau? Mengapa terlibat dalam hal yang tak berkenan kepadaNya? Tidak ada denominasi atau perkumpulan khusus yang disebutkan dalam Alkitab. Ketika jemaat Korintus berpisah menurut guru-guru favorit mereka, Paulus tegas menegur mereka, dengan berkata bahwa pemisahan mereka menunjukkan keinginan daging dan kerohanian mereka yang belum dewasa (lihat 1 Korintus 3:1-7). Apakah pemisahan yang kita buat mencerminkan ada hal yang kurang?

Kita harus hindari tindakan yang membuat kita saling terpisah. Gereja-gereja rumah tak perlu memberi nama gereja bagi mereka sendiri atau tak perlu bergabung dengan asosiasi apapun yang punya nama. Dalam Alkitab, tiap jemaat dikenali dengan rumah tempat pertemuan. Kelompok jemaat hanya dikenali dari nama kota di mana mereka tinggal. Mereka semua menganggap diri sebagai bagian dari satu gereja, yakni tubuh Kristus.

Hanya ada satu Raja dan satu kerajaan. Siapapun yang berpura-pura sehingga orang-orang percaya atau gereja-gereja mengenalinya sedang membangun kerajaannya sendiri di dalam Kerajaan Allah. Ia lebih baik siap-siap berdiri di hadapan Raja yang berkata, “Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain!” (Yesaya 48:11).

Dengan kata lain, pelayan harus menunjukkan teladan yang benar dalam ketaatan kepada Kristus di depan setiap orang, karena orang-orang akan meneladaninya. Teladan yang ia tunjukkan kepada orang lain adalah cara pengajaran yang paling berpengaruh. Ketika Paulus mengirim surat kepada jemaat di Filipi:

Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu. (Filipi 3:17, tambahkan penekanan).

Hal yang Harus Diajarkan (What to Teach)

Seperti Paulus, pelayan pemuridan juga mempunyai tujuan, yakni “untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus.” (Kolose 1:28b). Jadi pelayan, juga Paulus, “menasihati tiap-tiap orang dan mengajari mereka dalam segala hikmat” (Kolose 1:28a, tambahkan penekanan). Perlu dicatat, Paulus tidak mengajar hanya untuk mendidik atau menghibur orang.

Pelayan pemuridan dapat berkata bersama Paulus, “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas” (1 Timotius 1:5). Yakni, ia ingin menunjukkan keserupaan sejati dengan Kristus dan kesucian dalam kehidupan orang-orang yang dilayaninya, sebagai alasan ia mengajar orang-orang percaya untuk menaati semua perintah Kristus. Ia mengajar kebenaran, dan mengingatkan pendengarnya untuk “berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.“ (Ibrani 12:14).

Pelayan pemuridan tahu bahwa Yesus memerintahkan murid-muridNya untuk mengajar murid-murid mereka untuk menaati semua, bukan sebagian, perintahNya (lihat Matius 28:19-20). Ia harus yakin untuk tidak lalai mengajarkan setiap perintah Kristus, sehingga ia terus mengajarkan ayat demi ayat dalam Injil dan berbagai suratan. Di sinilah perintah-perintah Yesus dicatat dan diberi penekanan kembali.

Jenis pengajaran melalui pemaparan itu juga menjamin bahwa petunjuknya akan tetap seimbang. Ketika mengajarkan pesan-pesan berdasarkan topik, kita cenderung terfokus pada topik-topik yang populer bagi manusia dan mungkin saja tak peduli pada hal-hal yang tidak populer. Tetapi, guru yang mengajar ayat demi ayat tidak hanya akan mengajar tentang kasih Allah, namun juga tentang disiplin dan murkaNya. Ia akan mengajar tentang berkat-berkat dalam menjadi orang Kristen, juga tentang tanggung-jawab. Kecil kemungkinan ia menguasai tema-tema minor, yang mengutamakan hal yang kurang penting dan meninggalkan hal yang sangat penting. (Menurut Yesus, inilah kekeliruan orang-orang Farisi; lihat Matius 23:23-24).

Mengatasi Ketakutan akan Pengajaran Ekspositoris (Overcoming Fears of Expository Teaching)

Banyak pendeta takut mengajar Alkitab ayat demi ayat karena ada banyak ayat yang mereka tak mengerti, dan mereka tak ingin jemaat tahu banyak hal yang mereka tak tahu! Sudah tentu membanggakan. Tak seorangpun di atas bumi memahami setiap hal dalam Alkitab dengan sempurna. Bahkan Petrus berkata bahwa sebagian hal yang Paulus tuliskan sulit untuk dimengerti (lihat 2 Petrus 3:16).

Ketika seorang pendeta yang mengajarkan ayat-demi-ayat tiba pada satu ayat atau perikop yang tak dipahaminya, ia harus berkata kepada jemaatnya bahwa ia tak mengerti bagian berikutnya dan melewatkannya. Ia dapat juga meminta jemaatnya untuk berdoa agar Roh Kudus membantunya untuk memahami. Kelemah-lembutannya akan menampakkan teladan baik di hadapan jemaatnya, sikapnya itu sendiri menjadi khotbah.

Pendeta/penatua/penilik gereja rumah mendapat manfaat tambahan dalam mengajari kelompok kecil dalam situasi yang rileks, karena selama ia mengajar, pertanyaan dapat dilontarkan. Hal itu juga memungkinkan Roh Kudus untuk memberikan visi kepada orang lain dalam kelompok mengenai Alkitab yang tengah dipelajari. Hasilnya bisa jadi berupa cara belajar yang jauh lebih efektif bagi setiap orang.

Awal yang baik untuk mulai mengajarkan perintah Kristus adalah Khotbah di Atas Bukit, dalam Matius 5-7. Di dalamnya, Yesus memberi banyak perintah, dan Ia membantu para pengikut YahudiNya untuk memahami Hukum Taurat dengan benar yang diberikan melalui Musa. Berikutnya dalam buku ini, Khotbah di Atas Bukit, saya akan ajarkan ayat demi ayat untuk menunjukkan cara melakukannya.

Persiapan Khotbah (Sermon Preparation)

Tak ada bukti dalam Perjanjian Baru adanya pendeta/penatua/penilik yang pernah menyiapkan pidato/khotbah setiap minggu, lengkap dengan uraian yang disiapkan dengan rapi dan ilustrasi yang dibuatkan garis besarnya, seperti yang dilakukan oleh banyak pelayan sekarang ini. Sudah tentu tak seorangpun dapat membayangkan Yesus yang tengah melakukan hal tersebut! Pengajaran di jemaat mula-mula dilakukan lebih spontan dan interaktif, mengikuti gaya orang Yahudi, bukannya seperti pidato, seperti dilakukan orang-orang Yunani dan Romawi, tradisi yang akhirnya diadopsi oleh gereja ketika gereja dilembagakan. Jika Yesus berkata kepada murid-muridNya untuk tidak menyiapkan pembelaan ketika mereka dipanggil ke pengadilan, dengan janji bahwa Roh Kudus akan mengaruniakan kata-kata yang spontan dan pasti kepada mereka, kita berharap Allah sanggup menolong setiap pendeta di pertemuan jemaat!

Bukan berarti pelayan tidak menyiapkan diri mereka sendiri melalui doa dan belajar. Paulus memperingatkan Timotius:

Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu. (2 Timotius 2:15).

Pelayan yang mengikuti instruksi Paulus, “hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu” (Kolose 3:16), akan penuh dengan Firman Tuhan agar dia sanggup mengajar dari ”kelimpahan”nya. Jadi, pendeta terkasih, yang penting adalah tenggelamkan dirimu dalam Alkitab. Jika anda banyak tahu dan ingin sekali serius dengan topik anda, persiapkan untuk mengkomunikasikan kebenaran Allah. Dan, jika anda ajarkan ayat demi ayat, gunakanlah setiap ayat berurutan sebagai garis besar. Maka, persiapannya adalah bergumul dalam doa terhadap ayat-ayat Alkitab yang akan diajarkan. Jika anda pendeta gereja rumah, pengajaran interaktif tak terlalu perlu membuat garis-besar khotbah.

Pelayan yang beriman kepada Allah untuk menolongnya ketika ia mengajar akan dikaruniai pertolongan Allah. Jangan banyak bersandar kepada diri sendiri, persiapanmu dan catatanmu, dan lebih banyak bersandar kepada Tuhan. Secara perlahan, saat anda punya iman dan keyakinan diri, siapkan sedikit catatan khotbah, sampai anda dapat mengikuti garis-besar kerangka atau tanpa garis-besar sama sekali.

Orang yang sadar dirinya saat berada di depan orang lain sangat mungkin bergantung pada catatan yang telah disiapkan karena ia takut membuat kesalahan di depan banyak orang. Ia perlu sadar bahwa ketakutannya muncul karena perasaan tak nyaman karena kesombongan. Ia tak perlu kuatir akan penampilannya di depan orang banyak dan lebih peduli pada bagaimana ia dan pendengarnya tampil di hadapan Allah. Tak ada persiapan pidato yang dapat menggerakkan pendengar seperti halnya pengajaran yang menyentuh hati dan diurapi oleh Roh. Perhatikan betapa terhambatnya komunikasi bila setiap orang menggunakan catatan selama percakapan! Percakapan akan mati! Gaya percakapan yang tidak diulang bisa saja terjadi lebih tulus dibandingkan pidato yang telah disiapkan. Mengajar bukanlah bermain peran, namun membagikan kebenaran. Kita semua tahu, ketika mendengarkan pidato, kita cenderung secara otomatis pasang telinga.

Empat Pandangan Lagi (Four More Thoughts)

(1) Beberapa pelayan berulah seperti burung beo, yakni mencari bahan khotbah dari buku-buku hasil tulisan orang lain. Mereka kehilangan berkat indah yang langsung diajarkan oleh Roh Kudus, dan mungkin mereka juga tengah menyebarkan kekeliruan yang dibuat oleh penulis yang mereka tiru.

(2) Banyak pendeta meniru gaya khotbah dan mengajar dari pengkhotbah lain, gaya yang sering sangat tradisional. Misalnya, di beberapa kalangan, ada pendapat bahwa khotbah diurapi bila disampaikan dengan keras dan cepat. Jadi, jemaat gereja mengikuti khotbah dengan teriakan dari awal sampai akhir. Realitasnya, orang-orang umumnya terbiasa dengan teriakan yang tak menentu itu, seperti yang dilakukan ketika mendengar pembicaraan yang monoton. Suara yang bervariasi jauh lebih memikat. Juga, berkhotbah secara alami diperkeras saat jeda sejenak, sedangkan mengajar biasanya dilakukan dengan nada yang mirip percakapan karena sifatnya memberi pengajaran.

(3) Saya perhatikan para pendengar-khotbah di ratusan ibadah gereja, dan saya terkejut sangat banyak pengkhotbah dan guru tak menyadari banyaknya indikasi di mana orang-orang menjadi bosan dan/atau tidak mendengarkan. Pendeta, orang-orang yang tampak bosan adalah bosan! Orang yang tak memperhatikan anda selagi anda bicara mungkin saja ia tidak mendengarkan anda. Maka, orang yang tak mendengarkan tidak mendapat pertolongan. Bila orang yang tulus hati jadi bosan dan/atau tak mendengarkan, maka anda perlu perbaiki khotbah anda. Berikan lebih banyak contoh. Buat cerita yang relevan. Buat perumpamaan. Buat khotbah jadi sederhana. Ajarkan Firman dari hatimu. Bersikap tulus. Jadi diri sendiri. Buat variasi suara anda. Tatap mata pendengar sebanyak mungkin. Gunakan ekspresi wajah. Gunakan tangan anda. Lakukan gerakan berputar. Jangan bicara terlalu lama. Bila kelompoknya kecil, ajak orang bertanya di saat yang pas.

(4) Pendapat bahwa tiap khotbah harus memiliki tiga hal hanyalah rekaan manusia. Tujuannya adalah melakukan pemuridan, bukan mengikuti teori-teori homiletik modern. Yesus berkata, “Beri makan domba-dombaKu”, bukan “Buat domba-dombaKu terkesan.”

Siapa yang Akan Diajar (Whom to Teach)

Dengan mengikuti model Yesus, pelayan pemuridan agak selektif terkait dengan siapa yang akan diajar. Mungkin anda terkejut, namun itu nyata. Yesus sering berbicara kepada banyak orang dalam beberapa perumpamaan, dan Ia punya alasan berbuat demikian: Ia tak ingin setiap orang mengerti apa yang dikatakanNya. Hal ini jelas dari Alkitab:

Maka datanglah murid-murid-Nya dan bertanya kepada-Nya: “Mengapa Engkau berkata-kata kepada mereka dalam perumpamaan?” Jawab Yesus: “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga, tetapi kepada mereka tidak. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. Itulah sebabnya Aku berkata-kata dalam perumpamaan kepada mereka; karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti.” (Matius 13:10-13).

Hak istimewa untuk memahami beberapa perumpamaan Kristus hanya diberikan kepada mereka yang telah bertobat dan memutuskan untuk mengikuti Dia. Demikian juga, orang yang berbalik dari kesempatan untuk bertobat, dengan melawan kehendak Tuhan untuk kehidupannya, ditentang oleh Allah. Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati (lihat 1 Petrus 5:5).

Juga, Yesus memberi petunjuk kepada pengikutNya: “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” (Matius 7:6). Jelas, Yesus berbicara secara simbolik. MaksudNya, “Jangan berikan sesuatu yang berharga kepada mereka yang tidak menghargai nilainya.” Babi tak tahu bahwa mutiara itu mulia, demikian juga babi-babi rohani tak menghargai Firman Tuhan ketika mereka mendengar Firman itu. Jika mereka percaya bahwa hal sebenarnya yang sedang mereka dengar adalah Firman Tuhan, maka mereka akan perhatikan dengan serius dan menaatinya.

Bagaimana anda tahu bila seseorang itu berlaku seperti babi rohani? Lemparkan mutiara di jalannya dan lihat yang ia lakukan dengan mutiara itu. Jika ia tak peduli, maka dialah babi rohani itu. Jika ia menaatinya, maka dia bukan babi rohani.

Sayangnya, sangat banyak pelayan melakukan hal yang Yesus tidak kehendaki, yakni selalu membuang mutiara kepada babi-babi, yakni mengajar orang-orang yang menentang/ menolak Firman Tuhan. Para pelayan itu hanya buang-buang waktu pemberian Tuhan. Mereka harus kebaskan debu di kaki dan meneruskan tugasnya, sesuai perintah Yesus.

Domba, Kambing dan Babi (Sheep, Goats and Pigs)

Kenyataannya, anda tak dapat memuridkan orang yang tak mau dimuridkan, yakni orang yang tak mau menaati Yesus. Banyak gereja dipenuhi orang-orang seperti itu, merekalah orang-orang Kristen karena kebiasaan, di mana banyak yang menganggap mereka dilahirkan kembali hanya karena mengakui sendiri beberapa fakta teologis tentang Yesus atau Kekristenan. Mereka adalah babi dan kambing, bukan domba. Namun banyak pendeta memakai 90% waktunya dengan mencoba membahagiakan mereka yang tergolong babi dan kambing, dan di saat yang sama tak peduli kepada mereka yang perlu dilayani dan dibantu secara rohani, yakni domba-domba sejati! Pendeta, Yesus ingin anda memberi makan kepada domba-dombaNya, bukan kepada kambing dan babi (lihat Yohanes 21:17)!

Tetapi, bagaimana cara mengenali siapa yang domba? Domba adalah orang yang datang ke gereja paling awal dan pulang paling akhir. Ia lapar akan kebenaran, karena Yesus adalah Tuhannya dan ia ingin menyenangkanNya. Ia datang ke gereja bukan hanya di hari Minggu, tetapi kapanpun ada persekutuan. Ia ikut kelompok kecil dan sering bertanya. Ia bersukacita karena Tuhan, dan ia mencari kesempatan untuk melayani.

Saudara pendeta, pakailah sebagian besar waktu dan perhatian anda kepada domba-domba itu. Merekalah murid-murid. Khotbahkan Injil kepada mereka yang tergolong kambing dan babi yang mengikuti ibadah di gereja selama mereka dapat menerimanya. Tetapi bila anda mengabarkan Injil sejati, mereka takkan mampu bertahan lama. Mereka akan meninggalkan gereja, atau bila berkuasa, mereka akan coba jatuhkan anda dari jabatan anda. Bila mereka berhasil, kebaskan debu di kaki ketika anda pergi. (Di gereja rumah, hal itu tak dapat terjadi, terutama bila gereja anda bersekutu di rumah anda!)

Demikian juga, para penginjil tak perlu terus menginjili orang yang sama yang sering menolak Injil. Biarlah orang mati menguburkan orang mati (lihat Lukas 9:60). Anda utusan Kristus, yang membawa pesan terpenting dari Raja segala raja! Posisi anda sangat tinggi dalam Kerajaan Allah dan tanggung-jawab anda besar! Jangan buang waktu dengan dua kali menginjili seseorang, sedangkan orang lain hanya mendengarnya sekali saja.

Bila anda mau menjadi pelayan pemuridan, pilihlah siapa yang harus anda ajar, tanpa membuang waktu berharga bagi orang-orang yang tak mau menaati Yesus. Paulus bersurat kepada Timotius,

Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain. (2 Timotius 2:2, tambahkan penekanan).

Mencapai Tujuan (Reaching the Goal)

Bayangkan sejenak hal yang tak pernah terjadi pada pelayanan Yesus, namun selalu terjadi di gereja-gereja kini. Bayangkan Yesus, setelah Ia bangkit, tinggal di bumi dan mulai melayani satu gereja seperti gereja lembaga kini, lalu menjadi pendeta selama tigapuluh tahun. Bayangkan Ia berkhotbah setiap hari Minggu kepada sidang jemaat yang sama. Bayangkan Petrus, Yakobus dan Yohanes duduk di deretan kursi depan selama Yesus berkhotbah, dan melakukan hal yang sama selama duapuluh tahun. Bayangkan Petrus bersandar kepada Yohanes dan berbisik padanya dengan keluhan, “Kita telah mendengar khotbah yang sama sepuluh kali.”

Hal itu tak mungkin terjadi, karena kita semua tahu bahwa Yesus atau para rasulNya tak pernah ada dalam situasi itu. Yesus datang untuk melakukan pemuridan dengan cara tertentu dalam waktu tertentu. Selama sekitar tiga tahun, Ia memuridkan Petrus, Yakobus dan Yohanes, dan beberapa orang lainnya. Ia tak melakukannya dengan mengkhotbai mereka sekali seminggu di gedung gereja. Ia melakukannya dengan cara hidupNya di hadapan mereka, menjawab pertanyaan mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk melayani. Ia selesaikan tugasNya dan seterusnya.

Jadi, mengapa kita melakukan hal yang tak pernah Yesus lakukan? Mengapa kita coba melakukan kehendak Allah dengan mengkhotbai orang yang sama selama puluhan tahun? Kapan kita akan menyelesaikan tugas etika kita? Mengapa tidak murid-murid kita yang pergi melakukan pemuridan, setelah beberapa tahun mereka dibekali?

Jika kita melakukan tugas dengan benar, saya ingin murid-murid kita menjadi dewasa sehingga mereka tak perlu lagi kita melayani mereka. Mereka harus bebas melakukan pemuridan sendiri. Kita hendaknya mencapai tujuan yang Allah tetapkan bagi kita, dan Yesus menunjukkan cara melakukannya. Juga, di gereja rumah yang tengah bertumbuh, ada semakin banyak kebutuhan untuk melakukan pemuridan dan mendidik pemimpin. Gereja rumah yang sehat takkan memasuki siklus tanpa akhir dari pengkhotbah yang sama yang berkhotbah kepada orang-orang yang sama selama beberapa dekade.

Motif yang Benar (Right Motives)

Agar berhasil dalam pengajaran untuk pemuridan, tak ada hal yang lebih penting dibandingkan memiliki motif yang benar. Ketika seseorang melayani dengan alasan keliru, ia akan berbuat hal-hal keliru. Itulah alasan pokok mengapa ada banyak pengajaran sesat dan tak seimbang di gereja masa sekarang. Ketika motif pendeta hanya untuk memperoleh popularitas, sukses di mata orang, atau uang banyak, maka ia akan gagal di mata Allah. Yang paling menyedihkan, saat ia berhasil mencapai popularitasnya, kesuksesan di mata orang, atau uang banyak, tetapi harinya akan datang ketika motif kelirunya akan terkuak ketika berdiri di hadapan tahta penghakiman Kristus, dan ia tak akan menerima upah pekerjaannya. Jika dibolehkan masuk kerajaan sorga,

[3]

setiap orang di sana akan tahu kebenaran tentangnya, ketika terungkap bahwa ia tak mendapat upah dan posisinya rendah dalam kerajaan. Memang, ada tingkatan berbeda di sorga. Yesus mengingatkan:

Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. (Matius 5:19).

Sudah tentu pelayan yang menaati dan mengajarkan semua perintah Kristus akan menderita karena hal itu. Yesus menjanjikan penderitaan bagi mereka yang menaatiNya (lihat Matius 5:10-12; Yohanes 16:33). Paling tidak mereka mungkin saja mendapat keberhasilan di dunia, popularitas dan kekayaan. Mereka nanti mendapatkan upah dan pujian dari Allah. Manakah pilihan anda? Dalam hal ini, Paulus menulis:

Jadi, apakah Apolos? Apakah Paulus? Pelayan-pelayan Tuhan yang olehnya kamu menjadi percaya, masing-masing menurut jalan yang diberikan Tuhan kepadanya. Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri. Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah. Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api. (1 Korintus 3:5-15).

Paulus menyamakan dirinya dengan ahli bangunan yang meletakkan dasar. Paulus menyamakan Apolos –seorang guru yang datang ke Korintus setelah Paulus mendirikan jemaat di sana– dengan orang yang mendasarkan pada fondasi yang sudah diletakkan.

Perlu dicatat, baik Paulus maupun Apolos pada akhirnya mendapat upah berdasarkan kualitas, bukan kuantitas, dari pekerjaan mereka (lihat 3:13).

Secara kiasan, Paulus dan Apolos dapat mendirikan bangunan Allah dengan enam jenis bahan berbeda, tiga jenis sudah lazim ada, relatif murah dan mudah terbakar, dan tiga jenis tidak lazim ada, sangat mahal dan tak mudah terbakar. Nantinya, bahan-bahan bangunan itu akan mengalami api Penghakiman Allah; kayu, rumput kering atau jerami akan hangus oleh api, sehingga terbukti kualitasnya tak berharga dan tak tahan lama. Emas, perak dan batu permata, sebagai pekerjaan mulia dan kekal di mata Allah, akan tahan nyala api.

Kita yakin bahwa pengajaran yang tidak Alkitabiah akan dibakar menjadi abu ketika penghakiman oleh Kristus. Demikian juga, akan terjadi hal yang sama pada apapun yang dilakukan dalam kekuasaan, metode, atau hikmat duniawi, juga apapun yang dilakukan dengan motif keliru. Yesus mengingatkan bahwa segala sesuatu, yang kita lakukan dengan motivasi untuk mendapat pujian orang, tak akan mendapat upah (lihat Matius 6:1-6, 16-18). Jenis-jenis pekerjaan yang tak berharga itu bisa saja bukan bukti bagi mata manusia, namun akan terungkap kepada semua orang nanti, seperti yang Paulus ingatkan. Secara pribadi, bila pekerjaan saya berkategori kayu, rumput kering atau jerami, lebih baik saya melihatnya kini daripada nanti. Kini waktu untuk bertobat; waktu nanti sudah terlambat.

Periksa Motif Kita (Checking Our Motives)

Kita sangat mudah tertipu oleh motif-motif kita sendiri. Saya pernah mengalaminya. Bagaimana kita bisa tahu jika motif-motif kita murni?

Cara terbaik adalah minta Allah untuk mengungkapkan apakah motif-motif kita keliru, lalu periksa pikiran dan perbuatan kita. Yesus berkata agar kita berbuat baik seperti berdoa dan memberi kepada orang miskin tanpa diketahui orang lain, dan itulah cara yang menjamin agar kita melakukan kebaikan karena kita inginkan pujian Allah, bukan pujian manusia. Bila kita hanya taat pada Allah ketika orang lain memperhatikan kita, itu tandanya ada kekeliruan. Atau, bila kita menghindari dosa-dosa skandal yang akan menghancurkan reputasi saat kita terperangkap, namun melakukan dosa-dosa kecil yang tak seorangpun mungkin tahu, ini menunjukkan motivasi keliru kita. Bila kita benar-benar mau menyenangkan Allah —yang mengenal setiap pikiran, perkataan dan perbuatan kita— maka kita akan tetap menaatiNya sepanjang waktu, dalam hal-hal besar dan kecil, yang orang lain tahu dan tak tahu.

Demikian pula, bila motif-motif kita benar, kita tidak akan ikuti model pertumbuhan gereja yang hanya melayani demi meningkatkan jumlah orang yang hadir tanpa peduli untuk memuridkan orang yang menaati semua perintah Kristus.

Kita akan mengajarkan semua Firman Tuhan dan tidak hanya memfokuskan pada topik-topik populer yang menyenangkan orang-orang duniawi dan tak beriman.

Kita tidak akan memutabalikkan Firman Tuhan atau mengajar Alkitab dengan cara yang melanggar konteks dalam keseluruhan Alkitab.

Kita tidak akan mencari gelar dan tempat terhormat untuk kepentingan diri sendiri.

Kita tidak akan berupaya untuk menjadi terkenal.

Kita tidak akan melayani hanya orang kaya.

Kita tidak akan mengumpulkan harta di bumi, namun hanya hidup dan memberikan semua yang kita mampu, dengan memberikan teladan pengelolaan khusus yang baik di depan jemaat kita.

Kita akan lebih peduli kepada apa yang dipikirkan Allah mengenai khotbah bukannya apa yang orang pikirkan.

Apa motif anda?

Doktrin yang Mengalahkan Pemuridan (A Doctrine that Defeats Disciple-Making)

Pelayan pemuridan tak pernah mengajar apapun yang bertentangan dengan tujuan pelaksanaan pemuridan. Sehingga, ia tak pernah berkata apapun yang membuat orang merasa nyaman dengan tidak menaati Tuhan Yesus. Ia tak pernah memberi kasih karunia Allah sebagai cara untuk berbuat dosa tanpa takut penghakiman. Sebaliknya, ia memberi kasih karunia Allah sebagai cara untuk bertobat dari dosa dan hidup dalam kemenangan. Seperti kita tahu, Alkitab menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berkemenangan akan mewarisi Kerajaan Allah (lihat Wahyu 2:11; 3:5; 21:7).

Sayangnya, sejumlah pelayan sekarang ini, bertumpu pada doktrin-doktrin yang tidak Alkitabiah yang benar-benar merusak tujuan pemuridan. Satu doktrin yang sangat populer di Amerika Serikat adalah doktrin keselamatan kekal tanpa syarat atau “sekali selamat tetap selamat.” Doktrin ini berketetapan bahwa setiap orang yang dilahirkan kembali tak dapat lagi kehilangan keselamatannya, tak peduli bagaimana ia hidup. Menurut doktrin itu, karena keselamatan adalah oleh kasih karunia, maka kasih karunia yang sama, yang awalnya menyelamatkan orang berdosa untuk menerima keselamatan, akan membuat mereka tetap selamat. Sesuai ketentuan penganut doktrin itu, apapun sudut-pandang lain sama saja dengan berkata bahwa orang diselamatkan oleh hasil usahanya.

Biasanya, sudut-pandang demikian adalah bahaya besar yang merusak kesucian. Tampaknya ketaatan kepada Kristus tak penting bagi orang untuk masuk sorga, maka motivasi untuk menaati Yesus hanya sedikit, terutama ketika ketaatan itu sangat mahal.

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kasih karunia Allah kepada umat manusia tak mengurangi tanggung-jawab mereka untuk menaatiNya. Alkitab menyatakan keselamatan bukanlah oleh kasih karunia, namun juga melalui iman (lihat Efesus 2:8). Kasih karunia dan iman diperlukan bagi keselamatan. Iman adalah tanggapan murni kepada kasih karunia Allah, dan iman yang sejati selalu menimbulkan pertobatan dan ketaatan. Iman tanpa perbuatan adalah mati, tak berguna, dan tak dapat menyelamatkan, menurut Yakobus (lihat Yakobus 2:14-26).

Itu sebabnya Alkitab berkali-kali menyatakan bahwa keselamatan yang berkelanjutan tergantung pada iman dan ketaatan yang teguh. Ada bagian-bagian Alkitab yang memperjelas hal itu. Misalnya, Paulus menyatakan dalam suratnya kepada jemaat Kolose:

Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya. Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit. (Kolose 1:21-23, tambahkan penekanan).

Mungkin, itu belum jelas. Hanya seorang teolog dapat berbuat keliru atau memelintir maksud Paulus. Yesus akan menyatakan bahwa kita tidak salah jika kita tetap teguh dalam iman. Kebenaran sama disebutkan lagi dalam Roma 11:13-24, 1 Korintus 15:1-2 dan Ibrani 3:12-14; 10:38-39, di mana jelas dinyatakan bahwa keselamatan akhir tergantung pada keteguhan iman. Semua ayat tersebut mengandung kata bersyarat jika.

Perlunya Kesucian (The Necessity of Holiness)

Bisakah orang percaya kehilangan kehidupan kekal dengan berbuat dosa? Jawabannya ada dalam banyak ayat Alkitab, seperti di bawah ini, bahwa orang yang berbuat dosa tak akan mewarisi Kerajaan Allah. Jika orang percaya berbuat dosa lagi, seperti disebutkan oleh Paulus pada ayat-ayat berikut, maka orang percaya itu dapat kehilangan keselamatan:

Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Korintus 6:9-10, tambahkan penekanan).

Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu–seperti yang telah kubuat dahulu–bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (Galatia 5:19-21, tambahkan penekanan).

Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah. Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka. (Efesus 5:5-6, tambahkan penekanan).

Perhatikanlah, dalam setiap keadaan, Paulus bersurat kepada orang-orang percaya, sambil mengingatkan mereka. Dua kali ia mengingatkan mereka untuk tidak tertipu; ia peduli kepada orang-orang percaya yang mungkin menganggap bahwa seseorang bisa saja melakukan dosa yang disebutkan di atas dan masih mewarisi Kerajaan Allah.

Yesus mengingatkan murid-murid terdekatNya —Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas— akan kemungkinan terbuang ke dalam neraka oleh karena tak berjaga-jaga saat Dia kembali. Perlu dicatat bahwa kata-kata berikut ditujukan kepada mereka (lihat Markus 13:1-4), dan bukan kepada kerumunan orang tidak percaya:

Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang. Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Sebab itu, hendaklah kamu [Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas] juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu [Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas] duga.”

Siapakah hamba yang setia dan bijaksana, yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi penilik segala miliknya. Akan tetapi apabila hamba itu jahat dan berkata di dalam hatinya: Tuanku tidak datang-datang, lalu ia mulai memukul hamba-hamba lain, dan makan minum bersama-sama pemabuk-pemabuk, maka tuan hamba itu akan datang pada hari yang tidak disangkakannya, dan pada saat yang tidak diketahuinya, dan akan membunuh dia dan membuat dia senasib dengan orang-orang munafik. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi. (Matius 24:42-51, tambahkan penekanan).

Apa pelajaran moral dari kisah di atas? “Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas, jangan jadi seperti hamba yang tidak setia dalam perumpamaan itu.”

[4]

 

Untuk menekankan pernyataanNya pada murid-muridNya terdekat, Yesus menceritakan perumpamaan Sepuluh Gadis. Sepuluh gadis mulanya siap menyambut kedatangan mempelai pria, tetapi lima gadis tak siap dan diusir dari perjamuan kawin. Yesus mengakhiri perumpamaan itu dengan kata-kata, “Karena itu, berjaga-jagalah [Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas], sebab kamu [Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas] tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.” (Matius 25:13). Yakni, “Janganlah kalian jadi seperti lima gadis bodoh, Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas.” Bila mungkin Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas berjaga-jaga, tentu Yesus tak perlu mengingatkan mereka.

Yesus segera menceritakan kepada mereka Perumpamaan tentang Talenta. Pesannya sama. “Jangan jadi hamba yang hanya punya satu talenta yang tak punya apapun untuk ditunjukkan kepada tuannya apa yang telah dipercayakan kepadanya ketika ia kembali.” Pada akhir perumpamaan, sang tuan menyatakan, “Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.” (Matius 25:30). Yesus tak mungkin memperjelas pesanNya. Hanya teolog yang dapat membelokkan maksudNya. Ada bahaya di mana Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas bisa saja dibuang ke neraka akhirnya jika mereka tidak taat ketika Yesus kembali. Bila itu mungkin bagi Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas, maka kemungkinan itu bisa bagi kita semua. Seperti janji Yesus, hanya mereka yang melakukan kehendak Bapanya akan masuk kerajaan sorga (lihat Matius 7:21).

[5]

 

Mereka yang mengajarkan doktrin palsu ‘keselamatan kekal tanpa syarat’ jelas menentang Kristus dan hanya mendukung Setan; doktrin ini mengajarkan hal yang menentang ajaran Yesus dan para rasul. Secara efektif mereka menentang perintah Yesus untuk memuridkan orang-orang yang akan menaati semua perintahNya, dengan menghalangi jalan sempit ke sorga dan melebarkan jalan ke neraka.

[6]

 

Doktrin Modern Lain yang Mengalahkan Pemuridan (Another Modern Doctrine that Defeats Disciple-Making)

Bukan hanya pengajaran ‘keselamatan kekal tanpa syarat’ yang menipu orang-orang untuk menganggap kesucian sebagai hal yang tidak penting bagi keselamatan akhir. Kasih Allah sering diungkapkan dengan menetralkan pemuridan. Para pengkhotbah bisa berkata kepada pendengarnya, “Allah mengasihi anda tanpa syarat.” Orang-orang menafsirkannya, “Allah menerima dan mendukung saya, tak peduli apakah saya menaati atau tidak menaatiNya.” Tetapi, itu keliru.

Banyak pengkhotbah yang sama percaya bahwa Allah membuang orang-orang yang tidak dilahirkan kembali ke neraka, dan tentu mereka merasa benar dalam keyakinannya. Mari kita pikirkan hal tersebut. Jelaslah, Allah tak mendukung orang-orang yang Ia buang ke neraka. Jadi, bagaimana dapat dikatakan Ia mengasihi mereka? Apakah orang-orang yang dibuang ke neraka dikasihi olehNya? Apakah anda pikir mereka akan berkata bahwa Allah mengasihi mereka? Tentu tidak. Apakah Allah berkata bahwa Ia mengasihi mereka? Tentu tidak! Mereka dibenciNya; itu sebabnya Ia akan menghukum mereka di neraka. Ia tidak mendukung atau mengasihi mereka.

Sehingga, kasih Allah untuk orang-orang berdosa di dunia adalah kasih yang penuh belas kasihan yang hanya sementara, bukan kasih yang menegaskan. Ia berbelas-kasihan kepada mereka, dengan menunda penghukumanNya dan memberi mereka kesempatan untuk bertobat. Yesus mati untuk mereka, dan memberi mereka pengampunan. Dapat dikatakan, dengan cara itu, Allah mengasihi mereka. Tetapi Ia tidak menyetujui perbuatan mereka. Ia tak pernah mengasihi orang seperti perasaan seorang bapak kepada anaknya. Sebaliknya, Alkitab menyatakan, “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mazmur 103:13, tambahkan penekanan). Jadi dapat dikatakan bahwa Allah tidak berbelas-kasihan kepada mereka yang tidak takut akan Dia. Kasih Allah kepada orang berdosa lebih mirip dengan belas-kasihan yang ditunjukkan oleh seorang hakim kepada seorang pembunuh yang diganjar hukuman seumur hidup, bukannya hukuman mati.

Dalam Kisah Para Rasul, tak ada seorangpun yang memberitakan Injil berkata kepada orang yang belum selamat bahwa Allah mengasihinya. Sebaliknya, pengkhotbah yang Alkitabiah sering mengingatkan jemaat tentang murka Allah dan menyerukan agar mereka bertobat, dengan memberitahukan bahwa Allah tidak setuju tindakan mereka yang dalam keadaan bahaya, dan perlu melakukan perubahan dramatis dalam kehidupan mereka. Seandainya pengkhotbah itu berkata kepada jemaatnya bahwa Allah mengasihi mereka (seperti yang dilakukan oleh banyak pelayan sekarang ini), ia mungkin telah menyesatkan jemaat kepada pemikiran bahwa mereka tidak dalam bahaya, tidak menumpuk kemarahan bagi mereka sendiri, dan tidak perlu bertobat.

Kebencian Allah bagi Pendosa (God’s Hatred of Sinners)

Bertentangan dengan hal yang sering dinyatakan tentang kasih Allah bagi orang-orang berdosa kini, Alkitab sering menyatakan bahwa Allah membenci orang-orang berdosa:

Pembual tidak akan tahan di depan mata-Mu; Engkau membenci semua orang yang melakukan kejahatan. Engkau membinasakan orang-orang yang berkata bohong, TUHAN jijik melihat penumpah darah dan penipu. (Mazmur 5:6-7, tambahkan penekanan).

TUHAN menguji orang benar dan orang fasik, dan Ia membenci orang yang mencintai kekerasan. (Mazmur 11:5, tambahkan penekanan).

Aku telah meninggalkan kediaman-Ku, telah membuangkan negeri milik-Ku; Aku telah menyerahkan buah hati-Ku ke dalam tangan musuhnya. Negeri milik-Ku sudah menjadi seperti singa di hutan bagi-Ku; ia mengeraskan suaranya menentang Aku, sebab itu Aku membencinya. (Yeremia 12:7-8, tambahkan penekanan).

Segala kejahatan mereka terjadi di Gilgal, sungguh, di sana Aku mulai membenci mereka. Oleh karena jahatnya perbuatan-perbuatan mereka Aku akan menghalau mereka dari rumah-Ku. Aku tidak akan mengasihi mereka lagi, semua pemuka mereka adalah pemberontak. (Hosea 9:15).

Perlu dicatat, semua kutipan ayat Alkitab di atas tidak berkata bahwa Allah hanya membenci apa yang orang lakukan —dikatakan bahwa Allah membenci mereka. Ini memperjelas aksioma umum bahwa Allah mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosa. Kita tak dapat memisahkan seseorang dari perilakunya. Perlakuan seseorang merupakan gungkapan siapa dia sebenarnya. Jadi, Allah membenci orang-orang berdosa, bukan hanya dosa-dosa yang mereka lakukan. Jika Allah menyetujui orang-orang yang melakukan hal yang Ia benci, maka Ia tidak konsisten dengan diriNya. Di ruang pengadilan manusia, seseorang diadili atas kejahatannya, dan ia mendapat balasan yang adil. Kita tidak membenci kejahatan namun mendukung orang yang melakukan kejahatan.

Orang yang Dibenci Allah (People Whom God Abhors)

Alkitab menegaskan bahwa Allah membenci orang-orang tertentu, juga Ia benci orang-orang berdosa, atau mereka menjadi kekejian bagiNya. Patut dicatat bahwa ayat-ayat Alkitab berikut tidak berkata bahwa apa yang mereka lakukan adalah kekejian bagi Tuhan, namun mereka sendiri adalah kekejian bagi Tuhan. Ayat-ayat itu tidak berkata bahwa Tuhan membenci dosa-dosa mereka, namun Tuhan membenci mereka:

[7]

 

Seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki dan seorang laki-laki janganlah mengenakan pakaian perempuan, sebab setiap orang yang melakukan hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu. (Ulangan 22:5, tambahkan penekanan).

Sebab setiap orang yang melakukan hal yang demikian, setiap orang yang berbuat curang, adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu. (Ulangan 25:16, tambahkan penekanan).

Dan kamu akan memakan daging anak-anakmu lelaki dan anak-anakmu perempuan. Dan bukit-bukit pengorbananmu akan Kupunahkan, dan segala pedupaanmu akan Kulenyapkan. Aku akan melemparkan bangkai-bangkaimu ke atas bangkai-bangkai berhalamu dan hati-Ku akan muak melihat kamu. (Imamat 26:29-30, tambahkan penekanan).

Pembual tidak akan tahan di depan mata-Mu; Engkau membenci semua orang yang melakukan kejahatan. Engkau membinasakan orang-orang yang berkata bohong, TUHAN jijik melihat penumpah darah dan penipu. (Mazmur 5:6-7, tambahkan penekanan).

Karena orang yang sesat adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi dengan orang jujur Ia bergaul erat. (Amsal 3:32, tambahkan penekanan).

Orang yang serong hatinya adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi orang yang tak bercela, jalannya dikenan-Nya. (Amsal 11:20).

Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi TUHAN; sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman. (Amsal 16:5, tambahkan penekanan).

Membenarkan orang fasik dan mempersalahkan orang benar, kedua-duanya adalah kekejian bagi TUHAN. (Amsal 17:15, tambahkan penekanan).

Bagaimana kita mencocokkan ayat-ayat Alkitab tersebut dengan ayat-ayat yang mempertegas kasih Tuhan bagi orang berdosa? Bagaimana dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak senang dan membenci orang berdosa, tetapi Ia juga mengasihinya?

Harus diakui, tidak semua kasih itu sama. Ada kasih bersyarat, yang disebut “kasih yang penuh belas kasihan.” Kasih ini, “Saya mengasihimu meskipun.” Dengan kasih ini, kita mengasihi orang tak peduli perbuatannya. Itulah kasih Allah bagi orang berdosa.

Yang berbeda dengan kasih yang penuh belas kasihan ialah kasih bersyarat. Kasih ini dinamakan “kasih yang menegaskan.” Inilah kasih yang diperoleh atau diberikan. Kasih inilah yang berkata, “Aku mengasihimu oleh karena.” Sebagian orang berpendapat bahwa kasih adalah bersyarat, ini sama sekali bukanlah kasih. Atau mereka menganggap rendah kasih yang demikian, yang berkata bahwa kasih ini benar-benar mementingkan diri sendiri, dan tidak seperti kasih Allah.

Tetapi, sebenarnya Allah memiliki kasih bersyarat, seperti terdapat dalam Alkitab. Jadi, kasih yang menegaskan tak boleh dianggap rendah. Kasih yang menegaskan ialah kasih utama dari Allah untuk anak-anakNya yang sejati. Kita harus lebih menginginkan kasih yang menegaskan dariNya daripada kasih yang penuh belas kasihan dariNya.

Apakah Kasih yang Menegaskan adalah Kasih Kelas Bawah? (Is Approving Love an Inferior Love?)

Stop dan tanyakan diri anda: “Kasih macam apa yang saya mau orang lain berikan pada saya —kasih yang penuh belas kasihan atau kasih yang menegaskan?” Saya yakin anda lebih suka agar orang lain mengasihimu “oleh karena”, bukan “meskipun.”

Apakah anda lebih suka mendengar pasangan anda berkata, “Saya tak punya alasan untuk mengasihimu, dan tidak ada hal tentangmu yang mendorongku untuk menunjukkan kebaikan saya” atau “Saya mencintaimu karena berbagai alasan, karena ada begitu banyak hal tentangmu yang kuhargai”? Sudah tentu, kita inginkan hal sebaliknya agar pasangan kita mencintai kita dengan kasih yang menegaskan, dan itulah kasih yang mendekatkan pasangan suami-istri dan tetap menyatukan mereka. Ketika tidak ada pujian dari pasangan hidup, ketika kasih yang menegaskan telah berhenti, maka beberapa perkawinan berakhir. Bila perkawinan bertahan, kebaikan berpihak kepada kasih yang penuh belas kasihan, yang berasal dari karakter ilahi dari si pemberi kasih.

Dengan demikian, kita paham bahwa kasih yang menegaskan atau kasih bersyarat, sama sekali bukan kasih yang murahan. Selagi kasih yang penuh belas kasihan menjadi kasih yang paling mahal untuk diberikan, maka kasih yang menegaskan adalah kasih yang paling mahal untuk didapatkan. Lagipula, kasih yang menegaskan adalah satu-satunya kasih yang pernah Bapa miliki untuk Yesus, kasih yang mengangkatnya ke tempat yang benar dan dihormati. Allah Bapa tak pernah memiliki setetes kasih yang penuh belas kasihan untuk Yesus, karena tak pernah ada apapun yang tak menyenangkan dalam Kristus. Yesus bersaksi:

Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. (Yohanes 10:17, tambahkan penekanan).

Dengan demikian, kita paham bahwa Bapa mengasihi Yesus oleh karena ketaatan Yesus untuk mati. Tidak ada yang keliru dan segala sesuatu sudah benar tentang kasih yang menegaskan. Yesus mendapatkan dan layak mendapatkan kasih BapaNya.

Yesus juga menyatakan bahwa Ia tinggal dalam kasih BapaNya dengan menaati perintah-perintah BapaNya:

Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. (Yohanes 15:9-10, tambahkan penekanan).

Lagipula, seperti yang Alkitab tunjukkan, kita harus mengikuti teladan Yesus, dan tinggal dalam kasihNya dengan menaati perintah-perintahNya. Jelaslah, Ia sedang berbicara tentang kasih yang menegaskan dalam perikop itu, dengan berkata bahwa kita dapat dan harus mendapatkan kasihNya, dan kita dapat keluar dari kasihNya melalui ketidaktaatan kita kepada perintah-perintahNya. Kita tinggal dalam kasihNya hanya jika kita menaati perintah-perintahNya. Hal tersebut jarang diajarkan sekarang ini, tetapi harus diajarkan, karena itulah yang Yesus katakan.

Yesus hanya memperkokoh kasih yang menegaskan dari Allah bagi mereka yang menaati perintah-perintahNya:

Sebab Bapa sendiri mengasihi kamu, karena kamu telah mengasihi Aku dan percaya, bahwa Aku datang dari Allah. (Yohanes 16:27, tambahkan penekanan).

Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya. Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia. (Yohanes 14:21, 23, tambahkan penekanan).

Perlu dicatat pada kutipan kedua, Yesus tidak berjanji kepada orang percaya yang tak sungguh-sungguh bahwa jika ia mulai menaati FirmanNya, Ia akan mendekat kepadanya dengan cara khusus. Tidak, Yesus berjanji jika seseorang mulai mengasihiNya dan menaati FirmanNya, maka BapaNya akan mengasihinya, dan baik Ia dan BapaNya akan tinggal di dalamnya, yang merupakan acuan kepada kelahiran kembali. Setiap orang yang dilahirkan kembali memiliki Bapa dan Anak yang tinggal di dalamnya melalui Roh Kudus yang tinggal di dalamnya (lihat Roma 8:9). Maka, kita pahami lagi bahwa orang yang benar-benar dilahirkan kembali adalah orang yang bertobat dan mulai menaati Yesus, dan dialah orang yang mendapatkan kasih yang menegaskan dari Bapa.

Tentu saja Yesus masih memberikan kasih yang penuh belas kasihan bagi mereka yang percaya kepadaNya. Ketika mereka tidak taat, Ia siap mengampuni jika mereka mengaku dosa dan mengampuni orang lain.

Kesimpulan (The Conclusion)

Dengan kata lain, Allah tidak mengasihi anakNya yang taat dengan cara yang sama dengan Ia mengasihi orang berdosa. Ia mengasihi orang berdosa hanya dengan kasih yang penuh belas kasihan, dan bahwa kasih itu sementara, hanya sampai ia mati. Pada saat yang sama Ia mengasihi orang itu dengan kasih yang penuh belas kasihan, Ia membenci orang karena Ia tidak menyetujui karakter orang itu. Inilah yang Alkitab ajarkan.

Di lain pihak, Allah mengasihi anakNya lebih dari Ia mengasihi orang yang tidak dilahirkan kembali. Utamanya Allah mengasihi anakNya dengan kasih yang menegaskan karena ia telah bertobat dan berusaha menaati perintah-perintahNya. Saat ia bertumbuh dalam kesucian, maka makin sedikit alasan bagiNya untuk mengasihinya dengan kasih yang penuh belas kasihan, dan makin banyak alasan untuk mengasihinya dengan kasih yang menegaskan, kasih yang ia inginkan.

Dengan kata lain, banyak potret kasih Allah, yang disebutkan oleh para pengkhotbah dan guru-guru kini, menyesatkan dan tidak akurat. Menurut perkataan Alkitab, sediakan waktu untuk mengevaluasi rumusan kasih Allah berikut ini:

1). Tiada hal yang dapat anda lakukan untuk membuat Allah mengasihimu lebih atau kurang dari yang Ia lakukan sekarang.

2). Tiada hal yang dapat anda lakukan untuk membuat Allah berhenti mengasihimu.

3). Kasih Allah itu tanpa syarat.

4). Allah mengasihi setiap orang dengan cara yang sama.

5). Allah mengasihi orang berdosa namun membenci dosa.

6). Tiada hal yang dapat anda lakukan untuk mendapatkan atau layak mendapatkan kasih Allah.

7). Kasih Allah untuk kita bukan berdasarkan penampilan kita.

Semua pernyataan di atas bisa saja menyesatkan atau sangat keliru, karena sebagian besar pernyataan benar-benar menyangkal kasih yang menegaskan dari Allah dan banyak yang salah memahami kasih yang penuh belas kasihan dariNya.

Mengenai (1), hal yang dapat dilakukan oleh orang percaya agar dapat membuat Allah lebih tegas mengasihi-nya adalah sikap lebih taat. Dan sesuatu yang dapat ia lakukan yang membuat Allah kurang tegas mengasihi-nya ialah ketidaktaatan. Bagi orang berdosa, hal yang dapat dilakukannya agar Allah lebih banyak mengasihinya ialah bertobat. Lalu ia mendapatkan kasih yang menegaskan dari Allah. Dan hal yang dapat dilakukannya yang membuat Allah kurang mengasihinya adalah kematian. Lalu ia kehilangan kasih satu-satunya yang Allah berikan padanya, yakni kasih yang penuh belas kasihan dariNya

Mengenai (2), seorang Kristen dapat kehilangan kasih yang menegaskan dari Allah dengan berbuat dosa kembali, sehingga ia dalam posisi mengalami kasih yang penuh belas kasihan dari Allah. Dan, orang yang tak percaya bisa mati, dan kasih yang penuh belas kasihan dari Allah akan berhenti, satu-satunya kasih yang pernah Allah beri untuknya.

Mengenai (3), kasih yang menegaskan dari Allah tentu bersyarat. Dan bahkan kasih yang penuh belas kasihan darinya adalah bersyarat pada orang yang secara fisik masih hidup. Setelah mati, kasih yang penuh belas kasihan dari Allah berakhir, sehingga kasih itu bersyarat karena hanya sementara.

Mengenai (4), besar kemungkinan, Allah tidak mengasihi orang dengan cara yang sama, karena semua orang, yang berdosa dan yang kudus, Ia setuju atau tidak setuju dengan berbagai syarat. Memang, kasih Allah tak sama untuk orang berdosa dan orang kudus.

Mengenai (5), Allah membenci orang berdosa dan dosanya. Dapat dikatakan, Ia mengasihi orang berdosa dengan kasih yang penuh belas kasihan dan membenci dosa-dosanya. Dari sudut-pandang kasih yang menegaskan dari Allah, Ia membencinya.

Mengenai (6), setiap orang dapat dan harus mendapatkan kasih yang menegaskan dari Allah. Sudah tentu, tak seorangpun dapat memperoleh kasih yang penuh belas kasihan dariNya karena kasih ini tidak bersyarat.

Dan, mengenai (7), kasih yang penuh belas kasihan dari Allah tidak berdasarkan pada penampilan, kecuali tentunya kasih yang menegaskan dari Allah.

Dengan kata lain, pelayan pemuridan harus menunjukkan kasih Allah dengan tepat, seperti diuraikan dalam Alkitab, karena ia tidak ingin siapapun tertipu. Hanya orang yang Allah kasihi dengan tegas dapat masuk ke sorga, dan Allah tegas hanya mengasihi orang yang telah dilahirkan kembali dan menaati Yesus. Pelayan itu tak pernah mengajarkan hal yang dapat menjauhkan orang dari kesucian. Tujuannya sama dengan tujuan Allah, yakni memuridkan orang-orang yang menaati semua perintah Kristus.

 


[1] Penginjilan oleh penginjil dapat dianggap sebagai bentuk pengajaran, dan penginjil sudah tentu perlu menyebarluaskan Injil yang sesuai benar dengan Alkitab

[2] Semua orang percaya tidak diberikan tanggung-jawab untuk mengajar bagi banyak kelompok orang, namun semuanya mempunyai tanggung-jawab mengajar satu per satu ketika mereka melakukan pemuridan (lihat Matius 5:19; 28:19-20; Kolose 3:16; Ibrani 5:12).

[3] Saya katakan “Jika”, karena mereka yang serigala berbulu domba adalah “para pelayan” yang motivasinya hanya mementingkan diri sendiri, dan mereka akan dilempar ke dalam neraka. Saya menduga hal yang memisahkan mereka dari pelayan sejati yang memiliki motif-motif keliru adalah besarnya motivasi mereka yang keliru.

[4] Ajaibnya, ada beberapa guru tak dapat mengelak dari fakta yang diperingatkan oleh Yesus kepada murid-murid terdekatNya dan hamba yang tidak setia jelas melambangkan seorang percaya. Mereka berkata bahwa tempat ratapan dan kertakan gigi ada di bagian pinggiran sorga. Ada orang-orang percaya yang tidak setia sewaktu-waktu meratap atas hilangnya upah mereka sampai Yesus menghapus air-mata dari mata mereka dan kemudian menyambut mereka memasuki sorga!

[5] Sudah tentu, orang Kristen yang melakukan suatu dosa tidak segera kehilangan keselamatan.Yang meminta ampun atas dosa-dosanya diampuni oleh Allah (bila dia memaafkan mereka yang berdosa kepadanya). Yang tidak meminta ampun atas dosa-dosanya menempatkan dirinya dalam bahaya untuk didisiplinkan oleh Allah. Dengan mengeraskan hatinya kepada disiplin Allah yang terus menerus, orang percaya memiliki resiko kehilangan keselamatannya.

[6] Orang yang masih tidak yakin bahwa seorang Kristen bisa saja kehilangan keselamatannya perlu memperhatikan semua perikop dalam Perjanjian Baru berikut ini: Matius 18:21-35; 24:4-5, 11-13, 23-26, 42-51; 25:1-30; Lukas 8:11-15; 11:24-28; 12:42-46; Yohanes 6:66-71; 8:31-32, 51; 15:1-6; Kisah Para Rasul 11:21-23; 14:21-22; Roma 6:11-23; 8:12-14, 17; 11:20-22; 1 Korintus 9:23-27; 10:1-21; 11:29-32; 15:1-2; 2 Korintus 1:24; 11:2-4; 12:21-13:5; Galatia 5:1-4; 6:7-9; Filipi 2:12-16; 3:17-4:1; Kolose 1:21-23; 2:4-8, 18-19; 1 Tesalonika 3:1-8; 1 Timotius 1:3-7, 18-20; 4:1-16; 5:5-6, 11-15, 6:9-12, 17-19, 20-21; 2 Timotius 2:11-18; 3:13-15; Ibrani 2:1-3; 3:6-19; 4:1-16: 5:8-9; 6:4-9, 10-20; 10:19-39; 12:1-17, 25-29; Yakobus 1:12-16; 4:4-10; 5:19-20; 2 Petrus 1:5-11; 2:1-22; 3:16-17; 1 Yohanes 2:15-2:28; 5:16; 2 Yohanes 6-9; Judas 20-21; Wahyu 2:7, 10-11, 17-26; 3:4-5, 8-12, 14-22; 21:7-8; 22:18-19. Teks-teks bukti yang dibuat oleh mereka yang mengajarkan doktrin keselamatan kekal tanpa syarat adalah ayat-ayat Alkitab yang hanya menekankan kesetiaan Allah dalam hal keselamatan, dan tidak mengatakan apapun tentang tanggung-jawab manusia. Ayat-ayat ini harus dipahami agar selaras dengan ayat-ayat Alkitab yang disebutkan tadi. Janji Allah untuk tetap setia bukanlah jaminan kesetiaan seseorang. Karena saya berjanji kepada istri saya bahwa saya takkan meninggalkannya dan saya tepati janji itu, bukanlah janji bahwa istri takkan pernah meninggalkan saya.

[7] Kita dapat bertanya-tanya bahwa semua ayat Alkitab yang menunjukkan kebencian dan kemuakan Allah terhadap orang berdosa ada di dalam Perjanjian Lama. Namun, sikap Allah terhadap orang-orang berdosa tidak berubah dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Pertemuan Yesus dengan wanita Kanaan dalam Matius 15:22-28 adalah contoh dalam Perjanjian Baru mengenai sikap Allah terhadap orang berdosa. Pertama, Yesus bahkan tak menanggapi permohonannya, dan Ia bahkan mengibaratkannya seperti anjing. Imannya yang teguh membuat Yesus menunjukkan belas-kasihan kepadanya. Sikap Yesus kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tidak dianggap sebagai kasih yang menunjukkan belas kasihan (lihat Matius 23).

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Enam (Chapter Six)

Bab Tiga (Chapter Three)

Melanjutkan Dengan Benar (Continuing Properly)

 

Selama bertahun-tahun dalam banyak cara, tanpa sadar saya melakukan hal-hal yang menentang tujuan yang Allah inginkan saya kejar, yakni tujuan melakukan pemuridan. Namun perlahan-lahan, Roh Kudus dengan kasih karunia membukakan mataku terhadap setiap kesalahan saya. Hal yang saya pelajari adalah: Saya harus menanyakan segala sesuatu yang telah saya pelajari dan yakin dalam terang Firman Tuhan. Banyak tradisi kita, lebih dari apapun lainnya, membutakan kita terhadap perkataan Allah. Yang lebih buruk adalah perasaan bangga kita yang berlebihan terhadap tradisi-tradisi kita, dan keyakinan kita yang rada dalam kelompok elit yang lebih memahami kebenaran dibandingkan orang-orang Kristen lain. Seperti ucapan seorang guru yang sangat menyinggung perasaan, “Sekarang ini, ada 32,000 denominasi gereja di dunia. Tidakkah saudara beruntung menjadi anggota satu denominasi yang benar?”

Akibat kesombongan kita, Allah menentang kita, karena Ia menentang orang-orang sombong. Bila kita ingin maju dan sepenuhnya siap berdiri di hadapan Yesus, kita harus merendahkan diri kita. Allah memberikan kasih karunia kepada mereka.

Perhatikan Peranan Pendeta (The Role of the Pastor Considered)

Tujuan pendeta dalam pemuridan adalah membentuk segala sesuatu yang dilakukannya dalam pelayanan. Ia harus terus bertanya kepada dirinya, “Bagaimana caranya hal yang sedang saya lakukan dapat berkontribusi kepada proses pemuridan untuk orang-orang yang akan menaati semua perintah Yesus?” Bila pertanyaan itu diajukan dengan jujur, maka banyak hal perlu dihilangkan yang mengatas-namakan kegiatan Kristen.

Perhatikan pelayanan seorang pendeta/penatua/penilik,

[1]

yang memfokuskan pelayanannya di gereja lokal. Bila ia hendak memuridkan mereka yang menaati semua perintah Yesus, salah-satu tanggung-jawab utamanya apa? Yang terbersit di pikiran adalah mengajar secara alami. Yesus berkata agar murid-murid dididik melalui pengajaran (lihat Matius 28:19-20). Syarat menjadi penatua/pendeta/penilik adalah “kesanggupan mengajar” (1 Timotius 3:2). Orang yang “bersusah-payah untuk berkhotbah dan mengajar” harus “dianggap layak untuk mendapat penghormatan dua kali lipat.” (1 Timotius 5:17).

Karena itu, pendeta harus mengevaluasi tiap khotbahnya dengan bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana khotbah ini dapat membantu penyelesaian tugas untuk pemuridan?”

Tetapi, apa tanggung-jawab mengajar seorang pendeta sudah terpenuhi hanya dengan berkhotbah pada hari Minggu atau tengah minggu? Bila ia berpikir demikian, maka ia mengabaikan fakta Alkitab yang menunjukkan bahwa tanggung-jawab mengajarnya dipenuhi terutama melalui kehidupan yang dijalaninya dan teladan yang ditunjukkannya. Teladan mengajar dari kehidupan sehari-hari hanya dapat diwujudkan melalui pelayanan mengajar bagi banyak orang. Itu sebabnya persyaratan bagi seorang penatua/pendeta/ penilik lebih banyak terkait dengan karakter dan gaya-hidup seseorang bukannya kemampuan komunikasi verbalnya. Dari lima-belas syarat untuk penilik dalam 1 Timotius 3:1-7, ada empat-belas syarat yang terkait dengan karakter dan hanya satu syarat yang terkait dengan kemampuan. Dari delapan-belas syarat untuk penatua dalam Titus 1:5-9, ada tujuh-belas syarat yang terkait dengan karakter dan hanya satu yang terkait dengan kemampuan mengajar. Paulus mula-mula memperingatkan Timotius, “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Timotius 4:12, tambahkan penekanan). Ia lalu berkata, “Sementara itu, sampai aku datang bertekunlah dalam membaca kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar.” (1 Timotius 4:13). Jadi, teladan karakter Timotius disebutkan sebelum ia melayani sebagai pengajar orang banyak, dengan mengutamakan konsekwensinya yang lebih memberikan dampak.

Petrus demikian juga menulis:

Aku menasihatkan para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. (1 Petrus 5:1-3, tambahkan penekanan).

Siapakah yang memberikan ilham untuk menyangkal diri dan menaati Kristus? Apakah dia yang khotbahnya kita puji ataukah dia yang kehidupannya kita kagumi? Pendeta yang tak punya komitmen dan gayanya lembut tak akan memberi ilham kepada orang yang memikul salib. Bila pendeta itu mengkhotbahkan pesan tentang komitmen kepada Kristus, dia pasti berkhotbah dengan pernyataan yang tidak jelas, agar pendengarnya tidak menyangsikan ketulusan hatinya. Kebanyakan pemimpin besar Kristen di masa lalu tidak diingat karena khotbah-khotbahnya, tetapi karena pengorbanannya. Teladan mereka memberikan inspirasi setelah mereka sudah lama tiada.

Bila pendeta tidak menunjukkan teladan ketaatan sebagai seorang murid sejati Yesus Kristus, maka ia hanya buang-buang waktu berkhotbah. Hai pendeta, teladan anda bergema sepuluh kali lebih keras daripada khotbah anda. Apakah anda akan menginspirasi orang yang menyangkali dirinya sendiri dan mengikuti Kristus dengan menyangkali dirimu dan mengikuti Kristus?

Namun, bagaimana bisa seorang pendeta, dengan memberi teladan gaya hidupnya, dapat mengajar orang-orang yang terutama mengenalinya sebagai ahli pidato di hari Minggu pagi? Hal yang paling mudah dilihat dari cara hidupnya adalah caranya menjabat tangan selama lima detik ketika jemaat saat keluar dari gedung gereja. Mungkin ada sesuatu yang tak layak yang terkait dengan model pelayanan masa sekarang.

Khotbah Minggu Pagi setiap Minggu (The Weekly Sunday Morning Sermon)

Seorang pendeta dapat membuat asumsi lain yang keliru bila ia anggap tanggung-jawab mengajarnya yang terutama adalah memberi kuliah umum setiap minggu. Pelayanan pengajaran Yesus tidak hanya khotbah di depan orang banyak (dan tampaknya, sebagian besar khotbah hanya singkat), tetapi juga percakapan pribadi yang diawali oleh murid-muridNya yang suka bertanya. Lagipula, percapakapan tersebut tidak terbatas hanya satu setengah jam sehari dalam seminggu di gedung gereja, namun terjadi di sepanjang pesisir pantai, di rumah-rumah, sambil menapaki jalanan berdebu, ketika Yesus hidup bersama murid-muridNya. Model pengajaran yang sama diikuti oleh para rasul. Setelah Pentakosta, ke-duabelas murid mengajar “di Bait Allah dan dari rumah ke rumah” (Kisah Para Rasul 5:42, tambahkan penekanan). Mereka berinteraksi langsung dengan komunitas orang-orang percaya. Paulus juga mengajar “baik di muka umum maupun dalam perkumpulan di rumah-rumah;” (Kisah Para Rasul 20:20, tambahkan penekanan).

Jadi, bila anda pendeta, bandingkanlah pelayanan pengajaran anda dengan pelayanan pengajaran Yesus dan para rasul mula-mula. Mungkin anda heran apakah yang sedang anda lakukan adalah kehendak Tuhan untuk anda, atau apakah anda hanya melakukan lebih dari ajaran selama ratusan tahun oleh tradisi-tradisi gereja? Bila anda sedang terheran-heran, pertanda baik. Sangat baik. Itulah langkah awal menuju arah yang benar.

Mungkin anda berpikir lebih jauh, dengan berkata, “Di mana saya bisa mendapatkan waktu yang sesuai dengan pelayanan tersebut, dengan mengajar orang-orang dari rumah ke rumah, atau melibatkan diri mereka dalam kehidupan sehari-hari sehingga saya lebih mempengaruhi mereka dengan teladan yang saya tunjukkan?” Ini pertanyaan bagus, karena dapat membuat anda tetap merasa heran apakah ada yang lebih keliru dengan konsep modern tentang peranan pendeta.

Mungkin anda berpikir sendiri, “Saya tidak yakin dapat hidup erat dengan orang-orang di gereja saya. Saya diajarkan di sekolah Alkitab bahwa seorang pendeta tak boleh terlalu dekat dengan jemaatnya. Ia harus tetap menjaga jarak untuk mempertahankan rasa hormat terhadap profesi. Si pendeta tak mungkin berteman akrab dengan jemaat.”

Pemikiran itu mengungkapkan ada yang sangat keliru dengan cara-cara melakukan sesuatu di gereja sekarang ini. Yesus sangat akrab dengan keduabelas muridNya sehinga salah satu murid merasa nyaman menyandarkan kepalanya di dada Yesus ketika makan bersama (lihat Yohanes 13:23-25). Para murid nyata-nyata hidup bersama selama beberapa tahun. Ada banyak hal yang menjaga jarak profesi dari murid-murid seseorang dalam rangka melakukan pelayanan dengan sukses!

Perbandingan Metode, Dulu dan Sekarang (A Comparison of Methods, Ancient and Modern)

Bila kita hendak menaati Yesus dan melakukan pemuridan, tidakkah bijak bila kita mengikuti cara-caraNya dalam melakukan pemuridan? Cara-cara itu berfungsi baik bagiNya, dan juga berfungsi baik bagi para rasul yang mengikutiNya.

Dan seberapa baik cara-cara modern yang berfungsi untuk memuridkan orang yang menaati semua perintah Kristus? Misalnya, ketika penelitian terhadap orang-orang Kristen di Amerika Serikat berkali-kali menunjukkan bahwa gaya hidup sebagian besar orang yang mengaku Kristen hampir tak beda dengan orang-orang bukan-Kristen, mungkin inilah saatnya untuk bertanya dan memeriksa kembali Alkitab.

Pertanyaan yang perlu diperhatikan adalah: Bagaimana jemaat mula-mula berhasil melakukan pemuridan tanpa bangunan gereja, tanpa pendeta yang berpendidikan tinggi, tanpa sekolah-sekolah dan seminari-seminari Alkitab, tanpa himne-himne dan alat proyektor, tanpa mikrofon nir-kabel dan duplikator pemutar musik, tanpa kurikulum sekolah Minggu dan pelayanan pemuda, tanpa tim pujian dan tim paduan suara, tanpa komputer dan mesin fotokopi, tanpa stasiun radio dan stasiun TV Kristen, tanpa ratusan ribu judul buku Kristen dan bahkan tanpa Alkitab milik pribadi? Jemaat mula-mula tidak memerlukan satupun dari benda-benda tersebut untuk melakukan pemuridan, dan Yesus juga tidak melakukan hal yang sama. Dan karena zaman dulu, benda-benda itu bukan hal penting, maka kini benda-benda itu tidak penting. Benda-benda itu bisa saja mendukung, tetapi tak satupun yang penting. Kenyataannya, kebanyakan dari benda-benda itu dapat dan benar-benar menghambat kita dalam melakukan pemuridan. Saya berikan dua contoh.

Pertama, perhatikan esensi masa kini dengan menyuruh pendeta yang pernah sekolah Alkitab atau seminari untuk memimpin gereja. Hal itu adalah konsep yang tak didengar oleh Paulus. Di beberapa kota, setelah membentuk gereja-gereja, Paulus berangkat selama beberapa minggu atau bulan, lalu kembali untuk menunjuk penatua-penatua untuk mengawasi mereka (lihat, misalnya, Kisah Para Rasul 13:14-14:23). Itu berarti gereja-gereja, yang tak dikunjungi oleh Paulus, tak memiliki jabatan penatua secara resmi selama beberapa minggu atau bulan, dan sebagian besar penatua adalah orang-orang percaya yang masih muda ketika dilantik. Mereka tidak mengenyam pendidikan formal selama dua atau tiga tahun yang mempersiapkan mereka untuk tugas-tugas itu.

Jadi, Alkitab mengajarkan bahwa para pendeta/penatua/penilik tidak membutuhkan pendidikan formal selama dua atau tiga tahun untuk melayani secara efektif. Tak seorangpun dengan kepintarannya dapat menentang fakta itu. Namun persyaratan sekarang ini tetap berisi pesan kepada setiap orang percaya: “Jika anda ingin menjadi pemimpin di gereja, anda perlu pendidikan formal selama bertahun-tahun.”

[2]

Dengan cara itu, maka proses penciptaan pemimpin terhambat, sehingga memperlambat proses pemuridan dan perkembangan gereja. Saya kagum betapa hebatnya perusahaan Amerika –Avon dan Amway– yang kebanjiran target pasarnya jika mereka mensyaratkan para penjualnya untuk mengajak pindah keluarganya ke kota lain untuk mengikuti pelatihan resmi selama tiga tahun, sebelum ia dilepas untuk menjual sabun atau parfum?

“Tetapi melayani adalah tugas yang sulit dan rumit!” kata sebagian orang. “Alkitab berkata kita tak boleh memposisikan seorang petobat baru menjadi penilik” (lihat 1 Timotius 3:6).

Pertama, kita sampai pada definisi tentang petobat baru, dan konsep Paulus berbeda dengan konsep kita, karena ia menugaskan orang-orang yang baru menjadi percaya selama beberapa bulan untuk memegang tugas sebagai penatua/pendeta/penilik.

Kedua, alasan sangat sulitnya melakukan pelayanan sekarang ini adalah keseluruhan sistem dalam struktur dan pelayanan di gereja yang sangat jauh menyimpang dari model Alkitab. Kita telah menjadikan sistem itu sangat rumit, sehingga hanya beberapa orang super yang dapat memenuhi segala tuntutan dari sistem itu!

“Namun Allah melarang bila gereja diawasi oleh orang yang tak berpendidikan sekolah Alkitab atau seminari!” kata orang-orang lain. “Penilik yang tak berpendidikan itu dapat saja membawa umatnya kepada ajaran sesat!”

Tampaknya, hal itu bukan jadi perhatian Paulus. Faktanya, di masa kini kita memiliki pelayan lulusan sekolah Alkitab dan seminari yang tidak percaya kepada kelahiran dari Perawan Maria, yang menyetujui homoseksualitas, yang mengajarkan bahwa Allah mau setiap orang berkendaraan mewah, yang menyatakan bahwa Allah lebih dulu tahu sebagian orang yang akan binasa, atau yang yakin bahwa seseorang dapat memperoleh sorga tanpa harus menaati Kristus. Sering, sekolah dan seminari Alkitab melayani demi melanjutkan doktrin palsu, dan ada pendeta profesional melayani demi melanjutkan doktrin palsu itu.

“Orang-orang biasa” di gereja merasa takut untuk menantang pelayan lulusan sekolah Alkitab dan seminari, karena orang-orang profesional itu pernah mengenyam pendidikan seminari dan dapat mengambil banyak ”teks sebagai bukti.” Lagipula, para pelayan itu telah membatasi dan membagi gereja-gereja mereka dari tubuh Kristus melalui doktrin-doktrin aneh yang mereka kemukakan, untuk mengkampanyekan berbagai perbedaan nama-nama yang dipajang di depan gedung gereja, sambil mengirim pesan kepada dunia: “Kita bukan seperti orang-orang Kristen lainnya.” Untuk menambah luka lebih lanjut, mereka memberi label kepada setiap orang yang menentang doktrin-doktrin mereka yang kebal-tantangan dan “menimbulkan gangguan.” Inkuisisi masih sangat hidup dan terpelihara, yang dibimbing oleh orang-orang intelek. Apakah itu teladan yang Yesus inginkan yang ditetapkan oleh orang yang harusnya melakukan pemuridan bagi orang-orang yang dikenal oleh dunia melalui tindakan saling mengasihi di antara mereka?

Orang-orang Kristen kini memilih gereja-gereja berdasarkan doktrin-doktrin tertentu, dan memiliki teologi yang benar menjadi hal terpenting, bukannya memiliki gaya-hidup yang benar, semua karena model Alkitabiah telah ditinggalkan.

Alternatif yang Alkitabiah (A Biblical Alternative)

Apakah saya mendukung orang-orang yang baru percaya tiga bulan dan menugasi mereka untuk mengawai gereja-gereja (justru hal ini yang Paulus lakukan)? Ya, tetapi hanya jika orang-orang percaya itu memenuhi syarat dalam Alkitab bagi penatua/penilik, dan hanya jika mereka ditugasi mengawasi gereja-gereja yang mengikuti model menurut Alkitab. Yakni, mula-mula gereja harus jadi tempat persekutuan yang baru dirintis yang diserahkan kepada pendeta pendiri yang berpengalaman, seperti seorang rasul, yang dapat mengawasi.

[3]

Sehingga, penatua yang baru diangkat tidak berbuat semaunya.

Kedua, jumlah jemaat di rumah-rumah sedikit saja, seperti jemaat mula-mula.

[4]

Hal ini membuat gereja lebih dapat diatur. Mungkin itu sebabnya salah satu syarat menjadi penatua/penilik ialah ia berhasil menata rumah-tangganya (lihat 1 Timotius 3:4-5). Menata “rumah-tangga iman” yang kecil bukan tugas yang lebih sulit dibanding menata keluarga.

Ketiga, jemaat harus terdiri dari orang-orang yang telah merespon Injil Alkitabiah melalui pertobatan, dan orang-orang yang jadi murid-murid sejati Tuhan Yesus Kristus. Sehingga, akan terjawab semua tantangan yang muncul dari upaya untuk melayani kawanan domba yang sebenarnya adalah kawanan kambing.

Dan keempat, seorang pendeta/penatua/penilik harus mematuhi peran sesuai Alkitab bukannya peran budaya. Yakni, mereka tidak memiliki jabatan sentral, serba-penting dan jadi sorotan seperti yang dilakukan di gereja-gereja kini.

[5]

Sebaliknya, mereka haruslah anggota-anggota seluruh tubuh, hamba yang lemah lembut yang mengajar dengan teladan dan bimbingan, dan yang bertujuan melakukan pemuridan, bukan menjadi ahli pidato di hari Minggu pagi, tetapi mengikuti teladan Yesus.

Bila pola itu diikuti, orang yang baru percaya tiga bulan dapat menjadi penilik gereja.

Gedung Gereja (Church Buildings)

Bagaimana dengan gedung gereja? Kini, gedung gereja jadi “hal penting” lain yang tak dimiliki oleh jemaat mula-mula. Apakah gedung gereja dapat membantu proses pemuridan?

Ketika saya jadi pendeta, saya sering merasa lebih sebagai pengusaha real-estate, bankir, kontraktor umum, dan penggalang dana profesional. Saya bermimpi membangun gedung, mencari model gedung, mendesain ulang model gedung tua, menyewa gedung, membangun gedung baru dan memperbaikinya saat Tuhan kirim hujan melewati celah gedung. Gedung butuh banyak waktu dan tenaga. Saya lakukan banyak hal untuk membangun gedung karena saya yakin, seperti keyakinan pendeta lain, bahwa tak ada cara untuk mencapai keberhasilan tanpa ada gedung sebagai tempat pertemuan jemaat.

Gedung gereja juga menghabiskan banyak sekali dana. (Di Amerika Serikat, beberapa sidang jemaat mengeluarkan dana jutaan dolar untuk membangun gedung gereja). Setelah mimpiku terkabul untuk memiliki gedung gereja, saya sering bermimpi ketika perjanjian kredit penjaminan gedung gereja dilunaskan, sehingga kita dapat memakai semua uang untuk pelayanan. Pernah terpikirkan, ketika saya mengajar jemaat saya mengenai pengelolaan khusus yang baik dan cara keluar dari belitan utang, sehingga saya libatkan seluruh jemaat untuk menanggung utang! (Tentu, saya mengajar melalui teladan).

Sebagian besar bangunan gereja dipakai hanya selama beberapa jam sekali atau dua kali seminggu. Organisasi apa di seluruh dunia yang membangun gedung-gedung yang jarang digunakan? (Jawaban: hanya aliran-aliran sempalan dan agama-agama palsu).

Lubang penghisap-uang itu menimbulkan banyak masalah. Pendeta yang memiliki gedung gereja selalu membutuhkan aliran uang, dan itu mempengaruhi kegiatannya. Ia tergoda untuk melayani orang-orang kaya (yang sering memberi tanpa berkorban), berkompromi dengan ajaran yang mungkin menyerang ajaran lain, dan membelokkan ajaran Alkitab untuk menjadikannya sebagai tujuannya. Banyak khotbahnya cenderung tentang hal-hal keuangan dan mendorong pelipatgandaan uang. Karena itu, orang Kristen kadang mulai berpikir bahwa aspek-aspek terpenting untuk menjadi orang percaya adalah (1) membayar perpuluhan (perintah yang tidak signifikan seperti kata Yesus), dan (2) mengikuti kebaktian di gereja (tempat perpuluhan dikumpulkan setiap hari Minggu). Sepertinya, hal itu bukan gambaran bagi pemuridan. Namun, banyak pendeta bermimpi memiliki jemaat di mana tiap orang hanya melakukan dua hal tadi. Bila pendeta memiliki sidang jemaat di mana hanya sebagian jemaat melakukan dua hal itu, maka ia bisa saja menulis buku dan menjual rahasianya kepada jutaan pendeta lainnya!

Fakta mengungkapkan: Tak ada catatan adanya sidang jemaat yang membeli atau membangun gedung dalam kitab Kisah Para Rasul. Sebagian besar orang percaya membuat persekutuan di rumah-rumah.

[6]

Tidak ada pengumpulan dana untuk membangun gedung. Tak ada instruksi dalam suratan-suratan untuk pembangunan gedung gereja. Lagipula, tak seorangpun berpikir untuk membangun gedung gereja sampai 300 tahun usia Kekristenan, ketika gereja berkompromi dengan dunia melalui keputusan Konstantin. Tiga ratus tahun! Coba pikirkan rentang waktu itu! Dan gereja berkembang dan berlipat-lipat jumlahnya, bahkan pada masa-masa penganiayaan berat, semuanya tanpa gedung gereja. Gejala demikian berkali-kali terjadi di abad-abad berikut. Hal sebaliknya terjadi di China akhir-akhir ini, di mana kini ada lebih dari satu juta gereja rumah di China.

Hari Minggu Jam Sebelas adalah Jam yang Paling Terpisah (Eleven O’Clock Sunday is the Most Segregated Hour)

Fasilitas gereja kini yang mengikuti model Amerika diharapkan memiliki tempat sendiri demi memberi ruang bagi pelayanan khusus untuk tiap kelompok umur. Tetapi di jemaat mula-mula, tak ada pelayanan terpisah bagi pria, wanita dan semua kelompok umur anak-anak. Gereja dipersatukan dalam tiap segi, bukan terpisah-pisah. Unit keluarga diperkuat, dan tanggung-jawab rohani orang-tua diteguhkan, bukannya terkikis, oleh struktur gereja, seperti yang dimiliki oleh unit keluarga dalam struktur gereja masa sekarang.

Apakah gedung gereja dapat mendukung atau menghambat kegiatan pemuridan? Dalam sejarah, pemuridan berhasil dilakukan selama berabad-abad tanpa kehadiran gedung gereja, dan karena berbagai alasan yang baik.

Persekutuan dilakukan di rumah-rumah, seperti dilakukan selama tiga abad pertama, di mana orang-orang berbagi makanan dengan sukacita, mengajar, bernyanyi, dan mendapat karunia-karunia roh selama tiga sampai lima jam; persekutuan ini memberikan suasana pertumbuhan rohani yang sungguh-sungguh kepada orang-orang percaya. Anggota-anggota tubuh Kristus merasa menjadi peserta, ketika mereka duduk berhadapan-hadapan, tidak merasa seperti orang-orang yang hadir di gereja kini —layaknya penonton di teater, yang duduk menatap belakang kepala orang di depannya sambil tetap menonton pertunjukan di pentas. Atmosfir yang santai pada waktu jamuan bersama menciptakan suasana keterbukaan, hubungan kepedulian murni dan persekutuan sejati, yang tak ada bandingannya dengan “persekutuan” zaman kini yang sering hanya berjabat-tangan dengan orang-orang tak dikenal di bangku sebelah ketika pendeta memberi kode.

Pengajaran lebih dari hanya sesi tanya-jawab dan diskusi terbuka di antara sesamanya, bukannya kuliah yang disampaikan oleh orang berpakaian tua, berbicara dengan suara teatrikal, dan berdiri di depan penonton yang bersikap sopan (dan yang sering merasa jemu). Pendeta tidak “menyiapkan khotbah mingguan.” Siapa saja (termasuk penatua/pendeta/penilik) dapat menerima pengajaran yang diberikan oleh Roh Kudus.

Ketika rumah penuh sesak, (para) penatua tak akan berpikir untuk mencari gedung yang lebih besar. Sebaliknya, setiap orang tahu, mereka harus membagi menjadi dua persekutuan rumah, dan mereka mencari kehendak Roh terkait dengan tempat persekutuan baru dan orang yang akan mengawasi. Untunglah, mereka tak perlu mencari orang asing dan ahli teori pertumbuhan-gereja untuk meneliti penyimpangan filsafat atau doktrin yang mereka buat; sudah ada calon penilik di antara mereka, yang mengikuti pelatihan kerja dan sudah mengenal anggota-anggota kelompok kecil mereka di masa depan. Gereja rumah yang baru itu berkesempatan untuk menjangkau satu daerah baru melalui penginjilan, dan menunjukkan kepada tiap orang yang tidak percaya apa sebenarnya identitas orang-orang Kristen itu —orang-orang yang saling mengasihi. Mereka dapat mengundang orang-orang yang tidak percaya ke persekutuan mereka, semudah mengundang mereka untuk makan.

Pendeta yang Diberkati (The Blessed Ministers)

Tak ada pendeta/penatua/penilik di gereja rumah yang menderita “kelelahan” pelayanan karena dibebani tanggung-jawab pastoral, suatu hal yang lazim terdapat di gereja sekarang. (Satu penelitian melaporkan ada 1800 pendeta meninggalkan pelayanan setiap bulan di Amerika Serikat). Pendeta/penatua/penilik itu hanya memiliki kawanan kecil untuk dijaga, dan bila kawanan itu memasok kebutuhan dana sehingga pelayanan itu jadi pekerjaannya, maka ia sebenarnya punya waktu untuk berdoa, merenung, mengabarkan Injil kepada orang-orang tak percaya, membantu kaum miskin, mengunjungi dan mendoakan orang sakit, dan memakai waktu yang berharga untuk memperlengkapi murid-murid baru untuk melakukan semua hal itu secara bersama. Administrasi gereja dibuat sederhana.

Ia bekerja sama dengan penatua/pendeta/penilik lainnya di daerahnya. Tidak ada nafsu untuk memiliki “gereja terbesar di kota” atau bersaing dengan para pendeta sejawat untuk melakukan “pelayanan terbaik bagi pemuda” atau “program gereja yang sangat menarik bagi anak-anak.” Orang-orang tidak ke pertemuan jemaat hanya untuk menilai sebaik apa penampilan tim penyembahan atau selucu apa sang pendeta. Mereka telah lahir kembali dan mengasihi Yesus dan umatNya. Mereka suka makan bersama dan berbagi apapun berkat pemberian Allah. Tujuan mereka hanya untuk menaati Yesus dan siap berdiri di depan tahta penghakimanNya.

Memang diakui, ada berbagai masalah di gereja-gereja rumah, dan semua disebutkan dalam surat-surat rasul. Namun di gereja mula-mula tak terdengar banyak masalah yang kini melanda gereja-gereja masa kini dan menghambat pemuridan, hanya karena model gereja lokal mereka sangat berbeda dengan perubahan setelah abad ketiga dan sejak abad kegelapan. Jadi, biarkan fakta berikut berlalu: Tidak ada gedung gereja sampai permulaan abad keempat. Andaikan anda hidup selama tiga abad permulaan, bagaimana perbedaan pelayanan anda zaman itu dibandingkan dengan pelayanan di zaman kini?

Kesimpulannya, makin dekat kita mengikuti pola-pola Alkitabiah, maka makin efektif kita mewujudkan maksud Allah untuk melakukan pemuridan. Hambatan-hambatan terbesar dalam pemuridan di gereja-gereja masa kini muncul dari struktur dan praktek yang tidak berdasarkan Alkitab.

 


[1] Tampak jelas sekali bahwa pendeta (kata benda bahasa Yunani adalah poimain, yang berarti gembala) ekivalen dengan penatua (kata benda bahasa Yunani presbuteros), dan juga ekivalen dengan penilik (kata benda bahasa Yunani episkopos, diterjemahkan bishop dalam Alkitab versi King James). Paulus, misalnya, mengajarkan penatua (presbuteros) di Efesus, yang dikatakannya Roh Kudus telah membuat penilik (episkopos), untuk menggembalakan (kata kerja bahasa Yunani poimaino) kawanan domba Allah (lihat Kisah Para Rasul 20:28). Ia juga menggunakan istilah penatua (presbuteros) dan istilah penilik (episkopos) yang sinonim dalam Titus 1:5-7. Juga, Petrus mendorong penatua (presbuteros) untuk menggembalakan (poimaino) kawanan domba (lihat 1 Petrus 5:1-2). Ada pendapat bahwa seorang bishop (terjemahan Alkitab versi King James episkopos) adalah jabatan yang lebih tinggi dari pendeta atau penatua, dan bishop adalah orang yang menilik banyak gereja; namun pendapat ini hanyalah rekaan manusia.

[2] Penekanan masa kini kepada jabatan seorang pendeta yang berpendidikan tinggi dalam banyak hal menjadi gejala dari sebuah panyakit besar, yakni hal menyamakan penguasaan pengetahuan dengan pertumbuhan rohani. Kita beranggapan bahwa orang yang tahu lebih banyak adalah lebih dewasa secara rohani, sedangkan ia bisa saja kurang rohani, berbangga dengan semua yang telah dipelajarinya. Paulus menuliskan, “Pengetahuan membuat orang menjadi sombong,” (1 Korintus 8:1). Dan tentunya orang yang mendengarkan kuliah yang membosankan selama dua atau tiga tahun siap memberikan kuliah yang membosankan setiap minggu!

[3] Dalam surat pertama Paulus kepada Timotius dan suratnya kepada Titus, ia menyebutkan bahwa ia akan meninggalkan mereka untuk menunjuk penatua/penilik di dalam gereja. Sehingga Timotius dan Titus memberikan tugas pengawasan kepada para penatua/penilik secara singkat. Mereka biasanya mengadakan pertemuan berkala dengan para penatua/penilik untuk memuridkan mereka, sebagaimana ditulis oleh Paulus, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Timotius 2:2).

[4] Lihat Kisah Para Rasul 2:2, 46; 5:42; 8:3; 12:12; 16:40: 20:20; Roma 16:5: 1 Korintus 16:19; Kolose 4:15; Filemon. 1:2; 2 Yohanes 1:10

[5] Patut dicatat bahwa surat-surat Paulus kepada jemaat-jemaat yang dikirimkan kepada setiap orang di berbagai jemaat, dan bukan kepada para penatua atau penilik. Bahkan, Paulus hanya menyebutkan penatua/pendeta/penilik dalam dua suratnya kepada jemaat-jemaat. Dalam satu contoh, penilik dan diaken disebutkan dalam kalimat pembukaan, ditambahkan seolah-olah ia tidak ingin mereka menganggap bahwa mereka orang yang dikucilkan (lihat Filipi 1:1). Dalam contoh lain, Paulus menyebutkan pendeta-pendeta di antara daftar para pelayan yang memperlengkapi orang-orang suci (lihat Efesus 4:11-12). Juga perlu dicatat secara khusus bagaimana Paulus tidak menyebutkan peranan penatua ketika ia memberikan petunjuk tertentu yang dianggap akan melibatkan penatua, seperti mengatur Perjamuan Tuhan, dan penyelesaian perselisihan di antara orang-orang Kristen. Semua ini menunjuk pada fakta bahwa para penatua/pendeta tidak memegang peranan sentral dan serba-penting yang mereka miliki di banyak gereja masa sekarang.

[6] Lihat Kisah Para Rasul 2:2, 46; 5:42; 8:3; 12:12; 16:40: 20:20; Roma 16:5: 1 Korintus 16:19; Kolose 4:15; Filemon. 1:2; 2 Yohanes 1:10

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Tiga (Chapter Three)

Bab Empat (Chapter Four)

Gereja Rumah (The House Churches)

Saat pertama mendengar tentang gereja rumah, seseorang sering keliru membayangkan bahwa perbedaan mencolok antara gereja rumah dan gereja lembaga adalah ukuran dan kemampuan untuk memberikan “pelayanan.” Kadang-kadang, orang menyimpulkan bahwa gereja rumah tak dapat memberi kualitas pelayanan seperti yang diberikan di gereja lembaga/gedung. Namun bila “pelayanan” didefiniskan sebagai tindakan yang mendukung pemuridan, dengan cara membantu murid untuk menjadi seperti Kristus dan melengkapi mereka untuk pelayanan, maka gereja lembaga tak memperoleh manfaat. Dan seperti saya sebutkan pada bab sebelumnya, mereka bisa saja tidak memperoleh manfaat. Sudah tentu, gereja rumah tak dapat memberikan kuantitas dari berbagai kegiatan di gereja lembaga, namun gereja rumah bisa lebih teratur dalam hal memberi pelayanan yang benar.

Sebagian orang menolak pendapat bahwa gereja rumah adalah gereja yang benar, hanya karena gereja rumah tak punya gedung. Andaikan kumpulan orang itu hidup pada suatu waktu selama tiga ratus tahun pertama sejarah gereja, mereka mungkin menolak kehadiran gereja di dunia sebagai bangunan gereja. Faktanya, Yesus menyatakan, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20). Yesus tidak berkataapapun tentang di mana orang-orang percaya harus berkumpul. Dan, meskipun hanya ada dua orang percaya, Ia berjanji hadir dalam namaNya. Hal-hal yang dilakukan oleh para murid Kristus di restoran, sambil berbagi makanan dan berdiskusi tentang kebenaran, mengajar dan saling menegur adalah hal-hal yang dekat dengan model pertemuan jemaat Perjanjian Baru dibandingkan dengan yang terjadi di banyak gedung gereja setiap hari Minggu pagi.

Pada bab sebelumnya, saya uraikan beberapa keuntungan gereja rumah atas gereja lembaga. Saya ingin memulai bab ini dengan uraian beberapa alasan tentang mengapa model gereja rumah jadi alternatif yang sangat Alkitabiah yang bisa sangat efektif dalam mewujudkan tujuan untuk pemuridan. Pertama, saya ingin berkata lebih dulu bahwa saya tak beraksud menyerang gereja lembaga atau pendeta gereja itu. Ada banyak pendeta yang sungguh-sungguh dan tulus hati di gereja lembaga yang melakukan berbagai hal dalam strukturnya untuk menyenangkan Tuhan. Setiap tahun, saya melayani ribuan pendeta di gereja-gereja lembaga, dan saya sangat mengasihi dan menghargai mereka. Merekalah orang-orang terbaik di dunia. Dan karena tahu bagaimana sulitnya pekerjaan mereka, saya ingin menyampaikan alternatif yang akan membantu mereka agar tak menderita kerugian lebih banyak dan menjadi lebih efektif dan bahagia pada saat yang sama. Model gereja rumah adalah model Alkitabiah dan berpotensi memberi kontribusi pada pemuridan yang efektif dan perluasan Kerajaan Allah. Saya ragu apakah sebagian besar pendeta gereja-gereja lembaga merasa lebih bahagia, lebih efektif dan lebih terpenuhi bila mereka melayani gereja rumah.

Saya pendeta gereja lembaga selama lebih duapuluh tahun dan bekerja dengan sebaik-baiknya. Tetapi setelah beberapa bulan berkunjung ke banyak gereja pada hari Minggu pagi, saya mendapat kesan pertama apa rasanya bila sekedar menghadiri gereja sebagai “orang biasa.” Mata saya terbuka, dan saya mulai mengerti mengapa banyak orang sangat bersemangat ke gereja. Seperti yang dilakukan oleh hampir setiap orang yang hadir, kecuali pendeta, saya duduk sopan sambil menunggu ibadah berakhir. Ketika berakhir, saya berinteraksi dengan orang-orang lain sebagai peserta bukan sebagai penonton yang bosan. Pengalaman itu menjadi sarana yang membuat saya memikirkan tentang alternatif yang lebih baik, dan saya meriset model gereja rumah. Saya terkejut mendapati ada jutaan gereja rumah di seluruh dunia dan, saya simpulkan, gereja rumah memiliki beberapa keuntungan nyata dibandingkan gereja lembaga.

Banyak pendeta yang membaca buku ini tak memberi perhatian pada gereja rumah, tetapi pada gereja lembaga. Saya tahu banyak tulisan saya ini mungkin awalnya sulit diterima karena kelihatan sangat radikal. Tetapi saya minta agar mereka menyiapkan waktu sendiri untuk merenungkan perkataan saya, dan saya tak berharap mereka menerima apapun saat itu juga. Saya tujukan hal itu kepada para pendeta, karena saya terdorong oleh kasih kepada mereka dan gerejanya.

Satu-satunya Model Gereja dalam Alkitab (The Only Kind of Church in the Bible)

Pertama dan yang terutama, dalam Perjanjian Baru, tidak dikenal gereja lembaga yang mengadakan persekutuan di gedung khusus, sedangkan gereja rumah jelas adalah bentuk yang ada di jemaat mula-mula:

Dan setelah berpikir sebentar, pergilah ia ke rumah Maria, ibu Yohanes yang disebut juga Markus. Di situ banyak orang berkumpul dan berdoa. (Kisah Para Rasul 12:12, tambahkan penekanan).

……. aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum [jelaslah, bukan di gedung-gedung gereja] maupun dalam perkumpulan-perkumpulan di rumah kamu; … (Kisah Para Rasul 20:20, tambahkan penekanan).

Sampaikan salam kepada Priskila dan Akwila, …. Salam juga kepada jemaat di rumah mereka. (Roma 16:3-5, tambahkan penekanan; lihat juga Roma 16:14-15 untuk menyebut kemungkinan ada dua gereja rumah lainnya di Roma).

Salam kepadamu dari Jemaat-jemaat di Asia Kecil. Akwila, Priskila dan jemaat di rumah mereka menyampaikan berlimpah-limpah salam kepadamu. (1 Korintus 16:19, tambahkan penekanan).

Sampaikan salam kami kepada saudara-saudara di Laodikia; juga kepada Nimfa dan jemaat yang ada di rumahnya. (Kolose 4:15, tambahkan penekanan).

Dan kepada Apfia saudara perempuan kita dan kepada Arkhipus, teman seperjuangan kita dan kepada jemaat di rumahmu … (Filemon 1:2, tambahkan penekanan).

Ada perdebatan tentang alasan utama jemaat mula-mula tidak membangun gedung gereja, yakni gereja masih dalam masa awal pertumbuhan selama beberapa dekade dalam sejarah Perjanjian Baru (dan lebih dari dua abad setelah itu). Jadi, bila pembangunan gedung gereja menjadi tanda kedewasaan gereja, maka gereja di zaman para rasul dalam Kisah Para Rasul tak pernah menjadi dewasa.

Menurut saya, tak satupun rasul pernah membangun gedung gereja disebabkan hal tersebut dianggap bukan kehendak Tuhan, karena Yesus tidak meninggalkan teladan atau instruksi demikian. Ia melakukan pemuridan tanpa gedung khusus, dan Ia berkata kepada murid-muridNya untuk melakukan pemuridan. Mereka menganggap tidak perlu membuat bangunan khusus. Sesederhana itu. Ketika Yesus berkata kepada murid-muridNya untuk pergi ke seluruh dunia dan melakukan pemuridan, sehingga dalam diri murid-muridNya, tak terpikirkan, “Keinginan Yesus agar kita membangun gedung dan berkhotbah kepada orang-orang di tempat itu sekali seminggu.”

Lagipula, membangun gedung khusus bahkan dapat dianggap pelanggaran langsung dari perintah Kristus untuk tidak meletakkan harta di dunia, sehingga hanya membuang uang untuk sesuatu yang sama sekali tak perlu, dan merendahkan kerajaan Allah dari sumber-sumber yang dapat digunakan untuk pelayanan transformasi.

Pengelolaan Khusus dalam Alkitab (Biblical Stewardship)

Maka, uraian di atas memberi keuntungan kedua bagi gereja rumah dibandingkan gereja lembaga: Model gereja rumah menumbuhkan pengelolaan khusus ilahi untuk sumber-sumber milik anggota, yang tentu menjadi aspek sangat penting dalam pemuridan.

[1]

Tak ada uang terbuang untuk pembiayaan gedung, kepemilikan, penyewaan, perbaikan, perluasan, pembuatan desain ulang, sistem pemanasan atau pendinginan ruang. Sehingga, uang yang dipakai untuk gedung gereja dapat digunakan untuk memberi makanan dan pakaian kepada orang miskin, biaya pengabaran Injil, dan biaya untuk pemuridan, seperti dilakukan dalam kitabKisah Para Rasul. Pikirkanlah hal baik yang dapat dilakukan untuk Kerajaan Allah bila dana trilyunan rupiah untuk membangun gedung-gedung gereja dapat dipakai untuk menyebarkan Injil dan melayani kaum miskin! Hampir tak terbayangkan.

Lagipula, gereja rumah yang anggotanya tidak lebih dari duapuluh orang dapat benar-benar diperhatikan oleh penatua/pendeta/penilik yang “membuat-tenda” (yakni, “tidak-dibayar”), suatu hal yang mungkin terjadi ketika ada beberapa orang percaya di gereja rumah. Gereja rumah hampir sama sekali tak butuh uang untuk pengoperasiannya.

Sudah tentu, Alkitab menunjukkan bahwa setiap penatua/pendeta/penilik perlu dibayar sesuai tugasnya, sehingga mereka yang mengabdikan seluruh waktunya untuk pelayanan harus benar-benar hidup sepenuhnya dari pelayanan (lihat 1 Timotius 5:17-18). Sepuluh orang anggota sebuah gereja rumah yang bekerja dan mendapatkan gaji dapat memberi perpuluhan untuk mendukung seorang pendeta yang hidup dengan kondisi rata-rata. Lima orang pemberi perpuluhan di gereja rumah dapat membantu seorang pendeta untuk mengabdikan waktu kerja setengah minggu bagi pelayanannya.

Dengan model gereja rumah itu, maka, demi mendukung pendeta, uang untuk biaya gedung tak dipakai, sehingga pendeta gereja lembaga tak boleh menganggap bahwa perkembangan gereja rumah akan mengancam ketenangan tugas mereka. Sebaliknya, hal itu bisa berarti banyak orang lain yang menyadari kehendak yang Allah taruh dalam hati mereka untuk melayaniNya dalam profesi mereka.

[2]

Kelaki, hal itu dapat membantu dalam mencapai tujuan pemuridan. Juga, gereja rumah dengan anggota duapuluh orang yang bekerja dapat memberi sebagian pendapatan bagi misi di luar negeri dan orang miskin.

[3]

 

Bila sebuah gereja lembaga yang diubah menjadi jaringan yang terdiri dari gereja-gereja rumah, orang-orang yang tak lagi bekerja dapat menjadi staf administrasi gereja dan staf pendukung program yang melayani khusus (misalnya, pelayan anak dan pemuda di gereja besar) yang tak bersedia ikut pelayanan keliling yang kurang memiliki dasar Alkitabiah dalam hal mencukupi pelayanan. Gereja rumah tak butuh orang untuk pelayanan anak dan pelayanan pemuda karena Alkitab memberi tanggung-jawab itu kepada orang-orang tua, dan jemaat di gereja rumah umumnya tetap bertahan mengikuti perintah Alkitab, bukannya norma-norma budaya Kekristenan. Pemuda Kristen yang tak memiliki orang tua Kristen dapat ikut gereja rumah dan didisiplinkan ketika mereka ikut dengan gereja lembaga. Adakah orang yang heran mengapa tak ada “pendeta urusan pemuda” atau “pendeta urusan anak” yang disebut dalam Perjanjian Baru? Tidak ada pelayanan tersebut selama 1900 tahun pertama masa Kekristenan. Mengapa kini tiba-tiba diperlukan pendeta urusan pemuda dan pendeta urusan anak, terutama di negara-negara barat yang kaya?

[4]

 

Khusus di negara-negara miskin, adalah mustahil seorang pendeta menyewa atau memiliki gedung gereja tanpa subsidi dari orang-orang Kristen di negara-negara Barat. Maka, muncul banyak konsekwensi yang tak diinginkan dari ketergantungan itu. Nyatanya, selama 300 tahun, masalah itu tak muncul dalam Kekristenan. Bila anda jadi pelayan di negara berkembang yang sidang jemaatnya tak sanggup membangun gedung gereja, anda tak perlu membujuk orang Amerika yang tengah berkunjung agar anda mendapatkan uang darinya. Allah sudah selesaikan masalahmu. Anda benar-benar tak perlu gedung gereja agar berhasil melakukan pemuridan. Ikutilah model dalam Alkitab.

Akhir dari Keluarga yang Terpisah-Pisah (The End of Fragmented Families)

Keuntungan lain dari gereja-gereja rumah adalah gereja-gereja itu lebih berhasil dalam pendisiplinan anak dan remaja. Salah satu kepalsuan besar yang dilakukan oleh gereja-gereja lembaga sekarang (terutama gereja-gereja besar di Amerika Serikat) adalah mereka melakukan pelayanan secara istimewa kepada anak-anak dan pemuda. Namun, gereja-gereja itu menyimpan fakta bahwa sebagian besar anak, yang menikmati masa keceriaan saat mengikuti pelayanan anak dan pemuda yang riang, tak pernah kembali ke gereja lagi saat mereka “meninggalkan sarangnya.” (Untuk mendapatkan data anak dan pemuda yang “meninggalkan sarangnya”, tanyakan pendeta yang menangani kepemudaan, pasti ia tahu).

Tambahan pula, gereja yang pelayannya menangani pemuda dan anak-anak senantiasa berjanji palsu kepada orang-orang tua yang tak sanggup atau tak bertanggung-jawab atas perkembangan rohani anak-anak mereka. Para pelayan sering berkata, “Kami akan menjaga perkembangan rohani anak-anak anda. Kami ahli dalam urusan ini.”

Sebagaimana adanya, sistem itu ternyata gagal, karena menciptakan siklus kompromi yang terus-menerus. Kejadiannya berawal dari orang-orang tua yang mencari gereja agar anak-anak mereka bisa merasa senang. Bila remaja Johny berkata ketika pulang ke rumah bahwa ia senang berada di gereja, maka orang-orang tua terkejut, karena mereka samakan rasa senang Johny dalam menikmati gereja dengan rasa tertarik Johny dalam hal-hal rohani. Orang-tua sering juga keliru.

Setiap pendeta senior yang termotivasi oleh kesuksesan menginginkan pertumbuhan gerejanya, demikian juga setiap pendeta urusan pemuda dan pendeta urusan anak sering meninggalkan rapat staf dengan perasaan tekanan untuk membuat program ”relevan” yang menyenangkan anak-anak. (Tingkatan “relevan” selalu ada di bawah “kesenangan”, dan “relevan” tidak otomatis berarti, “Pimpin anak-anak untuk bertobat, percaya, dan menaati semua perintah Yesus”). Bila anak-anak diberikan program, orang-orang tua yang naif akan kembali (membawa uangnya), dan gereja akan bertumbuh.

Ukuran sukses kelompok pemuda diukur dari jumlah kehadiran. Pendeta urusan pemuda melakukan apa saja untuk menghimpun para pemuda, dan seringkali tindakan itu berkompromi dengan spiritualitas murni. Patut dikasihani si pendeta urusan pemuda yang mendapat laporan tentang orang tua yang mengadu kepada pendeta senior bahwa anak-anak mereka mengeluhkan pesan-pesan membosankan atau selalu mengecam yang diucapkan oleh pendeta urusan pemuda.

Namun, adalah berkat yang indah bila kita melihat para pendeta urusan pemuda rada dalam tubuh Kristus bila ia menjadi pemimpin gereja rumah. Mereka biasanya terampil melakukan relasi, bersemangat muda dan tak pernah lelah. Banyak dari mereka hanyalah pendeta urusan pemuda karena itulah syarat awal bagi untuk perlahan-lahan memperolah keterampilan maha-hebat yang diperlukan untuk tetap hidup saat menjadi pendeta senior. Kebanyakan pendeta urusan pemuda lebih mahir melayani gereja rumah. Tugas yang mereka lakukan di kelompok pemuda bisa saja mendekati model gereja yang Alkitabiah dibandingkan hal yang terjadi di ruang besar gereja! Hal yang sama bisa saja berlaku bagi pendeta urusan anak, yang sangat jauh berebeda dengan pendeta senior dalam kemampuan melayani gereja rumah di mana semua orang, termasuk anak-anak, duduk membentuk lingkaran, semua anggotanya ikutserta dan bahkan ikut makan bersama.

Di gereja rumah, anak-anak dan remaja didisiplinkan secara alami, karena mereka mengalami komunitas Kristen sejati dan mendapat kesempatan ikutserta, mengajukan pertanyaan, dan berinteraksi dengan semua orang segala usia, semuanya sebagai bagian satu keluarga Kristen. Di gereja lembaga, anak-anak dan remaja senantiasa menyaksikan pertunjukan besar dan mengikuti pelajaran “menyenangkan”, hanya sedikit bergaul dengan, jika ada, komunitas ril; dan mereka ini sering sadar akan sikap munafik dan, seperti terjadi di sekolah, hanya belajar berinteraksi dengan teman-teman kelompoknya.

Tetapi, dalam persekutuan orang-orang segala usia, bagaimana dengan bayi-bayi yang menangis atau anak-anak kecil yang gelisah?

Kehadiran bayi dan anak selalu diterima, dan, untuk menangani mereka, dapat dilakukan langkah-langkah praktis ketika timbul masalah. Misalnya, mereka dapat dibawa ke ruang lain untuk dihibur, atau diberi pensil warna dan kertas untuk mewarnai. Dalam komunitas gereja rumah, bayi-bayi dan anak-anak bukanlah masalah sehingga mereka tidak harus ditidurkan di tempat perawatan dengan penjagaan orang lain. Mereka dikasihi oleh semua orang dalam keluarga besar. Bayi yang mulai menangis di gereja lembaga menjadi gangguan bagi formalitas ibadah dan membuat orang tua si bayi malu, yang mungkin merasa orang lain menatap dengan ekspresi tak senang. Bayi yang mulai menangis di gereja rumah dikelilingi oleh keluarganya, dan tak seorangpun keberatan akan kehadiran berkat kecil Allah di tengah-tengah mereka, bayi yang mereka peluk.

Orang-orang tua yang anak-anaknya tak terkontrol dapat diajari oleh orang-orang tua lain tentang apa yang perlu mereka tahu. Lagi-lagi, orang-orang percaya menjaga hubungan yang saling peduli dan tulus. Mereka tidak saling menggosipkan seperti yang sering terjadi di gereja lembaga. Mereka saling kenal dan mengasihi.

Pendeta yang Bahagia (Happy Pastors)

Setelah menjadi pendeta di gereja-gereja selama dua dekade, dan berbicara di depan puluhan ribu pendeta di seluruh dunia, dan memiliki banyak pendeta sebagai teman pribadi, dapat dikatakan bahwa saya tahu sesuatu tentang kebutuhan melayani sebuah gereja kini. Seperti pendeta di gereja lembaga, saya telah mengalami “sisi gelap” dalam pelayanan. Terkadang sangat gelap. Ternyata, gambarannya bisa dikatakan “brutal”.

Harapan-harapan yang biasa ditemukan oleh sebagian besar pendeta menciptakan ketegangan yang hebat yang kadang-kadang bahkan meruntuhkan hubungan di dalam keluarganya mereka sendiri. Pendeta-pendeta jadi ciut hati karena berbagai alasan. Mereka harus menjadi politisi, hakim, pegawai, psikolog, pengatur kegiatan, kontraktor bangunan, penasehat perkawinan, pembicara di depan publik, manajer, pembaca pikiran dan administrator. Sebagian pendeta sering bersaing dengan pendeta-pendeta lain untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari tubuh Kristus. Hanya sedikit waktu mereka pakai untuk melakukan disiplin rohani secara pribadi. Banyak pendeta merasa terjebak dalam tugasnya dan mendapat bayaran kecil. Sidang jemaat mereka menjadi pelanggan dan karyawannya. Terkadang, pelanggan dan karyawan itu dapat mempersulit kehidupan.

Bila dibandingkan, pendeta gereja rumah mendapat kemudahan. Pertama, bila ia hidup menjadi teladan sebagai murid sejati dan mengajarkan ketaatan yang tanpa kompromi terhadap semua perintah Yesus, maka hanya sedikit orang yang tergolong kambing yang akan berminat ikut ambil bagian dalam kelompoknya. Nyatanya, persekutuan di rumah dapat menjauhkan orang yang tergolong kambing. Sehingga, ia menyuruh orang yang tergolong domba untuk melayani.

Kedua, pendeta gereja rumah secara pribadi dapat mengasihi dan memuridkan semua orang yang tergolong domba, karena ia hanya mengawasi duabelas sampai duapuluh orang dewasa. Ia dapat menikmati kedekatan nyata dengan orang-orang yang tergolong domba, karena ia bagaikan bapak bagi satu keluarga. Ia dapat membagi waktu untuk domba-dombanya itu. Ketika saya menjadi pendeta di gereja lembaga, saya sering merasa kesepian. Saya tak dapat berdekatan dengan siapapun dalam sidang jemaat saya, karena orang-orang lain bisa tak senang dengan saya karena mereka tak masuk dalam lingkaran dekat teman-teman atau mencemburui orang di dalam lingkaran itu. Saya ingin sekali kedekatan yang tulus dengan orang-orang percaya lain, namun saya tak mau ada resiko pengorbanan demi mendapatkan teman sejati.

Dalam suasana kekeluargaan yang sangat erat di gereja rumah, para anggota gereja biasanya membantu pendeta dalam memikul tanggung-jawab, karena ia menjadi teman dekat mereka, bukan aktor di atas panggung.

Pendeta gereja rumah dapat meluangkan waktu untuk membina pemimpin gereja rumah di masa depan, sehingga ketika waktunya tiba untuk berkembang, pemimpin sudah siap. Ia tak perlu mengawasi pemimpin yang paling potensial di masa depan untuk mengambil karunia-karunia dari gerejanya untuk dibawa ke sekolah Alkitab di tempat lain.

Pendeta gereja rumah punya waktu untuk mengembangkan pelayanan lainnya di luar sidang jemaat lokalnya. Ia dapat melayani di penjara, tempat perawatan pribadi atau ikut penginjilan pribadi bagi para pengungsi atau pebisnis. Sesuai pengalamannya, ia dapat membagi waktu untuk merintis gereja rumah lainnya, atau menjadi mentor bagi pendeta muda di gereja rumah yang telah dibina melalui pelayanannya.

Pendeta gereja rumah tak merasa tertekan untuk tampil pada ibadah Minggu pagi. Ia tak perlu menyiapkan khotbah di tiga tempat pada Sabtu malam, karena ia heran bagaimana ia dapat memuaskan banyak orang yang melalui banyak tahap pertumbuhan rohani.

[5]

Ia dapat bersukacita saat melihat Roh Kudus memakai setiap orang dalam persekutuan itu dan mendorong mereka untuk menggunakan masing-masing karunia. Ia bisa saja tak menghadirid persekutuan dan setiap hal berjalan baik meskipun tanpa kehadirannya.

Pendeta gereja rumah tak punya gedung yang menyita perhatiannya dan tiada staf pengurus di geeja rumah.

Pendeta gereja rumah tak punya alasan bersaing dengan pendeta setempat lainnya.

Tidak ada “dewan gereja” yang membuat pusing pendeta, dan melalui dewan ini sering muncul pertarungan politik.

Pendek kata, pendeta gereja rumah dapat menjadi orang sesuai sebutan yang Allah mau, dan bukan menjadi sebutan menurut budaya agama Kristen. Ia bukan aktor utama, bukan presiden perusahaan, atau bukan pusat perhatian. Ia petugas pemuridan, yang memperlengkapi orang-orang kudus.

Domba yang Bahagia (Happy Sheep)

Orang-orang percaya sejati menginginkan dan menikmati segala sesuatu tentang gereja rumah yang benar dan Alkitabiah.

Setiap orang percaya sejati merindukan hubungan yang tulus dengan orang-orang percaya lain, karena kasih Allah telah ditaburkan dalam hati mereka. Hubungan demikian adalah bagian dan paket dari gereja rumah. Alkitab menyebutnya sebagai persekutuan, yakni kegiatan untuk menceritakan kehidupan seseorang dengan tulus bersama dengan saudara-saudara lainnya. Gereja rumah menciptakan lingkungan bagi orang-orang percaya agar dapat melakukan hal-hal yang harus mereka lakukan, yang terdapat dalam banyak perikop tentang “saling melakukan apa” dalam Perjanjian Baru. Di gereja rumah, orang-orang percaya bisa saling mengajak, memberi dorongan, mengarahkan, menghibur, mengajar, melayani dan berdoa. Mereka bisa saling mengajak untuk mengasihi dan melakukan pekerjaan yang baik, saling mengakui dosa, saling menanggung beban, dan saling menegur dengan mazmur, himne dan kidung rohani. Mereka dapat menangis bersama dan bersukacita bersama. Hal-hal yang sama jarang terjadi pada kebaktian hari Minggu di gereja lembaga di mana orang-orang percaya duduk dan menonton. Ketika seorang anggota gereja rumah berkata kepada saya, “Ketika seseorang sakit di dalam tubuh kami, saya tidak membawa makanan ke rumah seorang asing karena saya sudah sepakat untuk melakukan ‘pelayanan pemberian makanan’. Saya biasanya membawa makanan kepada orang yang saya kenal dan kasihi.”

Orang-orang percaya sejati menikmati interaksi dan keterlibatan bersama di antara mereka. Duduk dan mendengar khotbah yang tak relevan dan menjemukan dari tahun ke tahun hanya akan memperburuk inteligensi dan spiritualitas mereka. Sebaliknya, mereka lebih suka kesempatan untuk berbagi pandangan pribadi yang didapat mengenai Allah dan FirmanNya, dan gereja rumah memberi kesempatan itu. Dengan mengikuti model Alkitab bukannya model budaya, tiap orang “mempersembahkan sesuatu, yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh.” (1 Korintus 14:26). Di gereja-gereja rumah, tiada orang tersesat dalam kerumunan orang banyak atau terpinggirkan oleh kelompok eksklusif dalam gereja.

Orang-orang percaya sejati mau dipakai oleh Allah dalam pelayanan. Di gereja rumah, tiap orang punya kesempatan untuk memberkati orang lain, dan tanggung-jawab dipikul bersama, sehingga tak seorangpun mengalami kelelahan, seperti yang sering dialami oleh para anggota yang berkomitmen di gereja-gereja lembaga. Paling kurang, setiap orang dapat membawa makanan untuk santap bersama, seperti disebutkan dalam Alkitab sebagai “perjamuan kasih” (Yudas 1:12). Bagi banyak gereja rumah, makan bersama mengikuti contoh Perjamuan Tuhan, yang menjadi bagian dari perjamuan Paskah. Perjamuan Tuhan bukanlah “makanan kecil suci dari Allah”, seperti sebutan dari anak kecil di gereja lembaga yang saya layani dulu. Ide makan kue kecil dan minum sedikit jus di antara orang-orang yang tak saling kenal selama beberapa detik jelas tak dikenal dalam Alkitab dan dalam gereja-gereja rumah yang Alkitabiah. Arti sakramen Komuni ditingkatkan berlipat kali ganda selama makan bersama di antara murid-murid yang saling mengasihi.

Di gereja rumah, penyembahan dilakukan secara sederhana, tulus dan sukarela, bukan seperti pertunjukan. Orang percaya sejati suka menyembah Allah dalam roh dan kebenaran.

Keseimbangan Doktrin dan Ketahanan (Doctrinal Balance and Toleration)

Di forum-forum biasa dan terbuka dalam tiap pertemuan jemaat kecil, pengajaran dapat diawasi oleh orang yang mampu membaca. Saudara-saudara dalam Tuhan, yang saling kenal dan mengasihi, cenderung dengan rasa hormat memperhatikan berbagai sudut-pandang yang berbeda dengan sudut-pandang mereka; dan meskipun kelompok itu tidak mencapai konsensus, tetapi kasih, bukannya doktrin, masih mengikat mereka bersama-sama. Pengajaran apapun oleh siapapun dalam kelompok, termasuk oleh penatua/pendeta/ penilik, disesuaikan dengan penilaian orang lain dengan penuh kasih, karena Sang Guru diam di dalam diri setiap anggota (lihat 1 Yohanes 2:27). Pengecekan dan keseimbangan sesuai model Alkitab dapat membantu mencegah agar ajaran doktrin tidak keluar jalur.

Hal ini bertentangan dengan norma dalam gereja-gereja lembaga kini, di mana doktrin gereja ditetapkan sejak awal dan tidak diperdebatkan. Akibatnya, doktrin-doktrin yang buruk terus bertahan, dan doktrin dapat berubah menurut keadaan. Dengan alasan sama, satu masalah dalam khotbah tiba-tiba dapat membuat keluarnya orang-orang yang berbeda pendapat, di mana orang-orang ini membonceng untuk sementara demi mencari “orang-orang percaya yang berpikiran sama.” Mereka tahu ada ketidakberesan dalam pembicaraan dengan pendeta tentang perdebatan tentang doktrin. Meskipun sudah diyakinkan untuk mengubah sudut pandangnya, ia harus tetap menyimpannya agar tak diketahui oleh banyak orang di dalam gereja dan juga oleh orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dalam denominasinya. Tiap perbedaan doktrin dalam gereja lembaga menghasilkan pendeta yang masuk kelompok politisi pintar di dunia, yakni orator yang berbicara dengan hal-hal umum yang tak jelas dan menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan kontroversi, sehingga setiap orang menganggap pendeta gereja lembaga itu ada di dalam tenda mereka.

Trend Masa Kini (A Modern Trend)

Yang menarik, makin banyak gereja lembaga mengembangkan strukutur kelompok kecil, yang mengakui struktur kelompok itu dalam pemuridan. Beberapa gereja bahkan berbuat lebih jauh lagi, dengan mendasarkan struktur intinya pada kelompok kecil, dan menganggap tiap kelompok sebagai aspek terpenting dalam pelayanannya. ”Pertemuan selebrasi” yang lebih besar adalah kepentingan sekunder bagi kelompok kecil (paling tidak dalam teori).

Itulah langkah-langkah ke arah yang benar, dan Allah memberkati tiap langkah itu, karena berkatNya sebanding dengan sejauh mana kita mengikuti kehendakNya. Memang, dibanding gereja-gereja lembaga, “gereja-gereja sel” lebih baik dibuatkan struktur agar memudahkan pemuridan. Gereja-gereja sel berada di antara model gereja lembaga dan model gereja rumah, dengan menggabungkan unsur-unsur dari dua jenis gereja itu.

Bagaimana membandingkan gereja lembaga masa sekarang yang memiliki kelompok sel dengan gereja rumah masa lalu dan masa kini? Ada beberapa perbedaan.

Misalnya, patut disayangkan, kelompok kecil di gereja lembaga terkadang mendukung banyak hal yang keliru dalam gereja itu, terutama ketika motif ril untuk mulai melayani kelompok kecil adalah membangun kerajaan gereja si pendeta senior. Sehingga, ia memanfaatkan orang-orang untuk tujuannya sendiri, dan kelompok kecil cocok sekali dengan rencana itu. Ketika itu terjadi, pemimpin kelompok kecil dipilih untuk dites kesetiaannya kepada gereja induk, dan pemimpin itu tak mungkin memiliki banyak bakat atau karunia roh, untuk berjaga-jaga agar Iblis tidak mengisi otak mereka dengan ide-ide yang dapat mereka buat sendiri. Kebijakan seperti ini menghambat efektivitas kelompok kecil dan, seperti di lembaga gereja lainnya, mendorong para pemimpin yang sungguh terpanggil dan beraspirasi untuk memasuki sekolah Alkitab dan seminari, dengan merendahkan karunia-karunia yang benar di dalam gereja, dan membawa orang-orang itu ke tempat di mana mereka akan diceramahi, bukannya mendapatkan disiplin saat bekerja.

Kelompok kecil di gereja lembaga seringkali berubah menjadi kelompok persekutuan. Pemuridan tidak nyata terjadi. Karena diduga orang-orang mendapat makanan rohani setiap Minggu pagi, maka kelompok kecil kadang-kadang terfokus pada hal-hal di luar Firman Tuhan, dan tidak ingin ada pengulangan hari-hari Minggu pagi.

Seringkali, kelompok kecil di gereja lembaga diatur oleh anggota staf gereja, bukannya dilahirkan oleh Roh. Kelompok kecil ini menjadi satu program tambahan di antara banyak program lain di gereja. Orang-orang digabung berdasarkan usia, status sosial, latar-belakang, minat, status pernikahan atau lokasi geografis. Kawanan kambing sering bercampur dengan kawanan domba. Semua organisasi kedagingan ini tak dapat membantu orang-orang percaya untuk belajar saling mengasihi meski ada banyak perbedaan. Ingatlah bahwa banyak jemaat mula-mula merupakan campuran orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi. Mereka biasanya berbagi makanan bersama, sesuatu yang dilarang oleh tradisi Yahudi. Betapa indahnya pengalaman belajar yang didapat dari setiap persekutuan yang mereka lakukan! Betapa indah kesempatan berjalan dalam kasih! Betapa mengagumkan penyampaian kesaksian mengenai kuasa Injil! Jadi, mengapa kita harus golongkan orang ke dalam kelompok yang homogen demi menjamin keberhasilan kelompok kecil?

Gereja lembaga yang memiliki kelompok kecil masih membuat tampilan di hari Minggu pagi, di mana penonton menyaksikan aksi para ahli. Kelompok-kelompok kecil tak pernah diizinkan bertemu ketika ada ibadah gereja yang “sebenarnya”, yang menunjukkan kepada semua orang bahwa yang terpenting sebenarnya adalah ibadah-ibadah di gereja lembaga. Krena pesan itu, banyak, mungkin sebagian besar, jemaat di hari Minggu pagi tak akan terlibat dalam kelompok kecil meskipun merasa terdorong untuk melakukannya, dengan memahaminya sebagai pilihan. Mereka sudah puas bila sudah ikut ibadah setiap minggu. Sehingga konsep kelompok kecil dapat dijadikan hal yang agak signifikan, namun tidak hampir sama fungsinya dengan ibadah gereja lembaga pada hari Minggu. Kesempatan terbaik untuk persekutuan yang ril, pemuridan dan pertumbuhan rohani yang efektif menjadi minimal. Yang terkirim adalah pesan keliru. Ibadah di gereja lembaga masih menjadi segala-galanya.

Perbedaan Lagi (More Differences)

Gereja lembaga yang punya kelompok kecil masih memiliki struktur seperti piramida perusahaan, di mana tiap orang tahu tempatnya dalam hirarki. Orang di tingkat atas dapat menyebut dirinya “pemimpin hamba”, namun mereka sering lebih mirip pimpinan eksekutif utama yang bertanggung-jawab membuat keputusan eksekutif. Makin besar sebuah gereja, makin jauh jarak pendeta dengan jemaatnya. Bila ia pendeta yang benar dan anda memintanya mengakui kebenaran di saat ia lengah, biasanya ia akan berkata bahwa ia lebih bahagia bila melayani lebih sedikit jemaat.

Juga, gereja lembaga yang punya kelompok kecil masih mendukung pemisahan antara kaum pelayan dan kaum awam. Pemimpin kelompok kecil selalu ada dalam kelas di bawah kaum professional bayaran. Pelajaran kelas Alkitab sering disampaikan atau disetujui oleh para pelayan, karena pemimpin kelompok kecil tak dapat diberi kepercayaan dengan banyak wewenang. Kelompok kecil tidak boleh mempraktekkan Perjamuan Tuhan atau melakukan pembaptisan. Tugas-tugas sakral ini diperuntukkan bagi kelas elit yang bergelar dan berijazah. Orang yang terpanggil untuk melayani sebagai tugas pekerjaan harus menjalani pendidikan sekolah Alkitab atau seminari agar memenuhi syarat pelayanan “ril” untuk bergabung dengan kelompok elit itu.

Kelompok kecil di gereja lembaga terkadang tak lebih dari ibadah di gereja kecil selama 60 sampai 90 menit, di mana orang yang punya karunia dapat memimpin penyembahan dan orang lain yang berkarunia memberi pengajaran yang benar. Hanya sedikit peluang bagi Roh untuk memakai orang lain, membagi berkat, atau membina pelayan.

Orang-orang sering tak serius berkomitmen pada kelompok kecil di gereja lembaga, dan berkunjung ke mana-mana, dan kelompok kecil terrkadang dibentuk untuk sementara, sehingga komunitasnya kurang akrab dibanding komunitas di gereja-gereja rumah.

Kelompok kecil di gereja lembaga biasanya melakukan persekutuan selama satu minggu agar kegiatan tidak menumpuk di akhir minggu dengan persekutuan lain di gereja. Sehingga, kelompok kecil pada pertengahan minggu biasanya dibatasi waktu tak lebih dari dua jam bagi mereka yang hadir, dan melarang mereka yang memiliki anak-anak usia sekolah atau mereka yang harus bepergian jauh.

Ketika gereja lembaga menggalakkan pelayanan kelompok kecil, masih ada gedung sebagai tempat untuk menghamburkan uang. Kenyataannya, bila program kelompok kecil menambahkan orang ke dalam gereja, bahkan lebih banyak uang habis untuk program pembangunan. Juga, kelompok kecil yang terorganisir di gereja lembaga sering dibantu staf yang digaji. Berarti pengeluaran dana lebih bagi program lain di gereja.

Mungkin hal yang terburuk, pendeta di gereja lembaga yang memiliki kelompok-kelompok kecil sering sangat terbatas dalam melakukan pemuridan pribadi. Mereka sangat sibuk dengan banyaknya tanggung-jawab dan hanya punya sedikit waktu untuk melakukan pemuridan orang-per-orang. Yang dapat dilakukan si pendeta adalah memuridkan pemimpin kelompok kecil, namun sering terbatas pada persekutuan sekali sebulan.

Dengan kata lain, menurut saya, gereja rumah adalah lebih Alkitabiah dan efektif dalam melakukan pemuridan dan dalam memperbanyak jumlah murid dan pemurid. Tetapi, saya sadari, pendapat saya tak akan mengubah dengan cepat tradisi gereja yang telah berusia ratusan tahun. Jadi, saya mendesak pendeta gereja lembaga untuk melakukan sesuatu untuk menggerakkan gerejanya ke model pemuridan yang lebih Alkitabiah.

[6]

Pendeta itu sendiri bisa saja berpikir dengan cermat untuk melakukan pemuridan bagi pemimpin masa depan atau memulai pelayanan kelompok kecil. Ia juga dapat menyelenggarakan “hari Minggu zaman gereja-mula-mula” ketika gedung gereja ditutup dan setiap orang berbagi makanan di rumah-rumah dan membuat persekutuan seperti yang dilakukan orang-orang Kristen selama tiga abad pertama.

Pendeta yang memiliki kelompok-kelompok kecil dalam gerejanya dapat membiarkan kelompok kecil itu untuk membentuk gereja rumah dan menyaksikan apa yang terjadi. Bila kelompok kecil itu sehat dan dipimpin oleh pendeta/penatua/penilik sesuai panggilan Allah, maka kelompok itu harus dapat berjalan sendiri. Mereka tidak perlu gereja induk lagi dibandingkan gereja baru yang tak berafiliasi yang masih butuh gereja induk. Mengapa tidak membebaskan mereka?

[7]

Uang anggota yang akan menuju ke gereja induk dapat mendukung pendeta di gereja rumah.

Apakah dukungan saya bagi gereja rumah berarti tidak ada ungkapan hal yang baik tentang gereja lembaga? Tentu tidak. Selama pemuridan untuk mereka yang menaati Kristus tetap dilakukan di gereja lembaga, maka gereja itu tetap diperlukan. Tetapi, praktek dan strukturnya kadang-kadang bisa menghambat, bukannya mendukung, tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Kristus untuk kita, dan seringkali praktek dan struktur itu melumpuhkan fungsi pendeta.

Apa yang Terjadi di Persekutuan Gereja Rumah? (What Happens at a House Church Gathering?)

Tidak setiap gereja rumah perlu ditata secara sama, dan boleh juga dilakukan variasi. Setiap gereja rumah perlu merefleksikan nuansa budaya dan sosialnya —itulah sebabnya gereja rumah bisa menjadi sangat efektif dalam penginjilan, terutama di negara-negara yang tak memiliki budaya Kristen. Anggota gereja rumah tidak mengundang tetangganya untuk datang ke gedung gereja yang sangat asing bagi tetangga itu di mana dia akan mengikuti ritual yang asing baginya, sebagai hambatan utama bagi pertobatan. Sebaliknya, tetangga itu diundang makan bersama dengan teman-teman dari anggota gereja rumah.

Pada umumnya, makan bersama adalah komponen utama dalam persekutuan gereja rumah. Bagi banyak gereja rumah, makan bersama itu termasuk atau adalah Perjamuan Tuhan, dan setiap gereja rumah dapat memutuskan cara terbaiknya untuk mengungkapkan arti rohaninya. Seperti disebutkan sebelumnnya, Perjamuan Tuhan yang asli sebenarnya dimulai sebagai makan Paskah yang dikemas dengan arti rohaninya sendiri. Merayakan Perjamuan Tuhan sebagai acara makan atau bagian dari acara makan merupakan pola nyata yang dilakukan ketika orang-orang percaya mula-mula berkumpul. Kita baca tentang orang-orang Kristen mula-mula:

Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam pertemuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. … Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati. (Kisah Para Rasul 2:42, 46, tambahkan penekanan)

Orang-orang Kristen mula-mula mengambil roti, memecah-mecahkannya, dan membagi bersama, hal yang dilakukan setiap kali jamuan makan dalam budaya mereka. Apakah hal memecahkan roti selama jamuan makan memiliki arti rohani bagi orang-orang Kristen mula-mula? Alkitab tidak berkata dengan pasti. Namun, William Barclay menulis dalam bukunya The Lord’s Supper, “Tak diragukan lagi bahwa Perjamuan Tuhan dimulai sebagai makan bersama keluarga atau jamuan makan teman-teman di sebuah rumah pribadi …. Ide sepotong kecil roti dan seteguk anggur tidak terkait sama sekali dengan Perjamuan Tuhan sebagaimana kisah aslinya …. Perjamuan Tuhan aslinya adalah jamuan makan keluarga untuk teman-teman yang dilakukan di sebuah rumah.” Mengagumkan bahwa tiap sarjana Alkitab masa kini sependapat dengan Barclay, namun gereja masih mengikuti tradisinya, bukannya mengikuti perkataan Firman Tuhan!

Yesus memerintahkan murid-muridNya untuk mengajar murid-murid mereka untuk menaati semua yang telah diperintahkanNya, sehingga ketika Ia memerintahkan mereka untuk makan roti dan minum anggur bersama sebagai tanda peringatan akan Dia, maka murid-murid mereka juga diajarkan dengan cara yang sama. Apakah hal itu dilakukan ketika makan bersama? Tampaknya seolah-olah hal itu terjadi ketika kita baca sebagian perkataan Paulus kepada jemaat di Korintus:

Apabila kamu berkumpul, [dan Paulus tidak berbicara tentang persekutuan di gedung gereja, karena tak ada satupun persekutuan] kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk. (1 Korintus 11:20-21, tambahkan penekanan).

Bagaimana bisa kata-kata itu bisa diterima bila Paulus berbicara tentang Perjamuan Tuhan seperti praktek di gereja-gereja kini? Pernahkah anda mendengar masalah seseorang dalam ibadah gereja kini yang mengambil makanannya pertama, dan seorang lain lapar, selagi yang lainnya mabuk dalam hubungan dengan Perjamuan Tuhan? Perkataan itu hanya masuk akal bila Perjamuan Tuhan dilakukan dalam kaitan dengan acara jamuan makan. Lalu, Paulus melanjutkan:

Apakah kamu tidak mempunyai rumah sendiri untuk makan dan minum? Atau maukah kamu menghinakan Jemaat Allah [ingat, Paulus tidak menuliskan tentang gedung gereja, namun kumpulan orang-orang, gereja Tuhan] dan memalukan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa? Apakah yang kukatakan kepada kamu? Memuji kamu? Dalam hal ini aku tidak memuji. (1 Korintus 11:22).

Bagaimana orang-orang yang tak punya apa-apa menjadi malu bila yang dilakukan bukan dalam konteks acara jamuan makan yang sebenarnya? Paulus menunjuk pada fakta bahwa sebagian jemaat di Korintus yang tiba paling awal di persekutuan itu memakan bagian mereka tanpa menunggu orang lain tiba. Saat datang sebagian orang yang mungkin sangat miskin sehingga mereka tidak membawa makanan untuk dimakan bersama, mereka tidak hanya dibiarkan lapar, tetapi juga malu karena jelas mereka tak membawa apa-apa.

Segera setelah itu, Paulus menulis lebih banyak tentang Perjamuan Tuhan, yakni sakramen yang “telah ia terima dari Tuhan” (1 Korintus 11:23), dan ia menceritakan kembali kejadian pada Perjamuan Tuhan pertama (lihat 1 Korintus 11:24-25). Ia lalu memperingatkan jemaat Korintus tentang sikap yang tak layak untuk mengikuti Perjamuan Tuhan, dengan menyatakan bahwa bila mereka tidak menguji diri mereka sendiri, mereka sebenarnya dapat makan dan minum, namun mendatangkan hukuman atas mereka sendiri dalam bentuk kelemahan, penyakit dan bahkan kematian (lihat 1 Korintus 11:26-32).

Ia lalu menyimpulkan,

Karena itu, saudara-saudaraku, jika kamu berkumpul untuk makan, nantikanlah olehmu seorang akan yang lain. Kalau ada orang yang lapar, baiklah ia makan dahulu di rumahnya, supaya jangan kamu berkumpul untuk dihukum. (1 Korintus 11:33-34).

Sesuai konteks, kesalahan pada Perjamuan Tuhan adalah demi pertimbangan orang-orang percaya lain. Paulus mengingatkan lagi bahwa mereka yang makan di perjamuan pertama yang dianggap sebagai makan bersama dan berbagi, dapat menghadapi resiko hukuman (atau pendisiplinan) oleh Allah. Solusinya sederhana. Bila seseorang sangat lapar sehingga tak dapat menunggu orang lain, ia harus makan sesuatu sebelum datang ke persekutuan itu. Dan mereka yang tiba paling awal harus menunggu mereka yang tiba kemudian untuk ikut jamuan makan bersama, suatu jamuan yang tampaknya bagian dari atau yang adalah Perjamuan Tuhan itu sendiri.

Ketika memperhatikan seluruh perikop, Paulus jelas berkata bahwa bila Perjamuan Tuhan dilakukan, maka harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan Tuhan, sehingga dapat menunjukkan saling kasih dan peduli.

Dalam hal apapun, jemaat mula-mula mempraktekkan Perjamuan Tuhan sebagai bagian dari makan bersama di rumah tanpa kehadiran pendeta. Mengapa tidak kita praktekkan?

Roti dan Anggur (Bread and Wine)

Hakekat unsur-unsur Perjamuan Tuhan bukanlah hal terpenting. Bila kita berupaya meniru Perjamuan Tuhan yang asli, kita harus tahu bahan-bahan pembuatan roti dan jenis anggur sebagai asal pembuatan anggur asli. (sejumlah Pelopor gereja selama beberapa abad awal dengan tegas memberikan resep bahwa anggur harus dilarutkan dengan air, jika tidak maka Ekaristi dilakukan dengan tidak benar).

Roti dan anggur adalah sebagian dari unsur-unsur yang paling lazim ada pada jamuan makan orang Yahudi zaman dulu. Yesus memberi arti mendalam pada dua benda yang sangat lazim ada, yakni makanan yang orang konsumsi setiap hari. Seandainya dalam sejarah, Ia pergi ke lain budaya di lain waktu, Perjamuan Tuhan pertama mungkin terdiri dari keju dan susu kambing, atau kue beras dan jus nanas. Sehingga, makanan dan minuman apa saja dapat menggambarkan tubuh dan darahNya sewaktu jamuan bersama. Yang penting adalah arti rohaninya. Janganlah abaikan roh Hukum Taurat ketika kita berhasil menyembunyikan artinya yang sebenarnya!

Tidak masalah bila jamuan bersama sangat tidak menarik. Orang-orang Kristen mula-mula, seperti kita baca, ”memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, (Kisah Para Rasul 2:46, tambahkan penekanan). Tetapi, tentu sikap serius harus dilakukan selama jamuan makan ketika kita mengingat pengorbanan Yesus dan melaksanakan perjamuan itu. Sebelum makan dalam Perjamuan Tuhan, kita harus menguji diri seperti dikatakan oleh Paulus yang mengingatkan jemaat di Korintus dalam 1 Korintus 11:17-34. Setiap pelanggaran perintah Kristus untuk saling mengasihi menjadi tanda perlunya disiplin dari Allah. Setiap dan semua permusuhan dan pertengkaran harus diselesaikan sebelum melakukan perjamuan. Setiap orang percaya harus menguji dirinya dan mengaku apapun dosanya, yang sama dengan “menilai dirimu sendiri”, sesuai perkataan Paulus.

Roh Termanifestasi Melalui Tubuh (The Spirit Manifested Through the Body)

Jamuan bersama bisa saja terjadi sebelum atau setelah persekutuan di mana bersama-sama orang-orang melakukan penyembahan, pengajaran dan karunia-karunia roh. Setiap gereja rumah dapat menentukan formatnya, dan format bisa bervariasi dari satu persekutuan ke persekutuan lainnya di gereja rumah yang sama.

Sangat jelas dari Alkitab bahwa persekutuan di jemaat mula-mula sangat berbeda dengan kebaktian di gereja lembaga kini. Khususnya, 1 Korintus 11-14 memberi banyak pandangan tentang kejadian ketika orang-orang Kristen mula-mula berkumpul; tak ada alasan untuk berpikir bahwa format yang sama tak dapat dan tidak akan diikuti di masa sekarang. Juga, kejadian pada pertemuan jemaat mula-mula yang digambarkan oleh Paulus jelas hanya mungkin terjadi dalam kelompok kecil. Dari segi logistik, penggambaran oleh Paulus itu bisa saja tidak terjadi dalam pertemuan besar.

Sayalah orang pertama yang mengaku tak mengerti semua tulisan Paulus dalam empat pasal 1 Korintus. Tetapi, tampak jelas bahwa karakterisitik yang paling menonjol dalam persekutuan-persekutuan yang digambarkan dalam 1 Korintus 11-14 adalah kehadiran Roh Kudus di tengah-tengah tubuh Kristus dan manifestasiNya melalui anggota-anggota tubuh Kristus. Ia memberi karunia kepada orang-orang untuk mengajar seluruh tubuh Kristus.

Paulus menyebutkan sedikitnya sembilan karunia roh, yakni bernubuat, berkata-kata dengan bahasa roh, menafsirkan bahasa roh, berkata-kata dengan pengetahuan, berkata-kata dengan hikmat, membedakan macam-macam roh, karunia untuk menyembuhkan, iman, dan melakukan mujizat. Ia tidak menyatakan bahwa semua karunia ini termanifestasi di setiap pertemuan, namun sudah tentu bermakna kemungkinan wujud pekerjaan roh dan menyimpulkan sebagian manifestasi Roh yang lebih lazim terjadi, dalam 1 Korintus 14:26:

Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun.

Perhatikanlah kelima manifestasi ini, dan pada bab berikut, perhatikan dengan lebih menyeluruh sembilan karunia Roh dalam 1 Korintus 12:8-10.

Dalam sembilan karunia itu, yang pertama adalah mazmur. Mazmur pemberian Roh itu disebutkan oleh Paulus dalam dua suratnya yang lain kepada jemaat-jemaat, yang menegaskan tempat mazmur dalam persekutuan orang Kristen.

Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. (Efesus 5:18-19).

Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. (Kolose 3:16).

Tak jelas perbedaan antara mazmur, himne dan lagu rohani, namun yang terutama adalah semuanya berdasarkan perkataan Kristus, diilhami oleh Roh, dan harus dinyanyikan oleh orang-orang percaya untuk saling mengajar dan menegur. Tentu saja, banyak himne dan lagu paduan suara, yang dinyanyikan oleh orang-orang percaya sepanjang sejarah gereja, berada pada salah satu kategori di atas. Sayangnya, karena tak ada dukungan Alkitabiah, terlalu banyak himne dan lagu paduan suara sekarang ini tidak diilhami oleh Roh dan, karena kedangkalannya, tak memiliki nilai nyata untuk mengajar dan menegur orang-orang percaya. Tetapi, orang-orang percaya yang bersekutu di gereja-gereja rumah berharap agar Roh dapat mengilhami tiap anggota untuk memandu lagu-lagu Kristen lama dan baru yang sudah terkenal, dan juga dapat memberikan lagu-lagu khusus kepada beberapa anggota yang dapat digunakan untuk mengajar banyak orang. Memang, betapa uniknya setiap gereja memiliki kidung-kidung pemberian Roh Kudus!

Pengajaran (Teaching)

Karunia kedua dalam daftar Paulus adalah pengajaran. Ini menunjukkan bahwa, dalam satu persekutuan, siapapun bisa saja mengajar dengan ilham oleh Roh. Sudah tentu, setiap pengajaran akan dinilai untuk melihat apakah sesuai ajaran rasul-rasul (karena tiap orang berdedikasi untuk itu: lihat Kisah Para Rasul 2:42) dan kita harus lakukan hal yang sama kini. Namun perlu dicatat bahwa tak ada indikasi dalam Perjanjian Baru bahwa orang yang sama menyampaikan khotbah setiap minggu ketika gereja lokal melakukan pertemuan, dengan mendominasi pertemuan itu.

Di Yerusalem ada pertemuan besar di Bait Allah tempat para rasul mengajar. Kita tahu penatua diberi juga tanggung-jawab mengajar di gereja, dan beberapa orang terpanggil untuk mengajar. Paulus mengajar di depan banyak orang dan dari rumah ke rumah (lihat Kisah Para Rasul 20:20). Tetapi, dalam persekutuan kecil orang-orang percaya, Roh Kudus dapat memakai orang lain untuk mengajar, selain rasul, penatua atau guru.

Dalam hal pengajaran, tampaknya kita mendapat manfaat dari jemaat mula-mula karena kita dapat membawa salinan-salinan pribadi Alkitab ke pertemuan kita. Sebaliknya, bisa jadi cara mudah untuk mendapatkan Alkitab membuat kita lebih mengutamakan doktrin di atas hal mengasihi Allah dengan seluruh hati kita dan mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri sendiri, dengan menganggap rendah kehidupan kita yang hendak diisi dengan Firman Tuhan. Sampai mati, kita dicekoki dengan doktrin. Banyak pelajaran Alkitab di kelompok kecil tidak relevan dan membosankan, sama halnya dengan khotbah Minggu pagi. Aturan terkait dengan pengajaran di gereja rumah adalah: Bila anak yang lebih tua tak menyembunyikan kebosanannya, maka orang-tua mungkin menyimpan kebosanannya. Anak adalah barometer kebenaran.

Pewahyuan (Revelation)

Ketiga, Paulus menyebutkan “pewahyuan.” Berarti apapun ungkapan Allah kepada sebagian anggota tubuh Kristus. Misalnya, Paulus secara khusus menyebutkan bagaimana orang yang tak percaya menghadiri persekutuan Kristen dan meminta “rahasia-rahasia hati…diungkapkan” melalui karunia nubuatan. Hasilnya, ia “dipersalahkan” dan “diminta untuk menanggung” dan “akan bersujud dan menyembah Allah, dengan menyatakan bahwa Allah tentu ada di tengah-tengah kalian” (1 Korintus 14:24-25).

Sekali lagi kita melihat bahwa kehadiran Roh Kudus yang nyata adalah tanda yang diharapkan dari pertemuan jemaat, dan bahwa hal-hal yang adikodrati akan terjadi oleh karena hadiratNya. Orang-orang Kristen mula-mula benar-benar percaya kepada janji Yesus, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Matius 18:20). Bila Yesus Sendiri ada di tengah-tengah mereka, mujizat akan terjadi. Mereka terang-terangan “menyembah oleh Roh Allah ” (Filipi 3:3).

Bagaimanapun juga, yang akan saya bahas dengan singkat, nubuatan bisa berisi pewahyuan tentang hati setiap orang. Namun, pewahyuan dapat diberikan tentang hal lain dan dengan cara lain, seperti melalui mimpi atau penglihatan (lihat Kisah Para Rasul 2:17).

Bahasa Lidah dan Penafsiran (Tongues and Interpretation)

Keempat, Paulus menyebutkan dua karunia yang bekerja sama, yakni karunia berbahasa lidah dan karunia mengartikan bahasa lidah. Di Korintus, ada banyak karunia berbahasa lidah dan penyalahgunaannya. Yakni, orang-orang yang berbahasa lidah selama pertemuan jemaat dan tidak ada yang mengartikan perkataan bahasa lidah. Kita mungkin heran bagaimana jemaat Korintus bisa disalahkan, karena tampaknya seperti kesalahan Roh Kudus karena memberikan karunia bahasa lidah kepada orang-orang tanpa memberikan karunia mengartikan. Jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan itu akan saya ungkap pada bab berikut. Bagaimanapun, Paulus tidak melarang berbahasa lidah (seperti yang dilakukan oleh banyak gereja lembaga). Sebaliknya, ia melarang tindakan pelarangan berbahasa lidah, dan menyatakan bahwa inilah perintah Tuhan (lihat 1 Korintus 14:37-39)!

[8]

Inilah karunia yang, bila dipakai dengan tepat, dapat mengajar tubuh Kristus dan mempertegas kehadiran Allah secara adikodrati di tengah-tengah mereka. Allahlah yang berbicara melalui orang, dengan mengingatkannya akan kebenaranNya dan kehendakNya.

Paulus menegaskan dalam pasal 14 untuk kedudukan nubuatan yang ada di atas kedudukan penggunaan bahasa lidah yang tak diartikan. Ia sangat mendorong jemaat Korintus untuk berusaha bernubuat, dan ini menunjukkan bahwa karunia-karunia Roh lebih termanifestasi di antara mereka yang menginginkan karunia-karunia itu. Demikian juga, Paulus mengingatkan jemaat di Tesalonika, “Janganlah padamkan Roh, dan janganlah anggap rendah nubuat-nubuat.” (1 Tesalonika 5:19). Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang percaya dapat “memadamkan” atau “mematikan api” Roh dengan bersikap keliru terhadap karunia bernubuat. Itu sebabnya, sekarang karunia nubuatan sangat jarang dimanifestasikan bagi banyak orang percaya.

Cara Memulai (How to Start)

Gereja-gereja rumah dilahirkan oleh Roh Kudus melalui pelayanan perintis gereja-rumah atau penatua/pendeta/penilik yang diberikan visi oleh Tuhan untuk membuka gereja rumah. Ingatlah, penatua/pendeta/penilik yang Alkitabiah bisa saja orang dewasa awam menurut anggapan gereja lembaga. Tak ada perintis gereja rumah yang memerlukan pendidikan formal untuk pelayanan.

Ketika Roh memberikan visi bagi sebuah gereja rumah kepada pendirinya, ia perlu mencari Tuhan terkait dengan orang lain yang mungkin bergabung dengannya. Tuhan akan memimpinya dalam hubungan dengan orang-orang yang bervisi sama, sehingga pimpinan itu nyata. Atau ia dapat dibimbing pada orang-orang yang tak percaya yang mau menerima yang dapat dibawanya kepada Kristus, lalu melakukan pemuridan di gereja rumah.

Orang yang memulai gereja rumah harus mengantisipasi banyaknya waktu yang dipakai untuk merasa saling dekat, belajar berhubungan dan mengalir dengan Roh. Ke depan akan banyak waktu tersita untuk menyelesaikan masalah. Hal-hal yang sangat aneh bagi mereka yang biasa beribadah di gereja lembaga adalah konsep keterlibatan dari tiap anggota, kepemimpinan hamba yang Alkitabiah, memperlengkapi penatua, pimpinan dan karunia-karunia Roh Kudus, jamuan makan bersama, dan suasana santai namun rohani. Jadi, penerapan kasih karunia dan kesabaran adalah tindakan bijaksana karena lahirnya gereja rumah yang baru. Format awal bisa berupa pelajaran Alkitab di rumah, dengan seorang pemimpin penyembahan, orang lainnya memberi pelajaran yang sudah disiapkan, lalu ditutup dengan doa bersama, persekutuan dan jamuan makan. Tetapi, karena kelompok itu mempelajari format yang Alkitabiah untuk gereja rumah, maka penatua/pendeta/penilik harus menyemangati para anggotanya yang menginginkan hal terbaik dari Allah. Jadi, nikmatilah prosesnya!

Persekutuan gereja rumah dapat dilakukan tiap minggu dan bergiliran dari satu rumah ke rumah lain milik anggota, atau seorang dapat membuka rumahnya tiap minggu. Beberapa gereja rumah terkadang pindah ke ruangan terbuka yang indah ketika cuaca cerah. Waktu persekutuan tidak harus Minggu pagi, tetapi kapan saja yang terbaik untuk para anggotanya. Sebaiknya mulailah dengan jumlah kecil, tak lebih dari duabelas orang.

Cara Beralih dari Gereja Lembaga ke Gereja Rumah (How to Transition from Institution to House Church)

Besar kemungkinan, banyak pendeta yang membaca buku ini tengah bekerja dalam struktur gereja-gereja lembaga, dan mungkin anda salah satu dari mereka. Bila saya menyentuh perasaan dalam diri anda yang menginginkan jenis gereja yang sedang saya gambarkan, maka anda heran bagaimana dapat melakukan peralihan. Saya mengajak anda untuk memanfaatkan waktu. Mulailah ajarkan kebenaran Alkitabiah dan lakukan apapun semampu anda dalam kerangka struktur anda sekarang untuk memuridkan mereka yang menaati semua perintah Yesus. Murid sejati jauh lebih mungkin melakukan transisi kepada struktur gereja yang Alkitabiah sesuai pemahamannya. Orang yang tergolong kambing dan orang religius sangat mungkin melawan transisi demikian.

Kedua, pelajari perkataan Alkitab tentang hal pokok dan ajari jemaat anda tentang struktur gereja rumah dan berkat-berkat yang mengikuti. Akhirnya anda dapat batalkan ibadah tengah-minggu atau ibadah Minggu pagi untuk memulai persekutuan sel mingguan di rumah-rumah yang diawasi oleh orang-orang percaya dewasa. Ajak setiap orang untuk hadir. Terus buat pola persekutuan agar sedekat mungkin mengikuti format model gereja rumah menurut Alkitab. Lalu berikan waktu untuk orang mulai sepenuhnya menikmati berkat-berkat di kelompok kecil mereka.

Ketika orang menikmati persekutuan di rumah, anda dapat mengumumkan bahwa pada suatu hari Minggu bulan berikut akan ada “Hari Minggu Jemaat Mula-Mula.” Pada hari Minggu itu, gedung gereja akan ditutup dan setiap orang mengunjungi rumah-rumah seperti yang dilakukan oleh jemaat mula-mula, sambil menikmati jamuan makan bersama, Perjamuan Tuhan, persekutuan, doa, penyembahan, mengajar bergantian dan karunia-karunia roh. Bila berhasil, adakan persekutuan satu hari Minggu setiap bulan, lalu akhirnya dua hari Minggu, dan kemudian tiga hari Minggu. Akhirnya, anda dapat membebaskan tiap kelompok menjadi gereja rumah yang independen, bebas bertumbuh dan berkembang, dan mungkin datang bersama ke pertemuan besar sekali tiap beberapa bulan.

Proses transisi yang saya gambarkan ini bisa berlangsung satu sampai dua tahun.

Atau, bila anda ingin maju terus dengan lebih hati-hati, anda dapat memulai satu persekutuan rumah bersama beberapa anggota yang paling berminat yang anda pimpin sendiri. (Lagi-lagi, gereja rumah tidak harus bertemu hari Minggu pagi). Ini bisa dijadikan eksperimen dan tentu menjadi pengalaman belajar bagi semua anggota.

Bila berhasil, tunjuklah seorang penilik dan biarkan kelompok itu menjadi gereja independen yang hanya akan bergabung pada ibadah hari Minggu di gereja lembaga sekali sebulan. Sehingga gereja yang baru masih menjadi bagian dari gereja induk, dan tidak dipandang negatif oleh mereka yang masih ada dalam sidang gereja lembaga. Hal itu juga dapat membantu mempengaruhi orang lain di dalam gereja untuk berpikir-pikir untuk menjadi bagian dari gereja rumah lainnya yang sedang dirintis oleh gereja lembaga.

Jika kelompok pertama bertumbuh, sambil berdoa, bagilah kelompok itu menjadi dua sehingga keduanya mendapat pimpinan yang baik dan anggota-anggotanya mendapat karunia. Kedua kelompok bisa bertemu dalam perayaan besar pada kesempatan yang disepakati, mungkin sekali sebulan atau sekali tiap tiga bulan.

Tak peduli arah yang anda tempuh, tetapkan pandangan anda ke tujuan, bahkan melalui berbagai kekecewaan. Gereja-gereja rumah terdiri dari orang-orang, dan mereka sering buat masalah. Jangan menyerah.

Tidaklah mungkin tiap orang di dalam gereja lembaga akan melakukan transisi itu, sehingga anda harus putuskan pada titik mana anda akan mulai mengabdikan diri seluruhnya kepada sebuah gereja rumah atau kelompok gereja-gereja rumah, dengan meninggalkan gereja lembaga. Hari itu akan menjadi berarti bagi anda!

Gereja yang Ideal (The Ideal Church)

Dapatkah pendeta gereja rumah lebih sukses di mata Allah dibandingkan pendeta gereja besar yang memiliki gedung besar dan ribuan jemaat yang hadir setiap hari Minggu? Ya, bila ia melipatgandakan jumlah murid dan pemurid yang taat, dengan mengikuti teladan Yesus, berbeda dengan tindakan mengumpulkan kambing-kambing rohani sekali seminggu untuk menonton konser dan mendengarkan pidato yang menghibur, yang didukung dengan ayat-ayat Alkitab yang di luar konteks.

Pendeta yang bertekad mengikuti model gereja rumah takkan pernah punya banyak jemaat. Namun, akhirnya, ia akan berbuah banyak, karena murid-muridnya melakukan pemuridan. Banyak pendeta di jemaat-jemaat “kecil” yang beranggotakan 40 atau 50 orang yang tetap bertahan mungkin perlu berpikir kembali. Ukuran gereja-gereja mereka bisa saja terlalu besar. Mungkin mereka harus berhenti berdoa untuk mendapatkan gedung yang lebih besar dan mulai berdoa siapa yang akan ditunjuk memimpin dua gereja rumah baru. (Bila itu terjadi, jangan buat nama denominasi baru dan jangan sebut diri anda “uskup”!)

Kita perlu hilangkan pemikiran bahwa makin besar gereja makin baik. Bila kita hendak membuat penilaian berdasarkan Alkitab, maka agak aneh bila ada kelompok jemaat yang terdiri dari ratusan orang yang tidak dimuridkan dan mereka bersekutu di gedung khusus. Bila rasul-rasul zaman dulu mengunjungi gereja-gereja lembaga masa kini, mereka akan garuk-garuk kepala!

Keberatan Akhir (A Final Objection)

Di dunia Barat, sering dikatakan bahwa Kekristenan sudah membudaya sehingga orang takkan pernah menerima ide persekutuan gereja rumah. Sehingga, ada perdebatan apakah kita harus tetap dengan model gereja lembaga.

Pertama, hal itu ternyata tidak benar, karena gerakan gereja rumah sedang mengalami momentum yang cepat di dunia Barat.

Kedua, orang-orang senang melakukan persekutuan di rumah-rumah untuk melakukan pesta, jamuan makan, persekutuan, pelajaran Alkitab dan kelompok-kelompok sel. Langkah untuk menerima ide gereja rumah hanya perlu sedikit penyesuaian pemikiran.

Ketiga, memang benar bahwa orang-orang religius, “kambing-kambing rohani”, takkan pernah menerima konsep gereja rumah. Mereka takkan pernah berbuat apapun yang berpotensi membuat mereka tampak aneh bagi sesamanya. Namun, murid-murid sejati Yesus Kristus tentu menerima konsep gereja rumah ketika mereka mengerti dasar Alkitabiah. Mereka cepat menyadari betapa gedung-gedung gereja yang tak diperlukan akan dipakai untuk pemuridan. Bila anda hendak membangun gereja besar dengan “kayu, rumput kering atau jerami” (lihat 1 Korintus 3:12), anda perlu gedung, namun gedung itu akhirnya akan terbakar. Tetapi bila anda ingin melipatgandakan murid-murid dan pemurid, dengan membangun jemaat Yesus Kristus dengan “emas, perak dan batu permata”, maka anda tak perlu menghamburkan uang dan tenaga untuk membangun gedung.

Adalah menarik bahwa gerakan penginjilan terbesar kepada penduduk asli di dunia sekarang, gerakan “kembali ke Yerusalem” dari gereja-gereja rumah di China, telah mengadopsi sebuah strategi khusus untuk menginjili jendela 10/40. Kata mereka, “Kami tak ingin membangun gedung gereja di manapun! Hal ini memungkinkan penyebaran Injil dengan cepat, lebih sulit bagi pihak penguasa untuk mendeteksi, dan memungkinkan kita untuk menyalurkan semua sumber secara langung ke pelayanan Injil.”

[9]

Teladan yang bijak dan Alkitabiah yang harus diikuti!

 


[1] Lihat buku “Jesus on Money” dengan topik Biblical Topics pada situs www.shepherdserve.org.

[2] Walaupun tampak radikal, alasan nyata perlunya gedung gereja adalah kurangnya pemimpin yang akan mengawasi gereja rumah yang kecil, yang adalah hasil pemuridan yang buruk bagi calon pemimpin di gereja lembaga. Apakah pendeta gereja lembaga merasa bersalah karena telah merendahkan pendeta yang dipanggil Allah dalam jemaatnya terhadap pelayanan mereka yang benar? Jawabannya, ya.

[3] Perbandingan satu-sepuluh atau satu-duapuluh tidaklah berlebihan bagi pelayanan dilihat dari model pemuridan Yesus dalam Alkitab bagi duabelas orang dan pemimpin yang diangkat bagi sepuluh orang (lihat Keluaran 18:25). Sebagian besar pendeta di gereja lembaga mengawasi lebih banyak orang dibandingkan yang mereka sendiri dapat muridkan secara efektif.

[4] Kita mungkin juga bertanya mengapa tidak ada “pendeta senior”, “pendeta rekanan” atau “asisten pendeta” yang disebutkan dalam Alkitab. Gelar-gelar ini sangat penting dalam gereja sekarang oleh karena strukturnya tidak diperlukan dalam jemaat mula-mula oleh karena strukturnya. Gereja-gereja rumah yang terdiri dari duapuluh orang tidak memerlukan pendeta senior, pendeta rekanan, dan asisten pendeta.

[5] Banyak pendeta tak pernah menjadi pengkhotbah yang baik, meskipun mereka dipanggil oleh Allah, sebagai hamba-hamba Kristus yang peduli. Kenyataannya, tidaklah baik bila dikatakan banyak khotbah para pendeta yang jadi membosankan, atau kadang-kadang agak membosankan? Sebutan seorang pengritik gereja sebagai “tatapan seribu-yard” adalah hal lazim di antara para jemaat yang duduk di bangku gereja. Tetapi, para pendeta yang adalah orator yang membosankan seringkali menjadi orang yang sangat hebat dalam percakapan, dan orang jarang menjadi bosan selagi mereka terlibat dalam percakapan. Itulah sebabnya pengajaran interaktif di gereja-gereja rumah biasanya selalu menarik. Waktu berlalu begitu saja, berbeda dengan keadaan di mana jemaat sering melirik arloji selama khotbah di gereja. Para pendeta gereja rumah tak perlu kuatir tentang kebosanan.

[6] Salah satu definisi favorit saya mengenai kata tergila-gila adalah: Melakukan hal yang sama berkali-kali dan mengharapkan hasil-hasil yang berbeda. Para pendeta dapat mengajar selama bertahun-tahun tentang tanggung-jawab setiap anggota jemaat yang akan terlibatk dalam pemuridan, namun jika mereka tidak melakukan sesuatu untuk merubah format atau struktur, orang-orang akan tetap datang ke gereja untuk duduk, dengar dan pulang ke rumah. Hai pendeta, bila anda terus melakukan hal yang telah mengubah orang di masa lalu, hal itu tak akan merubah orang di masa depan. Ubahalah apa yang sedang engkau lakukan!

[7] Sudah tentu, banyak pendeta tidak setuju dengan ide itu karena mereka sebenarnya membangun kerajaannya sendiri, bukan Kerajaan Allah.

[8] Sudah tentu, saya sadari ada orang-orang yang mengalihkan semua manifestasi Roh secara adikodrati ke abad pertama, di saat mereka seharusnya berhenti melakukannya. Maka, kita tak punya alasan untuk mengetahui apa yang dialami oleh jemaat mula-mula, dan berbahasa lidah tidak lagi berlaku. Saya sedikit bersimpati kepada orang-orang tersebut yang seperti orang-orang Saduki di zaman kini. Seperti seseorang yang memuji Tuhan dalam bahasa Jepang pada beberapa kesempatan menurut penutur bahasa Jepang yang mendengarkan saya, dan yang belum pernah belajar bahasa Jepang, saya tahu karunia-karunia ini belum berhenti untuk diberikan oleh Roh Kudus. Saya juga heran mengapa orang-orang Saduki ini mempertahankan panggilan Roh Kudus, mencari-cari kesalahan dan mengajak orang berdosa untuk hidup baru, namun menyangkal karya Roh Kudus di luar mujizat-mujizat. “Teologi” semacam ini adalah produk ketidakpercayaan dan ketidaktaatan manusia, tak punya dukungan Alkitabiah, dan sebenarnya menentang tujuan Kristus. Itulah ketidaktaatan langsung kepada Kristus menurut tulisan Paulus dalam 1 Korintus 14:37.

[9] Brother Yun, Back to Yerusalem, p. 58.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Empat (Chapter Four)

Bab Dua (Chapter Two)

Memulai Dengan Benar (Beginning Rightly)

Menurut Alkitab, murid adalah orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, yang tinggal dalam FirmanNya, sehingga dibebaskan dari dosa. Murid adalah orang yang mau mendengar untuk menaati semua perintah Kristus, dan yang mengasihi Yesus lebih dari keluarganya, kesenangannya, dan harta miliknya. Murid mewujudkan kasih itu melalui gaya hidupnya. Murid-murid sejati Yesus saling mengasihi dan menunjukkan kasih itu dalam cara-cara praktis. Mereka berbuah-buah.[1]

Yesus menyukai orang-orang seperti itu.

Jelaslah, orang yang bukan muridNya tidak dapat melakukan pemuridan bagiNya. Jadi, sebelum kita melakukan pemuridan untukNya, pertama kita harus yakin bahwa kitalah murid-muridNya. Ketika ditanyai, banyak pelayan kurang tahu tentang definisi murid. Sehingga, tak ada harapan bila mereka dapat melakukan pemuridan, bahkan ternyata mereka tak mau melakukan pemuridan. Mereka tak cukup punya komitmen kepada Yesus Kristus untuk menanggung kesulitan yang muncul ketika melakukan pemuridan sejati.

Dari sudut pandang ini, saya berasumsi, pelayan yang mau membaca terus buku ini adalah murid Tuhan Yesus Kristus, yang benar-benar menaati perintah-perintahNya. Bila tidak mau membaca buku ini, maka anda tak memiliki apresiasi membaca sampai anda membuat komitmen yang diperlukan untuk menjadi seorang murid sejati. Sekaranglah waktunya! Berlututlah dan minta ampun! Oleh kasih karuniaNya yang ajaib, Allah akan mengampunimu dan menjadikanmu ciptaan baru dalam Kristus!

Definisi Ulang Pemuridan (Redefining Discipleship)

Walaupun Yesus telah memperjelas pengertian tentang murid, banyak orang telah mengganti definisiNya dengan definisinya sendiri-sendiri. Misalnya, bagi beberapa orang, istilah murid adalah kurang jelas bagi siapapun yang mengaku sebagai orang Kristen. Bagi mereka, istilah murid telah dipersempit dari pengertian Alkitab.

Orang-orang lain menganggap pemuridan sebagai langkah kedua yang tidak wajib dilakukan untuk komitmen orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga. Mereka percaya bahwa seseorang bisa menjadi orang percaya yang pasti-masuk-sorga dalam Yesus, tetapi tidak menjadi murid Yesus! Karena sulit bagi kita bila tak memperhatikan syarat dalam melakukan pemuridan seperti kehendak Yesus dalam Alkitab, maka kita diajarkan ada dua kategori orang Kristen –yakni orang yang percaya kepada Yesus, dan murid yang percaya dan berkomitmen kepada Yesus. Dengan ungkapan ini, sering dikatakan, ada banyak orang percaya namun hanya sedikit murid, namun kedua kelompok ini akan masuk sorga.

Doktrin ini ternyata menetralisasi perintah Kristus untuk melakukan pemuridan, yang kemudian menetralisasi cara melakukan pemuridan. Jika, menjadi seorang murid berarti komitmen penyangkalan-diri dan bahkan kesulitan hidup, dan jika menjadi seorang murid bukan kewajiban, maka sebagian besar orang akan memilih untuk tidak menjadi murid, terutama bila mereka berpikir akan masuk sorga bukan sebagai murid.

Maka, pertanyaan yang sangat penting yang harus diajukan adalah: Apakah Alkitab mengajarkan bahwa seseorang bisa menjadi orang percaya yang pasti-masuk-sorga namun dia bukan murid Yesus Kristus? Apakah pemuridan merupakan langkah tidak wajib bagi orang percaya? Apakah ada dua kategori orang Kristen, yakni orang percaya yang tak berkomitmen dan murid yang berkomitmen?

Jawaban atas semua pertanyaan itu adalah Tidak. Perjanjian Baru tak sekalipun mengajarkan dua kategori orang Kristen —orang percaya dan murid. Bila membaca kitab Kisah Para Rasul, seseorang akan membaca acuan-acuan yang berulang-ulang menyangkut murid-murid, dan acuan-acuan itu bukan menyangkut kelompok lebih atas yang terdiri dari orang-orang percaya yang lebih berkomitmen. Setiap orang percaya kepada Yesus adalah seorang murid.[2]

Kenyataannya, “Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kisah Para Rasul 11:26, tambahkan penekanan).

Menarik untuk dicatat bahwa kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi murid (mathetes) disebutkan 261 kali dalam Perjanjian Baru, sedangkan kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi orang percaya (pistos) hanya disebutkan sembilan kali (diterjemahkan menjadi believer dalam Alkitab versi New American Standard [dalam Bahasa Indonesia orang percaya]). Kata dalam bahasa Yunani Christianos yang diterjemahkan menjadi Kristen hanya disebut tiga kali. Fakta-fakta ini cukup untuk memberi keyakinan kepada penanya yang jujur bahwa jemaat mula-mula yang percaya kepada Yesus semuanya dianggap sebagai murid-muridNya.

Komentar Yesus (Jesus’ Commentary)

Sudah tentu, Yesus tidak menganggap bahwa menjadi murid adalah langkah sekunder dan tidak wajib bagi orang percaya. Ketiga persyaratanNya bagi pemuridan di dalam Lukas 14 tidak ditujukan kepada orang-orang percaya sebagai undangan untuk melakukan komitmen tingkat lebih tinggi. Sebaliknya, kata-kataNya ditujukan kepada setiap orang di antara orang banyak. Pemuridan adalah langkah pertama dalam hubungan dengan Allah. Juga, kita baca dalam Yohanes 8:

Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya. Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8:30-32)

Tak seorangpun sanggup, dengan kepintarannya, mencari alasan melawan fakta yang tak terbantahkan bahwa Yesus tengah berbicara kepada orang-orang yang mengaku baru percaya dalam hal menjadi murid-muridNya. Yesus tidak berkatakepada orang-orang itu, “Sekali waktu nanti, anda mungkin mau berpikir-pikir untuk melakukan langkah berikut, langkah komitmen, untuk menjadi murid-muridKu. ”Tidak, Yesus berbicara kepada orang-orang percaya baru seolah-olah Ia mengharapkan mereka untuk menjadi murid-murid, seolah-olah kata-kata orang percaya dan murid adalah dua kata yang sama artinya. Yesus berkata kepada orang-orang yang baru mengaku percaya bahwa cara mereka membuktikan status mereka sebagai murid-muridNya adalah tetap tinggal dalam FirmanNya, sehingga membuat mereka terbebas dari dosa (lihat Yohanes 8:34-36).

Yesus tahu bahwa pengakuan iman seseorang bukan jaminan baginya untuk benar-benar percaya. Ia juga tahu, barangsiapa yang percaya Dia sebagai Anak Allah akan bertindak seperti itu —ia akan segera menjadi muridNya— yang mau menaati dan menyenangkan Dia. Setiap orang percaya/murid seperti itu tinggal dalam FirmanNya, seperti tinggal di rumah sendiri. Dan ketika menemukan kehendakNya dengan mempelajari perintah-perintahNya, ia akan terus-menerus dibebaskan dari dosa.

Itu sebabnya Yesus segera menantang orang-orang percaya baru untuk menguji diri mereka. PernyataanNya “Jika kalian benar-benar murid-muridKu” menunjukkan keyakinanNya bahwa mereka bisa saja bukan murid-murid yang benar, namun hanya mengaku diri sebagai murid. Mereka bisa saja membodohi diri mereka. Dengan lulus tes dari Yesus, mereka bisa saja yakin diri mereka adalah murid-murid sejatiNya. (Dan hal ini tampak pada bagian dialog dalam Yohanes 8:37-59 bahwa Yesus memiliki alasan yang tepat untuk meragukan ketulusan mereka).[3]

Ayat-ayat penting dalam Alkitab, Matius 28:18-20, mementahkan teori bahwa murid-murid adalah kelompok terdidik yang kedudukannya lebih tinggi dari orang-orang percaya yang berkomitmen. Yesus memerintahkan dalam Amanat AgungNya supayan murid-murid dibaptis. Sudah tentu, kesaksian dalam Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa para rasul tidak menunggu sampai orang-orang percaya baru melakukan “langkah kedua untuk komitmen radikal kepada Kristus” sebelum mereka membaptis orang-orang percaya baru. Sebaliknya, para rasul membaptis orang-orang percaya baru segera setelah mereka bertobat. Mereka percaya bahwa setiap orang percaya sejati adalah murid.

Dalam hal ini, siapapun, yang percaya murid sebagai orang percaya yang memiliki komitmen khusus, tidaklah konsisten dengan teologinya sendiri. Sebagian besar mereka membaptiskan orang yang mengaku percaya kepada Yesus, bukan menunggu orang percaya baru untuk mencapai tingkat “pemuridan” yang berkomitmen. Namun, bila mereka benar-benar percaya apa yang mereka khotbahkan, seharusnya mereka hanya membaptis orang yang telah mencapai tingkat pemuridan, bisa saja hanya ada sedikit jumlah orang percaya baru di antara orang-orang sederajat mereka.

Kejutan akhir terhadap doktrin sesat itu mungkin cukup memberi penjelasan. Bila seorang murid berbeda dengan seorang percaya, mengapa Yohanes menuliskan bahwa kasih kepada saudara-saudara adalah tanda pengenal dari orang-orang percaya yang dilahirkan kembali (lihat 1 Yohanes 3:14), dan Yesus berkata bahwa kasih kepada saudara-saudara adalah tanda pengenal bagi murid-murid sejatiNya (Yohanes 13:35)?

Asal-Muasal Doktrin Palsu ini (The Origin of this False Doctrine)

Jika ide dua kelompok orang Kristen, yakni kelompok orang percaya dan kelompok murid, yang tak terdapat dalam Alkitab, bagaimana doktrin itu dapat dipertahankan? Jawabannya adalah doktrin ini hanya didukung oleh doktrin palsu lain tentang keselamatan. Doktrin itu berketatapan bahwa syarat yang diperlukan untuk pemuridan tidak sesuai dengan fakta bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia. Berdasarkan logika itu, dapat disimpulkan bahwa persyaratan untuk melakukan pemuridan tidak bisa menjadi persyaratan untuk mendapatkan keselamatan. Sehingga, menjadi seorang murid harus merupakan langkah pilihan (tidak wajib) dalam komitmen bagi setiap orang percaya yang pasti-masuk-sorga yang diselamatkan oleh kasih karunia.

Kesalahan fatal dari teori itu adalah berbagai alasan dalam Alkitab yang menentang teori tersebut. Misalnya, apakah yang dapat menyatakan dengan lebih jelas dibandingkan perkataan Yesus menjelang akhir khotbahNya di Atas Bukit, setelah Ia menguraikan banyak perintah?

Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: ‘Tuhan, Tuhan,’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. (Matius 7:21).

Jelaslah, Yesus mengaitkan ketaatan dengan keselamatan, dalam pernyataan itu dan pernyataan lainnya. Lalu, bagaimana kita dapat menyelaraskan banyak perikop dalam Alkitab seperti perikop itu yang berisikan penegasan Alkitab bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia? Sederhana saja. Oleh kasih karuniaNya yang ajaib, kepada setiap orang, Allah untuk sementara memberi kesempatan bertobat, percaya, dan dilahirkan kembali, dikuatkan untuk hidup taat oleh Roh Kudus. Sehingga keselamatan adalah oleh kasih karunia. Tanpa kasih karunia Allah, tak seorangpun dapat diselamatkan, karena semua manusia telah berdosa. Orang berdosa tak mungkin menerima keselamatan. Jadi, dia perlu kasih karunia Allah untuk diselamatkan.

Kasih karunia Allah diungkapkan dalam banyak cara, terkait dengan keselamatan kita. Kasih karunia terwujud dalam kematian Yesus di kayu salib, ketika Allah memanggil kita melalui Injil, ketika Dia menarik kita kepada Kristus, ketika Dia mendapati kita berbuat dosa, ketika Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat, ketika Dia mengubahkan kita dan mengisi kita dengan Roh KudusNya, ketika Di menghancurkan kuasa dosa atas kehidupan kita, ketika Dia memberi kekuatanNya bagi kita yang hidup dalam kesucian, ketika Dia mendisiplinkan kita saat kita berbuat dosa, dan lain-lain. Tak satupun berkat-berkat ini kita dapatkan. Kita diselamatkan oleh kasih karunia dari awal sampai akhir.

Tetapi, menurut Alkitab, keselamatan tidak hanya “karena kasih karunia”, namun ”oleh iman”: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman” (Efesus 2:8a, tambahkan penekanan). Kedua komponen itu diperlukan, dan tidak bertentangan. Apabila orang hendak diselamatkan, maka diperlukan kasih karunia dan iman. Allah memperluas kasih karuniaNya, dan kita merespon dengan iman. Sudah tentu, iman yang tulus menghasilkan ketaatan kepada perintah-perintah Allah. Sebagaimana ditulis oleh Yakobus dalam suratnya pasal kedua, iman tanpa perbuatan adalah mati, tak berguna, dan tidak dapat selamat (lihat Yakobus 2:14-26).[4]

Faktanya, kasih karunia Allah tak pernah membolehkan siapapun untuk berbuat dosa. Sebaliknya, kasih karunia Allah memberi kesempatan sementara untuk bertobat dan dilahirkan kembali. Setelah kematian, tak ada lagi kesempatan untuk bertobat dan dilahirkan kembali, sehingga kasih karunia Allah tak lagi ada. Karena itu, kasih karuniaNya yang menyelamatkan pasti bersifat sementara.

Wanita yang Diselamatkan oleh Yesus oleh Kasih Karunia Melalui Iman (A Woman Whom Jesus Saved by Grace Through Faith)

Gambaran sempurna tentang keselamatan yang ditunjukkan oleh kasih karunia melalui iman terdapat dalam kisah tentang pertemuan Yesus dengan wanita yang tertangkap berbuat zinah. Lalu kata Yesus: “Akupun tidak menghukum engkau [yakni kasih karunia, karena ia layak dihukum]. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yohanes 8:11, tambahkan penekanan). Saat ia seharusnya mati, Yesus membebaskannya. Namun Yesus menyuruhnya pergi dengan peringatan: Mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi. Perkataan ini persis sama dengan perkataanNya kepada setiap orang berdosa di dunia — ”Aku tidak menghukummu sekarang. Engkau seharusnya mati dan dihukum selamanya dalam neraka, namun Aku akan menunjukkan kepadamu kasih karunia. Namun kasih karunia hanyalah sementara, jadi bertobatlah. Sekarang, berhentilah berbuat dosa, sebelum kasih karuniaKu habis dan engkau dapati dirimu berdiri di hadapan penghakimanKu sebagai seorang berdosa yang kedapatan bersalah.”

Misalkan wanita yang berzinah itu bertobat sesuai perintah Yesus. Bila ia bertobat, ia diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Ia diselamatkan oleh kasih karunia karena, sebagai orang berdosa, ia tak mungkin diselamatkan tanpa kasih karunia Allah, Ia mungkin tak pernah berkata dengan tepat bahwa ia mendapatkan keselamatan melalui usahanya sendiri. Dan ia diselamatkan melalui iman karena ia percaya kepada Yesus dan kemudian percaya kepada perkataanNya, dengan memperhatikan peringatanNya, dan bertobat dari dosanya sebelum terlambat. Orang yang beriman dalam Yesus harus bertobat, karena Yesus mengingatkan jika tidak bertobat, ia akan binasa (lihat Lukas 13:3). Yesus juga sangat menegaskan bahwa hanya orang yang melakukan kehendak Bapa akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Matius 7:21). Bila seseorang percaya kepada Yesus, ia akan percaya dan memperhatikan setiap peringatanNya.

Tetapi, misalkan wanita yang berzinah itu tidak bertobat dari dosanya. Ia terus berbuat dosa, lalu mati dan berdiri di hadapan penghakiman Yesus. Misalkan wanita itu berkata kepada, “Oh Yesus! Saya senang sekali bertemu Engkau! Saya ingat saat Engkau tidak menghukum saya karena doa saya ketika saya dibawa di hadapanmu ketika di bumi. Tentunya Engkau masih penuh kasih karunia. Maka, Engkau tidak menghukum saya, tentunya sekarang Engkau tidak menghukum saya!”

Apa pendapat saudara? Apakah Yesus menyambut wanita itu menuju sorga? Jawabannya jelas. Paulus mengingatkan, “Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Korintus 6:9-10)

Dengan kata lain, persyaratan Yesus untuk melakukan pemuridan tak lebih dari persyaratan untuk mendapatkan iman yang sungguh-sungguh di dalamNya, yang sama dengan iman yang menyelamatkan. Dan setiap orang beriman yang menyelamatkan telah diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Karena keselamatan adalah oleh kasih karunia, tidak ada dasar Alkitabiah untuk pernyataan bahwa persyaratan Yesus untuk melakukan pemuridan adalah sesuai persyaratanNya untuk mendapatkan keselamatan. Pemuridan bukanlah langkah pilihan untuk orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga; sebaliknya, pemuridan adalah bukti iman murni yang menyelamatkan.[5]

Dengan demikian, untuk berhasil di mata Allah, seorang pendeta harus memulai proses pemuridan dengan benar melalui pengabaran Injil yang benar, dengan memanggil orang-orang untuk memiliki iman yang taat. Ketika para pelayan mendukung doktrin palsu bahwa pemuridan adalah langkah pilihan untuk melakukan komitmen bagi orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga, maka mereka melawan perintah Kristus untuk melakukan pemuridan dan berseru-seru tentang kasih karunia yang sesat dan injil yang sesat. Hanya murid-murid sejati Kristus memiliki iman yang menyelamatkan dan akan masuk sorga, sesuai janji Yesus: “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga.” (Matius 7:21).

Injil Baru yang Sesat (The New False Gospel)

Karena konsep keliru di dalam injil modern mengenai kasih karunia Allah dalam keselamatan, unsur-unsur penting dalam Alkitab sering dipersempit, dan dianggap tak sesuai lagi dengan pesan kasih karunia. Namun injil sesat hanya menghasilkan orang-orang Kristen sesat, sehingga kini, kita tak akan temukan banyak “petobat” baru di gereja dalam beberapa minggu setelah mereka “menerima Kristus.” Juga, banyak orang yang bergereja seringkali tak dapat dibedakan dari orang-orang yang lahir baru, sehingga mereka memiliki nilai-nilai yang sama dan melakukan dosa yang sama seperti orang kebanyakan. Ini karena mereka benar-benar tak mempercayai Tuhan Yesus Kristus dan tidak sungguh-sungguh dilahirkan kembali.

Salah satu unsur penting yang kini dikeluarkan dari injil modern adalah panggilan untuk bertobat. Banyak pelayan merasa bahwa bila mereka berkata kepada orang-orang untuk berhenti berbuat dosa (seperti yang Yesus lakukan kepada wanita yang tertangkap berbuat zinah), maka itu sama dengan berkatabahwa keselamatan bukanlah kasih karunia, namun hasil usaha. Tetapi, itu keliru, karena Yohanes Pembaptis, Yesus, Petrus dan Paulus menyatakan bahwa pertobatan adalah syarat mutlak bagi keselamatan. Jika khotbah tentang pertobatan agak menafikan kasih karunia Allah dalam keselamatan, tentunya Yohanes Pembaptis, Yesus, Petrus dan Paulus menafikan kasih karunia Allah dalam keselamatan. Namun, mereka paham, kasih karunia Allah memberi orang-orang kesempatan sementara untuk bertobat, bukannya kesempatan untuk terus berbuat dosa.

Misalnya, ketika Yohanes Pembaptis menyatakan apa yang disebut oleh Lukas sebagai “Injil”, pesan utamanya adalah pertobatan (lihat Lukas 3:1-18). Orang yang tidak bertobat akan menuju neraka (lihat Matius 3:10-12; Lukas 3:17).

Yesus mengkhotbahkan hal pertobatan sejak awal pelayananNya (lihat Matius 4:17). Ia mengingatkan jika orang-orang tidak bertobat, mereka akan binasa (lihat Lukas 13:3, 5).

Ketika Yesus mengutus keduabelas muridNya untuk berkhotbah di berbagai kota, “Lalu pergilah mereka memberitakan agar orang harus bertobat” (Markus 6:12, tambahkan penekanan).

Setelah Yesus bangkit, Ia berkata kepada keduabelas muridNya untuk membawa pesan pertobatan ke seluruh dunia, karena itulah kunci pembuka pintu bagi pengampunan dosa:

Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. (Lukas 24:46-47, tambahkan penekanan).

Para rasul menaati perintah Yesus. Ketika Petrus sedang berkhotbah di hari Pentakosta, para pendengarnya yang berdosa, setelah menyadari kebenaran tentang Anak Manusia yang baru saja mereka salibkan, bertanya kepada Petrus apa yang harus mereka lakukan. Jawaban Petrus yang terutama adalah agar mereka bertobat (lihat Kisah Para Rasul 2:38).

Khotbah kedua Petrus di depan banyak orang di ruang depan istana Salomo berisikan pesan yang persis sama. Dosa-dosa tidak akan dihapuskan tanpa pertobatan:[6]

Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan. (Kisah Para Rasul 3:19a, tambahkan penekanan).

Ketika Paulus bersaksi di depan Raja Agripa, ia menyatakan bahwa Injil yang dia beritakan selalu berisikan pesan pertobatan:

Sebab itu, ya raja Agripa, kepada penglihatan yang dari sorga itu tidak pernah aku tidak taat. Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu. (Kisah Para Rasul 26:19-20, tambahkan penekanan).

Di Athena, Paulus memperingatkan setiap orang bahwa, dalam penghakiman, masing-masing mereka harus berdiri di hadapan Kristus, dan mereka yang tak bertobat tak akan siap menghadapi hari penghakiman tersebut:

Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati. (Kisah Para Rasul 17:30-31, tambahkan penekanan).

Dalam khotbah perpisahannya kepada para penatua di Efesus, Paulus menuliskan pertobatan dengan iman sebagai bagian penting dari pesannya

Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. … aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. (Kisah Para Rasul 20:20a, 21, tambahkan penekanan).

Bukti-bukti dari Alkitab itu sudah cukup memberi keyakinan bahwa jika keharusan bertobat tidak disebarluaskan, maka Injil yang benar tidak dikhotbahkan. Hubungan dengan Allah berawal dari pertobatan. Tiada pengampunan dosa tanpa pertobatan.

Definisi Ulang Pertobatan (Repentance Redefined)

Berdasarkan banyak bukti dari Alkitab, keselamatan tergantung kepada pertobatan, beberapa pelayan masih mencari cara untuk meniadakan hal perlunya pertobatan dengan menyempitkan arti yang sudah jelas demi menjadikan pertobatan itu sesuai dengan pemahaman mereka yang keliru akan kasih karunia Allah. Menurut definisi baru yang mereka miliki, pertobatan tak lebih dari perubahan pikiran mengenai siapakah Yesus itu, dan ajaibnya, sesuatu yang tidak otomatis mempengaruhi perilaku seseorang.

Jadi, apa yang diharapkan oleh para pengkhotbah di zaman Perjanjian Baru ketika mereka menyerukan agar orang-orang bertobat? Apakah mereka memanggil orang-orang hanya untuk mengubah pikirannya mengenai siapa Yesus itu, atau apakah para pengkhotbah itu menyerukan agar orang-orang mengubah perilakunnya?

Paulus percaya bahwa pertobatan sejati mengharuskan perubahan perilaku. Kita sudah membaca kesaksian ini terkait dengan pelayanannya selama puluhan tahun, sesuai penyataannya di depan Raja Agripa,

Sebab itu, ya raja Agripa, kepada penglihatan yang dari sorga itu tidak pernah aku tidak taat. Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu. (Kisah Para Rasul 26:19-20, tambahkan penekanan).

Yohanes Pembaptis juga percaya bahwa pertobatan lebih dari sekedar perubahan pikiran tentang fakta-fakta teologis. Ketika para pendengarnya yang berdosa menanggapi seruannya untuk bertobat dengan bertanya apa yang harus mereka lakukan, ia membuat uraian tentang perubahan perilaku (lihat Lukas 3:3, 10-14). Ia juga menyinggung orang-orang Farisi dan Saduki karena mereka hanya merasakan gerakan pertobatan, dan mengingatkan mereka tentang api neraka bila mereka tidak bertobat:

Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang? Jadi, hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. …. Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. (Matius 3:7-10, tambahkan penekanan).

Yesus menyampaikan pesan pertobatan yang sama dengan penyampaian Yohanes (lihat Matius 3:2; 4:17). Yesus berkata bahwa Ninewe bertobat setelah Yunus berkhotbah (lihat Lukas 11:32). Siapapun yang pernah membaca kitab Yunus tahu bahwa penduduk Ninewe berbuat lebih dari sekedar mengubah pola pikir mereka. Mereka juga mengubah perbuatan mereka, yakni meninggalkan dosa-dosanya. Yesus menyebutnya sebagai pertobatan.

Pertobatan menurut Alkitab adalah perubahan perilaku secara sukarela untuk menanggapi iman murni yang lahir di dalam hati. Bila seorang pendeta mengabarkan Injil tanpa menyebut perlunya perubahan sejati perilaku sebagai penegasan pertobatan, maka ia menentang kehendak Kristus bagi murid-murid. Pendeta itu juga menipu jemaatnya dengan mengajak mereka untuk percaya bahwa mereka dapat diselamatkan tanpa bertobat, sehingga kelak Tuhan menghukum mereka bila mempercayai pendeta itu. Ia melawan Tuhan dan mendukung Setan, apakah disadarinya atau tidak.

Bila seorang pendeta hendak melakukan pemuridan sesuai perintah Yesus, ia harus memulai proses dengan benar. Ketika ia tidak mengabarkan Injil yang benar yang menyerukan agar orang-orang bertobat dan memiliki iman yang taat, ia pasti gagal, meskipun orang menganggapnya berhasil. Ia bisa saja memiliki sidang jemaat besar, namun ia membangun di atas kayu, rumput kering atau jerami, dan ketika hasil pekerjaannya melalui api, kualitas kerjanya akan diuji. Semuanya akan terbakar habis (lihat 1 Korintus 3:12-15).

Seruan Yesus untuk Komitmen (Jesus’ Calls to Commitment)

Yesus menyerukan agar orang yang belum selamat untuk bertobat dari dosa, dan juga Ia memintanya untuk berkomitmen sendiri untuk segera mengikuti dan menaatiNya. Yesus tak pernah menawarkan keselamatan dengan syarat yang kurang, seperti sering dilakukan kini. Ia tak pernah mengundang orang untuk “menerima” Dia, dengan janji memberi ampun, lalu menyarankan dia yang mungkin berkomitmen untuk menaatiNya. Tidak, Yesus meminta justru langkah pertama itu menjadi langkah komitmen sepenuh-hati.

Sayangnya, orang yang mengaku Kristen sering mengabaikan setiap seruan Yesus untuk melakukan komitmen. Atau, bila diketahui, tiap seruan dijelaskan sebagai seruan untuk memiliki hubungan lebih erat yang ditujukan kepada orang yang sudah menerima kasih karunia Allah yang menyelamatkan, bukan kepada orang yang belum diselamatkan. Namun, banyak “orang percaya” menyatakan bahwa seruan Yesus untuk berkomitmen ditujukan kepada mereka, bukannya kepada orang yang belum diselamatkan; mereka tidak memperhatikan panggilanNya sesuai tafsiran mereka. Dalam pikiran mereka, mereka mendapat opsi untuk tak menanggapi dengan taat, dan mereka tak pernah menanggapi.

Perhatikan salah satu tawaran Yesus kepada keselamatan yang sering ditafsirkan sebagai panggilan untuk melangkah dengan lebih pasti, yang sepertinya ditujukan kepada orang yang sudah diselamatkan:

Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.” (Markus 8:34-38).

Itukah tawaran bagi orang yang tak percaya pada keselamatan atau tawaran bagi orang percaya untuk memiliki hubungan lebih serius? Bila kita jujur membacanya, jawabnya jelas.

Perhatikan bahwa Yesus berbicara kepada kerumunan orang yang terdiri dari “orang banyak dan murid-muridNya” (ayat 34, tambahkan penekanan). Jelas, orang banyak tidak termasuk murid-muridNya. Ternyata, mereka “dipanggil” olehNya untuk mendengar perkataanNya nanti. Yesus ingin setiap orang, yakni para pengikut dan pencari, untuk mengerti kebenaran ajaranNya. Perhatikan juga, Ia lalu berkata, “Apabila setiap orang” (ayat 34, tambahkan penekanan). Kata-katanya berlaku bagi setiap orang.

Ketika kita terus membaca, makin jelas kepada siapa tujuan pembicaraan Yesus. Secara khusus, perkataanNya ditujukan kepada tiap orang yang ingin (1) “mengikuti” Dia, (2) “menyelamatkan nyawanya”, (3) tidak “kehilangan nyawanya”, dan (4) berada di antara mereka yang kepadanya Yesus tak akan malu ketika Ia “datang dalam kemuliaan BapaNya dengan para malaikat kudus.” Keempat ungkapan itu menunjukkan bahwa Yesus membuat gambaran orang-orang yang mau diselamatkan. Apakah kita akan berpikir bahwa ada orang yang pasti-masuk-sorga yang tak ingin “mengikuti” Yesus dan “menyelamatkan hidupnya”? Apakah kita pikir ada orang percaya sejati yang akan “kehilangan jiwanya”, yang merasa malu pada Yesus dan perkataanNya, dan kepadanya Yesus akan malu saat Ia kembali? Jelas, dalam perikop Alkitab itu, Yesus berbicara tentang memperoleh keselamatan kekal.

Perhatikan, dari keempat kalimat dalam perikop yang terdiri dari lima kalimat itu, tiap kalimat dimulai dengan kata “Karena”. Jadi tiap kalimat membantu menjelaskan dan memperluas kalimat sebelumnya. Tiap kalimat dalam perikop itu harus ditafsirkan dengan memahami bagaimana kalimat-kalimat lain meneranginya. Perhatikan perkataan Yesus kalimat per kalimat.

Kalimat #1

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. (Markus 8:34).

Perlu dicatat, perkataan Yesus ditujukan bagi siapapun yang mau menjadi pengikutNya. Itu satu-satunya hubungan yang Yesus tawarkan sejak awal, yakni menjadi pengikutNya.

Banyak orang ingin menjadi sahabatNya tanpa mau menjadi pengikutNya, namun pilihan itu tidak ada. Yesus tidak menganggap siapapun sebagai sahabatNya bila orang itu tidak menaatiNya. Ia pernah berkata, Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. (Yohanes 15:14).

Banyak orang ingin menjadi saudaraNya tanpa mau menjadi pengikutNya, namun Yesus tetap tidak menambah pilihan itu. Ia tak menganggap siapapun sebagai saudaraNya jika ia tidak taat: “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Matius 12:50, tambahkan penekanan).

Banyak orang ingin mengikut Yesus ke sorga tanpa mau menjadi pengikutNya, namun Yesus katakan hal itu mustahil. Hanya mereka yang taat akan masuk sorga: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”. (Matius 7:21).

Yesus menjelaskan kepada orang yang mau mengikutiNya bahwa ia tak dapat mengikutiNya jika tidak menyangkal diri. Ia harus bersedia mengesampingkan segala keinginannya, berserah diri dan menaati kehendakNya. Penyangkalan-diri dan penyerahan adalah hal terpenting dalam mengikut Yesus. Itulah maksud “memikul salibmu.”

Kalimat #2

Kalimat kedua dari Yesus memperjelas pengertian kalimat pertamaNya:

Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. (Markus 8:35).

Lagi-lagi, perhatikan kalimat yang dimulai dengan “Karena”, yang berhubungan dengan kalimat pertama, sehingga menambah kejelasan. Di sini Yesus membuat perbedaan dua orang, yang dimaksudkan dalam kalimat pertama —orang yang mau menyangkal dirinya dan memikul salibnya untuk mengikutiNya dan orang yang tidak mau menyangkal dirinya dan memikul salibnya. Kedua orang itu dibedakan ketika orang yang mau kehilangan nyawanya karena Kristus dan karena Injil dan orang yang tidak mau kehilangan nyawanya. Untuk mencari hubungan antara keduanya, kita simpulkan bahwa orang pada kalimat pertama yang tidak menyangkal dirinya melambangkan orang pada kalimat kedua yang ingin menyelamatkan nyawanya namun akan kehilangan nyawanya. Dan orang pada kalimat pertama yang tadinya bersedia menyangkal dirinya melambangkan orang pada kalimat kedua yang kehilangan nyawanya namun pada akhirnya diselamatkan.

Yesus tidak berbicara tentang orang yang kehilangan atau menyelamatkan kehidupan fisiknya. Lalu, kalimat-kalimat pada perikop itu menunjukkan bahwa Yesus mengingat untung dan rugi. Yesus ungkapkan hal serupa dalam Yohanes 12:25, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. (tambahkan penekanan).

Orang di kalimat pertama yang tak menyangkal dirinya adalah orang yang sama dalam kalimat kedua yang ingin memelihara nyawanya. Jadi, logikanya, kita simpulkan bahwa “memelihara nyawa sendiri” berarti “menyelamatkan agenda sendiri untuk kehidupannya.” Hal itu menjadi jelas ketika kita menganggap orang yang dibedakan itu yang “kehilangan nyawanya demi Kristus dan Injil.” Ialah orang yang menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan meninggalkan agendanya sendiri, dan kini hidup demi melanjutkan agenda Kristus dan penyebaran Injil. Ialah orang yang akhirnya “menyelamatkan nyawanya.” Orang yang berusaha menyenangkan Kristus bukannya dirinya akhirnya akan berbahagia di sorga, sedangkan orang yang selalu menyenangkan dirinya sendiri akhiranya akan merana di neraka, kehilangan kebebasan untuk mengikuti agendanya sendiri.

Kalimat #3 & #4

Kini kalimat ketiga dan kalimat keempat:

Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya? Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Markus 8:36-37).

Pada kalimat #2, orang yang dimaksud adalah orang yang tak akan menyangkal dirinya. Ia juga ingin menyelamatkan nyawanya namun akhirnya kehilangan nyawanya. Kini ia dianggap orang yang mengejar tawaran dunia dan akhirnya “kehilangan nyawanya.” Yesus memaparkan kebodohan orang tersebut dengan membandingkan kemegahan seluruh dunia dengan kemegahan nyawanya. Tentu, tak ada bandingan. Secara teoritis, seseorang dapat memperoleh apapun tawaran duniar, namun bila konsekweni akhir dari hidupnya adalah kehidupan di neraka, ia telah membuat kesalahan paling serius.

Dari kalimat ketiga dan kalimat keempat, kita dapatkan pandangan kepada hal yang membuat orang menghindari penyangkalan diri untuk mengikut Kristus. Orang itu ingin memuaskan-diri, yang dunia tawarkan. Karena terdorong oleh kasih akan diri sendiri, orang yang menolak mengikuti Kristus hanyalah mencari kesenangan dosa; pengikut sejati Kristus menjauhkan kesenangan dosa dari kasih dan ketaatan kepadaNya. Orang yang mencoba mendapatkan segala tawaran dunia hanyalah mengejar kekayaan, kekuasaan dan prestise, sedangkan pengikut sejati Kristus pertama-tama mencari kerajaanNya dan kebenaranNya. Setiap kekayaan, kekuasaan atau prestise yang didapat orang itu dianggap sebagai pemeliharaan khusus dari Allah untuk dipakai demi kebaikan bagi kemuliaanNya.

Kalimat #5

Kita sampai pada kalimat kelima dalam perikop bahasan. Perhatikan lagi bagaimana kalimat itu dihubungkan ke kalimat-kalimat lain dengan kata awal sebab:

Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.” (Markus 8:38).

Lagi-lagi, orang ini tidak menyangkal dirinya, tetapi ia ingin mengikuti agendanya, dengan mengejar tawaran dunia, dan akhirnya kehilangan hidup dan nyawanya. Kini ia mendapat karakter sebagai orang yang malu kepada Kristus dan perkataanNya. Tentu saja, rasa malunya bersumber dari ketidakyakinannya. Bila ia benar-benar percaya Yesus Anak Allah, tentunya ia tidak malu kepadaNya atau perkataanNya. Namun ia adalah anggota “generasi yang berzinah dan berdosa”, dan Yesus akan merasa malu mengakuinya ketika Ia kembali. Jelas, Yesus tidak sedang membuat uraian tentang seorang yang diselamatkan.

Apa kesimpulan untuk ini? Keseluruhan perikop tak dapat dianggap sebagai panggilan untuk hidup dengan lebih berkomitmen yang ditujukan kepada orang yang kini hidup dengan tujuan ke sorga. Jelas, hal ini merupakan pengungkapan jalan keselamatan dengan membandingkan orang yang benar-benar diselamatkan dan orang yang tidak diselamatkan. Orang yang sungguh diselamatkan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus dan menyangkali diri untukNya, sedangkan orang yang tak diselamatkan tidak menunjukkan iman yang taat.

Seruan Lainnya untuk Komitmen (Another Call to Commitment)

Kita bisa perhatikan banyak hal, tetapi perhatikan panggilan lain untuk berkomitmen melalui Tuhan Yesus yang merupakan panggilan kepada keselamatan:

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Matius 11:28-30).

Para penginjil sering memakai perikop di atas untuk mengajak jemaat pada saat penginjilan, dan memang demikian. Kata-kata itu menjadi ajakan untuk menuju pada keselamatan. Di sini Yesus menawarkan kelegaan bagi mereka yang “letih-lesu dan berbeban berat.” Ia tak menawarkan kelegaan fisik bagi mereka berbeban secara fisik, namun kelegaan bagi jiwa mereka, sesuai perkataanNya. Orang yang belum selamat terbeban dengan rasa bersalah, ketakutan dan dosa, dan mereka menjadi letih lesu, lalu menjadi orang baik yang nanti memperoleh keselamatan.

Bila orang itu ingin mendapat kelegaan yang Yesus tawarkan, ia harus melakukan dua hal menurut kehendakNya. Ia harus (1) datang kepadaNya, dan (2), memikul kukNya.

Guru-guru sesat yang mengajarkan kasih karunia sering membelokkan pengertian ungkapan “memikul kuk Yesus.” Sebagian orang benar-benar mengklaim bahwa Yesus sedang berbicara tentang kuk yang harus ada di seputar leherNya, yang karenanya Ia menyebutnya “kuk dariNya” dan Yesus pasti sedang berbicara tentang kuk-ganda yang mereka katakan, satu bagian di seputar leherNya dan bagian lain adalah kosong, sambil menunggu kita untuk menggunakan leher kita. Tetapi, kita harus pahami bahwa Yesus berjanji untuk menarik bajak karena Ia berkata bahwa kukNya enak dan bebanNya ringan. Jadi, menurut guru-guru itu, kita perlu yakin untuk tetap terbeban kepada Yesus melalui iman, yang mengizinkanNya berkarya bagi keselamatan kita, sedangkan kita hanya mendapat manfaat yang ditawarkan melalui kasih karuniaNya! Tafsiran itu jelas tak kuat.

Tidak, bila Yesus berkata bahwa setiap orang harus memikul kukNya, maksudNya adalah orang berserah kepadaNya, menjadikanNya guru, membiarkan Dia memimpin hidupnya. Karena itu, Yesus berkata agar kita memikul kukNya dan belajar dariNya. Orang yang belum selamat bagaikan hewan liar, yang menempuh jalannya sendiri dan mengatur hidupnya. Ketika seseorang memikul kuk dari Yesus, ia menyerahkan kendali kepadaNya. Kuk Yesus itu mudah dan bebanNya ringan karena Ia menguatkan kita melalui RohNya yang tinggal di dalam kita agar kita menaatiNya.

Jadi, kita pahami lagi bahwa Yesus memanggil orang kepada keselamatan, dalam hal ini dilambangkan sebagai kelegaan kepada yang orang yang letih lesu, dengan cara meminta orang untuk berserah kepadaNya dan menjadikanNya Tuhannya.

Kesimpulan (In Summary)

Dengan kata lain, pelayan yang berhasil adalah orang yang menaati perintah Yesus untuk melakukan pemuridan, dan yang tahu bahwa pertobatan, komitmen dan pemuridan bukanlah pilihan bagi orang percaya yang pasti-masuk-sorga. Sebaliknya, pertobatan, komitmen dan pemuridan adalah ungkapan murni dari iman yang menyelamatkan. Karena itu, pelayan yang berhasil harus mengabarkan Injil berdasarkan Alkitab kepada orang yang belum diselamatkan. Pelayan itu memanggil orang yang belum diselamatkan dan mengikuti Yesus, dan ia tak memberikan jaminan kepada orang yang tidak sungguh-sungguh mengerjakan keselamatannya.


[1] Definisi ini berasal dari pembacaan Matius 28:18-20, Yohanes 8:31-32; 13:25, 15:8 dan Lukas 14:25-33.

[2] Kata murid disebutkan dalam Kisah Para Rasul 6:1, 2, 7; 9:1, 10, 19, 25, 26, 36, 38; 11:26, 29; 13:52; 14:20, 21, 22, 28; 15:10; 16:1; 18:23, 27; 19:1, 9, 30; 20:1, 30; 21:4, 16. Orang percaya hanya disebutkan dalam Kisah Para Rasul 5:14; 10:45 dan 16:1. Misalnya, dalam Kisah Para Rasul 14:21, Lukas menulis, “Paulus dan Barnabas memberitakan Injil di kota itu dan memperoleh banyak murid.” Jadi Paulus dan Barnabas melakukan pemuridan dengan mengabarkan Injil, dan orang-orang langsung menjadi murid ketika mereka bertobat, bukan pada waktu nanti.

[3] Perikop dalam Alkitab ini memaparkan praktek yang keliru sekarang ini dalam hal pemberian jaminan keselamatan kepada orang yang baru bertobat. Yesus tidak menjamin orang yang baru bertobat pasti diselamatkan karena mereka berdoa pendek untuk menerimaNya atau mengucapkan kata-kata iman dalam Dia. Sebaliknya, Ia menantang setiap orang yang baru bertobat untuk memperhatikan apakah pengakuannya itu benar-benar tulus. Kita harus mengikuti teladanNya.

[4] Lagipula, berbeda dengan mereka yang berpendirian bahwa kita diselamatkan oleh iman meskipun kita tidak melakukan perbuatan, Yakobus berkata bahwa kita tidak dapat diselamatkan hanya dengan iman sendiri: “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” Iman yang sejati tak pernah sendiri, namun selalu disertai dengan perbuatan.

[5] Perlu diingat bahwa alasan Paulus sering menegaskan bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia dan bukan hasil pekerjaan adalah karena ia terus melawan para para pembuat aturan yang benar pada masa itu. Paulus tidak mencoba untuk mengkoreksi orang-orang yang mengajarkan bahwa kesucian diperlukan untuk menuju ke sorga, karena ia sendiri percaya dan sering menegaskan fakta tersebut. Sebaliknya, ia mengirim surat kepada orang-orang Yahudi yang benar yang, karena tak memiliki konsep kasih karunia Allah dalam keselamatan, tidak memahami alasan bagi kematian Yesus. Banyak orang yang tidak percaya bahwa orang-orang bukan Yahudi bahkan dapat diselamatkan karena mereka tak punya konsep kasih karunia Allah yang menjadikan keselamatan itu mungkin. Sebagian berpendapat bahwa sunat, silsilah fisik, atau menaati Hukum Taurat (yang mereka tidak lakukan lagi) memberikan keselamatan bagi orang, sehingga membatalkan kasih karunia Allah dan perlunya kematian Kristus.

[6] Demikian juga, ketika Allah mengungkapan kepada Petrus bahwa orang-orang bukan Yahudi dapat diselamatkan hanya dengan percaya kepada Yesus, Petrus menyatakan kepada seisi rumah Kornelius, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34b-35, tambahkan penekanan). Petrus juga menyatakan dalam Kisah Para Rasul 5:32 bahwa Allah mengaruniakan Roh Kudus “kepada mereka yang menaatiNya.” Semua orang Kristen memiliki Roh Kudus di dalam dirinya (lihat Roma 8:9; Galatia 4:6).

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Dua (Chapter Two)

Bab Satu (Chapter One)

Penetapan Tujuan yang Benar (Setting the Right Goal)

Bila seorang pelayan ingin berhasil di hadapan Allah, ia perlu memahami tujuan yang telah Allah tentukan sebelumnya. Bila pelayan itu tak memahami tujuannya, maka ia tak punya cara untuk mengukur keberhasilan atau kegagalannya dalam mencapai tujuan itu. [1] Ia bisa saja menganggap telah berhasil, padahal sebenarnya ia gagal. Dan ini menjadi tragedi besar. Ia seperti pelari yang sukses melintasi garis akhir pada lomba lari 800 meter, sambil merayakan kemenangan dengan mengangkat tangannya di hadapan penonton yang bersorak-sorai, namun tanpa sadar ia sebenarnya mengikuti lomba lari 1600 meter. Karena keliru memahami tujuan, pelari itu gagal. Ia gagal karena menganggap ia telah memenangi lomba itu. Sehingga, benarlah ungkapan “Yang pertama akan menjadi yang terakhir.”

Sebagian besar pelayan memiliki tujuan tertentu yang sering dianggap sebagai “visi” mereka. Mereka bertekad untuk mencapai “visi” itu, berdasarkan panggilan dan karunia. Setiap orang memiliki panggilan dan karunia unik, apakah itu melayani gereja di satu kota, menginjili satu daerah, atau mengajarkan kebenaran tertentu. Namun, menurut saya, tujuan yang diberikan Allah bersifat umum dan berlaku bagi setiap pelayan. Itulah visi yang besar, yang harus menjadi visi umum yang memberi dorongan di balik setiap visi khusus. Tetapi, seringkali kenyataanya tidak demikian. Banyak pelayan memiliki visi tertentu yang tak selaras dengan visi umum dari Allah; juga beberapa pelayan memiliki visi tertentu yang sebenarnya bertentangan dengan visi umum dari Allah. Ada kalanya, saya memiliki visi itu, meskipun saya melayani gereja yang tengah bertumbuh.

Apa tujuan atau visi umum yang diberikan Allah bagi setiap pelayan? Kita cari jawaban dari Matius 28:18-20, sebuah perikop yang terlalu sering dibaca sehingga kita sering tak paham maksudnya. Kita perhatikan perikop itu ayat demi ayat:

Yesus mendekati mereka dan berkata, “KepadaKu telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (Matius 28:18).

Yesus menghendaki murid-muridNya agar dapat mengerti bahwa BapaNya telah mengaruniakan kuasa tertinggi kepadaNya. Sudah tentu, maksud Bapa dulu (dan sekarang) adalah agar kita menaati Yesus, seperti halnya saat Bapa memberikan kuasa kepada seseorang. Namun, Yesus adalah unik karena BapaNya memberiNya semua kuasa di sorga dan di bumi, bukan kuasa yang terbatas; terkadang Yesus memberi kuasa kepada orang lain. Ingatlah, Yesus adalah Tuhan.

Dengan demikian, setiap orang yang tidak menganggap Yesus sebagai Tuhan tidak memiliki hubungan benar denganNya. Bagaimanapun juga, Yesus adalah Tuhan. Itu sebabnya Yesus disebut sebagai “Tuhan” lebih dari 600 kali dalam Perjanjian Baru. (Yesus disebut sebagai Juruselamat hanya 15 kali).

Karena itu, Paulus mencatat, “Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun orang-orang hidup” (Roma 14:9, penekanan ditambahkan). Yesus mati dan bangkit kembali untuk memerintah sebagai Tuhan atas semua orang.

Iman Sejati yang Menyelamatkan (True Saving Faith)

Ketika para penginjil dan pendeta di zaman kini menganjurkan orang-orang yang belum diselamatkan untuk “menerima Yesus sebagai Juruselamat”, (sebuah frasa yang tak pernah ada dalam Alkitab), seringkali mereka melakukan kesalahan mendasar dalam memahami Injil. Sebagai contoh, ketika penjaga penjara di Filipi bertanya kepada Paulus apa yang harus dilakukannya agar dapat diselamatkan, Paulus tidak menjawab, ”Terimalah Yesus sebagai Juruselamat.” Malahan, Ia berkata, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus, dan engkau akan diselamatkan” (Kisah Para Rasul 16:31, penekanan ditambahkan). Manusia diselamatkan apabila ia percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Ingatlah, manusia tidak diselamatkan hanya karena mempercayai doktrin tertentu tentang keselamatan atau tentang Yesus, tetapi ia diselamatkan ketika ia percaya pada satu pribadi, yakni Tuhan Yesus Kristus. Terlalu banyak orang berpikir, karena mereka percaya bahwa kematian Yesus sudah cukup menjadi korban bagi dosa-dosanya, atau keselamatan adalah melalui iman, atau seratus hal lainnya berkenaan dengan Yesus atau keselamatan, sehingga mereka sudah memiliki iman. Namun, ternyata mereka tak memiliki iman. Iblis percaya segala hal tentang Yesus dan keselamatan. Iman yang menyelamatkan adalah iman dalam Yesus. Siapakah Yesus itu? Dialah Tuhan.

Jelaslah, bila saya percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, saya anggap Dialah Tuhan dengan cara berserah kepadaNya dari dalam hati saya. Bila tak berserah kepadaNya, maka saya tak percaya kepadaNya. Bila seseorang berkata, ”Saya percaya ada ular beracun di sepatuku”, lalu pelan-pelan ia memakai sepatunya, jelas ia tak benar-benar percaya pada keyakinannya. Orang yang mengaku percaya kepada Yesus namun tidak menyesali dosa-dosanya dan tidak berserah kepada Tuhan di hatinya, sebenarnya ia tak mempercayai Yesus. Ia bisa saja percaya kepada Yesus dalam imajinasinya, namun bukan kepada Tuhan Yesus yang sebenarnya, Pribadi yang memiliki segala kuasa di sorga dan di bumi.

Dengan kata lain, bila seorang pelayan keliru memahami pesan paling mendasar tentang Kekristenan, maka sejak awal ia sudah dalam kesulitan. Dalam penilaian Allah, tiada cara lagi si pelayan itu bisa berhasil, karena ia keliru memahami pesan paling mendasar yang harus didengar oleh dunia menurut kehendak Tuhan. Ia bisa saja jadi pendeta di gereja yang sedang bertumbuh, namun ia gagal memenuhi visi umum Tuhan bagi pelayanannya.

Visi yang Besar (The Big Vision)

Kita kembali ke Matius 28:18-19. Setelah menyatakan kemahakuasaanNya, Yesus kemudian memberikan perintah:

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20a)

Perhatikan bahwa Yesus memakai kata ”karena itu.” KataNya, ”Karena itu pergilah, jadikanlah … murid…”. Dengan kata lain, ”Karena apa yang Aku katakan … karena Aku memiliki semua kuasa… karena Akulah Tuhan…manusia tentunya harus taat kepadaKu … seperti yang Kuperintahkan kepadamu (dan kamu harus menaatiKu) untuk pergi dan melakukan pemuridan, dengan mengajari murid-murid agar menaati semua perintahKu.”

Itulah tujuan umum, yaitu visi besar dari Allah bagi semua pelayanan kita, bahwa kita bertanggung-jawab untuk memuridkan mereka yang menaati semua perintah Kristus.

Itu sebabnya Paulus berkata bahwa kasih karunia Allah telah diberikan kepadanya sebagai rasul untuk ”menghasilkan ketaatan iman di antara semua orang yang tidak percaya (Roma 1:5, penekanan ditambahkan). Tujuannya adalah ketaatan, dan cara menjadi taat dalam iman. Orang yang beriman penuh dalam Tuhan Yesus haruslah menaati perintah-perintahNya.

Karena itu, pada hari Pentakosta, Petrus berkhotbah, ”Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kisah Para Rasul 2:36). Petrus menginginkan agar para penyalib Kristus mengetahui bahwa Allah telah menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Kristus. Tetapi, mereka telah membunuh pribadi yang seharusnya mereka taati sesuai kehendak Allah! Dengan keyakinan penuh, mereka bertanya, ”Apa yang harus kami lakukan?” dan jawaban pertama Petrus adalah, ”Bertobatlah”! Yakni, berbalik dari ketidaktaatan kepada ketaatan. Jadikan Yesus sebagai Tuhan. Lalu Petrus meminta mereka untuk dibaptis sesuai perintah Kristus. Dalam hal ini, Petrus melakukan pemuridan bagi mereka, para pengikut yang taat kepada Kristus, dan ia memulai cara tepat dengan pesan yang benar.

Karena itu, setiap pelayan harus sanggup mengevaluasi keberhasilan pelayanannya. Kita harus bertanya pada diri sendiri, ”Apakah pelayanan saya tengah membawa orang-orang untuk taat pada semua perintah Kristus?” Bila ya, maka pelayanan saya berhasil. Bila tidak, maka pelayanan saya gagal.

Seorang penginjil dianggap gagal bila ia hanya meyakinkan orang-orang untuk ”menerima Yesus”, tanpa mengajak mereka untuk menyesali dosa-dosa mereka. Seorang pendeta dianggap gagal bila ia hanya berupaya menambah jumlah anggota jemaat dan melakukan kegiatan sosial. Seorang guru dianggap gagal bila ia hanya mengajarkan ”angin doktrin” karismatik terbaru. Seorang rasul dianggap gagal bila ia hanya merintis sidang gereja baru yang para anggotanya mengaku percaya kepada Yesus, namun tidak menaatiNya. Seorang nabi dianggap gagal bila ia hanya bernubuat mengenai berkat-berkat yang akan didapat oleh jemaat.

Kegagalanku (My Failure)

Beberapa tahun lalu, ketika saya menjadi pendeta di sebuah gereja yang lagi bertumbuh, Roh Kudus bertanya kepada saya sehingga mata saya dibukakan untuk melihat sejauh mana kegagalan saya dalam memenuhi visi umum dari Tuhan. Ketika membaca perikop yang menggambarkan tentang kawanan kambing dan kawanan domba dalam Matius 25:31-46, Roh Kudus bertanya pada saya: ”Andaikata anggota-anggota jemaat gerejamu meninggal dunia pada hari ini dan berdiri di penghakiman bagi orang-orang yang tergolong domba dan tergolong kambing, berapa orang yang akan tergolong domba dan berapa orang yang akan tergolong kambing? Atau, lebih khususnya ”Tahun lalu, berapa orang jemaatmu yang telah memberi makan saudara-saudara dalam Kristus yang lapar, memberi minum untuk orang Kristen yang haus, memberi tumpangan kepada pengikut Kristus yang tak punya perteduhan atau yang sedang bepergian, memberi pakaian bagi yang tak punya pakaian, atau mengunjungi orang sakit atau orang percaya yang dipenjara?” Saya sadar, belum banyak yang saya lakukan dari hal-hal yang disebutkan itu atau hal-hal yang serupa dengan itu, meskipun anggota-anggota jemaat saya rajin beribadah, memuji dan menyembah, mendengarkan khotbah-khotbah saya dan memberi persembahan. Jadi, menurut kriteria Kristus, anggota-anggota jemaat itu tergolong kambing, dan sebagian kesalahan harus saya tanggung, karena saya tidak mengajarkan kepada jemaat betapa pentingnya tindakan kita di hadapan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi saudara-saudara dalam Kristus. Saya tidak mengajarkan mereka untuk menaati semua perintah Kristus. Ternyata, saya sadari, saya tidak mempedulikan perkara yang sangat penting bagi Allah –perintah terbesar kedua, yakni kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri– belum lagi perintah Yesus agar kita saling mengasihi seperti Dia mengasihi kita.

Lebih dari itu, perlahan saya menyadari ternyata saya tengah mengajarkan hal yang bertentangan dengan tujuan umum dari Tuhan untuk tugas pemuridan, karena saya mengajari jemaat saya dengan versi ”injil kemakmuran” yang terkenal itu. Walaupun Yesus menghendaki umatNya untuk tidak mengumpulkan harta di dunia (lihat Matius 6:19-24), dan mencukupkan diri dengan apa yang mereka miliki, walau hanya makanan dan pakaian (lihat Ibrani 13:5; I Timotius 6:7-8), namun ketika itu saya mengajarkan jemaat yang kaya di Amerika bahwa Tuhan ingin mereka memiliki harta bahkan lebih banyak lagi. Sehingga, dalam satu hal, saya mengajarkan orang untuk tidak menaati Yesus (seperti yang dilakukan oleh ratusan ribu pendeta lain di seluruh dunia).

Ketika menyadari apa yang saya lakukan, saya menyesal dan minta maaf kepada jemaat saya. Lalu, saya mulai lakukan pemuridan, dengan mengajari jemaat untuk menaati semua perintah Kristus. Saya lakukan tugas itu dengan rasa takut dan gentar, dan menduga-duga ada anggota jemaat yang benar-benar tak mau menaati semua perintah Kristus, yakni mereka lebih memilih menjadi orang Kristen yang hanya mau senang dan tak mau berkorban. Dugaan saya benar. Ada indikasi, beberapa anggota jemaat tak peduli dengan penderitaan orang percaya di seluruh dunia, dan tak peduli untuk menyebarkan Injil kepada orang yang belum pernah mendengarnya. Malahan, mereka hanya peduli untuk memperoleh lebih banyak lagi untuk kepentingan dirinya. Dalam hal kesucian, mereka hanya menghindari dosa-dosa yang paling memalukan, dan bahkan dibenci oleh orang-orang yang belum lahir baru, dan menjalani gaya hidup yang mirip dengan rata-rata orang Amerika pada umumnya. Namun, mereka nyatanya tidak mengasihi Tuhan, karena tak mau menaati setiap perintah Yesus, hal yang justru, menurut perkataanNya, menjadi bukti kasih kita kepadaNya (lihat Yohanes 14:21).

Yang saya kuatirkan ternyata benar –yakni sebagian orang yang mengaku Kristen ternyata benar-benar tergolong kambing berbulu domba. Saat saya ajak para jemaat untuk menyangkal diri dan memikul salibnya, sebagian dari mereka marah. Bagi mereka, gereja hanyalah pengalaman sosial yang di dalamnya ada musik yang merdu, seperti kenikmatan duniawi di tempat-tempat hiburan dan bar-bar. Mereka hanya menerima khotbah selama khotbah itu mempertegas keselamatan dan kasih Allah bagi mereka. Tetapi, mereka tak ingin mendengarkan kehendak Allah buat mereka. Mereka tak mau ada orang menanyakan tentang keselamatan mereka. Mereka tak bersedia membayar harga dengan menata hidupnya agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka hanya bersedia berkorban uang, selama mereka yakin bahwa Allah akan membalas korban itu lebih banyak, dan selama mereka mendapat manfaat langsung dari pemberian itu, seperti uang mereka dipakai untuk memperbaiki fasilitas gereja.

Saat untuk Menguji Diri Sendiri (A Time for Self-Examination)

Inilah saat tepat bagi tiap pelayan yang sedang membaca buku ini untuk bertanya kepada diri sendiri, pertanyaan yang sama diajukan oleh Roh Kudus kepada saya: ”Jika anggota jemaat yang saya layani meninggal dunia sekarang ini dan berdiri di hadapan penghakiman orang-orang yang tergolong domba dan yang tergolong kambing, berapa jemaat yang akan tergolong domba dan berapa jemaat yang akan tergolong kambing?” Ketika seorang pelayan meyakinkan anggota jemaatnya yang tergolong kambing bahwa ia diselamatkan, sebenarnya pelayan itu sedang mengatakan hal yang menentang kehendak Allah; seharusnya pelayan itu mengatakan kebenaran kepada anggota jemaat itu. Dengan demikian, pelayan itu bertindak melawan Kristus. Ia melawan kehendak Yesus, karena seharusnya ia berkata kepada jemaat yang demikian agar menuruti perkataan Yesus dalam Matius 25:31-46. Keseluruhan ucapan Yesus dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada mereka yang tergolong kambing. Yesus tak ingin anggota jemaat beranggapan bahwa mereka sedang menuju ke sorga.

Yesus berkata bahwa semua orang mengenali kita sebagai murid-muridNya melalui kasih kita kepada sesama kita (lihat Yohanes 13:35). Tentu, Yesus sedang berbicara mengenai kasih yang melebihi kasih yang saling diperlihatkan oleh orang-orang non-Kristen; jika tidak demikian, maka murid-muridNya takkan dapat dibedakan dari orang-orang tak percaya. Jenis kasih yang Yesus sebutkan adalah kasih yang rela berkorban, ketika kita saling mengasihi bagaimana Ia mengasihi kita, dan kita rela saling berkorban nyawa kita (lihat Yohanes 13:34; 1 Yohanes 3:16-20). Yohanes juga mencatat bahwa kita telah berpindah dari maut ke dalam hidup, yaitu dilahirkan kembali, ketika kita saling mengasihi (1 Yohanes 3:14). Bila ada orang hanya bersungut-sungut, menceritakan keburukan orang, dan membenci pelayan yang mengajarkan perintah-perintah Kristus, apakah orang itu menunjukkan kasih sebagai tanda orang yang sudah lahir baru? Tidak, orang itu tak menunjukkan kasih, maka ia tergolong kambing, dan akan masuk neraka.

Murid-Murid Segala Bangsa (Disciples of All Nations)

Sebelum lanjut, perhatikan lagi Matius 28:19-20, Amanat Agung dan Umum yang Yesus berikan kepada murid-muridNya, mungkin kita dapat memetik kebenaran lain dari Amanat itu.

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:19-20a)

Perlu dicatat, Yesus menghendaki pemuridan untuk semua bangsa atau, lebih tepatnya sesuai dengan bahasa Gerika asli, semua kelompok etnis di dunia. Bila Yesus memerintahkan pemuridan, saya yakin pasti ada cara untuk mewujudkan hal itu. Kita dapat membuat semua kelompok etnis di dunia menjadi murid-murid Yesus. Tugasnya tidak hanya diberikan kepada sebelas murid Yesus itu, tetapi kepada setiap murid sesudah murid-muridNya itu, karena Yesus meminta kesebelas muridNya untuk mengajari murid-murid mereka untuk menaati semua yang diperintahkanNya kepada mereka. Jadi, kesebelas muridNya mengajarkan murid-murid mereka untuk menaati perintah Kristus demi membuat semua bangsa menjadi murid-muridNya, dan kemudian perintah ini terus berlanjut untuk setiap murid berikutnya. Setiap murid Yesus harus ambil bagian dengan cara apapun untuk memuridkan bangsa-bangsa.

Uraian tadi sebagian memperjelas alasan mengapa “Amanat Agung” belum terpenuhi. Walaupun ada jutaan orang yang mengaku Kristen, sebenarnya hanya sedikit murid yang sungguh-sungguh menaati Yesus. Sebagian besar orang yang mengaku Kristen tidak peduli kepada kegiatan pemuridan di setiap kelompok etnis, karena praktis mereka tidak sungguh-sungguh menaati setiap perintah Kristus. Bila kegiatan pemuridan ini dibicarakan, maka banyak orang Kristen sering beralasan, ”Itu bukan pelayanan saya” dan “Saya tak merasa dipimpin ke arah itu.” Banyak pendeta membuat pernyataan yang sama, layaknya anggota jemaat yang tergolong kambing yang hanya mengutip dan memilih perintah-perintah Kristus yang hanya cocok dengan agendanya.

Bila setiap orang yang mengaku Kristen benar-benar percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, pastilah semua orang di dunia sudah sejak dulu mendengarkan Injil. Dengan komitmen bersama dari para murid Kristus, maka hal itu dapat terwujud. Sehingga, mereka tidak akan membuang-buang waktu dan uang untuk hal-hal yang sementara dan duniawi, tetapi menggunakan waktu dan uang itu untuk melakukan perintah Tuhan kepada mereka. Tetapi, ketika pendeta yang taat mengumumkan kehadiran seorang misionaris yang akan berkhotbah pada ibadah gereja, bisa saja ia menduga jumlah kehadiran jemaat akan turun. Sehingga, banyak jemaat yang tergolong kambing tetap tak beranjak dari rumahnya atau pelesir ke mana saja. Mereka tak tertarik untuk menaati perintah terakhir Tuhan Yesus Kristus. Sebaliknya, jemaat yang tergolong domba selalu berpengharapan untuk terlibat dalam kegiatan pemuridan bagi semua bangsa.

Hal terakhir terkait dengan Matius 28:18-20 adalah perintah Yesus bagi rasul-rasulNya untuk membaptis murid-murid mereka, dan mereka menaati perintahNya dengan sepenuh hati. Murid-muridNya membaptis orang-orang yang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus. Tentu, baptisan merupakan identifikasi orang percaya dengan kematian, penguburan dan kebangkitan kembali. Orang percaya baru itu telah mati dan dibangkitkan sebagai ciptaan baru dalam Kristus. Sesuai kehendak Yesus, kebenaran ini diwujudkan dalam pembaptisan setiap orang percaya baru, di mana dalam pikiran orang percaya baru itu telah terpatri bahwa ia kini adalah pribadi yang baru yang memiliki sifat baru. Rohnya bersatu dengan Kristus, dan kini ia diberi kekuatan untuk dapat menaati Allah melalui Kristus yang hidup dalam dirinya. Ia sudah mati atas dosa-dosanya, namun kini telah dibersihkan dan dihidupkan oleh Roh Kudus. Ia lebih dari ”sekedar diampuni.” Malahan, ia telah diubahkan secara radikal. Jadi, Allah sekali lagi menunjukkan bahwa orang percaya sejati memiliki perilaku yang jauh berbeda dengan saat ia mati rohani. Tentu, hal itulah yang dimaksud oleh ucapan Yesus, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”(Matius 28:20). Apakah tak selayaknya kita anggap kehadiran Kristus yang selalu bersama seseorang akan mempengaruhi perilaku orang itu?

Definisi Pemuridan menurut Yesus (Jesus Defines Discipleship)

Kita sudah yakin bahwa tujuan utama Yesus untuk kita adalah agar kita melakukan pemuridan, yakni memuridkan orang-orang yang bertobat dari dosa-dosa mereka dan yang mau belajar dan menaati semua perintahNya. Dalam Yohanes 8:32, Yesus selanjutnya membuat definisi seorang murid:

Jikalau kamu tetap dalam FirmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu; dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kemerdekaan itu akan memerdekakan kamu.

Menurut Yesus, murid sejati adalah orang yang tetap tinggal, atau membuat tempat tinggalnya, di dalam FirmanNya. Di saat mempelajari kebenaranNya dari FirmanNya, seorang murid terus-menerus “dibebaskan”, dan konteks berikutnya menunjukkan bahwa Yesus tengah berbicara tentang pembebasan dari dosa (lihat Yohanes 8:34-36). Sekali lagi, kita lihat, berdasarkan definisi dari Yesus, murid adalah orang yang mau belajar dan menaati perintah-perintahNya.

Lalu Yesus berkata,

Dalam hal inilah BapaKu dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-muridKu.” (Yohanes 15:8, penekanan ditambahkan).

Jadi, menurut definisi Yesus, murid adalah seorang yang memuliakan Allah lalu menghasilkan buah. Seseorang yang tak menghasilkan buah bukanlah muridNya.

Lebih khususnya, Yesus mendefinisikan buah-buah sebagai identifikasi dari murid-murid sejatiNya dalam Lukas 14:25-33. Kita awali dengan membaca ayat 25 saja:

Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalannNya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka…

Apakah Yesus sudah puas karena orang banyak “berduyun-duyun” mengikutiNya? Apakah pendeta telah mencapai tujuanNya karena berhasil menambah jumlah jemaatnya?

Yesus belum puas dengan orang banyak yang mengikutiNya, yang mendengarkan khotbah-khotbahNya, menyaksikan mujizat-mujizatNya, dan kadang mendapat makanan pemberianNya. Yesus mencari orang yang mengasihiNya dengan segenap hati, pikiran, jiwa dan kekuatannya. Ia menyukai setiap orang yang menaati perintah-perintahNya. Dan Ia menyukai murid-murid. Sehingga, Ia berkata kepada orang banyak yang mengikutiNya:

Jikalau seseorang datang kepadaKu, dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu (Lukas 14:26).

Tak ada yang keliru dengan ayat itu. Yesus memberi syarat bagi siapapun untuk menjadi muridNya. Namun, haruskah murid-muridNya membenci orang-orang yang mereka sangat cintai? Kita tak mungkin membenci mereka, karena Alkitab memerintahkan kita untuk menghormati orang-tua dan mengasihi suami/istri dan anak-anak.

Sudah tentu Yesus berbicara dengan memakai hiperbola, yakni ungkapan yang memberi penekanan. Tetapi, paling kurang, maksud ucapan Yesus kira-kira seperti berikut, ”Bila kita mau menjadi murid-muridNya, kita harus mengasihiNya di atas segala-galanya, jauh melebihi kasih kita kepada orang-orang yang sangat kita cintai”. Sudah sewajarnya bila Yesus berharap demikian karena Dialah Tuhan yang harus kita kasihi dengan segenap hati, pikiran, jiwa dan kekuatan kita.

Ingat, tugas pelayan adalah memuridkan, yang berarti setiap murid harus menghasilkan karakter pribadi yang mencintai Yesus di atas segala-galanya, yang mengasihiNya jauh melebihi cintanya kepada pasangan hidupnya, anak-anaknya dan orang-tuanya. Adalah baik bila setiap pelayan membaca hal ini dan bertanya kepada dirinya, ”Bagaimana caranya saya bisa berhasil memuridkan orang seperti itu?”

Bagaimana cara kita mengetahui orang yang mengasihi Yesus? Yesus berkata dalam Yohanes 14:21: “Barangsiapa yang memegang perintahKu dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku.” Dapat disimpulkan bahwa orang yang mengasihi Yesus lebih dari pasangan hidupnya, anak-anaknya dan orang-tuanya adalah juga orang yang menaati perintah-perintahNya. Menjadi murid Yesus haruslah menaati perintah-perintahNya.

Syarat Kedua (A Second Requirement)

Hari itu, Yesus terus berbicara kepada orang banyak yang mengikutiNya,

Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu (Lukas 14:27).

Inilah syarat kedua yang Yesus tetapkan untuk menjadi muridNya. Apa maksudNya? Apakah ini berarti murid-murid harus memikul balok-balok kayu besar? Bukan itu artinya. Yesus lagi-lagi memakai hiperbola.

Mungkin saja, sebagian besar, bisa juga semua, orang dalam rombongan orang Yahudi yang mengikuti Yesus telah menyaksikan para penjahat yang tengah menanti ajalnya di kayu salib. Serdadu Romawi menyalibkan para penjahat di sepanjang jalan-jalan besar di luar gerbang-gerbang kota dengan tujuan untuk memaksimalkan efek penyaliban demi mencegah timbulnya kejahatan.

Karena itulah, saya menduga, kata-kata “Pikullah salibmu” adalah hal yang biasa di zaman Yesus. Setiap orang yang disalibkan pernah mendengar kata-kata serdadu Romawi, “Pikullah salibmu dan ikutilah aku.” Kata-kata ini sangat ditakuti oleh para terhukum, karena mereka tahu saat itulah tanda dimulainya jam-jam dan hari-hari bagi penderitaan yang mengerikan. Sehingga, kata-kata tersebut bisa saja menjadi ungkapan yang berarti, “Terimalah kesulitan yang tak terelakkan dan yang mengikuti jalanmu.”

Saya membayangkan seorang bapak yang berkata kepada anaknya, “Nak, bapak tahu engkau tak suka menggali lubang pembuangan kotoran. Pekerjaan itu bau dan kotor. Namun, itu tanggung-jawabmu sekali sebulan, jadi pikullah salibmu. Gali saja lubang itu.” Saya bayangkan seorang istri yang berkata kepada suaminya, “Sayang, saya tahu betapa engkau benci membayar pajak kepada bangsa Romawi. Tetapi, hari ini pajak harus dibayar, dan Penagih Pajak sedang menuju ke rumah kita. Jadi, pikullah salibmu. Bayar saja pajak itu.”

Memikul salib sendiri sama artinya dengan menyangkali diri, dan Yesus memakai istilah itu dalam Matius 16:24: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkali dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Dengan kata lain, “Bila seseorang ingin mencariKu, hendaklah ia meninggalkan agenda kegiatannya, menghadapi kesulitan yang pasti datang dan yang pasti terjadi sebagai konsekwensi dari keputusannya, dan mengikuti Aku.”

Jadi, setiap murid sejati harus bersedia menderita demi mengikuti Yesus. Ia telah menghitung harga sebelum mulai melangkah, dan mengetahui bahwa kesulitan tak dapat dihindari; ia sudah dilontarkan dengan tekad untuk menyelesaikan perlombaan. Penafsiran ini didukung oleh perkataan Yesus berikutnya tentang menghitung harga untuk mengikutiNya. Maksud Yesus digambarkan dalam dua ilustrasi berikut:

Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain, tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian (Lukas 14:28-32).

Maksud Yesus mungkin tak jelas dalam kalimat “Bila engkau ingin menjadi muridKu, hitunglah dahulu biayanya, supaya engkau tidak berhenti ketika perjalanan menjadi sulit. Murid-murid sejati menerima kesulitan yang muncul sebagai hasil mengiringiNya.”

Syarat Ketiga (A Third Requirement)

Hari itu, Yesus membuat satu syarat lagi tentang pemuridan kepada orang banyak:

Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu (Lukas 14:33).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Yesus memakai ungkapan hiperbola. Kita tak perlu meninggalkan semua harta milik dalam arti kita tak diberikan tempat tinggal, pakaian, dan makanan. Tetapi, kita harus tinggalkan semua harta milik, dalam arti mengalihkan harta kita menjadi milik Allah, dan selama kita tak lagi melayani mammon, namun melayani Allah dengan memakai mammon kita. Tentu, bisa berarti kita berhenti memiliki harta yang tak perlu dan hidup sederhana dalam pemeliharaan ilahi dan berbagi dengan sesama kita, seperti yang dilakukan orang-orang Kristen dalam kitab Kisah Para Rasul. Menjadi murid Kristus berarti mematuhi perintahNya, dan Ia memerintahkan para pengikutNya untuk tidak mengumpulkan harta di bumi, namun mengumpulkannya di sorga.

Kesimpulannya, menurut Yesus, bila saya hendak menjadi muridNya, saya harus menghasilkan buah. Saya harus mengasihiNya di atas segala-galanya, bahkan jauh melebihi dari hal mengasihi anggota-anggota keluargaku. Saya harus bersedia menghadapi kesulitan yang tak terhindarkan yang nanti muncul sebagai akibat keputusan saya untuk mengikutiNya. Dan saya harus melakukan perkataanNya dengan memakai hasil pendapatan dan harta milik saya. (Dan dalam hal ini, banyak perintahNya perlu disebutkan, sehingga saya tidak membodohi diri sendiri, seperti yang dilakukan banyak orang, dengan berkata, “Jika Tuhan meminta saya untuk melakukan sesuatu dengan semua harta milik saya, saya akan melakukan apapun yang dikatakanNya.”)

Dan sebagai pelayan, kita harus menjadi pengikut-pengikut Kristus yang berkomitmen! Itulah tujuan yang Tuhan tetapkan! Kita dipanggil untuk menjadi pelayan pemuridan!

Itulah kebenaran mendasar yang tak dimiliki oleh banyak pelayan di seluruh dunia. Seperti halnya saya membuat evaluasi dan kesimpulan bagi pelayanan saya, demikian pula bila para pelayan membuat evaluasi dan kesimpulan pelayanannya, ternyata mereka tak memiliki kehendak dan harapan dari Tuhan. Ketika saya perhatikan tingkat komitmen kepada Kristus yang diperlihatkan oleh anggota-anggota jemaat saya, saya agak was-was bila banyak anggota jemaat tidak termasuk sebagai murid-murid sejati.

Para pendeta, perhatikanlah sidang jemaat kalian. Berapa banyak jemaat kalian yang dianggap oleh Yesus sebagai murid-muridNya yang memenuhi kriteriaNya yang disebut dalam Lukas 14:26-33? Para penginjil, adakah pesan yang kalian sampaikan menyebabkan ada orang yang mau berkomitmen kepada dirinya untuk menaati semua perintah Kristus?

Sekarang waktunya kita evaluasi pelayanan kita, sebelum kita berdiri di hadapan Yesus dalam penghakiman evaluasi akhir. Bila anda tak memiliki tujuanNya, lebih baik anda miliki sekarang juga, bukan nanti. Para pemberita Injil, maukah kalian melakukannya?

Pemikiran Akhir yang Serius (A Final Sobering Thought)

Jelaslah, Yesus menghendaki semua orang untuk menjadi murid-muridNya, sesuai ungkapan FirmanNya kepada orang banyak dalam Lukas 14:26-33. Seberapa pentingkah menjadi murid Yesus? Bagaimana kalau seseorang memilih untuk tidak menjadi muridNya? Yesus menjawab kedua pertanyaan ini pada akhir dialogNya dalam Lukas 14:

Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja. Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Lukas 14:34-35). [2]

Perhatikan bahwa ungkapan di atas memiliki kaitan. Dalam Alkitab versi NASB, ayat 34 dimulai dengan kata ”karena itu” (Therefore).

Seharusnya rasa garam itu asin. Rasa asin itu membentuk garam. Bila kehilangan rasa asinnya, garam itu tak berguna untuk apapun dan “dibuang.”

Apa kaitannya garam dengan hal menjadi murid? Seperti garam yang harus terasa asin, demikian pula Yesus mengharapkan setiap orang untuk menjadi muridNya. Karena Dia Allah, kita wajib mengasihiNya lebih dari segalanya dan memikul salib kita. Bila kita tidak mau menjadi murid-muridNya, kita justru menolak alasan kehadiranNya bagi kehidupan kita. Sehingga, kita menjadi tak berguna dan pasti “dibuang.” Maka, kita tidak mendapat jaminan akan ke sorga, kan?

Di lain kesempatan, Yesus berkata kepada murid-muridNya (lihat Matius 5:1):

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada gunanya lagi, selain dibuang dan diinjak-injak orang (Matius 5:13)

Peringatan itu sangat serius. Pertama, hanya orang yang ”asin” (arti kiasan untuk “ketaatan yang sungguh-sungguh”) dianggap berguna bagi Allah. Orang yang sudah tawar dianggap “tak berguna”… kecuali dibuang dan diinjak-injak.” Kedua, mungkin saja orang yang “asin” bisa menjadi “tawar”; jika tidak demikian, maka Yesus mengganggap tidak perlu mengingatkan murid-muridNya. Kebenaran-kebenaran ini bertentangan dengan pengajaran kini, yang berkata bahwa seseorang bisa saja menjadi pengikut Kristus yang pasti-masuk-sorga tetapi tidak mau menjadi murid Kristus, atau ada pengajaran yang berkata bahwa tak mungkin seseorang kehilangan status keselamatannya. Pada bab-bab berikut dalam buku ini, kita akan lihat pendapat-pendapat keliru tersebut secara rinci.



[1] Dalam buku ini, saya menyebut pelayan dengan menggunakan kata ganti ia atau dia untuk pria dan wanita. Sebagian besar jabatan pelayan, seperti pendeta, adalah pria. Alkitab meyakinkan saya bahwa Allah juga memanggil wanita bagi jabatan pelayan, dan saya mengenal beberapa wanita yang melakukan pelayanan yang sangat efektif. Inilah topik dari bab berjudul Women in Ministry.

[2] Dalam kutipan buku asli The Disciple-Making Minister, kedua ayat itu berbunyi “Therefore, salt is good; but if even salt has become tasteless, with what will it be seasoned? It is useless either for the soil or for the manure pile; it is thrown out. He who has ears to hear, let him hear“ [Luke 14:34-35] sesuai kutipan dari New American Standard Bible.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Satu (Chapter One)

About Us

Our Calling

Shepherd Serve is the division of the ministry of Heaven’s Family that highlights the teaching ministry of Heaven’s Family’s founder and director, David Servant. The text of all of David’s e-teachings, books and devotionals can be found on this website, plus many of his video teachings. Printed copies of the same books, as well as some DVD video teachings, can also be purchased here.

Having ministered in more than fifty of the world’s nations, David has a special burden to equip pastors and Christian leaders in developing nations. To that end, he has authored a 500-page equipping manual titled The Disciple-Making Minister. That book has been translated and distributed in over 20 languages, and many of those translations can be found on this website here.

David also carries a great concern for the purity of the gospel and the understanding of biblical stewardship. Two of his books, namely The Great Gospel Deception and Through the Needle’s Eye, passionately address those important issues. The text of both books can also be read on our website.

David Servant has authored a popular daily devotional just for families on the life of Christ titled, Family Style Devotions, to which families can subscribe for free by clicking here. His on-going 7-minute weekday video devotionals, known as HeavenWord 7, are also available through a free subscription by clicking here.

We trust that all the biblically-balanced teaching resources found at this website will edify and challenge you to more closely follow our Lord Jesus Christ, to the end that He might be glorified.

If you would like to help us equip pastors around the globe, just click one of the buttons below to contribute securely by credit card.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


About Us » About Us

DVD Orders

Order DVDs from Shepherd Serve

To order DVDs, simply click below to purchase them using your credit card. These prices are for videos shipped within the United States only. For prices on international orders, please contact us. Also contact us for discounted pricing on orders of 10 or more copies.

Title

Price Each

 

Sermon on the Mount DVD Series

Filmed in Galilee near the place where Jesus originally delivered His most famous sermon, each teaching examines the heart of His challenging and life-changing message. Every episode also includes an interesting side trip to a historical biblical site in Israel. Twenty-one half-hour episodes on seven DVDs.

$45.00The Great Gospel Deception

Quantity

Parables of Jesus DVD Series, Part 1

David goes deep into the parables of The Sower and the Soils, The Wheat and the Tares, The Hidden Treasure, The Unforgiving Servant, The Laborers in the Vineyard, The Good Samaritan, The Rich Fool, The Unrighteous Steward, and The Rich Man and Lazarus. Thirteen half-hour episodes that were filmed in the Alaskan wilderness on four DVDs.

$35.00The Great Gospel Deception

Quantity

Parables of Jesus DVD Series, Part 2

In his latest DVD series, David tackles sixteen more of Jesus’ parables, including The Unfaithful Servant, The Ten Virgins, The Talents, The Midnight Visitor, The Unjust Judge, The Vine and Branches, The Barren Fig Tree, The Invited Guest, The Pharisee and Publican, The Lost Sheep, The Ten Silver Coins, The Prodigal Son, The Two Sons, The Land Owner, The Wedding Feast and The Good Shepherd.

$35.00The Great Gospel Deception

Quantity

Discounted Video Packet

Enjoy a savings of $20 by purchasing both the Parables of Jesus DVD Series, Part 1 and the Parables of Jesus DVD Series, Part 2 for the discounted price of $50.

$50.00The Great Gospel Deception

Quantity

Discounted Video Packet

Enjoy a savings of $30 by purchasing both the Sermon on the Mount DVD Series and the Parables of Jesus DVD Series, Part 1 & 2 for the discounted price of $85.

$85.00DVD Series

Quantity

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Store » DVD Orders