Bab Sembilan-Belas (Chapter Nineteen)

Realitas dalam Kristus (In-Christ Realities)

Di seluruh suratan-suratan dalam Perjanjian Baru, kita temukan frase-frase seperti “dalam Kristus”, “bersama Kristus”, “melalui Kristus”, dan “di dalamNya.” Frase-frase ini sering mengungkapkan manfaat yang kita, orang-orang percaya, miliki karena perkataan Yesus kepada kita. Ketika kita melihat diri kita layaknya Allah melihat kita, “dalam Kristus”, hal itu membantu kita untuk hidup sesuai kehendak Allah. Pelayan pemuridan ingin mengajari murid-muridNya tentang siapa diri mereka dalam Kristus untuk membantu mereka agar bertumbuh menjadi dewasa rohani.

Pertama, apa artinya berada “dalam Kristus”?

Ketika dilahirkan kembali, kita disatukan dalam tubuh Kristus dan menjadi satu denganNya secara rohani. Perhatikan beberapa contoh ayat Perjanjian Baru yang menegaskan hal tersebut:

Demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus. (Roma 12:5, tambahkan penekanan).

Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia. (1 Korintus 6:17, tambahkan penekanan).

Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. (1 Korintus 12:27, tambahkan penekanan).

Orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus harus melihat dirinya sebagai satu denganNya, anggota tubuhNya dan satu roh denganNya. Ia ada di dalam kita dan kita di dalam Dia. Inilah ayat yang menyatakan beberapa manfaat yang kita miliki oleh karena keberadaan kita di dalam Kristus:

Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita. (1 Korintus 1:30, tambahkan penekanan).

Di dalam Kristus, kita telah dibenarkan (dinyatakan “tidak bersalah ” dan kini melakukan kebenaran), disucikan (dipisahkan untuk dipakai oleh Allah dengan kesucian), dan ditebus (dibebaskan dari perbudakan). Kita tidak menunggu untuk dibenarkan, disucikan, atau ditebus di satu waktu nanti. Sebaliknya, kita memiliki berkat-berkat itu sekarang karena kita ada di dalam Kristus.

Dalam Kristus, dosa-dosa lama kita telah diampuni: Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan AnakNya yang dikasihi; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa. (Kolose 1:13-14, tambahkan penekanan).

Perhatikan ayat berikut yang juga menyatakan bahwa kita tak lagi berada di kerajaan Setan, tempat kegelapan, tetapi kini berada dalam Kerajaan terang, Kerajaan Yesus.

Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. (2 Korintus 5:17, tambahkan penekanan).

Puji Tuhan, jika anda pengikut Kristus, maka anda adalah “ciptaan baru, ”bagaikan seekor ulat yang berubah menjadi kupu-kupu! Roh anda telah diberikan sifat yang baru. Sebelumnya di dalam roh anda ada sifat Setan yang mementingkan diri sendiri, namun kini semua masa lalu anda telah “berlalu.”

Lebih Banyak Berkat dalam Kristus (More Blessings in Christ).

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. (Galatia 3:26, tambahkan penekanan).

Tidakkah kita takjub ketika tahu bahwa kita sebenarnya adalah anak-anak Allah, dilahirkan dari RohNya? Ketika datang kepadaNya dalam doa, kita mendekatiNya sebagai Allah kita dan juga sebagai Bapa kita!

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalam nya. (Efesus 2:10, tambahkan penekanan).

Allah tidak hanya menciptakan kita, Ia juga menciptakan kembali kita dalam Kristus.. Lagipula, Allah sebelumnya telah menentukan pelayanan untuk kita penuhi, “pekerjaan yang baik …yang disiapkan sebelumnya.” Setiap kita memiliki tujuan ilahi pribadi.

Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah. (2 Korintus 5:21, tambahkan penekanan).

Kebenaran yang kita miliki karena berada di dalam Kristus adalah kebenaran Allah. Ini karena Allah yang berdiam di dalam kita dan mengubahkan kita oleh Roh Kudus. Perbuatan kita adalah perbuatan baik dari Allah melalui kita.

Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. (Roma 8:37, tambahkan penekanan).

Apakah “semuanya itu” tulisan Paulus? Ayat-ayat dalam kitab Roma sebelum ayat itu mengungkapkan bahwa semuanya itu adalah berbagai pencobaan dan penderitaan yang dialami oleh orang-orang percaya. Bahkan dalam keadaan mati sahid, kitalah orang-orang yang menang, walaupun dunia menganggap kita sebagai korban. Dengan kekuatan yang dahsyat menjadi penakluk melalui Kristus, karena ketika mati, kita menuju ke sorga!

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. (Filipi 4:13, tambahkan penekanan).

Melalui Kristus, tiada yang mustahil bagi kita karena Allah memampukan dan menguatkan kita. Kita sanggup menuntaskan setiap tugas yang Dia berikan kepada kita.

Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaanNya dalam Kristus Yesus. (Filipi 4:19, tambahkan penekanan).

Kita berharap Allah akan memenuhi kebutuhan kita jika kita mencari KerajaanNya lebih dahulu. Tuhan adalah Gembala kita, dan menjaga domba-dombaNya!

Sepakat dengan Perkataan Allah (Agreeing dengan What Allah Says)

Tetapi, sebagian dari kita tak percaya perkataan Firman Tuhan tentang kita, seperti pernyataan kita yang bertentangan dengan perkataan Alkitab. Bukannya berkata, “Saya dapat melakukan segala hal melalui Kristus yang menguatkan saya”, kita malah berkata, “Saya tidak yakin dapat melakukannya.”

Pernyataan-pernyataan tersebut disebut oleh Alkitab sebagai “laporan buruk” karena setiap pernyataan itu tak selaras dengan perkataan Allah (lihat Bilangan 13:32). Tetapi, jika hati kita penuh dengan Firman Allah, kita akan penuh dengan iman, dengan mempercayai dan hanya mengatakan apa yang selaras dengan Alkitab.

Beberapa Pernyataan Alkitab (Some Biblical Declarations)

Kita percaya dan katakan bahwa kita adalah pribadi yang sesuai perkataan Allah.

Kita percaya dan katakan bahwa kita sanggup lakukan perkataan Allah bahwa kita sanggup.

Kita percaya dan katakan bahwa Allah adalah Yang berkata apa adanya Dia.

Kita percaya dan katakan bahwa Allah akan melakukan kehendakNya.

Berikut ini beberapa pernyataan Alkitab yang harus berani diperkatakan oleh tiap orang percaya. Tidak semua pernyataan adalah realitas “dalam-Kristus”, namun Alkitabiah.

Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita. (lihat 1 Korintus 1:30).

Aku telah dipindahkan dari kuasa kegelapan dan masuk ke dalam Kerajaan Anak-Nya, Kerajaan terang (lihat Kolose 1:13).

Semua dosaku telah diampuni dalam Kristus. (lihat Efesus 1:7).

Aku adalah ciptaan baru dalam Kristus —hidupku yang lama telah berlalu (lihat 2 Korintus 5:17).

Allah telah melakukan pekerjaan baik untukku, yang dipersiapkanNya sebelumnya, supaya aku hidup di dalamnya. (lihat Efesus 2:10).

Aku telah dibenarkan oleh Allah dalam Kristus. (lihat 2 Korintus 5:21).

Dalam semuanya, aku lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihiku. (lihat Roma 8:37).

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. (lihat Filipi 4:13).

Allahku akan memenuhi segala keperluanku menurut kekayaan dan kemuliaanNya dalam Kristus Yesus. (lihat Filipi 4:19).

Aku dipanggil untuk menjadi orang kudus (lihat 1 Korintus 1:2).

Aku adalah anak Allah (lihat Yohanes 1:12, 1 Yohanes 3:1-2).

Tubuhku adalah bait Roh Kudus (lihat 1 Korintus 6:19).

Hidupku bukannya aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalamku (lihat Galatia 2:20).

Aku telah dibebaskan dari kuasa Setan (lihat Kisah Para Rasul 26:18).

Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hatiku oleh Roh Kudus (lihat Roma 5:5).

Di dalam diriku, Dia lebih besar daripada dia (Setan) yang ada di dalam dunia ini (lihat 1 Yohanes 4:4).

Aku diberkati dengan segala berkat rohani dalam Kristus. (lihat Efesus 1:3).

Aku diberikan tempat bersama Kristus di sorga, jauh melebihi semua kekuatan roh Setan (lihat Efesus 2:4-6).

Karena aku mengasihi Allah dan merasa terpanggil menurut rencanaNya, Ia turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. (lihat Roma 8:28).

Jika Allah di pihakku, siapakah yang akan melawan aku? (lihat Roma 8:31).

Tak ada apapun yang dapat memisahkan aku dari kasih Kristus. (lihat Roma 8:35-39).

Tidak ada yang mustahil karena aku orang percaya (lihat Markus 9:23).

Aku adalah seorang imam Allah (lihat Wahyu 1:6).

Karena aku anakNya, Allah memimpinku dalam RohNya (lihat Roma 8:14).

Karena aku mengikuti Tuhan, maka jalan hidupku semakin lama semakin terang (lihat Amsal 4:18).

Allah telah memberikanku karunia-karunia khusus untuk dipakai bagi pelayananNya (lihat 1 Petrus 4:10-11).

Aku dapat mengusir setan-setan dan menumpangkan tangan atas orang-orang sakit, dan orang-orang itu akan sembuh. (lihat Markus 16:17-18).

Allah selalu memimpinku menuju kemenangan dalam Kristus. (lihat 2 Korintus 2:14).

Aku adalah utusan Kristus (lihat 2 Korintus 5:20).

Aku memiliki kehidupan yang kekal (lihat Yohanes 3:16).

Apa saja yang kuminta dalam doa dengan penuh kepercayaan, aku akan menerimanya. (lihat Matius 21:22).

Oleh bilur-bilur Yesus, aku disembuhkan (lihat 1 Petrus 2:24).

Akulah garam dunia dan terang dunia (lihat Matius 5:13-14).

Akulah ahli waris Allah dan ahli waris bersama dengan Yesus Kristus (lihat Roma 8:17).

Aku adalah bagian dari bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah Sendiri. (lihat 1 Petrus 2:9).

Aku adalah anggota tubuh Kristus (lihat 1 Korintus 12:27).

Tuhan adalah gembalaku, tidak akan kekurangan aku (lihat Mazmur 23:1).

Tuhanlah benteng hidupku — kepada siapa aku harus takut? (lihat Mazmur 27:1).

Allah akan mengenyangkan aku dengan umur panjang. (lihat Mazmur 91:16).

Kristus menanggung penyakitku dan memikul kesengsaraanku (lihat Yesaya 53:4-5).

Tuhanlah penolongku, maka aku tidak akan takut (lihat Ibrani 13:6).

Aku serahkan segala kuatirku kepada Tuhan karena Ia memeliharaku (lihat 1 Petrus 5:7).

Aku melawan Iblis, dan ia lari daripadaku (lihat Yakobus 4:7).

Aku mendapatkan nyawaku dengan cara kehilangan nyawaku karena Yesus (lihat Matius 16:25).

Aku adalah hamba Tuhan (lihat 1 Korintus 7:22).

Bagiku, hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan (lihat Filipi 1:21).

Kewargaanku adalah di sorga (lihat Filipi 3:20).

Allah akan menyelesaikan pekerjaan yang baik yang telah dimulaiNya di dalam ku (lihat Filipi 1:6).

Allah bekerja di dalam ku, bekerja menurut kerelaan-Nya. (lihat Filipi 2:13).

Aku telah ditebus dari kutukan Hukum Taurat (lihat Galatia 3:13).

Semua di atas hanya beberapa contoh pernyataan positif yang dapat kita buat sesuai Firman Tuhan. Sebaiknya kita biasakan diri mengucapkan setiap penyataan di atas sampai kebenaran yang ditegaskan dalam pernyataan itu menjadi berakar dalam hati kita. Kita harus jaga tiap perkataan mulut kita agar tidak bertentangan dengan perkataan Allah.

Bab Enambelas (Chapter Sixteen)

Pelayanan Kesembuhan oleh Yesus (The Healing Ministry of Jesus)

Seringkali kita berpikir, karena Yesus adalah Anak Allah, maka Ia dapat mengerjakan mujizat atau menyembuhkan siapapun kapanpun Ia mau. Tetapi, bila kita meneliti ayat-ayat Alkitab, nyata bahwa walaupun Yesus memiliki sifat ilahi, Ia tampaknya membatasi diri selama pelayananNya di dunia. Ia pernah berkata, “Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau Ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.” (Yohanes 5:19). Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa Yesus terbatas dan tergantung pada BapaNya.

Menurut Paulus, ketika Yesus menjadi manusia, Ia “mengosongkan diriNya” dari hal-hal tertentu yang sebelumnya Ia telah miliki sebagai Tuhan:

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. (Filipi 2:5-7, tambahkan penekanan).

Dari hal apa Yesus “mengosongkan diriNya”? Bukan keilahianNya, bukan kesucianNya, dan bukan kasihNya. Pasti itu adalah kuasa adikodratiNya. Jelaslah Ia tidak lagi maha-hadir (ada di mana-mana). Demikian juga, Ia tidak lagi maha-tahu (tahu segalanya), dan maha-kuasa (berkuasa atas segalanya). Yesus menjadi manusia. Dalam pelayananNya, Ia berfungi sebagai manusia yang diurapi oleh Roh Kudus. Hal ini menjadi sangat jelas ketika kita perhatikan keempat Injil dengan cermat.

Misalnya, kita dapat bertanya, Jika Yesus adalah Anak Allah, mengapa Dia perlu dibaptis dengan Roh Kudus ketika Ia memulai pelayananNya pada usia tigapuluh tahun? Mengapa Tuhan perlu dibaptis dengan Tuhan?

Yesus tentu memerlukan baptisan Roh Kudus untuk diurapi bagi pelayanan. Karena itu, segera setelah pembaptisanNya, Dia mengkhotbahkan kata-kata ini: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan … untuk memberitakan ….. untuk membebaskan.” (Lukas 4:18, tambahkan penekanan).

Karena itu juga Petrus mengkhotbahkan, “kamu tahu tentang Yesus dari Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia.” (Kisah Para Rasul 10:38, tambahkan penekanan).

Itu juga sebabnya Yesus tidak melakukan mujizat sampai Ia dibaptis dengan Roh Kudus pada usia sekitar tigapuluh tahun. Apakah Ia Anak Allah pada usia duapuluh-lima tahun? Sudah tentu. Lalu, mengapa Ia tidak melakukan mujizat sebelum usia tigapuluh tahun? Hanya karena Yesus mengosongkan diriNya dari kuasa adikodrati yang Allah miliki, dan Ia harus menunggu waktu ketika Ia diperkuat oleh Roh.

Bukti Lagi bahwa Yesus Melayani sebagai Seorang yang Diurapi oleh Roh (More Proof that Jesus Ministered as a Man Anointed by the Spirit)

Perhatikan, dalam kitab Injil, ada saatnya Yesus memiliki pengetahuan adikodrati dan saat lain Ia tak memilikinya. Nyatanya, Yesus sering bertanya untuk mendapat keterangan.

Misalnya, Ia berkata kepada wanita di sumur Samaria bahwa ia telah punya lima orang suami dan ia kini hidup dengan seorang pria yang dinikahinya (lihat Yohanes 4:17-18). Bagaimana Yesus tahu? Apakah karena Ia adalah Allah dan Allah tahu segala sesuatu? Bukan, jika itu masalahnya, Yesus telah menunjukkan kemampuan itu secara konsisten. Walaupun Ia adalah Allah dan Allah mengetahui segala sesuatu, Yesus mengosongkan diriNya dari kemahatahuanNya ketika Ia menjadi manusia. Yesus sangat tahu sejarah pernikahan dari wanita di sumur Samaria karena ketika itu Roh Kudus memberiNya karunia “berkata-kata dengan pengetahuan” (1 Korintus 12:8), yakni kemampuan adikodrati untuk mengetahui sesuatu tentang masa kini atau masa lalu. (Kita akan pelajari karunia-karunia Roh lebih rinci pada bab berikut).

Apakah Yesus tahu segala sesuatu sepanjang waktu? Tidak, saat wanita yang menderita pendarahan menyentuh ujung jubah Yesus dan Ia rasakan kuasa kesembuhan keluar dariNya, Ia bertanya, “Siapa yang menjamah jubah-Ku?” (Markus 5:30b). Ketika Yesus melihat pohon ara di kejauhan dalam Markus 11:13, Ia “pergi untuk mengetahui apakah mungkin Ia menemukan sesuatu pada pohon itu.”

Mengapa Yesus tidak tahu siapa yang menyentuhNya? Mengapa Ia tak tahu jika pohon ara itu berbuah? Karena Yesus hidup sebagai seorang manusia yang diurapi oleh Roh Kudus dengan karunia-karunia Roh. Karunia-karunia Roh bekerja bila Roh menghendaki (lihat 1 Korintus 12:11; Ibrani 2:4). Yesus tidak tahu hal-hal secara adikodrati jika Roh Kudus tidak memberiNya karunia “berkata-kata dengan pengetahuan.”

Hal yang sama berlaku juga pada pelayanan kesembuhan oleh Yesus. Alkitab menjelaskan bahwa Yesus sama sekali tak dapat menyembuhkan siapapun pada suatu waktu. Misalnya, kita baca Injil Markus, ketika Yesus mengunjungi kampungNya, Nazareth, Ia tak sanggup menuntaskan segala sesuatu yang ingin dilakukanNya.

Kemudian Yesus berangkat dari situ dan tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia. Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.” Ia tidak dapat mengadakan satu mujizatpun di sana, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka. Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka. (Markus 6:1-6, tambahkan penekanan).

Perhatikan, Markus tidak berkata bahwa Yesus tidak melakukan mujizat apapun di sana tetapi Ia tak sanggup. Mengapa? Karena orang-orang Nazareth tidak percaya. Mereka tak menerima Yesus sebagai Anak Allah yang diurapi tetapi hanya sebagai anak seorang tukang kayu. Ketika Yesus Sendiri menerangkan, “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.” (Markus 6:4). Akibatnya, Yesus tak dapat menyembuhkan beberapa orang “yang menderita penyakit-penyakit ringan” (sesuai satu terjemahan Alkitab). Tentu, jika ada tempat di mana Yesus ingin mengerjakan mujizat dan menyembuhkan orang, tempat itu adalah kota di mana Ia tinggal selama hidupNya. Tetapi, Alkitab berkata bahwa Ia tak sanggup.

Pandangan Tambahan dari Lukas (More Insight from Luke)

Yesus melakukan kesembuhan dengan dua cara berbeda, yaitu: (1) dengan mengajarkan Firman Tuhan untuk mengajak orang-orang sakit untuk memiliki iman agar disembuhkan, dan (2) dengan mempraktekan kesembuhan dalam “karunia-karunia kesembuhan” sesuai kehendak Roh Kudus. Karena itu, Yesus dibatasi oleh dua faktor dalam pelayanan kesembuhan, yakni: (1) oleh ketidakpercayaan orang-orang sakit, dan (2) oleh kehendak Roh Kudus untuk mewujudkan diriNya melalui “karunia-karunia kesembuhan.”

Jelas, sebagian besar orang di kampung halaman Yesus tidak beriman padaNya. Meskipun mereka telah mendengar mujizat-mujizat kesembuhan yang dilakukanNya di kota-kota lain, mereka tak percaya bahwa Ia punya kuasa menyembuhkan, sehingga Ia tak dapat menyembuhkan mereka. Juga, tampaknya di Nazaret, Roh Kudus tidak memberikan kepada Yesus “karunia-karunia kesembuhan”—karena alasan yang tak seorangpun tahu.

Dibandingkan catatan Markus, catatan Lukas lebih rinci mengenai kejadian sebenarnya ketika Yesus mengunjungi Nazaret:

Ia [Yesus] datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Kemudian Ia menutup kitab itu, … lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” (Lukas 4:16-22).

Yesus ingin para pendengarNya percaya bahwa Dialah orang yang diurapi dan dijanjikan dalam nubuatan Yesaya, agar mereka percaya dan menerima semua keuntungan dari urapanNya yang, menurut Yesaya, termasuk pembebasan dari belenggu dan penindasan juga kesembuhan dari kebutaan.

[1]

Tetapi mereka tak percaya, dan walaupun terkesan oleh kemampuanNya berbicara, mereka tidak mempercayai bahwa anak Yusuf adalah orang istimewa. Mengetahui sikap sinis mereka, Yesus menjawab,

Maka berkatalah Ia kepada mereka: “Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri -Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!” Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. (Lukas 4:23-24).

Orang-orang di kampung Yesus menunggu demi mengetahui apakah Ia akan melakukan hal yang mereka dengar yang telah dilakukanNya di Kapernaum. Sikap mereka bukanlah sikap iman yang penuh harapan, tetapi sikap sinis. Karena mereka tak memiliki iman, mereka membatasiNya agar tak melakukan mujizat apapun atau kesembuhan besar.

Keterbatasan Lainnya dari Yesus di Nazaret (Jesus’ Other Limitation in Nazareth)

Perkataan Yesus berikutnya kepada orang-orang Nazaret mengungkapkan bahwa Ia juga dibatasi oleh kehendak Roh Kudus untuk memanifestasikan diriNya melalui “karunia-karunia kesembuhan”:

Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu.” (Lukas 4:25-27).

Sasaran Yesus adalah bahwa Elia tak sanggup menambah banyak minyak dan tepung untuk memperpanjang hidup setiap janda yang ia inginkan selama kelaparan tiga tahun di Israel (lihat 1 Raja-Raja 17:9-16). Walaupun waktu itu di Israel ada banyak janda yang menderita, Roh mengurapi Elia untuk membantu seorang janda yang bahkan bukan orang Israel. Dan juga, Elisa tak dapat mentahirkan siapapun penderita kusta. Ini dibuktikan oleh ada banyak penderita kusta ketika Naaman ditahirkan. Jika itu pilihannya sendiri, Elisa seharusnya sudah mentahirkan orang-orang Israel yang menderita kusta sebelum ia mentahirkan Naaman, seorang penyembah berhala. (lihat 2 Raja-Raja 5:1-14).

Elia maupun Elisa adalah dua orang nabi —orang-orang yang diurapi Roh Kudus yang dipakai dalam berbagai karunia Roh seperti yang dikehendaki Roh. Mengapa Allah tidak mengutus Elia kepada janda-janda lain? Saya tidak tahu. Mengapa Allah tidak memakai Elisa untuk menyembuhkan penderita kusta lainnya? Entahlah. Hanya Allah yang tahu.

Tetapi, kedua kisah dalam Perjanjian Lama di atas tidak membuktikan bahwa Allah tak mau menyediakan kebutuhan setiap janda atau menyembuhkan setiap penderita orang. Orang-orang Israel bisa saja mengakhiri kelaparan mereka selama zaman Elia jika saja mereka dan raja yang jahat (Ahab) bertobat dari dosa-dosanya. Kelaparan adalah bentuk penghakiman Allah. Dan semua penderita kusta di Israel bisa saja disembuhkan bila menaati dan mempercayai kata-kata dalam perjanjian yang diberikan Allah, termasuk kesembuhan fisik, seperti kita lihat sebelumnya.

Yesus menyatakan kepada orang-orang di Nazareth yang mendengarkanNya bahwa Ia memiliki keterbatasan sama dengan Elia dan Elisa. Karena satu alasan, Roh Kudus tidak memberikan kepada Yesus “karunia-karunia kesembuhan” di Nazareth. Fakta tersebut dan ketidakpercayaan orang-orang Nazareth mengakibatkan tidak terjadinya mujizat oleh Yesus di kampung-halamanNya.

Sepintas mengenai Satu “Karunia Kesembuhan” Melalui Yesus (A Look at One “Gift of Healing” Through Jesus)

Jika kita pelajari perikop-perikop Injil mengenai berbagai kesembuhan yang Yesus lakukan, kita akan dapati sebagian besar orang yang disembuhkan, bukan melalui “karunia-karunia kesembuhan”, tetapi melalui iman mereka. Coba perhatikan perbedaan antara kedua jenis kesembuhan dengan memperhatikan contoh keduanya. Pelajari dulu kisah orang cacat di kolam Betesda, yang disembuhkan bukan oleh imannya, tetapi melalui “karunia-karunia kesembuhan” melalui Yesus.

Di Yerusalem dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Betesda; ada lima serambinya dan di serambi-serambi itu berbaring sejumlah besar orang sakit: orang-orang buta, orang-orang timpang dan orang-orang lumpuh, (yang menantikan goncangan air kolam itu. Sebab sewaktu-waktu turun malaikat Tuhan ke kolam itu dan menggoncangkan air itu; barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalam nya sesudah goncangan air itu, menjadi sembuh, apapun juga penyakitnya). Di situ ada seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun lamanya sakit. Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: “Maukah engkau sembuh?” Jawab orang sakit itu kepada-Nya: “Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku.” Kata Yesus kepadanya: “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.” Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan. (Yohanes 5:2-9).

Bagaimana kita tahu orang itu disembuhkan, bukan oleh imannya, tetapi melalui “karunia-karunia kesembuhan”? Ada beberapa petunjuk.

Pertama, perhatikan bahwa orang itu tidak sedang mencari Yesus. Sebaliknya Yesus menemukan orang itu di samping kolam. Jika orang itu sudah pernah memohon kepada Yesus, mungkin saja itu menjadi petunjuk adanya iman dalam dirinya.

Kedua, Yesus tidak berkata kepada orang itu bahwa imannya telah menyembuhkannya, karena Ia sering melakukannya ketika menyembuhkan orang lain.

Ketiga, ketika orang yang disembuhkan kemudian ditanyai oleh orang-orang Yahudi mengenai siapa yang telah berkata kepadanya “bangkit dan berjalanlah”, ia menjawab bahwa ia bahkan tidak tahu siapa Orang itu. Jadi, pasti bukan imannya kepada Yesus yang menyebabkan ia sembuh. Ini jelas bagi orang yang disembuhkan melalui “karunia-karunia kesembuhan”, yang dimanifestaikan sesuai kehendak Roh.

Perhatikan juga, meskipun ada banyak orang sakit yang menunggu goncangan air kolam, Yesus menyembuhkan hanya satu orang dan meninggalkan banyak orang yang sakit. Mengapa? Lagi-lagi saya tak tahu. Tetapi, kejadian ini tidak membuktikan bahwa Tuhan menghendaki sebagian orang untuk tetap sakit. Siapapun dan semua orang sakit bisa saja disembuhkan melalui iman dalam Yesus. Kenyataannya, hal itu jadi alasan orang itu disembuhkan secara adikodrati, yakni untuk menarik perhatian orang-orang sakit kepada Yesus, Pribadi yang dapat dan akan menyembuhkan mereka jika mau percaya.

Banyak kali, “karunia-karunia kesembuhan” berada pada kategori “tanda-tanda mujizat”, yakni, mujizat-mujizat yang didesain untuk menarik perhatian kepada Yesus. Itu sebabnya para penginjil di zaman Perjanjian Baru seperti Filipus dibekali dengan berbagai “karunia kesembuhan”, karena mujizat-mujizat yang mereka lakukan menarik perhatian orang kepada Injil yang dikhotbahkan (lihat Kisah Para Rasul 8:5-8).

Orang Kristen yang sakit tak perlu menunggu orang yang memiliki “karunia-karunia kesembuhan” untuk menemui dan menyembuhkannya karena orang yang ditunggu dan karunia tak pernah datang. Kesembuhan terjadi melalui iman kepada Yesus, dan, walaupun tidak setiap orang akan disembuhkan melalui karunia-karunia kesembuhan, ia dapat disembuhkan melalui imannya. Karunia-karunia kesembuhan ditempatkan dalam gereja, terutama agar orang yang tidak percaya dapat disembuhkan dan perhatiannya tertuju kepada Injil. Hal itu tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa orang Kristen tidak akan pernah disembuhkan melalui karunia-karunia kesembuhan. Namun, Allah mengharapkan anak-anakNya untuk menerima kesembuhan dengan iman.

Satu Contoh Orang yang Disembuhkan Melalui Imannya (One Example of a Person Healed By His Faith)

Bartimeus adalah orang buta yang disembuhkan oleh imannya kepada Yesus. Baca kisahnya dalam Injil Markus.

Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerikho. Dan ketika Yesus keluar dari Yerikho, bersama-sama dengan murid-murid-Nya dan orang banyak yang berbondong-bondong, ada seorang pengemis yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan. Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Banyak orang menegornya supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: “Anak Daud, kasihanilah aku!” Lalu Yesus berhenti dan berkata: “Panggillah dia!” Mereka memanggil orang buta itu dan berkata kepadanya: “Kuatkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau.” Lalu ia menanggalkan jubahnya, ia segera berdiri dan pergi mendapatkan Yesus. Tanya Yesus kepadanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang buta itu: “Rabuni, supaya aku dapat melihat!” Lalu kata Yesus kepadanya: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. (Markus 10:46-52).

Perhatikan, Yesus tidak mencari Bartimeus. (Ini berbeda dengan yang terjadi dengan orang sakit di Kolam Betesda). Ternyata, Yesus berjalan melewatinya, dan jika Bartimeus tidak berteriak, Yesus pasti terus berjalan. Berarti Bartimeus bisa saja tidak disembuhkan.

Pikirkanlah hal itu. Bagaimana jadinya bila Bartimeus duduk di sana dan berkata pada dirinya, “Ya, jika Yesus menghendakiku untuk sembuh, maka Ia akan datang menghampiri dan menyembuhkan saya.” Apa yang mungkin terjadi? Bartimeus mungkin belum sembuh, meskipun kisah itu jelas mengungkapkan kehendak Yesus baginya untuk sembuh. Tanda pertama iman Bartimeus adalah teriakannya kepada Yesus.

Kedua, perhatikan bahwa Bartimeus tidak putus asa oleh orang-orang yang mencoba mendiamkannya. Ketika mereka mencoba mendiamkannya, ia berteriak “berulang-kali” (Markus 10:48). Ini menunjukkan imannya.

Ketiga, perhatikan bahwa Yesus tidak menanggapi teriakan awal Bartimeus. Tentu, Ia mungkin tidak dapat mendengarkan teriakan awal Bartimeus, tetapi jika Ia benar-benar mendengar, Yesus tidak menjawab. Dengan kata lain, Yesus membiarkan iman orang itu diuji.

Jika Bartimeus berhenti setelah berteriak satu kali, ia mungkin saja tidak disembuhkan. Juga, kita harus tetap teguh dalam iman, karena seringkali keadaan tampak seolah-olah doa kita tidak dijawab. Saat itulah iman kita diuji, sehingga kita perlu tetap kuat berdiri, tanpa merasa putus-asa karena keadaan sekitar yang tidak mendukung.

Indikasi Lanjutan dari Iman Bartimeus (Further Indications of Bartimaeus’ Faith)

Ketika akhirnya Yesus memanggilnya datang, Alkitab berkata bahwa Bartimeus “menanggalkan jubahnya.” Saya pahami bahwa orang-orang buta di masa Yesus memakai jubah tertentu sebagai tanda di depan banyak orang bahwa mereka buta. Jika benar, mungkin Bartimeus menanggalkan jubahnya ketika Yesus memanggilnya karena ia percaya ia tak perlu lagi dikenali sebagai orang buta. Jika demikian, imannya terbukti lagi.

Juga, ketika Bartimeus menanggalkan jubahnya, Alkitab berkata ia “melompat”, tanda antisipasinya yang penuh sukacita sehingga sesuatu yang baik hampir saja terjadi padanya. Orang yang beriman untuk mendapatkan kesembuhan merasa sukacita ketika ia berdoa kepada Allah agar menyembuhkannya karena ia ingin disembuhkan.

Perhatikan bahwa Yesus menguji iman Bartimeus sekali lagi ketika ia berdiri di depanNya. Ia bertanya kepada Bartimeus apa keinginannya, dan dari tanggapan Bartimeus, jelaslah ia percaya Yesus dapat dan mau menyembuhkannya dari kebutaan.

Akhirnya, Yesus berkata kepadanya bahwa imannya membuatnya sembuh. Jika Bartimeus dapat disembuhkan dengan iman, maka siapapun dapat juga disembuhkan karena Allah adalah “Pribadi yang tak peduli pada kekayaan atau status sosial seseorang.”

Untuk Penyelidikan Lebih Lanjut (For Further Study)

Di bawah ini saya membuat daftar duapuluh-satu contoh kesembuhan yang Yesus lakukan seperti yang disebutkan dalam keempat Injil. Tentunya, Yesus menyembuhkan lebih dari duapuluh-satu orang, tetapi dalam semuanya kita mengetahui beberapa rincian tentang orang sakit dan bagaimana orang itu disembuhkan.

Saya merinci daftar menjadi dua kategori —pertama, orang-orang yang disembuhkan dengan iman, dan kedua, orang-orang yang disembuhkan melalui karunia-karunia kesembuhan. Saya catat bahwa pada beberapa kejadian ketika seseorang disembuhkan oleh karena imannya, Yesus berkata kepadanya untuk tidak memberitahukan kesembuhannya kepada orang lain. Selanjutnya, hal tersebut menunjukkan bahwa karunia-karunia itu bukan “karunia-karunia kesembuhan” karena orang-orang sakit tidak diobati demi mempopulerkan nama Yesus atau Injil.

Kejadian Di Mana Iman atau Percaya Disebut sebagai Penyebab Kesembuhan: (Cases Where Faith or Believing is Mentioned as the Cause of Healing)

1

Hamba (atau “anak”) seorang perwira: Matius 8:5-13; Lukas 7:2-10 “Jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya..”

2

Orang lumpuh yang diturunkan melalui atap rumah: Matius 9:2-8; Markus 2:3-11; Lukas 5:18-26 “Melihat iman mereka….Ia berkata…’pulanglah ke rumahmu.”

3

Anak perempuan Yairus: Matius 9:18-26; Markus 5:22-43; Lukas 8:41-56 “Janganlah takut—percaya saja’…. ”Dengan sangat Ia berpesan kepada mereka, supaya jangan seorangpun mengetahui hal itu”.

4

Perempuan yang sakit pendarahan: Matius 9:20-22; Markus 5:25-34; Lukas 8:43-48 “Imanmu telah menyelamatkan engkau.”

5

Dua orang buta: Matius 9:27-31 “Jadilah kepadamu menurut imanmu….. ”Jagalah supaya jangan seorangpun mengetahui hal ini!”

6

Bartimeus yang buta: Markus 10:46-52; Lukas 18:35-43 “Imanmu telah menyelamatkan engkau.”

7

Sepuluh orang yang sakit kusta: Lukas 17:12-19 “Imanmu telah menyelamatkan engkau.”

8

Anak pegawai istana: Yohanes 4:46-53 “Orang itu percaya akan perkataan yang dikatakan Yesus kepadanya.”

Pada empat kejadian berikut, iman orang yang sakit tidak secara khusus disebutkan, tetapi diartikan oleh kata-kata atau perbuatannya. Misalnya, kedua orang buta (jumlahnya kurang dari 10) berseru-seru kepada Yesus ketika Ia lewat seperti dilakukan oleh Bartimeus yang buta. Semua orang pada keempat contoh mencari Yesus; tindakan ini menjadi indikasi iman mereka. Pada tiga dari empat kejadian berikut, Yesus berkata kepada orang-orang yang Ia sembuhkan agar tidak mengatakan kepada siapapun tentang apa yang mereka alami, sehingga menunjukkan bahwa setiap kejadian itu bukanlah “karunia-karunia kesembuhan.”

9

Orang sakit kusta yang tidak mengetahui kehendak Tuhan: Matius 8:2-4; Markus 1:40-45; Lukas 5:12-14 “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapapun.”

10

Dua orang buta (mungkin yang satu adalah Bartimeus): Matius 20:30-34 “[Mereka] berseru, dengan berkata, ‘Tuhan, kasihanilah kami!”

11

Orang tuli dan bisu: Markus 7:32-36 “Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapapun juga.”

12

Seorang buta: Markus 8:22-26 “Jangan masuk ke kampung.”

Dua kejadian terakhir tentang orang-orang yang disembuhkan melalui iman sebenarnya tidak disembuhkan, tetapi mereka dibebaskan dari roh-roh jahat. Tetapi Yesus menghargai iman mereka karena menjadikan mereka terbebas.

13

Anak yang sakit ayan: Matius 17:14-18; Markus 9:17-27; Lukas 9:38-42 “Dan Yesus berkata kepadanya…’Tidak ada yang mustahil bagi orang percaya.’ Segera ayah anak itu berteriak: “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!”

14

Anak dari perempuan Siro-Fenisia: Matius 15:22-28; Markus 7:25-30 “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.”

Kejadian Orang Yang Disembuhkan Melalui “Karunia-Karunia Kesembuhan”: (Cases of People Healed Through “Gifts of Healings”)

Tujuh kejadian berikut adalah orang-orang yang disembuhkan melalui karunia-karunia kesembuhan. Tetapi, pada tiga kejadian pertama, ketaatan pada perintah Yesus diperoleh sebelum orang sakit disembuhkan. Pada tiap kejadian berikut, Yesus tidak berkata kepada orang yang disembuhkan agar tidak mengatakan kesembuhannya kepada siapapun. Dari kejadian berikut, tak seorangpun yang sakit mencari Yesus.

15

Orang yang mati sebelah tangan: Matius 12:9-13; Markus 3:1-5; Lukas 6:6-10 “Bangunlah dan berdirilah di tengah….Ulurkanlah tanganmu.”

16

Orang di Kolam Betesda: Yohanes 5:2-9 “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.”

17

Orang buta sejak lahir: Yohanes 9:1-38 “Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam.”

18

Ibu mertua Petrus: Matius 8:14-15; Markus 1:30-31; Lukas 4:38-39

19

Perempuan yang bungkuk selama lebih dari 18 tahun: Lukas 13:11-16

20

Orang yang disembuhkan dari busung air: Lukas 14:2-4

21

Hamba dari imam kepala: Lukas 22:50-51

Perhatikan, dalam duapuluh-satu contoh di atas, tak ada kejadian di mana seorang dewasa disembuhkan hanya oleh iman orang dewasa lain. Pada setiap kejadian ketika seseorang disembuhkan oleh iman orang lain, selalu yang disembuhkan adalah anak melalui iman orang tuanya (lihat contoh-contoh 1, 3, 8, 13, dan 14).

Kecuali contoh nomor 1 dan nomor 2, hamba seorang perwira dan orang lumpuh yang diturunkan melalui atap rumah. Dalam kasus hamba seorang perwira, kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi hamba adalah pais, yang dapat diterjemahkan menjadi anak seperti dalam Matius 17:18: “…dan anak itupun sembuh seketika itu juga.” (tambahkan penekanan).

Jika sebenarnya hamba seorang perwira dan bukan anaknya, hambanya pasti seorang anak laki-laki muda. Karena itu, si perwira bertanggung-jawab atas anak laki-laki sebagai pengawal resmi dan dapat mengerjakan iman atas namanya seperti yang dapat dilakukan oleh orang tua manapun untuk anaknya.

Pada kejadian orang lumpuh yang diturunkan melalui atap rumah, ketahuilah bahwa orang lumpuh sendiri pasti juga memiliki iman; jika tidak ia tak izinkan teman-temannya untuk menurunkannya melalui atap rumah. Jadi, ia tidak disembuhkan hanya oleh iman teman-temannya.

Semua ini menunjukkan bahwa tidak mungkin iman orang dewasa bisa menghasilkan kesembuhan orang dewasa lain jika orang dewasa yang sakit tidak memiliki iman sendiri. Ya, seorang dewasa dapat berdoa dengan bersepakat dengan orang dewasa lainnya yang membutuhkan kesembuhan, tetapi ketidakpercayaan orang sakit dapat saja menghilangkan efek-efek iman dari orang dewasa lainnya.

Tetapi, anak-anak kita dapat disembuhkan melalui iman kita, sampai pada usia tertentu. Namun mereka akhirnya akan mencapai usia ketika Allah mengharapkan mereka untuk menerima dariNya berdasarkan iman mereka sendiri.

Saya mau mengajak anda untuk mempelajari setiap contoh Alkitab yang disebutkan di atas untuk memperkuat iman anda dalam pemberian Allah kita yang menyembuhkan.

Urapan Kesembuhan (The Healing Anointing)

Akhirnya, penting untuk diketahui bahwa Yesus diurapi dengan kuasa kesembuhan nyata selama pelayananNya di bumi. Yakni, Ia sebenarnya dapat merasa bahwa urapan kesembuhan yang meninggalkan tubuhNya, dan pada beberapa kejadian, orang-orang sakit yang disembuhkan dapat merasakan urapan itu ketika urapan itu memasuki tubuhnya. Misalnya, Lukas 6:19 berkata, “dan semua orang mencoba menyentuhNya, karena kuasa akan datang dariNya dan menyembuhkan mereka semua.”

Tampaknya, urapan kesembuhan bahkan membasahi pakaian Yesus sehingga, jika seseorang yang sakit menyentuh jubahNya dengan iman, urapan kesembuhan akan mengalir ke dalam tubuhnya. Kita baca dalam Markus 6:56:

Ke manapun Ia pergi, ke desa-desa, ke kota-kota, atau ke kampung-kampung, orang meletakkan orang-orang sakit di pasar dan memohon kepada-Nya, supaya mereka diperkenankan hanya menjamah jumbai jubah-Nya saja. Dan semua orang yang menjamah-Nya menjadi sembuh.

Wanita yang sakit pendarahan (lihat Markus 5:25-34) disembuhkan hanya dengan menyentuh ujung jubah Yesus dan dengan berharap disembuhkan dengan iman.

Tidak hanya Yesus yang diurapi dengan urapan kesembuhan yang nyata, tetapi juga rasul Paulus diurapi selama tahun-tahun berikutnya dalam pelayanannya:

Oleh Paulus Allah mengadakan mujizat-mujizat yang luar biasa, bahkan orang membawa saputangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus dan meletakkannya atas orang-orang sakit, maka lenyaplah penyakit mereka dan keluarlah roh-roh jahat. (Kisah Para Rasul 19:11-12).

Urapan kesembuhan yang nyata membasahi jubah Paulus, yang menunjukkan bahwa jubah adalah media penghantar yang baik untuk kuasa kesembuhan!

Allah tidak berubah sejak masa Yesus atau Paulus, sehingga kita tak perlu terkejut jika Allah mengurapi beberapa hambaNya kini dengan urapan kesembuhan tersebut, seperti Tuhan mengurapi Yesus dan Paulus. Tetapi, karunia-karunia ini tak diberikan kepada orang yang belum berpengalaman, tetapi hanya kepada orang yang telah terbukti tetap setia dan memiliki motivasi yang tidak egois selama waktu tertentu.

 


[1]

Semua ini bisa saja menunjuk pada kesembuhan fisik. Penyakit bisa saja dianggap sebagai hasil perbuatan si jahat, karena Alkitab menyatakan bahwa “Allah mengurapi Dia [Yesus] dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia.” (Kisah Para Rasul 10:38).

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Enambelas (Chapter Sixteen)

Bab Tujuh-Belas (Chapter Seventeen)

Karunia-Karunia Roh (The Gifts of the Spirit)

 

Alkitab berisi banyak contoh tentang Roh Kudus yang tiba-tiba memberi kemampuan adikodrati kepada orang-orang. Dalam Perjanjian Baru, semua kemampuan adikodrati ini dinamakan “karunia-karunia Roh.” Karunia-karunia itu tidak dapat diperoleh. Tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa Allah meninggikan orang yang Dia percayai. Yesus berkata, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10). Jadi kita mengharapkan agar karunia-karunia Roh lebih besar kemungkinan diberikan kepada mereka yang telah membuktikan kesetiaannya di hadapan Allah. Adalah penting agar setiap orang sepenuhnya disucikan dan menyerah kepada Roh Kudus, karena Allah lebih mungkin memakai orang-orang seperti itu secara adikodrati. Di lain pihak, Allah pernah memakai seekor keledai untuk bernubuat, sehingga Ia dapat memakai siapapun yang Ia sukai. Jika Ia harus menunggu sampai seseorang jadi sempurna untuk dipakai, maka Ia tak dapat memakai siapapun!

Dalam Perjanjian Baru, karunia-karunia Roh terdapat dalam 1 Korintus 12, yang seluruhnya ada sembilan karunia:

Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu. (1 Korintus 12:8-10).

Mengetahui cara mendefiniskan setiap karunia bukanlah hal penting bagi orang untuk dipakai Allah dalam karunia-karunia roh. Dalam Perjanjian Lama, para nabi, imam, dan raja, juga penjala ikan di zaman awal gereja Perjanjian Baru mempraktekkan karunia-karunia Roh tanpa tahu cara membuat kategori atau definisinya. Tetapi, karena dalam Perjanjian Baru karunia-karunia Roh dibuatkan kategori, pasti itulah yang Allah ingin kita pahami. Memang, Paulus menulis, “Sekarang tentang karunia-karunia Roh. Aku mau, saudara-saudara, supaya kamu mengetahui kebenarannya. (1 Korintus 12:1).

Kategorisasi Sembilan Karunia (The Nine Gifts Categorized)

Kini, sembilan karunia Roh dikategorikan dalam tiga kelompok: (1) karunia-karunia ucapan, yakni berbahasa lidah, penafsiran bahasa lidah, dan nubuatan; (2) karunia-karunia pewahyuan, yakni: kata-kata hikmat, kata-kata pengetahuan, dan kepekaan mengenali roh-roh; dan (3) karunia-karunia kuasa, yakni: pekerjaan mujizat-mujizat, iman khusus, dan karunia-karunia kesembuhan. Ketiga kelompok karunia itu mengatakan sesuatu; mengungkapkan sesuatu; dan melakukan sesuatu. Semua karunia itu termanifestasi dalam perjanjian lama kecuali berbahasa lidah dan penafsiran bahasa lidah, di mana kedua karunia ini adalah hal-hal unik dalam perjanjian baru.

Perjanjian Baru tidak memberi petunjuk tentang penggunaan yang benar dari “karunia-karunia roh” dan sangat sedikit petunjuk penggunaan yang benar “karunia-karunia pewahyuan.” Tetapi, Paulus banyak memberi petunjuk tentang penggunaan yang benar dari “karunia-karunia ucapan”, dan ada dua alasan untuk itu.

Pertama, karunia-karunia ucapan paling sering termanifestasi dalam pertemuan jemaat, sedangkan karunia-karunia pewahyuan jarang termanifestasi, dan karunia-karunia kuasa paling jarang termanifestasi. Karena itu, kita perlukan lebih banyak petunjuk tentang karunia-karunia yang paling sering termanifestasi dalam pertemuan jemaat.

Kedua, tampaknya karunia-karunia ucapan memerlukan kerjasama maksimal antar-sesama manusia, dan karena itu, karunia-karunia ini sangat mungkin ditangani secara keliru. Jauh lebih mudah menambahkan dan melenyapkan suatu nubuatan dibandingkan melenyapkan karunia-karunia kesembuhan.

Sesuai Kehendak Roh (As the Spirit Wills)

Perlu disadari bahwa karunia-karunia Roh diberikan sesuai kehendak Roh dan bukan sesuai kehendak manusia manapun. Alkitab memperjelas hal terebut:

Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya. (1 Korintus 12:11, tambahkan penekanan).

Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan dan karena Roh Kudus, yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya. (Ibrani 2:4, tambahkan penekanan).

Seseorang dapat sering dipakai dalam karunia-karunia tertentu, tetapi tak seorangpun memiliki salah-satu karunia. Anda dapat saja diurapi sekali untuk melakukan suatu mujizat, namun itu bukan petunjuk bahwa anda dapat mengerjakan mujizat kapanpun anda mau; juga bukan jaminan bahwa anda akan dipakai lagi untuk mengerjakan mujizat.

Kita akan pelajari dengan singkat dan melihat beberapa contoh dalam Alkitab tentang setiap karunia. Tetapi, mengingat Allah dapat mewujudkan kasih-karuniaNya dan kuasa dalam banyak cara, maka adalah mustahil membuat definisi dengan tepat bagaimana setiap karunia bekerja setiap waktu. Lagipula, dalam Alkitab tidak ada definisi dari kesembilan karunia Roh —yang kita miliki adalah label-labelnya. Jadi, kita hanya dapat melihat contoh-contoh dalam Alkitab dan mencoba menentukan pada label mana setiap karunia itu dikelompokkan, yang akhirnya mendefiniskannya menurut perbedaannya yang nampak. Karena ada banyak cara Roh Kudus dapat memanifestasikan diriNya melalui karunia-karunia adikodrati, maka tidaklah bijak bila kita bertahan dengan definisi kita. Sebagian karunia sebenarnya lebih mirip dengan gabungan dari beberapa karunia. Bersamaan dengan itu, Paulus menulis:

Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib [atau pekerjaan-pekerjaan], tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama. (1 Korintus 12:4-7, tambahkan penekanan).

Karunia-karunia Kuasa (The Power Gifts)

1) Karunia-karunia kesembuhan: Karunia-karunia ini terkait dengan penyembuhan orang-orang sakit. Karunia kesembuhan adalah anugerah adikodrati yang muncul tiba-tiba untuk menyembuhkan orang-orang sakit fisik, dan saya tak perlu tanya alasan untuk itu. Pada bab sebelumnya, kita lihat contoh karunia kesembuhan yang termanifesasi melalui Yesus ketika Ia menyembuhkan orang lumpuh di Kolam Betesda (lihat Yohanes 5:2-17).

Allah memakai Elisa untuk menyembuhkan Naaman orang Siria, si penderita kusta dan penyembah berhala (lihat 2Ki. 5:1-14). Seperti kita pelajari ketika menyimak perkataan Yesus dalam Lukas 4:27 tentang kesembuhan Naaman, Elisa tak sanggup menyembuhkan orang kusta manapun yang ia inginkan. Ia tiba-tiba secara adikodrati terilhami untuk memerintahkan Naaman masuk ke air Sungai Yordan tujuh kali, dan ketika akhirnya Naaman taat, ia ditahirkan dari penyakit kusta.

Allah memakai Petrus untuk menyembuhkan orang lumpuh di Gerbang Indah Bait Allah melalui karunia-karunia kesembuhan (Kisah Para Rasul 3:1-10). Tidak hanya orang lumpuh yang disembuhkan, tetapi juga tanda adikodrati menarik banyak orang untuk mendengar Injil dari mulut Petrus, dan hari itu sekitar lima ribu orang bergabung ke dalam jemaat. Karunia-karunia kesembuhan sering menjadi tujuan ganda dalam menyembuhkan orang sakit dan menarik orang yang belum diselamatkan kepada Kristus.

Ketika Petrus menyampaikan pesan kepada mereka yang berkumpul hari itu, ia berkata:

Hai orang Israel, mengapa kamu heran tentang kejadian itu dan mengapa kamu menatap kami seolah-olah kami membuat orang ini berjalan karena kuasa atau kesalehan kami sendiri? (Kisah Para Rasul 3:12).

Petrus mengakui bahwa bukan karena kuasa apapun yang ia miliki, atau karena kesuciannya, sehingga Allah memakainya untuk menyembuhkan orang lumpuh. Ingatlah, dua bulan sebelum mujizat itu, Petrus telah menyangkali mengenal Yesus. Kenyataannya Allah mamakai Petrus dengan ajaib di bagian awal kitab Kisah Para Rasul, dan fakta itu mendukung keyakinan kita bahwa Allah akan juga memakai kita sesuai kehendakNya.

Ketika Petrus coba menjelaskan bagaimana orang itu disembuhkan, sangat mustahil ia mengkategorikan hal itu sebagai “karunia-karunia kesembuhan.” Petrus hanya tahu bahwa ia dan Yohanes sedang berjalan-jalan melewati seorang lumpuh dan ia tiba-tiba mendapat urapan dengan iman untuk menyembuhkan orang. Sehingga ia memerintahkan orang itu berjalan dalam nama Yesus, memegangnya dengan tangan kanannya, dan menariknya berdiri. Orang lumpuh itu mulai “berjalan dan melompat dan memuji Tuhan.” Petrus menjelaskan hal itu dengan cara berikut:

Dan karena kepercayaan dalam Nama Yesus, maka Nama itu telah menguatkan orang yang kamu lihat dan kamu kenal ini; dan kepercayaan itu telah memberi kesembuhan kepada orang ini di depan kamu semua. (Kisah Para Rasul 3:16).

Orang yang memiliki iman khusus harus memegang orang lumpuh dan mengangkatnya untuk berdiri dan menyuruhnya berjalan! Bersama dengan karunia-karunia kesembuhan itu, diperlukan juga impartasi iman untuk melaksanakannya.

Sebagian orang berpendapat bahwa karunia ini berbentuk jamak (“karunia-karunia” kesembuhan) karena ada berbagai karunia berbeda yang menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Orang-orang yang sering dipakai dalam karunia-karunia kesembuhan kadang-kadang tahu bahwa lebih sering penyakit tertentu, dibanding penyakit lain, disembuhkan melalui pelayanannya. Misalnya, dalam keadaan tertentu, Filipus si penginjil tampak berhasil menyembuhkan orang-orang lumpuh dan pincang (Kisah Para Rasul 8:7). Misalnya, ada beberapa penginjil di abad lalu berhasil menyembuhkan orang-orang buta atau tuli, atau orang yang bermasalah jantung, dan lain-lain, tergantung pada karunia-karunia kesembuhan mana yang paling sering dimanifestasikan melalui mereka.

2) Karunia iman dan melakukan mujizat: Karunia iman dan karunia melakukan mujizat tampak sangat mirip. Dengan kedua karunia itu, orang yang diurapi tiba-tiba menerima iman untuk hal yang mustahil. Perbedaan keduanya sering diuraikan seperti berikut ini: Dengan karunia iman, orang yang diurapi diberikan iman untuk menerima mujizat bagi dirinya, sedangkan dengan karunia mengerjakan mujizat, seseorang diberikan iman untuk mengerjakan mujizat bagi orang lain.

Karunia iman kadang-kadang disebut sebagai “iman khusus” karena karunia itu adalah impartasi iman yang tiba-tiba yang melampaui iman yang biasa-biasa. Iman yang biasa-biasa muncul dari pendengaran akan janji Tuhan, sedangkan iman khusus muncul dari impartasi tiba-tiba oleh Roh Kudus. Orang yang mengalami karunia iman khusus ini menyatakan bahwa hal-hal yang mereka anggap mustahil tiba-tiba menjadi mungkin, dan, mereka sadar hal itu mustahil untuk diragukan. Hal yang sama terjadi juga untuk karunia untuk mengerjakan mujizat.

Kisah tiga teman Daniel –Sadrakh, Mesakh, dan Abednego—adalah contoh mengagumkan tentang bagaimana “iman khusus” menjadi tak mungkin diragukan lagi. Ketika mereka dilempar ke perapian yang menyala-nyala karena menolak untuk menyembah berhala raja, mereka semua diberikan karunia iman khusus. Hanya orang dengan iman yang luar biasa dapat bertahan dalam perapian yang sangat panas! Kita perhatikan iman dari ketiga orang muda yang dtunjukkan di depan raja:

Lalu Sadrakh, Mesakh dan Abednego menjawab raja Nebukadnezar: “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak [seandainya tuanku tidak melemparkan kami ke perapian yang menyala-nyala], hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku diri kan itu.” (Daniel 3:16-18, tambahkan penekanan).

Perhatikan bahwa karunia bekerja bahkan sebelum mereka dibuang ke perapian. Mereka sudah berpikir bahwa Allah akan membebaskan mereka.

Elia memfungsikan karunia iman khusus ketika ia diberi makan setiap hari oleh burung gagak selama kelaparan tiga-setengah tahun dari pemerintahan Raja Ahab (lihat 2 Raja-Raja 17:1-6). Seseorang perlu iman luar biasa untuk mempercayai Allah yang memakai burung untuk membawakan makanan pagi dan petang. Walaupun Allah tidak berjanji dalam FirmanNya bahwa burung gagak akan membawakan kita makanan setiap hari, kita dapat memakai iman yang biasa untuk mempercayai Allah dalam memenuhi kebutuhan kita —karena itulah janji (lihat Matius 6:25-34).

Karya melakukan mujizat bekerja seringkali melalui pelayanan Musa. Ia bekerja dalam karunia itu ketika ia membelah Laut Merah (lihat Keluaran 14:13-31) dan ketika berbagai bala penyakit menimpa Mesir.

Yesus melakukan pekerjaan mujizat ketika Ia memberi makan 5.000 orang dengan melipatgandakan jumlah ikan dan roti (lihat Matius 14:15-21).

Ketika, karena satu alasan, Paulus menyebabkan Elimas si tukang sihir menjadi buta karena ia menghalangi pelayanan Paulus di pulau Siprus, itu juga contoh pekerjaan mujizat (lihat Kisah Para Rasul 13:4-12).

Karunia Pewahyuan (The Revelatioan Gifts)

1). Kata-kata pengetahuan dan kata-kata hikmat: Karunia kata-kata pengetahuan ialah impartasi adikodrati yang tiba-tiba tentang informasi tertentu, di masa lalu atau kini. Allah, pemilik semua pengetahuan, kadang mengimpartasi sebagian kecil pengetahuan itu, yang menjadi alasan penyebutan kata-kata pengetahuan. Kata adalah bagian kecil dari kalimat, dan kata pengetahuan adalah bagian kecil dari pengetahuan Allah.

Kata-kata hikmat sangat mirip dengan kata-kata pengetahuan, tetapi kata-kata hikmat adalah impartasi adikodrati yang tiba-tiba tentang pengetahuan kejadian di masa depan. Konsep hikmat biasanya termasuk sesuatu tentang masa depan. Dan, definisi-definisi itu agak spekulatif.

Perhatikan contoh dalam Perjanjian Lama mengenai kata-kata pengetahuan. Setelah Elisa mentahirkan Naaman, orang Siria, dari penyakit kusta, Naaman menawarkan banyak uang kepada Elisa sebagai ucapan terima-kasih atas kesembuhannya. Elisa menolaknya, agar tiap orang menganggap kesembuhan Naaman adalah karena kasih-karunia Allah, bukannya dibeli. Tetapi, hamba Elisa, bernama Gehazi, melihat kesempatan untuk mendapatkan kekayaan pribadi, dan diam-diam ia menerima sebagian bayaran dari Naaman. Setelah Gehazi menyembunyikan perak dari hasil tipuan, ia menghadap Elisa.

Lalu kita baca, dan Elisa berkata padanya, “Dari mana, Gehazi?” Jawabnya: “Hambamu ini tidak pergi ke mana-mana!” Tetapi kata Elisa kepadanya: “Bukankah hatiku ikut pergi, ketika orang itu turun dari atas keretanya mendapatkan engkau?” (2 Raja-Raja 5:25b-26a).

Allah, yang tahu benar kecurangan Gehazi, mengungkapan perbuatannya secara adikodrati kepada Elisa. Tetapi, kisah ini menjelaskan bahwa Elisa tidak “memiliki” karunia kata-kata pengetahuan; yakni, ia selalu tidak tahu segala sesuatu tentang siapapun. Jika hal itu jadi masalah, Gehazi tak mungkin pernah membayangkan bahwa ia dapat menyembunyikan dosanya. Elisa hanya tahu hal-hal secara adikodrati ketika Allah mengungkapan hal-hal itu padanya. Karunia itu bekerja sesuai kehendak Roh.

Yesus mengerjakan kata-kata pengetahuan ketika Ia berkata kepada wanita di sumur di Samaria bahwa ia mempunyai lima orang suami (lihat Yohanes 4:17-18).

Petrus dipakai dalam karunia itu ketika ia secara adikodrati tahu bahwa Ananias dan Safira sedang mendustai jemaat dalam hal memberi kepada jemaat seluruh harga yang telah mereka terima atas penjualan tanah mereka (lihat Kisah Para Rasul 5:1-11).

Mengenai karunia kata-kata hikmat, kita sering lihat manifestasi karunia itu dari semua nabi dalam Perjanjian Lama. Kapanpun mereka menubuatkan satu kejadian di masa depan, kata-kata hikmat bekerja. Yesus juga seringkali diberikan karunia itu. Ia menubuatkan kehancuran Yerusalem, penyalibanNya, dan kejadian-kejadian yang akan menimpa dunia sebelum kedatanganNya yang kedua kali (lihat Lukas 17:22-36, 21:6-28).

Rasul Yohanes dipakai dalam karunia itu ketika penghakiman di Masa Kesukaran diungkapkan kepadanya. Yohanes mencatat hal-hal tersebut dalam seluruh kitab Wahyu.

2). Karunia kepekaan mengenali roh: Karunia ini adalah kemampuan adikodrati yang mendadak muncul atau, bila tidak, mengetahui apa yang sedang terjadi di alam roh.

Penglihatan, melalui mata atau pikiran orang percaya, dapat diklasifikasikan sebagai kepekaan mengenali roh. Karunia itu memungkinkan orang percaya untuk melihat malaikat, roh jahat, bahkan Yesus Sendiri, seperti Paulus pada beberapa kesempatan (lihat Kisah Para Rasul 18:9-10; 22:17-21; 23:11).

Ketika Elisa dan hambanya dikejar oleh pasukan Siria, mereka terjebak di kota Dotan. Di tempat itu, hambanya Elisa mengawasi tembok kota dan menjadi kuatir, ketika melihat banyaknya tentara yang berbaris:

Jawabnya [Elisa]: “Jangan takut, sebab lebih banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka.” Lalu berdoalah Elisa: “Ya TUHAN: Bukalah kiranya matanya, supaya ia melihat.” Maka TUHAN membuka mata bujang itu, sehingga ia melihat. Tampaklah gunung itu penuh dengan kuda dan kereta berapi sekeliling Elisa” (2 Raja-Raja 6:16-17).

Apakah anda tahu bahwa pasukan malaikat mengelilingi kuda-kuda rohani dan dalam kereta-kereta rohani? Anda akan melihat mereka suatu hari nanti di sorga, tetapi hambanya Elisa diberikan kemampuan melihat kuda-kuda itu di bumi.

Melaui karunia itu, seorang percaya dapat mengenali roh jahat yang menekan seseorang dan memiliki kemampuan untuk mengenali jenis roh itu.

Karunia itu meliputi penglihatan ke alam roh dan juga jenis pengenalan lain ke dalam alam roh. Bisa juga termasuk mendengar sesuatu dari alam roh, seperti suara Tuhan.

Akhirnya, seperti anggapan beberapa orang, karunia itu bukanlah “karunia kepekaan mengenali.” Orang yang menyatakan bahwa ia punya karunia itu terkadang menganggap dirinya dapat membedakan motif-motif dalam diri orang, tetapi karunianya lebih tepat digambarkan sebagai “karunia mengritik dan menilai orang lain.” Sebenarnya, anda mungkin memiliki “karunia” itu sebelum anda diselamatkan, dan sekarang sudah diselamatkan, Allah ingin membebaskan anda dari karunia itu selamanya!

Karunia Ucapan (The Utterance Gifts)

1). Karunia nubuatan: Karunia nubuatan adalah kemampuan adikodrati yang tiba-tiba untuk berbicara dengan ilham ilahi dalam bahasa yang diketahui oleh orang yang berbicara. Karunia ini selalu dimulai dengan, “Lalu berkatalah Tuhan.”

Karunia nubuatan bukan menyampaikan khotbah atau mengajar. Khotbah dan pengajaran yang diilhami benar-benar mengandung unsur nubuatan karena setiap khotbah dan pengajaran diurapi oleh Roh, tetapi khotbah dan pengajaran pada dasarnya bukanlah nubuatan. Banyak kali pengkhotbah atau guru yang diurapi akan mengatakan hal-hal melalui ilham yang tiba-tiba tanpa direncanakannya ketika berbicara, tetapi hal itu memang bukan nubuatan, walaupun menurut saya hal itu dapat disebut profetik.

Karunia nubuatan dengan sendirinya membangun, menasihati dan menghibur:

Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur. (1 Korintus 14:3).

Jadi karunia nubuatan sendiri tidak mengandung pewahyuan. Yakni, karunia ini tidak mengungkapkan apapun tentang masa lalu, masa sekarang, atau masa depan, seperti halnya kata-kata hikmat dan kata-kata pengetahuan. Tetapi, seperti saya sebutkan sebelumnnya, karunia-karunia Roh dapat saling bekerja bersama, dan demikian pula dengan kata-kata hikmat atau pengetahuan yang dapat disampaikan dengan cara nubuatan.

Ketika kita dengar orang yang bernubuat dalam sebuah pertemuan yang meramalkan kejadian di masa depan, kita sebenarnya tidak mendengar hanya nubuatan; kita mendengar kata-kata hikmat yang disampaikan melalui karunia nubuatan. Karunia nubuatan sederhana akan tampak seolah-olah seseorang membaca peringatan dari Alkitab, seperti “Hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya” dan, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”

Sebagian orang yakin bahwa nubuatan dalam Perjanjian Baru tidak berisikan apapun yang “negatif”, jika tidak maka nubuatan itu dianggap tidak sesuai dengan parameter “pengajaran dan peringatan dan penghiburan.” Tetapi, hal itu tidak benar. Membatasi apa yang Allah mungkin katakan kepada umatNya, dengan hanya mengizinkanNya untuk mengatakan apa yang mereka anggap “positif” meskipun mereka layak mendapat teguran, adalah ungkapan yang memuliakan diri sendiri di atas Allah. Teguran tentu bisa dikategorikan atas pengajaran dan peringatan. Saya perhatikan pesan-pesan Tuhan kepada tujuh gereja di Asia, yang dicatat dalam Kitab Wahyu yang ditulis oleh Yohanes, sudah tentu berisi unsur teguran. Apakah kita akan membuangnya? Saya tidak sependapat.

2). Karunia berbahasa lidah dan penafsiran bahasa lidah: Karunia berbagai bahasa lidah adalah kemampuan adikodrati yang tiba-tiba untuk berbicara bahasa yang tak diketahui oleh orang yang mengalami bahasa lidah. Karunia ini biasanya dilakukan melalui karunia penafsiran bahasa lidah, yang merupakan kemampuan adikodrati yang tiba-tiba menafsirkan perkataan dalam suatu bahasa yang tak diketahui.

Karunia ini dinamakan penafsiran bahasa lidah dan bukan penerjemahan bahasa lidah. Jadi, kita tidak memerlukan terjemahan kata-per-kata dari pesan-pesan dalam bahasa lidah. Karena itulah, kita mungkin saja mendapat “pesan singkat dalam bahasa lidah” dan penafsiran yang lebih panjang, dan sebaliknya.

Karunia penafsiran bahasa lidah sangat mirip dengan nubuatan, karena karunia itu juga tidak berisi pewahyuan dan biasanya untuk pengajaran, peringatan dan penghiburan. Menurut 1 Korintus 14:5, kita dapat berkata bahwa bahasa lidah ditambah penafsirannya sama dengan nubuatan:

Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun.

Seperti saya sebutkan sebelumnnya, tidak ada instruksi dalam Alkitab mengenai cara mengerjakan karunia-karunia kuasa, sangat sedikit instruksi tentang cara mengerjakan karunia-karunia pewahyuan, tetapi cukup banyak instruksi yang diberikan mengenai cara mengerjakan karunia-karunia ucapan. Karena di jemaat Korintus ada kebingungan mengenai mengerjakan karunia-karunia ucapan, Paulus membahas masalah tersebut pada hampir keseluruhan pasal 14 dari kitab I Korintus.

Masalah yang paling menonjol berhubungan dengan penggunaan yang tepat bahasa-bahasa lidah yang lain, karena seperti kita sudah pelajari pada bab Baptisan Roh Kudus, setiap orang percaya yang dibaptis dengan Roh Kudus mampu untuk berdoa dalam bahasa lidah kapanpun ia mau. Jemaat Korintus sering berbahasa lidah selama ibadah jemaat, tetapi banyak yang tidak teratur.

Penggunaan Berbeda untuk Bahasa Lidah lain (The Different Uses of other Tongues)

Sangatlah penting kita pahami perbedaan antara penggunaan bahasa lidah yang tak diketahui di depan banyak orang. Walaupun setiap orang percaya yang dibaptis dengan Roh Kudus dapat berbahasa lidah kapan saja, itu tak berarti Allah akan memakainya dalam karunia berbahasa lidah di depan umum. Penggunaan utama bahasa lidah adalah kehidupan pribadi setiap orang percaya yang tunduk padaNya. Tetapi, jemaat Korintus melakukannya secara bersama dan serentak berbahasa lidah tanpa ada penafsiran, dan, tentu, tak seorangpun dibantu atau dibimbing olehnya (lihat 1 Korintus 14:6-12, 16-19, 23, 26-28).

Satu cara membedakan antara penggunaan bahasa lidah di depan banyak orang dan penggunaan bahasa lidah secara pribadi adalah klasifikasi penggunaan pribadi sebagai berdoa dalam bahasa lidah dan penggunaan di depan publik sebagai berbicara bahasa lidah lain. Paulus menyebutn dua penggunaan itu dalam 1 Korintus 14. Apa bedanya?

Ketika kita berdoa dalam bahasa lidah, roh kita berdoa kepada Allah (lihat 1 Korintus 14:2, 14). Namun, ketika seseorang tiba-tiba diurapi dengan karunia bahasa lidah, maka itulah pesan dari Allah kepada jemaat (lihat 1 Korintus 14:5), dan pesan itu dipahami ketika diberikan tafsirannya.

Menurut Alkitab, kita dapat berdoa dalam bahasa lidah sesuai kemauan kita (lihat 1 Korintus 14:15), tetapi karunia berbagai bahasa lidah hanya bekerja sesuai kehendak Roh Kudus (lihat 1 Korintus 12:11).

Karunia berbahasa lidah biasanya disertai dengan karunia penafsiran bahasa lidah. Tetapi, penggunaan doa secara pribadi dalam bahasa lidah biasanya tidak ditafsirkan. Paulus berkata bahwa ketika ia berdoa dalam bahasa lidah, pikirannya tidak berfungsi (lihat 1 Korintus 14:14).

Ketika seseorang berdoa dalam bahasa lidah, ia mendapat bimbingan (lihat 1 Korintus 14:4), dan juga seluruh jemaat dibimbing ketika karunia berbahasa lidah bermanifestasi dengan karunia penafsiran bahasa lidah yang menyertainya (lihat 1 Korintus 14:4b-5).

Setiap orang percaya hendaknya berdoa dalam bahasa lidah setiap hari sebagai bagian dari persekutuan harian dengan Tuhan. Yang mengagumkan tentang berdoa dalam bahasa lidah adalah doa itu tak perlu menggunakan pikiran anda, yang berarti anda dapat berdoa dalam bahasa lidah bahkan ketika pikiran anda tersita oleh pekerjaan anda atau hal-hal lain. Paulus berkata kepada jemaat Korintus, “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua.” (1 Korintus 14:18, tambahkan penekanan). Pasti ia telah meluangakn banyak waktu dengan berbahasa lidah untuk melebihi seluruh Jemaat Korintus!

Paulus juga menulis bahwa ketika kita berdoa dalam bahasa lidah, kita kadang-kadang “memberkati Tuhan” (1 Korintus 14:16-17). Tiga kali saya mengalami “bahasa doa” yang dimengerti oleh seseorang yang hadir yang tahu bahasa yang sedang saya panjatkan. Tiga kali saya berbicara bahasa Jepang. Pernah saya berkata kepada Tuhan dalam bahasa Jepang, “Engkau sangat baik.” Lain kali saya katakan, “Terima kasih banyak.” Di saat lain saya katakan, “Cepatlah datang, cepatlah datang; saya sedang menunggu.” Bukankah hal ini mengagumkan? Tak pernah saya belajar sebuah katapun bahasa Jepang, tetapi sedikitnya tiga kali saya telah “memberkati Tuhan” dalam bahasa Jepang!

Petunjuk Paulus untuk Berbahasa Lidah (Paul’s Instructions for Speaking in Tongues)

Petunjuk Paulus kepada jemaat Korintus sangat khusus. Dalam pertemuan tertentu, jumlah orang yang dibolehkan berbahasa lidah di muka umum adalah dua atau tiga orang. Mereka tak boleh berbicara serentak, tetapi harus menunggu dan berbicara secara bergilir (lihat 1 Korintus 14:27).

Paulus tidak secara langsung bermaksud hanya dibolehkan tiga “pesan dalam bahasa lidah”, tetapi tidak boleh lebih dari tiga orang berbahasa lidah dalam ibadah tertentu. Sebagian orang menganggap bahwa jika sudah lebih dari tiga orang yang sering dipakai dalam karunia berbahasa lidah, salah seorang dari mereka dapat berserah kepada Roh, dan dengan asumsi “pesan dalam bahasa lidah” yang Roh ingin manifestasikan di gereja. Jika tidak demikian, instruksi Paulus sebenarnya akan membatasi Roh Kudus dengan cara membatasi jumlah pesan dalam bahasa lidah yang dapat dimanifestasikan dalam ibadah tertentu. Jika Roh Kudus tak pernah memberikan lebih dari tiga karunia bahasa lidah dalam sebuah pertemuan, maka Petrus tak perlu memberi intstruksi tersebut.

Hal yang sama bisa juga berlaku untuk penafsiran bahasa lidah. Ada pendapat bahwa ada lebih dari satu orang dalam jemaat bisa berserah kepada Roh dan menafsirkan “pesan dalam bahasa lidah.” Orang-orang demikian dianggap sebagai “penafsir” (lihat 1 Korintus 14:28), karena mereka sering dipakai dalam karunia penafsiran bahasa lidah. Jika hal itu benar, mungkin ini yang Paulus sebutkan ketika ia menginstruksikan, “harus ada seorang lain untuk menafsirkannya” (1 Korintus 14:27). Mungkin ia tidak berkata bahwa hanya satu orang yang boleh menafsirkan semua pesan dalam bahasa lidah; sebaliknya ia ingatkan untuk melawan “penafsiran saingan” dari pesan yang sama. Jika seorang penafsir menafsirkan pesan dalam bahasa lidah, maka penafsir lain tidak boleh menafsirkan pesan yang sama, meskipun ia anggap ia dapat memberi penafsiran yang lebih baik.

Umumnya, segala sesuatu hendaklah dilakukan ”dengan sopan dan teratur” pada pertemuan jemaat — tak boleh ada campur-aduk ucapan-ucapan yang serentak, bersaing dan membuat bingung. Lagipula, orang-orang percaya harus peka terhadap orang-orang yang tak percaya yang mungkin hadir pada pertemuan itu, seperti yang Paulus tuliskan:

Jadi, kalau seluruh Jemaat berkumpul bersama-sama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa roh, lalu masuklah orang-orang luar atau orang-orang yang tidak beriman, tidakkah akan mereka katakan, bahwa kamu gila? (1 Korintus 14:23).

Persis itulah yang jadi masalah di Korintus —setiap orang berbahasa lidah secara serentak, dan sering tanpa ada penafsiran.

Petunjuk Mengenai Karunia Pewahyuan (Some Instruction Concerning Revelation Gifts)

Paulus memberi petunjuk tentang “karunia pewahyuan” terkait dengan manifestasinya melalui para nabi:

Tentang nabi-nabi–baiklah dua atau tiga orang di antaranya berkata-kata dan yang lain menanggapi apa yang mereka katakan. Tetapi jika seorang lain yang duduk di situ mendapat penyataan, maka yang pertama itu harus berdiam diri. Sebab kamu semua boleh bernubuat seorang demi seorang, sehingga kamu semua dapat belajar dan beroleh kekuatan. Karunia nabi takluk kepada nabi-nabi. Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera. Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus.(1 Korintus 14:29-34a).

Sebagaimana ada anggota tubuh Kristus di Korintus yang tampaknya sering dipakai dalam karunia penafsiran bahasa lidah yang disebut sebagai “penafsir”, maka ada orang yang sering dipakai dalam karunia-karunia nubuatan dan pewahyuan yang dianggap sebagai “nabi.” Nabi-nabi itu tidaklah sama kelasnya dengan nabi-nabi zaman Perjanjian Lama atau bahkan seperti Agabus dalam Perjanjian Baru (lihat Kisah Para Rasul 11:28; 21:10). Sebaliknya, pelayanan mereka dibatasi pada badan-badan gereja lokal.

Walaupun mungkin lebih dari tiga nabi hadir di pertemuan jemaat, Paulus memberi batasan kepada pelayanan profetik untuk “dua atau tiga nabi.” Ini menunjukkan bahwa ketika Roh memberikan karunia-karunia roh di suatu pertemuan, lebih dari satu orang dapat berserah diri untuk menerima karunia-karunia itu. Jika tidak demikian, petunjuk Paulus dapat menyebabkan Roh datang memberikan karunia-karunia yang tak pernah didapat oleh tubuh Kristus, karena ia membatasi jumlah nabi yang dapat berbicara.

Jika lebih dari tiga nabi hadir, maka nabi-nabi lain, walaupun tak dibolehkan berbicara, dapat membantu menilai apa yang dikatakan. Ini juga menunjukkan kemampuan mereka untuk mengenali perkataan Roh dan mungkin bermakna bahwa mereka sendiri bisa saja menyerahkan diri kepada Roh untuk dipakai dalam karunia-karunia itu yang dimanifestaikan melalui nabi-nabi lain. Jika tidak, mereka bisa saja hanya menilai setiap nubuatan dan pewahyuan secara umum, dengan memastikan apakah setiap nubuatan dan pewahyuan itu sesuai dengan pewahyuan yang telah Tuhan berikan (seperti dalam Alkitab), hal yang dapat dilakukan oleh tiap orang dewasa percaya.

Paulus menyatakan bahwa nabi-nabi itu dapat bernubuat secara berangkai (lihat 1 Korintus 14:31) dan bahwa “karunia nabi takluk kepada nabi-nabi” (1 Korintus 14:32). Ini menunjukkan bahwa setiap nabi dapat menahan diri agar tidak menggangu nabi lain, bahkan saat diberikan nubuatan atau pewahyuan dari Roh untuk dibagikan kepada jemaat. Dan, pada saat yang sama Roh dapat memberikan karunia-karunia kepada beberapa nabi yang hadir dalam satu pertemuan, tetapi setiap nabi dapat dan harus melakukan pengawasan ketika pewahyuan atau nubuatan dialami bersama dengan jemaat.

Hal itu berlaku juga dalam karunia ucapan yang dapat dimanifestasikan melalui tiap orang percaya. Jika, dalam pertemuan, seseorang menerima pesan dalam bahasa lidah atau nubuatan dari Tuhan, ia dapat menahannya sampai saat yang tepat. Orang lain tak boleh mengganggu orang yang sedang bernubuat, juga tidak boleh ada yang menggangu pengajaran untuk memberi anda nubuatan.

Ketika Paulus menyatakan “Sebab kamu semua boleh bernubuat seorang demi seorang”, (1 Korintus 14:31), ingatlah bahwa ia berbicara dalam konteks nabi-nabi yang telah menerima nubuatan. Sayangnya, sebagian orang memahami perkataan Paulus keluar dari konteks, yang menyatakan bahwa setiap orang percaya dapat bernubuat di setiap pertemuan jemaat. Karunia nubuatan diberikan sesuai kehendak Roh.

Kini, seperti masa-masa sebelumnya, gereja perluk pertolongan, kuasa, kehadiran, dan karunia-karunia dari Roh Kudus. Paulus meminta jemaat di Korintus untuk “usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat.” (1 Korintus 14:1). Jadi, tingkat keinginan kita terkait dengan manifestasi karunia-karunia Roh, jika tidak Paulus takkan pernah memberikan instruksinya. Pelayan pemuridan, yang mau dipakai Tuhan untuk kemuliaanNya, sangat memerlukan karunia-karunia Roh, dan ia mau mengajar murid-muridNya untuk melakukan hal yang sama.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Tujuh-Belas (Chapter Seventeen)

Bab Empat-Belas (Chapter Fourteen)

Dasar-Dasar Iman (Fundamentals of Faith)

Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia. (Ibrani 11:6).

Sebagai orang percaya, iman kita dibangun di atas fondasi keberadaaan Allah, dan perlakuanNya terhadap orang yang mencariNya berbeda dengan perlakuanNya terhadap orang yang tidak mencariNya. Segera setelah benar-benar mempercayai kedua hal itu, kita mulai menyenangkan Allah, karena kita segera mencariNya. Makna dari mencari Allah adalah (1) mempelajari kehendakNya, (2) menaatiNya, dan (3) percaya janji-janjiNya. Ketiga makna itu hendaknya menjadi komponen perjalanan kita sehari-hari.

Bab ini berfokus pada perjalanan iman kita. Tetapi, banyak orang hanya mengutamakan iman pada titik ekstrim yang tidak Alkitabiah, terutama mengutamakan kemakmuran materi. Karena itulah, sebagian orang ingin sekali melakukan pendekatan kepada pokok masalah itu. Hanya karena beberapa orang tenggelam di sungai bukanlah alasan kita untuk berhenti minum air. Kita bisa tetap bersikap seimbang dan mengutamakan Alkitab. Alkitab memiliki banyak hal untuk diajarkan mengenai pokok persoalan di atas, dan Allah ingin kita untuk menguji iman kita dalam banyak janjiNya.

Yesus memberi contoh orang yang beriman kepada Allah, dan Ia mengharapkan murid-muridNya untuk meneladaniNya. Demikian juga, pelayan pemuridan harus berupaya untuk menjadi teladan kesetiaan dalam Tuhan, dan mengajarkan murid-muridnya untuk percaya kepada janji-janji Tuhan. Hal ini sangat penting. Kita mustahil menyenangkan Allah tanpa iman, dan juga mustahil menerima jawaban doa-doa tanpa iman (lihat Matius 21:22; Yakobus 1:5-8). Alkitab jelas mengajarkan bahwa orang yang ragu-ragu takkan mendapat berkat-berkat yang diterima oleh orang percaya. Yesus berkata, “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Markus 9:23).

Definisi Iman (Faith Defined)

Definisi iman menurut Alkitab terdapat dalam Ibrani 11:1:

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Dari definisi itu, kita pelajari beberapa karakter iman. Pertama, orang beriman mendapatkan jaminan atau kepercayaan diri. Iman berbeda dengan pengharapan, karena iman adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan.” Pengharapan selalu memberi peluang kepada keraguan. Pengharapan selalu berkata “semoga.” Misalnya, saya dapat berkata, “Saya harap hari ini hujan sehingga kebunku akan terairi.” Saya ingin hujan turun, tetapi saya tidak yakin apakah hari ini hujan akan turun. Di lain pihak, iman selalu yakin, “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan.”

Hal yang disebut sebagai iman atau keyakinan sering bukanlah iman menurut definisi Alkitab. Misalnya, orang mungkin memperhatikan awan gelap di langit, dan berkata, “Saya percaya hari ini hujan akan turun.” Tetapi, ia tidak yakin pasti bahwa hujan akan turun —ia hanya berpikir ada peluang besar hujan mungkin akan turun. Ini bukanlah iman menurut Alkitab. Iman menurut Alkitab tidak mengandung unsur keraguan. Iman tak memberikan ruang bagi hasil apapun selain hal yang Tuhan sudah janjikan.

Iman adalah Bukti dari Segala Sesuatu yang Tidak Kita Lihat (Faith is the Conviction of Things Not Seen)

Definisi dalam Ibrani 11:1 juga menyatakan bahwa iman adalah “bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Dengan demikian jika kita bisa lihat sesuatu atau rasakan dengan panca indera kita, maka iman tidak diperlukan.

Jika seseorang berkata, “Karena beberapa alasan yang tak dapat saya jelaskan, saya beriman bahwa ada buku di tangan anda.” Anda tentu berpikir ada sesuatu yang tak beres dengan orang itu. Anda katakan, “Anda tak perlu percaya bahwa saya memegang buku di tangan saya, karena anda dapat melihat saya yang sedang memegang buku.”

Iman bukanlah wilayah yang tak terlihat. Misalnya, ketika saya menulis kata-kata ini, saya percaya ada malaikat di dekat saya. Nyatanya, saya yakin akan hal itu. Bagaimana saya bisa begitu yakin? Apakah saya telah melihat malaikat? Tidak. Apakah saya telah merasakan atau mendengar malaikat terbang melintas? Tidak. Jika saya telah melihat, mendengar atau merasakan ada malaikat, maka saya tak harus percaya ada malaikat di dekat saya —saya tahu hal itu.

Jadi apa yang membuat saya sangat yakin akan kehadiran malaikat? Keyakinanku berasal dari salah satu janji Allah. Dalam Mazmur 34:8, Ia berjanji, “Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka.” Saya tidak punya bukti untuk kepercayaan saya selain Firman Tuhan. Inilah iman sejati menurut Alkitab —“bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Orang-orang di dunia sering memakai ungkapan, “Lihat dulu baru percaya.” Tetapi dalam kerajaan Allah, berlaku hal sebaliknya: “Percaya dulu baru melihat.”

Saat kita imani salah satu janji Allah, seringkali muncul keadaan yang menggoda kita untuk merasa ragu, atau kita melewati waktu ketika keadaan tampak seolah-olah Allah tak memenuhi janjiNya karena keadaan kita tak berubah. Dalam keadaan demikian, kita perlu melawan rasa ragu, menjaga dengan iman, dan tetap yakin di dalam hati bahwa Allah selalu memenuhi janjiNya. Tak mungkin Allah berdusta (lihat Titus 1:2).

Cara Kita Mendapatkan Iman (How Do We Acquire Faith?)

Karena iman didasarkan pada janji-janji Allah, hanya ada satu sumber untuk iman yang Alkitabiah –Firman Tuhan. Roma 10:17 berkata, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (Roma 10:17, tambahkan penekanan). Firman Tuhan mengungkapkan kehendakNya. Hanya dengan mengetahui kehendak Tuhan, kita dapat mempercayainya.

Jadi, jika anda ingin memiliki iman, dengarkan (atau bacalah) janji-janji Allah. Iman tidak datang hanya dengan berdoa dan berpuasa untuk mendapatkannya, atau menyuruh orang menumpangkan tangan bagi anda untuk memindahkan iman itu. Iman hanya datang dari pendengaran akan Firman Tuhan, dan di saat anda mendengarnya, anda masih harus membuat keputusan untuk mempercayainya.

Di luar konteks mendapatkan iman, iman kita dapat juga tumbuh makin kuat. Alkitab menyebutkan berbagai tingkatan iman —dari iman yang kecil kepada iman sebesar memindahkan gunung. Iman bertumbuh makin kuat ketika dipupuk dan diterapkan, seperti halnya otot manusia. Kita harus terus memupuk iman kita dengan merenungkan Firman Tuhan. Kita harus terapkan iman dengan bertindak dan bereaksi terhadap segala sesuatu sesuai Firman Tuhan. Ini termasuk saat-saat ketika kita menghadapi berbagai masalah, kekuatiran dan kegelisahan. Allah tidak ingin anak-anakNya kuatir tentang apapun, tetapi sebaliknya mempercayakanNya dalam setiap situasi (lihat Matius 6:25-34; Filipi 4:6-8; 1 Petrus 5:7). Tidak kuatir adalah satu cara agar kita dapat menerapkan iman kita.

Jika kita benar-benar percaya perkataan Allah, kita akan bertindak dan berbicara seolah-olah perkataan itu benar. Jika anda percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah, maka anda akan bertindak dan berbicara seperti itu. Jika anda percaya bahwa Allah akan menyediakan semua keperluan anda, anda akan bertindak dan berbicara seperti itu. Jika anda percaya bahwa Allah mau anda tetap sehat, anda akan bertindak dan berbicara seperti itu. Alkitab berisi banyak contoh orang yang, di tengah keadaan tak menyenangkan, bertindak dengan imannya kepada Allah dan akibatnya mereka mengalami mujizat. Kita perhatikan beberapa contoh dalam bab ini dan bab tentang kesembuhan ilahi. (Untuk beberapa contoh, lihat 2 Raja-Raja 4:1-7; Markus 5:25-34; Lukas 19:1-10; dan Kisah Para Rasul 14:7-10).

Iman berasal dari Dalam Hati (Faith is of the Heart)

Iman menurut Alkitab tak berfungi di dalam pikiran kita, tetapi di dalam hati kita. Paulus menuliskan, “Karena dengan hati orang percaya” (Roma 10:10a). Yesus berkata,

Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. (Markus 11:23, tambahkan penekanan).

Sangat mungkin anda merasa ragu tetapi masih beriman di dalam hati dan menerima janji-janji Allah. Ternyata, sebagian besar waktu ketika kita berupaya mempercayai janji-janji Allah, maka pikiran kita akan diserang rasa ragu, dengan pengaruh panca-indera kita dan kebohongan Setan. Selama melewati waktu itu kita perlu mengganti pikiran yang meragukan janji-janji Allah dan beriman teguh tanpa pikiran yang terombang-ambing.

Kekeliruan Iman yang Lazim Terjadi (Common Faith Mistakes)

Kadang-kadang ketika kita mencoba menerapkan iman kepada Allah, kita gagal menerima apa yang kita inginkan karena kita tidak memfungsikan iman menurut Firman Tuhan. Salah satu kekeliruan yang paling lazim muncul terjadi ketika kita mencoba mempercayai sesuatu yang Allah belum janjikan kepada kita.

Misalnya, tindakan suami-istri yang percaya kepada Allah yang sanggup memberi anak adalah sesuai Alkitab, karena Firman Tuhan berisi janji yang olehnya mereka dapat tetap bertahan. Saya kenal pasangan suami-istri yang, menurut dokter, tak akan bisa punya anak. Tetapi, mereka memilih percaya kepada Allah, dan berdiri atas dua janji yang disebutkan di bawah ini, dan kini keduanya memiliki anak-anak yang sehat:

Tetapi kamu harus beribadah kepada TUHAN, Allahmu; maka Ia akan memberkati roti makananmu dan air minumanmu dan Aku akan menjauhkan penyakit dari tengah-tengahmu. Tidak akan ada di negerimu perempuan yang keguguran atau mandul. Aku akan menggenapkan tahun umurmu. (Keluaran 23:25-26).

Engkau akan diberkati lebih dari pada segala bangsa: tidak akan ada laki-laki atau perempuan yang mandul di antaramu, ataupun di antara hewanmu. (Ulangan 7:14).

Janji-janji itu pasti memberi dorongan kepada pasangan yang belum punya anak! Tetapi, mencoba percaya secara khusus akan mendapatkan anak adalah kisah lainnya. Dalam Alkitab tidak ada janji khusus yang menyatakan kepada kita sehingga kita dapat menentukan jenis kelamin anak nanti. Kita harus tetap di dalam batas-batas Alkitab jika kita mau iman kita dapat berfungsi. Kita hanya mempercayai Allah untuk mendapatkan janjiNya kepada kita.

Perhatikan janji Firman Tuhan, lalu tentukan keyakinan kita berdasarkan janji itu:

Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit. (1 Tesalonika 4:16)

Berdasarkan ayat itu, kita percaya bahwa Yesus akan kembali.

Tetapi, dapatkah kita berdoa, meyakini bahwa Yesus akan kembali besok hari? Tidak, karena penegasan ayat Alkitab di atas dan tak ada janji lain dalam Alkitab bagi kita. Nyatanya, Yesus berkata bahwa tak seorangpun tahu hari dan jam kedatanganNya.

Sudah tentu, kita dapat berdoa sambil berharap Yesus akan kembali besok, tetapi tak ada jaminan hal itu akan terwujud. Ketika berdoa dengan iman, yakinlah apa yang kita doakan akan terjadi karena kita memiliki janji Allah atas iman kita.

Berdasarkan ayat Alkitab yang sama, kita percaya bahwa tubuh setiap orang percaya yang telah meninggal akan dibangkitkan kembali ketika Yesus datang. Tetapi bisakah kita beriman sehingga kita, yang masih hidup ketika Kristus kembali, akan menerima tubuh yang dibangkitkan kembali di saat yang sama dengan yang diterima oleh “orang-orang yang mati dalam Kristus”, atau mungkin bahkan sebelum mereka terima? Tidak, karena ayat Alkitab itu menjanjikan hal berbeda: “orang-orang yang mati dalam Kristus akan bangkit lebih dulu.” Nyatanya, ayat berikut berkata, “sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa.” (1 Tesalonika 4:17). Jadi, “orang-orang yang mati dalam Kristus” akan menjadi yang pertama yang menerima tubuh yang dibangkitkan kembali ketika Yesus kembali. Firman Tuhan menjanjikan demikian.

Jika kita percaya Allah untuk mendapatkan sesuatu, kita harus yakin kehendak Tuhan bagi kita untuk menerima apa yang kita mau. Kehendak Tuhan hanya dapat ditentukan dengan menguji janji-janjiNya yang terdapat dalam Alkitab.

Iman bekerja dengan cara yang sama dalam ranah alami. Anda akan dianggap bodoh bila percaya bahwa saya akan berkunjung ke rumah anda besok siang jika saya belum berjanji untuk melakukan kunjungan itu.

Iman, tanpa janji sebagai panutan, bukanlah iman —itu kebodohan. Jadi, sebelum anda minta sesuatu dari Allah, tanya diri anda dahulu —ayat mana dalam Alkitab yang memberikan janji kepada saya tentang apa yang saya inginkan? Jika anda tidak memiliki janji, maka anda tak punya dasar atas iman anda.

Kesalahan Umum Kedua (A Second Common Mistake)

Banyak kali orang Kristen mencoba mempercayai salah satu janji Allah agar menjadi nyata dalam kehidupannya tanpa memenuhi semua syarat yang menyertai janji itu. Misalnya, saya mendengar ada orang Kristen yang mengutip Mazmur 37 dan berkata: “Alkitab berkata bahwa Allah akan memberikan kepadaku apa yang diinginkan hatiku. Itulah yang kupercayai.”

Tetapi, Alkitab tidak hanya berkata bahwa Allah akan memenuhi keinginan hati kita. Berikut ini perkataan sebenarnya:

Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau. Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak. (Mazmur 37:1-5).

Beberapa syarat harus dipenuhi jika kita percaya bahwa Allah akan memenuhi keinginan hati kita. Faktanya, saya hitung ada delapan syarat dalam janji di atas. Jika tidak memenuhi syarat-syarat itu, kita tak berhak menerima berkat yang dijanjikan. Iman kita tak memiliki dasar.

Orang Kristen juga suka mengutip janji dalam Filipi 4:19: “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” Tetapi, apakah ada persyaratan terhadap janji itu? Sudah pasti.

Jika anda periksa konteks janji dalam Filipi 4:19, anda akan temukan bahwa bukanlah janji yang diberikan kepada semua orang Kristen. Sebaliknya, janji itulah yang disampaikan kepada orang Kristen yang adalah pemberi itu sendiri. Paulus tahu Allah akan memenuhi semua kebutuhan jemaat Filipi karena mereka baru saja mengirimkannya persembahan. Karena mereka mencari lebih dahulu Kerajaan Allah seperti perintah Yesus, Allah akan memenuhi semua kebutuhan mereka, seperti janji Yesus (lihat Matt 6:33). Banyak janji dalam Alkitab, terkait dengan tindakan Allah dalam memenuhi kebutuhan materi kita, memberikan syarat agar kita lebih dulu menjadi orang yang suka memberi.

Tidaklah patut kita berpikir bahwa kita mempercayai Allah demi memenuhi kebutuhan kita jika kita tidak menaati perintah-perintahNya dalam hal uang kita. Sesuai perjanjian lama itu, Allah berkata kepada umatNya bahwa mereka dikutuk karena menahan perpuluhan, tetapi Ia berjanji kepada mereka jika mereka taat memberi perpuluhan dan persembahan (lihat Maleakhi 3:8-12).

Banyak berkat yang dijanjikan bagi kita dalam Alkitab tergantung pada ketaatan kita kepada Allah. Karena itu, sebelum kita mempercayai Allah untuk mendapatkan sesuatu, kita lebih dulu harus bertanya: “Apakah saya memenuhi syarat yang menyertai janji itu?”

Kesalahan Umum Ketiga (A Third Common Mistake)

Dalam Perjanjian Baru, Yesus menyatakan syarat yang berlaku setiap kali kita berdoa dan memohonkan sesuatu:

Yesus menjawab mereka: “Percayalah kepada Allah! Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya. Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu. (Markus 11:22-24, tambahkan penekanan).

Syarat yang Yesus nyatakan adalah keyakinan bahwa kita telah menerima ketika kita berdoa. Banyak orang Kristen keliru mencoba menerapkan imannya dengan meyakini bahwa mereka telah menerima ketika mereka melihat jawaban atas doa mereka. Mereka percaya akan menerima dan bukannya mereka telah menerima.

Ketika kita meminta sesuatu dari Allah yang telah dijanjikanNya kepada kita, kita harus percaya kita menerima jawaban ketika kita berdoa dan mulai mengucap syukur kepada Tuhan atas jawaban doa nanti. Kita harus percaya bahwa kita telah mendapat jawaban sebelum kita melihatnya dan bukan setelah kita melihatnya. Kita harus memohon kepada Allah dengan ucapan syukur, seperti yang ditulis oleh Paulus:

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. (Filipi 4:6).

Seperti saya sebutkan sebelumnya, jika kita beriman di dalam hati, biasanya kata-kata dan tindakan kita akan selaras dengan keyakinan kita. Yesus berkata, “…. yang diucapkan mulut meluap dari hati.” (Matius 12:34).

Beberapa orang Kristen melakukan kesalahan dengan berkali-kali meminta hal yang sama, yang mengungkapkan mereka belum percaya bahwa mereka telah menerima. Jika kita percaya bahwa kita telah menerima ketika kita berdoa, maka tak perlu mengulang-ulang permohonan yang sama. Meminta berkali-kali untuk hal yang sama adalah wujud keraguan bahwa Allah mendengarkan kita ketika pertama kali kita meminta.

Tidakkah Yesus Melakukan Permohonan yang Sama Lebih dari Sekali? (Didn’t Jesus Make the Same Request More Than Once?)

Yesus tentu saja membuat permohonan yang sama tiga kali dalam satu waktu ketika Ia berdoa di Taman Getsemani (lihat Matius 26:39-44). Ingat bahwa Ia tidak berdoa dalam iman menurut kehendak Allah. Nyatanya, ketika Ia berdoa tiga kali untuk mendapatkan kesempatan demi menghindari penyaliban, Ia tahu permohonanNya berbeda dengan kehendak Tuhan. Itu sebabnya Ia menyerahkan diriNya kepada kehendak BapaNya tiga kali dalam doa yang sama.

Doa yang sama dari Yesus sering digunakan secara keliru sebagai model bagi semua doa, seperti diajarkan oleh sebagian orang bahwa kita harus selalu mengakhiri setiap doa dengan kata-kata, “Jika itu kehendakMu”, atau “Bukan kehendakKu tetapi kehendakMu yang jadi”, mengikuti teladan Yesus.

Jadi harus diingat bahwa Yesus membuat permohonan yang, Dia tahu, bukan kehendak Allah. Mengikuti teladanNya itu ketika kita berdoa menurut kehendak Tuhan adalah keliru dan menunjukkan kurangnya iman. Misalnya, untuk berdoa, “Tuhan, saya mengaku dosa kepadaMu dan memohon Engkau mengampuni saya jika itu kehendakMu”, berarti bahwa hal itu bisa saja bukan kehendak Tuhan untuk mengampuni dosa saya. Sudah tentu, kita tahu bahwa Alkitab berjanji bahwa Allah akan mengampuni jika kita mengaku dosa-dosa kita (lihat 1 Yohanes 1:9). Jadi, dosa itu mengungkapkan kurangnya iman seseorang kepada kehendak Allah.

Yesus tidak mengakhiri setiap doa dengan kata-kata, “Tetapi bukan kehendakKu, tetapi kehendakMu yang jadi.” Hanya ada satu contoh doaNya dengan cara itu, dan ketika Ia Sendiri berkomitmen untuk melakukan kehendak BapaNya, dan tahu penderitaan yang Ia jalani oleh karena itu.

Di lain pihak, bila kita tidak tahu kehendak Tuhan dalam situasi tertentu karena Ia belum mengungkapkannya, maka kata-kata yang layak untuk mengakhiri doa kita, “Jika itu kehendakMu.” Yakobus menulis,

Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah. (Yakobus 4:13-16).

Apa yang harus kita lakukan ketika kita buat permohonan sesuai janji Tuhan dan memenuhi semua syarat? Kita harus terus bersyukur kepada Tuhan atas jawaban yang kita yakin telah kita terima sampai hal itu terwujud. Melalui iman dan kesabaran kita mewarisi janji-janji Allah (Ibrani 6:12). Setan tentunya coba mengalahkan kita dengan mengirimkan keraguan, dan kita harus sadari bahwa pikiran kita adalah medan perang. Ketika perasaan ragu menyerang pikiran kita, kita perlu menggantinya dengan pikiran berdasarkan janji-janji Allah dan menyebut Firman Tuhan dengan iman. Ketika kita lakukan, Setan pasti lari (lihat Yakobus 4:7; 1 Petrus 5:8-9).

Contoh Iman yang Bekerja (An Example of Faith in Action)

Contoh klasik dalam Alkitab tentang iman yang bekerja adalah kisah Petrus berjalan di atas air. Kita baca kisahnya dan pahami pelajaran apa yang didapa dari kisah itu.

Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri . Ketika hari sudah malam, Ia sendiri an di situ. Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal. Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air. Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!”, lalu berteriak-teriak karena takut. Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!” Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah. Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.” (Matius 14:22-33).

Perlu dicatat, suatu waktu murid-murid Yesus dalam perahu terjebak oleh badai angin di Danau Galilea (lihat Matius 8:23-27). Selama kejadian itu, Yesus sudah bersama-sama dengan mereka, dan setelah Ia menenangkan badai angin dengan hardikanNya, Ia lalu menegur murid-muridNya karena tidak punya iman. Sebelum mereka memulai perjalanan, Ia telah berkata bahwa Ia mau mereka untuk menyeberang ke sisi lain di danau itu (lihat Markus 4:35). Tetapi, ketika angin ribut muncul, mereka lebih yakin akan keadaan-keadaan sekitar, dan pada satu titik mereka yakin mereka akan segera mati. Paling kurang, Yesus mengharapkan mereka untuk tidak kuatir.

Tetapi, kali ini Yesus mengutus mereka melintasi Danau Galilea. Tentu Ia dipimpin oleh Roh untuk melakukan demikian, dan pasti Allah tahu bahwa malam itu akan muncul angin yang menghadang perahu mereka. Jadi Tuhan izinkan mereka menghadapi tantangan kecil bagi iman mereka. Karena hadangan angin itu, perjalanan yang biasanya ditempuh dalam beberapa jam memakan waktu semalam penuh. Kita harus akui daya-tahan murid-murid, tetapi kita heran jika salah seorang dari mereka memiliki iman untuk meredakan angin ribut, satu hal yang telah mereka lihat ketika Yesus melakukannya beberapa hari sebelumnya. Yang menarik, Injil Markus menulis bahwa ketika Yesus datang berjalan di atas air ke arah mereka, “Ia hendak melewati mereka” (Markus 6:48). Ia hampir meninggalkan mereka sehingga mereka menghadapi masalah sendiri ketika secara ajaib Ia mengikuti mereka! Dengan begitu, tampaknya mereka tidak berdoa atau mencari Allah. Saya heran berapa kali Sang Pembuat-Mujizat mengikuti kita ketika kita bersusah payah mengayuh dayung kehidupan melawan angin kesukaran.

Prinsip-prinsip Iman (Principles of Faith)

Yesus menjawab tantangan Petrus dengan satu kata: “Kemarilah.” Jika Petrus berusaha berjalan di atas air sebelum perkataan itu, ia pasti langsung tenggelam, karena ia tak punya janji sebagai dasar imannya. Ia mungkin melangkah dengan praduga bukannya dengan iman. Demikian juga, bahkan setelah Yesus melontarkan ucapanNya, bila murid lainnya mungkin mencoba berjalan di atas air, ia juga pasti segera tenggelam, ketika Yesus memberikan janjiNya hanya kepada Petrus. Tak satupun dari mereka bisa memenuhi syarat dari janji tersebut, karena tak satupun dari mereka adalah Petrus. Demikian juga, sebelum kita mempercayai salah satu janji Allah, yakinlah bahwa janji itu berlaku bagi kita dan kita memenuhi syarat janji itu.

Petrus keluar dari perahu dan berjalan di atas air. Saat itulah ia percaya, walaupun dia berteriak karena takut melihat hantu beberapa detik sebelumnya, juga dia ragu-ragu ketika ia mengambil langkah pertama. Tetapi untuk menerima mujizat, ia harus bertindak dengan imannya. Seandainya ia memegang tiang perahu dan menurunkan ujung kakinya ke samping perahu untuk mengetahui apakah air dapat menahan berat tubuhnya, ia tak akan pernah mengalami mujizat. Demikian juga, sebelum kita menerima mujizat, kita harus benar-benar percaya kepada janji Allah pada satu saat, lalu bertindak atas apa yang kita yakini. Ada saatnya iman kita diuji. Terkadang waktu itu singkat; terkadang lama. Tetapi akan ada saatnya ketika kita harus mengesampingkan akal pikiran kita dan bertindak dengan Firman Tuhan.

Petrus mulanya berjalan maju dengan baik. Tetapi ketika ia berpikir kemustahilan dari apa yang sedang dilakukannya, dengan melihat angin dan ombak, ia jadi takut. Mungkin ia berhenti berjalan, takut membuat langkah berikut. Dan barangsiapa yang telah mengalami mujizat mendapati dirinya sedang tenggelam. Kita harus tetap teguh dalam iman ketika kita sudah memulainya, dengan bertindak di atas iman kita. Tetaplah maju.

Petrus tenggelam karena ia ragu. Seseorang sering tak suka menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya iman. Sebaliknya ia menyalahkan Tuhan. Tetapi bagaimana, menurut anggapan anda, reaksi Yesus jika Ia mendengarkan Petrus, ketika ia kembali dengan aman ke dalam perahu, dengan berkata kepada murid-murid lain, “Sungguh hanya oleh kehendak Tuhan bagiku untuk menempuh setengah jarak ke arah Yesus”?

Petrus gagal karena ia menjadi takut dan kehilangan imannya. Itu faktanya. Yesus tidak mengecamnya, tetapi segera mengulurkan tanganNya untuk memberi pegangan yang teguh. Dan Ia segera bertanya kepada Petrus mengapa ia ragu. Petrus tak punya alasan untuk ragu, karena Firman dari Anak Tuhan lebih pasti dari apapun. Kita tak pernah punya alasan yang tepat untuk meragukan Firman Tuhan, merasa takut atau kuatir.

Alkitab penuh dengan contoh kemenangan sebagai hasil dari iman dan kegagalan sebagai hasil dari keraguan. Yosua dan Kaleb menduduki Tanah Perjanjian oleh karena iman mereka selagi sebagian besar orang sezaman mereka mati di padang belantara oleh karena keraguan mereka (lihat Bilangan 14:26-30). Murid-murid Yesus mendapat pasokan kebutuhan ketika mereka pergi berdua-dua untuk memberitakan Injil (lihat Lukas 22:35), namun mereka pernah gagal mengusir roh jahat karena tak yakin (lihat Matius 17:19-20). Banyak orang menerima mujizat kesembuhan melalui pelayanan Kristus sedangkan orang-orang sakit di kotaNya Nazareth tidak sembuh karena tidak percaya (lihat Markus 6:5-6).

Seperti mereka semua, saya pribadi mengalami keberhasilan dan kegagalan menurut iman atau keraguan saya. Tetapi saya tidak akan bersedih atas kegagalan saya atau menyalahkan Allah. Saya tak akan membenarkan diri saya dengan mengecamNya. Saya tak akan mencari penjelasan teologis yang rumit untuk menemukan kembali ungkapan kehendak Allah. Saya tahu, mustahil kalau Allah berdusta. Sehingga ketika saya gagal, saya bertobat dari ketidakpercayaan saya dan mulai berjalan di atas air sekali lagi. Saya perhatikan, Yesus selalu mengampuni saya dan menyelamatkan saya agar tidak tenggelam!

Keputusan diambil: orang percaya diberkati; orang ragu tidak diberkati! Pelayan pemuridan mengikuti teladan Yesus. Ia sendiri memiliki iman penuh, dan ia mengingatkan murid-muridnya, “Percayalah kepada Allah!” (Markus 11:22).

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Empat-Belas (Chapter Fourteen)

Bab Lima-Belas (Chapter Fifteen)

Kesembuhan Ilahi (Divine Healing)

 

Walaupun agak kontroversial, pokok bahasan kesembuhan ilahi bukanlah hal yang samar-samar dalam Alkitab. Nyatanya, sepersepuluh bagian dari semua tulisan keempat kitab Injil membahas pelayanan kesembuhan oleh Yesus. Ada janji-janji kesembuhan ilahi dalam Perjanjian Lama, kitab-kitab Injil dan surat-surat Perjanjian Baru. Orang sakit bisa mendapat dorongan besar dari kekayaan ayat Alkitab yang membangun iman.

Saya sudah saksikan di seluruh dunia bahwa di mana gereja dipenuhi orang-orang percaya yang sangat berkomitmen (murid-murid sejati), maka di situ lebih sering terjadi kesembuhan ilahi.

[1]

Di gereja yang suam-suam kuku dan canggih, kesembuhan ilahi sangat jarang terjadi. Semua itu tidak mengejutkan kita, karena Yesus berkata bahwa salah satu tanda yang akan mengikuti orang-orang percaya adalah mereka akan menumpangkan tangan kepada orang-orang sakit dan orang-orang itu sembuh (lihat Markus 16:18). Jika kita menilai gereja melalui tanda-tanda yang akan mengikuti orang-orang percaya seperti kata Yesus, dapat dsimpulkan bahwa banyak gereja berisikan orang-orang tidak percaya:

Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.” (Markus 16:15-18).

Pelayan pemuridan, yang mencontoh pelayanan sempurna Kristus, akan memakai karunia-karunianya untuk mendukung pelayanan kesembuhan ilahi dalam bidang di mana ia memberikan pengaruhnya. Ia tahu bahwa kesembuhan ilahi melanjutkan Kerajaan Allah dalam dua cara. Pertama, segala mujizat kesembuhan menjadi iklan hebat bagi Injil, karena setiap anak yang membaca Injil atau kitab Kisah Para Rasul akan mengerti (namun tak sanggup dipahami oleh banyak pelayan yang bergelar akademik tinggi). Kedua, murid-murid yang sehat tidak terhambat dalam melayani orang sakit.

Pelayan pemuridan juga perlu peka terhadap anggota-anggota tubuh Kristus yang menginginkan kesembuhan tetapi sulit menerima kesembuhan itu. Mereka sering butuh pengajaran yang lunak dan dorongan yang lembut, terutama jika mereka telah jadi berbalik melawan pesan kesembuhan. Pelayan pemuridan menghadapi pilihan: ia dapat hindarkan pengajaran kesembuhan ilahi, di mana tak ada orang akan tersinggung dan tak ada orang akan disembuhkan, atau ia dapat mengajarkan topik itu dengan penuh kasih, dan beresiko menyinggung orang lain selagi membantunya untuk mengalami kesembuhan. Secara pribadi, saya memilih pilihan kedua, dan percaya bahwa pilihan itu sesuai teladan Yesus.

Kesembuhan di Atas Kayu Salib (Healing on the Cross)

Tempat yang baik untuk mulai menyelidiki kesembuhan ilahi adalah Yesaya pasal 53, yang secara umum dianggap sebagai nubuatan kedatangan Mesias. Melalui Roh Kudus, melalui penggambaran Yesaya membicarakan tentang pengorbanan kematian Yesus dan karya yang akan Ia selesaikan di kayu salib:

Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri , tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. (Yesaya 53:4-6).

Dengan ilham Roh Kudus, Yesaya berkata bahwa Yesus menanggung kesengsaraan dan penderitaan kita. Terjemahan yang lebih baik dari Bahasa Ibrani asli menunjukkan bahwa Yesus menanggung penyakit dan rasa sakit, sesuai yang ditunjukkan oleh banyak terjemahan yang handal pada catatan acuan.

Kata bahasa Ibrani yang diterjemahkan penyakit dalam Yesaya 53:4 adalah choli, juga dalam Ulangan 7:15; 28:61; 1Raja-Raja 17:17; 2Raja-Raja 1:2; 8:8, dan 2Tawarikh 16:12; 21:15. Dalam ayat-ayat itu, terjemahan kata penyakit adalah rasa-sakit atau penyakit.

Kata penderitaan berasal dari bahasa Ibrani makob, yang juga terdapat dalam Ayub 14:22 dan Ayub 33:19. Terjemahan kata makob pada kedua ayat itu adalah penderitaan.

Dengan demikian, Yesaya 53:4 lebih tepat diterjemahkan, “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan rasa sakit kita yang dipikulnya.” Fakta ini termeterai melalui kutipan langsung Yesaya 53:4 dalam Injil Matius: “Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita.” (Matius 8:17).

Karena tak sanggup mengelak dari fakta-fakta itu, sebagian orang coba meyakinkan kita bahwa Yesaya menunjuk pada “rasa-sakit rohani” dan “penyakit rohani” kita. Tetapi, kutipan Yesaya 53:4 oleh Matius tidak meragukan bahwa Yesaya menunjuk pada rasa-sakit dan penyakit fisik dalam arti sebenarnya. Kita baca konteksnya:

Menjelang malam dibawalah kepada Yesus banyak orang yang kerasukan setan dan dengan sepatah kata Yesus mengusir roh-roh itu dan menyembuhkan orang-orang yang menderita sakit. Hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: “Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita.” (Matius 8:16-17, tambahkan penekanan).

Matius dengan gamblang menyatakan bahwa semua kesembuhan fisik yang dilakukan oleh Yesus merupakan penggenapan Yesaya 53:4. Jadi, tak diragukan lagi, Yesaya 53:4 adalah acuan kepada Kristus yang menanggung kelemahan dan penyakit fisik kita.

[2]

Sebagaimana Alkitab berkata bahwa Yesus menanggung kejahatan kita (lihat Yesaya 53:11), juga dikatakan Ia menanggung kelemahan dan penyakit kita. Itulah berita yang membuat orang sakit gembira. Melalui korban penebusanNya, Yesus telah memberikan keselamatan dan kesembuhan kepada kita.

Satu Pertanyaan (A Question Asked)

Sebagian orang bertanya, mengapa tidak setiap orang disembuhkan? Jawaban untuk pertanyaan itu diberikan dengan membuat pertanyaan lain: mengapa tidak semua orang dilahirkan kembali? Semua orang tidak dilahirkan kembali karena mereka belum mendengar Injil atau belum percaya Injil. Jadi, setiap orang harus mendapat kesembuhan melalui imannya. Namun, banyak orang belum mendengar kebenaran sehingga Yesus menanggung penyakit mereka; orang-orang lain telah mendengar tetapi menolaknya.

Sikap Allah Bapa terhadap penyakit jelas terungkap dari Anak yang dikasihiNya, yang bersaksi tentang diriNya,

Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diriNya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak. (Yohanes 5:19).

Kita baca dalam kitab Ibrani, Yesus adalah “gambaran persis dari sifat [Bapa] Nya” (Ibrani 1:3). Sikap Yesus terhadap rasa-sakit persis sama dengan sikap BapaNya terhadap rasa-sakit.

Apa sikap Yesus? Tak sekalipun Ia berbalik dari siapapun yang datang kepadaNya, sambil memohon kesembuhan. Tak sekalipun Ia berkata kepada orang sakit yang mau disembuhkan, “Tidak, Tuhan tak mennghendaki engkau disembuhkan, jadi engkau akan tetap sakit.” Yesus selalu menyembuhkan orang-orang sakit yang datang kepadaNya, dan ketika mereka disembuhkan, Ia sering berkata bahwa iman merekalah yang menjadikan mereka sembuh. Lagipula, Alkitab menyatakan bahwa Allah tak pernah berubah (lihat Maleakhi 3:6) dan Yesus Kristus “tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibrani 13:8).

Kesembuhan Disebarluaskan (Healing Proclaimed)

Tetapi, sekarang ini keselamatan telah direduksi menjadi pengampunan atas dosa. Tetapi kata bahasa Yunani yang sering diterjemahkan sebagai “diselamatkan” dan “keselamatan” bermakna pengampunan, kelepasan dan kesembuhan.

[3]

Perhatikan orang dalam Alkitab yang mengalami keselamatan penuh. Ia disembuhkan karena imannya ketika ia mendengarkan Paulus sedang memberitkan Injil di kotanya.

Setelah rasul-rasul itu mengetahuinya, menyingkirlah mereka ke kota-kota di Likaonia, yaitu Listra dan Derbe dan daerah sekitarnya. Di situ mereka memberitakan Injil. Di Listra ada seorang yang duduk saja, karena lemah kakinya dan lumpuh sejak ia dilahirkan dan belum pernah dapat berjalan. Ia duduk mendengarkan, ketika Paulus berbicara. Dan Paulus menatap dia dan melihat, bahwa ia beriman dan dapat disembuhkan. Lalu kata Paulus dengan suara nyaring: “Berdirilah tegak di atas kakimu!” Dan orang itu melonjak berdiri, lalu berjalan kian ke mari. (Kisah Para Rasul 14:6-10).

Perhatikan, walaupun Paulus sedang memberitakan “Injil”, orang itu mendengar sesuatu yang menghasilkan iman dalam hatinya untuk menerima kesembuhan fisik. Paling sedikit, ia pernah mendengar Paulus berkata sesuatu tentang pelayanan kesembuhan melalui Yesus, dan bagaimana Yesus menyembuhkan setiap orang yang memohon kesembuhan dengan iman. Mungkin Paulus juga menyebutkan nubuatan Yesaya tentang Yesus yang menanggung kelemahan dan penyakit kita. Kita tidak tahu, tetapi karena “iman datang dari pendengaran” (Roma 10:17), orang lumpuh itu pasti telah mendengar sesuatu yang memicu iman di dalam hatinya untuk mendapatkan kesembuhan. Perkataan Paulus telah meyakinkan orang lumpuh itu bahwa Allah tak mau dia tetap lumpuh.

Paulus sendiri percaya bahwa Allah mau agar orang itu disembuhkan, atau kata-katanya bisa saja tak pernah meyakinkan orang lumpuh itu untuk beriman demi mendapatkan kesembuhan, juga ia mungkin tidak berkata kepada orang itu untuk berdiri. Apa yang terjadi jika Paulus mengatakan apa yang dikatakan oleh begitu banyak pengkhotbah masa kini? Bagaimana jika ia berkhotbah, “Bukankah kehendak Tuhan bagi setiap orang untuk disembuhkan”? Orang itu mungkin saja tak memiliki iman untuk disembuhkan. Mungkin hal itu memperjelas alasan mengapa banyak orang kini tidak disembuhkan. Pengkhotbah, yang harus mengilhami orang-orang untuk memiliki iman demi mendapatkan kesembuhan, justru sedang membuat iman mereka hancur.

Perhatikan lagi, orang itu disembuhkan oleh imannya. Jika is tidak percaya, mungkin saja ia tetap lumpuh, meskipun Tuhan menghendakinya untuk disembuhkan. Lagipula, hari itu mungkin ada orang lain yang sakit dalam kerumunan orang banyak, tetapi kita tak tahu siapa yang disembuhkan. Jika begitu, mengapa mereka tidak disembuhkan? Dengan alasan yang sama, banyak orang yang belum selamat dalam rombongan belum dilahirkan kembali hari itu —karena mereka tidak mempercayai pesan Paulus.

Kita tak berkesimpulan bahwa Tuhan tidak menghendaki kesembuhan setiap orang berdasarkan fakta sebagian orang yang tak pernah disembuhkan. Ini sama artinya dengan menyimpulkan bahwa Tuhan tidak menghendaki semua orang untuk dilahirkan kembali hanya karena sebagian orang tak pernah dilahirkan kembali. Tiap orang harus percaya Injil bahwa ia akan diselamatkan, dan juga percaya bahwa ia akan disembuhkan.

Bukti Lanjutan tentang Kehendak Tuhan untuk Meyembuhkan (Further Proof of God’s Will to Heal)

Menurut perjanjian lama, kesembuhan fisik termasuk dalam perjanjian bangsa Israel dengan Allah. Beberapa hari setelah mereka keluar dari tanah Mesir, Allah membuat perjanjian dengan bangsa Israel, berikut ini:

“Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau.” (Keluaran 15:26).

Setiap orang jujur pasti sepakat bahwa kesembuhan menjadi bagian dalam perjanjian bangsa Israel dengan Allah, tergantung pada ketaatan bangsa itu. (Sementara itu, Paulus memperjelasnya dalam 1 Korintus 11:27-31 bahwa kesehatan tubuh berdasarkan perjanjian baru juga tergantung pada ketaatan).

Allah juga berjanji kepada orang-orang Israel:

Tetapi kamu harus beribadah kepada TUHAN, Allahmu; maka Ia akan memberkati roti makananmu dan air minumanmu dan Aku akan menjauhkan penyakit dari tengah-tengahmu. Tidak akan ada di negerimu perempuan yang keguguran atau mandul. Aku akan menggenapkan tahun umurmu. (Keluaran 23:25-26, tambahkan penekanan).

Engkau akan diberkati lebih dari pada segala bangsa: tidak akan ada laki-laki atau perempuan yang mandul di antaramu, ataupun di antara hewanmu. TUHAN akan menjauhkan segala penyakit dari padamu, dan tidak ada satu dari wabah celaka yang kaukenal di Mesir itu akan ditimpakan-Nya kepadamu, tetapi Ia akan mendatangkannya kepada semua orang yang membenci engkau. (Ulangan 7:14-15, tambahkan penekanan).

Jika kesembuhan fisik termasuk dalam perjanjian lama, orang heran bagaimana hal itu tidak dimasukkan dalam perjanjian baru, jika nyatanya perjanjian baru lebih baik daripada perjanjian lama, seperti pernyataan Alkitab:

Tetapi sekarang Ia [Yesus] telah mendapat suatu pelayanan yang jauh lebih agung, karena Ia menjadi Pengantara dari perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan atas janji yang lebih tinggi. (Ibrani 8:6, tambahkan penekanan).

Bukti Lanjutan (Yet Further Proof)

Alkitab berisikan banyak ayat yang memberikan bukti yang tak terbantahkan bahwa Tuhan mengehendaki setiap orang sembuh. Saya buat tiga daftar:

Dari Daud. Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu. (Mazmur 103:1-3, tambahkan penekanan).

Keberatan apa yang akan dibuat oleh orang Kristen mengenai pernyataan Daud bahwa Allah mau mengampuni semua kesalahan kita? Tetapi, Daud percaya bahwa Allah juga mau menyembuhkan semua penyakit kita —semuanya.

Hai anakku, perhatikanlah perkataanku, arahkanlah telingamu kepada ucapanku; janganlah semuanya itu menjauh dari matamu, simpanlah itu di lubuk hatimu. Karena itulah yang menjadi kehidupan bagi mereka yang mendapatkannya dan kesembuhan bagi seluruh tubuh mereka. (Amsal 4:20-22, tambahkan penekanan).

Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. (Yakobus 5:14-15, tambahkan penekanan).

Perhatikanlah, janji terakhir itu menjadi milik siapapun yang sakit. Dan ternyata, bukan penatua atau minyak yang membawa kesembuhan tetapi “doa dengan iman.”

Apakah iman itu berasal dari penatua atau orang sakit? Apakah iman berasal dari keduanya. Iman orang sakit diungkapkan, sebagian, dengan memanggil penatua gereja. Ketidakpercayaan si sakit dapat membuat efek doa si penatua tidak menghasilkan apa-apa. Jenis doa yang disebutkan oleh Yakobus adalah contoh baik untuk “doa persepakatan” yang Yesus sebut dalam Matius 18:19. Kedua pihak yang terlibat dalam doa itu harus “bersepakat.” Jika seorang percaya dan orang lain tak percaya, maka mereka tak sepakat.

Kita juga tahu dalam beberapa perikop, Alkitab menyebut Setan sebagai penyebab penyakit (lihat Ayub 2:7; Lukas 13:16; Kisah Para Rasul 10:38; 1 Korintus 5:5). Jadi, Allah tentu menentang pekerjaan Setan dalam tubuh anak-anakNya. Bapa kita mengasihi kita jauh lebih dari cara bapa di dunia mengasihi anak-anaknya (lihat Matius 7:11), namun saya belum pernah bertemu seorang bapak yang menginginkan anak-anaknya sakit.

Setiap kesembuhan yang Yesus lakukan selama pelayananNya di dunia, dan setiap kesembuhan yang disebut dalam kitab Kisah Para Rasul, mendorong kita untuk percaya bahwa Allah mau kita tetap sehat. Yesus sering menyembuhkan orang-orang yang mencariNya, sambil mereka mencari kesembuhan, dan Ia berkata bahwa mujizat terjadi karena mereka punyai iman. Jadi, terbukti Yesus tidak memilih orang-orang tertentu untuk Ia sembuhkan. Setiap orang sakit dapat datang kepadaNya dengan iman dan menjadi sembuh. Ia ingin menyembuhkan mereka semua, tetapi Ia memerlukan iman dari mereka.

Jawaban terhadap Beberapa Keberatan Umum (Answers to Some Common Objections)

Mungkin, keberatan yang paling umum terhadap semua itu adalah keberatan yang tak berdasarkan pada Firman Tuhan, tetapi pada pengalaman orang-orang. Biasanya keberatan berupa: “Saya kenal seorang wanita Kristen hebat yang berdoa agar disembuhkan dari kanker, namun ia meninggal. Terbukti Tuhan tak menghendaki semua orang sembuh.”

Kita tak boleh menentukan kehendak Tuhan dengan apapun selain FirmanNya. Misalnya, jika anda mundur ke masa lalu dan memperhatikan pengembaraan bangsa Israel di padang gurun selama empat-puluh tahun selagi negeri yang berlimpah susu dan madu menanti tepat di seberang Sungai Yordan, anda bisa saja simpulkan bahwa Tuhan tak menghendaki bangsa Israel masuk ke tanah perjanjian itu. Tetapi jika anda tahu Alkitab, maka ketahuilah bukan itu masalahnya. Tentunya, sudah jadi kehendak Tuhan bagi bangsa Israel untuk memasuki Tanah Perjanjian, tetapi mereka gagal memasukinya karena mereka tidak percaya (lihat Ibrani 3:19).

Bagaimana dengan orang-orang yang kini ada di neraka? Tuhan menghendaki mereka untuk ada di sorga, tetapi mereka tak memenuhi syarat bertobat dan iman dalam Tuhan Yesus. Maka, kita tak dapat menentukan kehendak Tuhan tentang kesembuhan dengan memperhatikan orang-orang sakit. Hanya karena seorang Kristen berdoa untuk mendapat kesembuhan dan gagal mendapatkannya, tidak membuktikan bahwa Tuhan tidak inginkan kesembuhan bagi setiap orang. Jika orang Kristen telah memenuhi syarat-syarat dariNya, ia bisa saja disembuhkan, atau bila tidak maka Tuhan berdusta. Ketika gagal mendapat kesembuhan, lalu menyalahkan Tuhan dengan alasan bahwa kesembuhan bukan kehendakNya, kita sama saja dengan orang-orang Israel yang tidak percaya yang mati di padang gurun, yang berkata bahwa Tuhan tak mau mereka masuk ke Tanah Perjanjian. Lebih baik kita singkirkan perasaan angkuh dan mengaku bahwa kita patut disalahkan.

Seperti saya sebutkan pada bab sebelumnya tentang iman, banyak orang Kristen yang tulus mengakhiri doanya secara keliru untuk memperoleh kesembuhan dengan ucapan yang meruntuhkan iman, “Bila itu kehendakMu.” Ini jelas mengungkapkan bahwa mereka tidak berdoa dengan iman karena mereka tidak meyakini kehendak Tuhan. Ketika terjadi kesembuhan, kehendak Tuhan sangat jelas, ketika kita telah melihatnya. Jika anda tahu Allah ingin sembuhkan anda, tak ada alasan untuk berucap “jika itu kehendakMu” dalam doa kesembuhan. Sama halnya juga dengan berkata, “Tuhan, saya tahu Engkau berjanji menyembuhkan saya, tetapi jika Engkau berbohong tentang itu, saya mohon Engkau sembuhkan saya hanya bila itu sebenarnya kehendakMu.”

Memang, Allah dapat mendisiplinkan orang percaya yang tidak taat, dengan mengizinkan penyakit menderanya, bahkan, pada beberapa kejadian, sampai pada titik Ia izinkan kematian sebelum waktunya. Orang percaya itu jelas perlu bertobat sebelum menerima kesembuhan (lihat 1 Korintus 11:27-32). Ada orang lain yang, tak peduli tubuhnya, mengundang datangnya penyakit bagi dirinya. Orang Kristen harus cukup bijak untuk menjaga diet yang sehat, makan tak berlebihan, olahraga teratur, dan istirahat cukup.

Keberatan Umum Kedua (A Second Common Objection)

Sering dikatakan, “Paulus punya duri dalam daging, dan Tuhan tidak menyembuhkannya.”

Tetapi, pendapat bahwa duri dalam diri Paulus adalah penyakit hanyalah teori teologis yang buruk, dengan melihat fakta bahwa Paulus berkata dengan pasti apa sebenarnya duri itu, yakni malaikat Setan:

Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri . tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (2 Korintus 12:7-9, tambahkan penekanan).

Kata yang diterjemahkan utusan adalah kata bahasa Yunani “aggelos” yang diterjemahkan menjadi malaikat atau malaikat-malaikat yang disebut 160 kali dalam Perjanjian Baru. Duri dalam daging pada Paulus adalah malaikat Setan yang dikirim untuk merongrong hidup Paulus; duri itu bukanlah rasa-sakit atau penyakit.

Perhatikan juga, tak ada sebutan doa Paulus agar disembuhkan, juga tidak ada indikasi bahwa Tuhan menolak menyembuhkannya. Pada ketiga kejadian, Paulus hanya bertanya kepada Tuhan apakah Ia mau mengeluarkan malaikat perongrong hidup, dan Allah berkata bahwa kasih-karuniaNya sudah cukup.

Siapa yang memberikan duri itu kepada Paulus? Sebagian orang yakin bahwa Setan yang memberinya, karena duri itu disebut “malaikat Setan.” Orang lain yakin Allah yang memberinya karena duri itu tampak diberikan agar Paulus tidak dipuji sehingga menjadi sombong. Paulus sendiri berkata, “Untuk membuat agar aku tidak meninggikan diriku.”

Alkitab versi King James menerjemahkan ayat-ayat itu sedikit berbeda. Bukannya berkata, “untuk membuat agar aku tidak meninggikan diriku”, dikatakan, “agar aku tidak ditinggikan secara berlebihan.” Inilah perbedaan penting karena Allah tidak menentang bila kita ditinggikan. Kenyataannya, Ia berjanji untuk meninggikan kita jika kita mau merendahkan diri. Jadi, sangat mungkin Tuhan melakukan peninggian dan Setan mencoba menghentikan peninggian Paulus dengan menugaskan seorang malaikat perongrong demi mengacau di manapun Paulus pergi. Namun Allah berkata bahwa Ia akan memakai berbagai keadaan untuk kemuliaanNya karena kuasaNya dapat terwujud dalam kehidupan Paulus akibat berbagai kelemahannya.

Walaupun demikian, bila kita berkata bahwa Paulus jatuh sakit dan Allah menolak menyembuhkan, perkataan itu menyimpang dari pernyataan Alkitab yang sebenarnya. Dalam perikop duri dalam daging pada diri Paulus, Paulus tak pernah menyebutkan rasa-sakit apapun, dan tidak ada hal yang menunjukkan penolakan Allah untuk menyembuhkan rasa-sakit itu. Jika, seorang jujur membaca seluruh uraian Paulus tentang semua cobaannya dalam 2 Korintus 11:23-30, ia tidak akan menemukan penyebutan sekalipun tentang rasa-sakit atau penyakit.

Penjelasan atas Tema yang Sama (An Elaboration on the Same Theme)

Sebagian orang keberatan terhadap penjelasan saya mengenai duri dalam diri Paulus, dengan berkata, ”Tetapi tidakkah Paulus sendiri yang berkata kepada jemaat di Galatia bahwa ia sakit ketika pertama kali ia mengabarkan Injil kepada mereka? Tidakkah ia sedang berbicara tentang duri dalam daging pada dirinya?”

Itulah sebenarnya yang Paulus tuliskan dalam suratnya kepada jemaat di Galatia:

Kamu tahu, bahwa aku pertama kali telah memberitakan Injil kepadamu oleh karena aku sakit pada tubuhku. Sungguhpun demikian keadaan tubuhku itu, yang merupakan pencobaan bagi kamu, namun kamu tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang hina dan yang menjijikkan, tetapi kamu telah menyambut aku, sama seperti menyambut seorang malaikat Allah, malahan sama seperti menyambut Kristus Yesus Sendiri. (Galatia 4:13-14).

Kata bahasa Yunani yang diterjemahkan sakit dalam Galatia 4:13 adalah asthenia, yang berarti “kelemahan.” Kata itu bisa berarti lemah karena sakit, tetapi tidak harus demikian.

Misalnya, Paulus menulis, “yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1 Korintus 1:25, tambahkan penekanan). Kata yang diterjemahkan yang lemah dalam contoh itu adalah juga kata asthenia. Tak masuk akal bila penerjemah menerjemahkan kata itu menjadi “penyakit dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” (lihat juga Matius 26:41 dan 1 Petrus 3:7, di mana kata asthenia diterjemahkan kelemahan dan tak mungkin penyakit).

Ketika Paulus pertama kali mengunjungi Galatia, seperti dalam Kisah Para Rasul, tidak ada sebutan tentang penyakitnya. Tetapi disebutkan, ia dilempari batu dan dibiarkan mati, dan ia bisa saja bangkit dari matinya atau dibangkitkan secara ajaib (lihat Kisah Para Rasul 14:5-7, 19-20). Tentu, setelah dilempari batu dan dibiarkan mati, kondisi tubuh Paulus mengerikan dengan banyak luka dan bengkak di sekujur tubuhnya.

Paulus tidak menderita sakit di Galatia sebagai cobaan bagi orang-orang yang mendengarkannya. Sebaliknya, tubuhnya lemah karena dilempari batu. Kemungkinan besar, ia masih ingat berbagai kejadian penganiayaan di Galatia ketika ia menulis surat kepada jemaat di Galatia, karena ia mengakhiri suratnya dengan kata-kata berikut:

Selanjutnya janganlah ada orang yang menyusahkan aku, karena pada tubuhku ada tanda-tanda milik Yesus. (Galatia 6:17).

Keberatan Lain: “Saya Menderita untuk Kemuliaan Tuhan” (Another Objection: ”I’m Suffering for the Glory of God”)

Keberatan ini dipakai oleh beberapa orang yang telah mengambil satu ayat dari kisah bangkitnya Lazarus sebagai dasar klaim bahwa mereka sedang menderita sakit untuk kemuliaan Allah. Yesus berkata mengenai Lazarus:

Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan (Yohanes 11:4).

Yesus tidak berkata bahwa Allah sedang dimuliakan akibat penyakit Lazarus, tetapi Allah akan dimuliakan ketika Lazarus disembuhkan dan dibangkitkan dari antara orang mati. Dengan kata lain, hasil akhir dari penyakit bukanlah kematian, tetapi sebaliknya Allah akan dimuliakan. Allah tidak dimuliakan dalam penyakit; Ia dimuliakan dalam kesembuhan. (lihat juga Matius 9:8; 15:31;Luke 7:16; 13:13 dan 17:15, di mana kesembuhan membawa kemuliaan bagi Allah ).

Keberatan Lain: “Paulus Berkata bahwa Ia Meninggalkan Trofimus dalam keadaan Sakit di Miletus“ (Another Objection: ”Paul Said He Left Trophimus Sick at Miletum”)

Saya kebetulan menulis kalimat ini di satu kota di Jerman. Ketika meninggalkan kampung-halaman saya di Amerika Serikat minggu lalu, saya tinggalkan banyak orang sakit. Saya tinggalkan rumah-rumah sakit yang dijejali orang-orang sakit. Tidak berarti Tuhan tidak ingin mereka semua sembuh. Hanya karena Paulus meninggalkan orang sakit di kota yang dikunjunginya bukanlah bukti bahwa Tuhan tak ingin orang itu sembuh. Bagaimana dengan kumpulan orang yang belum selamat yang Paulus tinggalkan? Apakah ini bukti bahwa Tuhan tidak ingin mereka diselamatkan? Sama sekali tidak.

Keberatan Lain: “Saya Seperti Ayub” (Another Objection: ”I’m Just Like Job!”)

Puji Tuhan! Jika anda sudah baca bagian akhir kisah Ayub, anda tahu ia sudah sembuh. Tuhan tidak ingin Ayub tetap sakit, dan juga Tuhan tidak ingin anda tetap sakit. Kisah Ayub menegaskan kembali bahwa Allah selalu menghendaki kesembuhan.

Keberatan Lain: Saran Paulus kepada Timotius tentang Perutnya (Another Objection: Paul’s Advice to Timothy About His Stomach)

Kita tahu bahwa Paulus berkata kepada Timotius untuk minum sedikit anggur untuk pencernaan dalam perutnya dan kelemahan tubuhnya (lihat 1 Timotius 5:23).

Sebenarnya, Paulus berkata kepada Timotius untuk berhenti minum air dan minum sedikit anggur untuk pencernaan dalam perutnya dan untuk kelemahan tubuhnya. Tampaknya, ada yang tidak beres dengan air. Jelaslah, jika anda minum air yang terkontaminasi, anda harus berhenti meminumnya dan mulai minum minuman lain, atau anda mungkin menderita gangguan perut seperti Timotius.

Keberatan Lain: “Yesus Hanya Menyembuhkan untuk Membuktikan KeAllahanNya” (Another Objection: ”Jesus Only Healed to Prove His Deity”)

Sebagian orang ingin kita meyakini bahwa alasan terutama Yesus melakukan kesembuhan adalah untuk membuktikan ke-AllahanNya. Karena keAllahanNya sudah kuat, tampaknya Ia tidak lagi melakukan kesembuhan.

Hal itu samasekali tidak keliru. Memang benar, mujizat-mujizat Yesus menegaskan keAllahanNya, namun itu bukanlah alasan terutama sehingga Ia menyembuhkan orang-orang selama pelayananNya di bumi. Banyak kali Yesus melarang orang yang Ia sembuhkan agar tidak memberitahukan kepada siapapun apa yang dia alami (lihat Matius 8:4;9:6, 30; 12:13-16; Markus 5:43; 7:36; 8:26). Jika Yesus menyembuhkan orang demi membuktikan keAllahanNya, maka Ia akan berkata kepada orang itu untuk berkata kepada setiap orang mengenai apa yang telah dilakukanNya bagi mereka.

Apa motivasi di balik setiap kesembuhan yang Yesus lakukan? Banyak kali Alkitab berkata bahwa Ia menyembuhkan karena Ia “tergerak oleh belas-kasihan” (lihat Matius 9:35-36; 14:14; 20:34; Markus 1:41; 5:19;Luke 7:13). Yesus melakukan kesembuhan karena Ia mengasihi orang-orang dan Ia penuh belas-kasihan. Apakah Yesus kurang belas-kasihan sejak pelayananNya di dunia? Apakah kasihNya sudah habis? Tentu tidak!

Keberatan Lain: ”Allah Ingin Saya jadi Sakit karena Sesuatu Alasan.” (Another Objection: ”God Wants Me to be Sick for Some Reason.”)

Dengan dukungan semua ayat Alkitab yang lagi dibahas, keberatan itu mustahil. Jika anda lama tidak taat, mungkin Allah izinkan penyakit untuk membawa anda kepada pertobatan. Tetapi, Allah tak ingin anda tetap sakit. Ia ingin anda bertobat dan sembuh.

Dan juga, jika Allah ingin anda sakit, lalu mengapa anda ke dokter dan berobat, dengan harapan untuk sembuh? Apakah anda mencoba keluar dari “kehendak Tuhan”?

Keberatan Akhir: “Jika Kita Tak Pernah Menderita Penyakit, Bagaimana Kita Akan Mati?” (A Final Objection: ”If We Never Suffer Disease, How Will We Die?”)

Kita tahu bahwa Alkitab mengajarkan tentang tubuh kita yang makin merosot (lihat 2 Korintus 4:16). Kita tak dapat melakukan apapun agar rambut tidak memutih dan tubuh tidak makin tua. Pada akhirnya, penglihatan dan pendengaran kita menjadi tidak sebaik saat kita masih muda. Kita tidak dapat berlari cepat. Jantung kita tidak kuat lagi. Perlahan-lahan tubuh kita menyusut.

Tetapi tidak berarti bahwa kita harus mati karena rasa-sakit atau penyakit. Tubuh kita bisa saja benar-benar aus, dan ketika itu terjadi, roh-roh kita akan meninggalkan tubuh kita ketika Allah memanggil kita pulang ke sorga. Banyak orang percaya berpulang ke sorga dengan cara seperti itu. Mengapa anda tidak percaya?

 


[1]

Di beberapa gereja di Amerika Utara, para pendeta menanggung resiko besar untuk mengajarkan pokok bahasan ini karena banyak perlawanan yang dia hadapi dari orang-orang yang menyebut diri mereka percaya. Juga, Yesus kadang-kadang menemui orang-orang yang melawan dan tidak-percaya sehingga menghambat pelayanan kesembuhan olehNya (lihat Markus 6:1-6).

[2]

Dengan memahami sesuatu yang dipakai sebagai dasar ketidakpercayaan mereka, sebagian orang mencoba meyakinkan kita bahwa Yesus benar-benar memenuhi nubuatan Yesaya 53:4 melalui tindakanNya menyembuhkan orang-orang pada malam itu di Kapernaum. Tetapi Yesaya berkata Yesus menanggung penyakit kita, sebagaimana ia juga berkata bahwa Yesus diremukkan karena kejahatan kita (bandingkan Yesaya 53:4 dan 53:5). Yesus menanggung penyakit dari orang-orang yang sama sehingga Dia diremukkan oleh kejahatan mereka. Jadi, Matius hanya menunjukkan bahwa pelayanan kesembuhan oleh Yesus di Kapernaum mempertegas bahwa Ialah Mesias, yang bahasan Yesaya 53, Orang yang akan menanggung kejahatan dan penyakit.

[3]

Misalnya, Yesus berkata kepada seorang wanita yang Ia sembuhkan dari pendarahan di dalam tubuhnya, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Markus 5:34). Kata dalam bahasa Yunani diterjemahkan “telah menyelamatkan” dalam ayat ini (sozo) dan sepuluh kali lagi dalam Perjanjian Baru diterjemahkan “menyelamatkan” atau “diselamatkan” lebih dari delapanpuluh kali dalam Perjanjian Baru. Misalnya, inilah kata yang sama yang diterjemahkan “diselamatkan” dalam Efesus 2:5, “oleh kasih karunia kamu diselamatkan.” Jadi kita lihat bahwa kesembuhan fisik memiliki makna di dalam pengertian dari kata bahasa Yunani yang paling sering diterjemahkan sebagai “diselamatkan.”

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Lima-Belas (Chapter Fifteen)

Bab Dua-Belas (Chapter Twelve)

Wanita dalam Pelayanan (Women in Ministry)

 

Karena sudah banyak diketahui bahwa jumlah wanita melebihi setengah jumlah anggota jemaat Tuhan Yesus Kristus, maka kita perlu memahami peran yang diperintahkan Allah bagi tubuh Kristus. Di sebagian besar gereja dan pelayanan, wanita dipandang sebagai pekerja yang berharga, karena mereka sering melakukan sebagian besar tugas pelayanan.

Namun tidak semua orang setuju dengan peranan wanita. Wanita sering dibatasi untuk bidang-bidang tertentu dalam pelayanan di gereja yang terkait dengan berbicara dan memimpin. Beberapa gereja membolehkan pendeta wanita, tetapi banyak gereja tidak membolehkan pendeta wanita. Sebagian gereja membolehkan wanita untuk mengajar selagi gereja-gereja lain tidak membolehkan. Sebagian membatasi wanita agar tidak berbicara sama sekali selama ibadah gereja.

Sebagian besar ketidaksetujuan itu hanya berputar-putar pada berbagai tafsiran kata-kata Paulus mengenai pernana wanita dalam 1 Korintus 14:34-35 dan 1 Timotius 2:11-3:7. Ayat-ayat Alkitab ini akan menjadi fokus pembahasan kita, terutama pada akhir bab ini.

Dari Permulaan (From the Beginning)

Ketika kita mulai, perhatikan ungkapan Alkitab tentang wanita dari bagian-bagian awalnya. Wanita, seperti halnya pria, diciptakan dalam gambar Allah:

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kejadian 1:27).

Kita sudah tahu bahwa Allah menciptakan Adam sebelum Ia menciptakan Hawa, dan ini memang fakta yang berarti secara rohani menurut Paulus (lihat 1 Timotius 2:3). Kita nantinya akan membahas signifikansi susunan penciptaan seperti yang dijelaskan oleh Paulus, tetapi cukuplah dikatakan bahwa hal tersebut tidak membuktikan keunggulan pria atas wanita. Kita tahu bahwa Allah menciptakan hewan sebelum manusia (lihat Kejadian 1:24-28), dan tak seorangpun berpendapat bahwa hewan lebih unggul dari manusia.

[1]

 

Istri diciptakan sebagai penolong suaminya (lihat Kejadian 2:18). Hal ini juga tidak membuktikan kedudukan lebih rendah dari istri, tetapi hanya mengungkapkan peran istri dalam pernikahan. Roh Kudus diberikan sebagai penolong kita, tetapi kedudukanNya tentu tidak di bawah kita. Sebaliknya, Roh Kudus ada di atas kita! Dan dapat dikatakan bahwa penciptaan wanita oleh Allah sebagai penolong suaminya membuktikan bahwa pria butuh pertolongan! Allahlah yang berkata bahwa tidak baik bagi pria hidup sendiri (lihat Kejadian2:18). Kebenaran itu telah banyak kali dibuktikan dalam sejarah ketika pria ditinggalkan tanpa istri yang membantunya.

Akhirnya, kita catat dari bagian-bagian awal kitab Kejadian bahwa wanita pertama diciptakan dari daging manusia pertama. Wanita diambil dari pria, dengan menunjuk pada fakta bahwa pria kehilangan sesuatu tanpa kehadiran wanita, dan keduanya awalnya adalah satu. Tambahan pula, apa yang dipisahkan Allah dimaksudkanNya untuk disatukan lagi melalui hubungan seks, sebagai cara untuk beranak-cucu, dan juga ungkapan kasih dan menikmati kesenangan bersama di mana keduanya saling bergantung.

Segala sesuatu tentang pelajaran dari penciptaan bertentangan dengan pendapat tentang satu jenis kelamin sebagai lebih di atas dari jenis kelamin lain, atau satu jenis kelamin berhak mendominasi jenis kelamin lain. Dan hanya karena Allah telah menentukan peranan yang berbeda untuk wanita dalam pernikahan atau pelayanan tidaklah berkaitan dengan kesamaan wanita dengan pria dalam Kristus, di dalam mana “tidak ada perbedaan laki-laki atau wanita” (Galatia 3:28).

Wanita dalam Pelayanan di Masa Perjanjian Lama (Women in Ministry in the Old Testament)

Dengan peletakan dasar ini, kini kita perhatikan para wanita yang dipakai Allah untuk menggenapi tujuan ilahiNya dalam Perjanjian Lama. Sudah jelas, Allah memanggil pria dalam pelayanan jabatan selama masa Perjanjian Lama, seperti yang dilakukanNya selama masa Perjanjian Baru. Kisah-kisah pria, seperti Musa, Harun, Yosua, Yusuf, Samuel dan Daud, mengisi halaman-halaman Perjanjian Lama.

Tetapi banyak wanita tampil sebagai bukti bahwa Allah dapat memanggil dan memakai siapapun yang Ia inginkan, dan para wanita yang diperlengkapi oleh Allah cukup untuk tugas sesuai panggilanNya.

Sebelum kita membahas wanita secara khusus, harus dicatat bahwa setiap orang pilihan Allah dalam Perjanjian Lama lahir dari seorang wanita. Pasti tidak akan ada Musa tanpa wanita bernama Yokebed (lihat Keluaran 6:20). Tidak akan ada juga orang-orang pilihan Allah jika bukan karena ibu mereka. Kepada wanita Allah telah memberi tanggung-jawab berat dan pelayanan yang patut dipuji untuk mendidik anak-anak dalam Tuhan (lihat 2 Timotius 1:5).

Yokebed bukan hanya ibu dari dua pria yang dipanggil Allah, yakni Musa dan Harun, tetapi juga ibu dari seorang wanita yang dipanggil Allah, saudara perempuan dari Musa dan Harun, seorang nabiah dan pemimpin pujian bernama Miriam (lihat Keluaran 15:20). Dalam Mikah 6:4, Allah mengkategorikan Miriam, sama dengan Musa dan Harun, sebagai salah seorang pemipin Israel:

Sebab Aku telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir dan telah membebaskan engkau dari rumah perbudakan dan telah mengutus Musa dan Harun dan Miryam sebagai penganjurmu. (tambahkan penekanan).

Sudah tentu, peran kepemimpina Miriam di Israel jelas tidak sama dominan dengan Musa. Namun sebagai nabiah, Miriam berbicara atas nama Allah, dan menurut saya, adalah wajar bila kita percaya bahwa pesan Allah melaluinya ditujukan tidak hanya kepada para wanita, tetapi juga kepada para pria Israel juga.

Seorang Wanita Menjadi Hakim atas Israel (A Female Judge Over Israel)

Wanita lain yang dibesarkan Allah sebagai pemimpin Israel adalah Debora, yang hidup di zaman hakim-hakim Israel. Ia juga adalah nabiah, dan menjadi hakim bagi Israel yang setingkat dengan Gideon, Yefta dan Samson selama hidup mereka. Kita tahu bahwa “orang Israel menghadap dia untuk berhakim kepadanya.” (Hakim-Hakim 4:5). Sehingga ia memberikan keputusan bagi pria, tidak hanya bagi wanita. Tidak ada yang dapat menyalahkan hal ini: Seorang wanita berkata kepada pria-pria apa yang harus dilakukan, dan Allah mengurapinya untuk melakukannya.

Seperti sebagian besar wanita yang Allah panggil untuk menjadi pemimpin, Debora tampak menghadapi seorang pria yang kesulitan menerima Firman Tuhan melalui bejana wanita. Namanya Barak, dan karena ia bersikap skeptis terhadap petunjuk profetik dari Debora baginya untuk pergi berperang melawan jenderal Sisera dari Kanaan, Debora berkata kepada Barak bahwa kehormatan untuk membunuh Sisera akan menjadi bagian wanita. Debora benar, dan seorang wanita bernama Yael diingat dalam Alkitab sebagai wanita yang menusukkan patok tenda ke kepala Sisera yang sedang tidur (lihat Hakim-Hakim 4). Kisah itu berakhir dengan Barak yang bernyanyi bersama dengan Debora! Sebagian lirik pujian berisikan pujian untuk Debora dan Yael (lihat Hakim-Hakim 5), dan karena itu mungkin Barak menjadi orang yang percaya pada “pelayanan wanita”.

Nabiah Ketiga (A Third Prophetess)

Wanita ketiga yang disebut dalam Perjanjian Lama sebagai nabiah yang dihormati adalah Hulda. Allah memakainya untuk memberikan pandangan profetik yang dapat dipercayai dan perintah kepada seorang pria, Yosia, raja Yehuda (lihat 2 Raja-Raja 22). Kita lihat lagi contoh Allah yang memakai wanita untuk mengarahkan pria. Kemungkinan besar, Hulda dipakai Allah dalam pelayanan itu secara teratur, jika tidak Yosia tak akan mengimani perkataan Hulda kepadanya.

Tetapi mengapa Allah memanggil Miriam, Debora dan Hulda sebagai nabiah? Tidak bisakah Ia memanggil pria?

Tentu saja Allah bisa saja memanggil pria untuk melakukan sama dengan yang dilakukan oleh ketiga wanita tadi. Tetapi Ia tidak melakukannya. Dan tak seorangpun tahu sebabnya. Yang harus kita pelajari adalah lebih baik hati-hati meletakkan Allah dalam kotak ketika saatnya tiba kepada orang yang Ia panggil untuk melayani. Walaupun Allah biasanya memilih pria untuk tugas kepemimpinan dalam Perjanjian Lama, kadang-kadang Allah memilih wanita.

Akhirnya, harus dicatat bahwa ketiga contoh pelayan wanita dalam Perjanjian Lama adalah nabiah. Ada beberapa pelayanan dalam Perjanjian Lama di mana tidak ada wanita yang dipanggil. Misalnya, tidak ada wanita yang dipanggil untuk menjadi imam. Jadi Allah mungkin menyiapkan beberapa jabatan pelayanan yang dikhususkan untuk pria.

Wanita yang Melayani di Masa Perjanjian Baru (Women in Ministry in the New Testament)

Hal yang menarik, kita juga dapati seorang wanita yang dipanggil oleh Allah sebagai nabiah dalam Perjanjian Baru. Ketika Yesus baru berusia beberapa hari, Hana mengakuiNya dan mulai memberitakan tentang kedudukanNya sebagai Mesias:

Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa. Dan pada ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem. (Lukas 2:36-38, tambahkan penekanan).

Perlu dicatat bahwa Hana membicarakan tentang Yesus kepada semua orang “yang mencari pengampunan Yerusalem.” Sudah tentu termasuk pria juga. Jadi Hana dapat dikatakan telah mengajar tentang Kristus kepada pria.

Ada wanita lain dalam Perjanjian Baru yang Allah pakai dalam karunia nubuatan. Maria, ibu Yesus, tentu ada dalam kelompok ini (lihat Lukas 1:46-55). Setiap kali kata-kata nubutan Maria dibacakan dalam ibadah gereja, dapat dikatakan bahwa seorang wanita sedang mengajar kepada jemaat. (Dan Allah pasti menghormati kedudukan wanita dengan mengirimkan AnakNya ke dalam dunia melalui seorang wanita, sesuatu yang mungkin telah Ia lakukan dengan cara-cara lain).

Daftarnya berlanjut. Allah menubuatkan melalui nabi Yoel bahwa ketika Allah mencurahkan RohNya, baik anak-anak laki-laki dan perempuan di Israel akan bernubuat (lihat Yoel 2:28). Petrus menegaskan bahwa nubutan Yoel berlaku bagi ketentuan perjanjian baru (lihat Kisah Para Rasul 2:17).

Kita tahu dalam Kisah Para Rasul 21:8-9 bahwa Filipus si penginjil mempunyai empat anak perempuan yang semuanya nabiah.

Paulus menulis tentang para wanita yang bernubuat dalam perkumpulan jemaat (lihat 1 Korintus 11:5). Dari konteks itu, jelas ada pria-pria yang juga hadir.

Dengan semua contoh Alkitab tentang para wanita yang dipakai Allah sebagai nabiah, dan menurut nubuatan, kita tentu tak punya alasan untuk tertutup kepada ide yang Allah dapat memakai wanita dalam pelayanan tersebut! Lagipula, tidak ada hal yang membawa kita untuk berpikir bahwa wanita tidak dapat bernubuat kepada pria demi nama Allah.

Wanita sebagai Pendeta? (Women as Pastors?)

Bagaimana dengan wanita yang melayani sebagai pendeta? Jelas, jabatan pendeta/penatua/penilik dimaksudkan Allah untuk dipegang oleh pria:

Benarlah perkataan ini: “Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.” Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, (1 Timotius 3:1-2, tambahkan penekanan).

Aku telah meninggalkan engkau di Kreta dengan maksud ini, supaya engkau mengatur apa yang masih perlu diatur dan supaya engkau menetapkan penatua-penatua di setiap kota, seperti yang telah kupesankan kepadamu, yakni orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri. (Titus 1:5-6, tambahkan penekanan).

Paulus tidak secara gamblang berkata bahwa wanita dilarang memegang jabatan, sehingga kita harus hati-hati membuat kesimpulan menyeluruh. Tampaknya, ada banyak wanita sebagai pendeta/penatua/penilik yang sangat efektif di seluruh dunia sekarang ini, terutama di negara-negara berkembang, namun jumlahnya masih sangat sedikit. Mungkin Allah kadang-kadang memanggil wanita untuk peran pendeta/penatua/penilik ketika peran itu menjadi tujuan kerajaanNya yang bijak, atau ketika terjadi kekurangan pemimpin pria. Mungkin juga banyak pendeta wanita dalam tubuh Kristus kini sebenarnya dipanggil untuk jabatan lain dalam pelayanan yang Alkitabiah, seperti jabatan nabiah, tetapi struktur gereja kini hanya memungkinkan wanita untuk berperan sebagai pendeta.

Mengapa jabatan pendeta/penatua/penilik diberikan kepada pria? Dengan memahami fungsi jabatan itu, maka hal itu membantu kita dalam pemahaman itu. Satu syarat menurut Alkitab untuk pendeta/penatua/penilik adalah,

Seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah ? (1 Timotius 3:4-5)

Syarat itu sangat dapat diterima ketika kita sadar bahwa penatua dalam Perjanjian Baru mengawasi gereja rumah kecil. Perannya mirip dengan peran seorang bapak yang mengawasi rumah-tangganya. Hal itu membantu kita untuk memahami mengapa jabatan pendeta harus dipegang oleh pria –karena jabatan itu menggambarkan struktur keluarga yang, jika sesuai dengan rancangan Allah, harus dipimpin oleh seorang suami, bukan seorang istri. Hal itu nanti akan dibahas lebih banyak.

Wanita sebagai Rasul? (Women as Apostles?)

Kita sudah simpulkan bahwa wanita dapat melayani dalam jabatan nabiah (jika dipanggil oleh Allah ). Bagaimana dengan jenis-jenis pelayanan lainnya? Dalam Roma 16, kita baca kata-kata sapaan Paulus yang memuji beberapa wanita yang melayani demi Kerajaan Allah. Seseorang bahkan bisa saja disebut sebagai rasul. Dalam tiga kutipan berikut, saya menulis nama-nama wanita dalam huruf miring:

Aku meminta perhatianmu terhadap Febe, saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea, supaya kamu menyambut dia dalam Tuhan, sebagaimana seharusnya bagi orang-orang kudus, dan berikanlah kepadanya bantuan bila diperlukannya. Sebab ia sendiri telah memberikan bantuan kepada banyak orang, juga kepadaku sendiri. (Roma 16:1-2, tambahkan penekanan).

Dukungan yang mengagumkan! Kita tidak tahu dengan tepat pelayanan apa yang dilakukan oleh Febe, tetapi Paulus menyebutnya “saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea” dan “telah memberikan bantuan kepada banyak orang”, termasuk dirinya. Apapun yang dilakukannya untuk Tuhan pasti sangat bermanfaat, sehingga membuat Paulus mendukungnya untuk seluruh jemaat di Roma.

Berikut kita baca tentang Priska (Priskila), yang, bersama dengan suaminya bernama Akwila, melakukan pelayanan sehingga mereka dihargai oleh seluruh jemaat yang bukan orang-orang Yahudi:

Sampaikan salam kepada Priskila dan Akwila, teman-teman sekerjaku dalam Kristus Yesus. Mereka telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku. Kepada mereka bukan aku saja yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi. Salam juga kepada jemaat di rumah mereka. Salam kepada Epenetus, saudara yang ku kasihi, yang adalah buah pertama dari daerah Asia untuk Kristus. Salam kepada Maria, yang telah bekerja keras untuk kamu. Salam kepada Andronikus dan Yunias [atau Junia, seperti diterjemahkan dalam Alkitab KJV, yang adalah seorang wanita], saudara-saudaraku sebangsa, yang pernah dipenjarakan bersama-sama dengan aku, yaitu orang-orang yang terpandang di antara para rasul dan yang telah menjadi Kristen sebelum aku. (Roma 16:3-7, tambahkan penekanan).

Mengenai Yunias, wajarlah bila kita berpendapat bahwa seseorang yang “menonjol di antara para rasul” hanyalah seorang rasul. Jika, terjemahan yang benar adalah Junia, maka ia adalah rasul wanita. Priska dan Maria adalah pekerja bagi Tuhan.

Salam kepada Ampliatus yang kukasihi dalam Tuhan. Salam kepada Urbanus, teman sekerja kami dalam Kristus, dan salam kepada Stakhis, yang kukasihi. Salam kepada Apeles, yang telah tahan uji dalam Kristus. Salam kepada mereka, yang termasuk isi rumah Aristobulus. Salam kepada Herodion, temanku sebangsa. Salam kepada mereka yang termasuk isi rumah Narkisus, yang ada dalam Tuhan. Salam kepada Trifena dan Trifosa, yang bekerja membanting tulang dalam pelayanan Tuhan. Salam kepada Persis, yang ku kasihi, yang telah bekerja membanting tulang dalam pelayanan Tuhan. Salam kepada Rufus, orang pilihan dalam Tuhan, dan salam kepada ibunya, yang bagiku adalah juga ibu. Salam kepada Asinkritus, Flegon, Hermes, Patrobas, Hermas dan saudara-saudara yang bersama-sama dengan mereka. Salam kepada Filologus, dan Yulia, Nereus dan saudaranya perempuan, dan Olimpas, dan juga kepada segala orang kudus yang bersama-sama dengan mereka. (Roma 16:8-15, tambahkan penekanan).

Jelaslah, wanita dapat menjadi “pekerja” dalam pelayanan.

Wanita sebagai Guru? (Women as Teachers?)

Bagaimana dengan guru wanita? Perjanjian Baru tidak menyebut seorangpun guru wanita. Tentu, Alkitab tidak juga menyebut guru pria. Priskila (seperti yang disebutkan di atas dan dikenal sebagai Priska), istri Akwila, ikut mengajar dalam skala kecil. Misalnya, ketika Priska dan Akwila mendengar Apolos mengabarkan Injil yang tak lengkap di Efesus, “Mereka membawa dia ke rumah mereka dan dengan teliti menjelaskan kepadanya jalan Allah.” (Kisah Para Rasul 18:26). Tak seorangpun meragukan bahwa Priskila membantu suaminya mengajar Apollos, seorang pria. Tambahan pula, dua kali dalam Alkitab, Paulus menyebutkan Priskila dan Akwila ketika ia menuliskan tentang “jemaat di rumah mereka” (lihat Roma 16:3-5; 1 Korintus 16:19), dan ia menyebut mereka berdua “teman-teman sekerjaku dalam Kristus Yesus” dalam Roma 16:3. Ada keraguan bahwa Priskila berperan aktif dalam pelayanan bersama dengan suaminya.

Ketika Yesus Memerintahkan Wanita untuk Mengajar Pria (When Jesus Commanded Women to Teach Men)

Sebelum kita perhatikan kata-kata Paulus tentang wanita yang tetap diam di dalam jemaat dan ia melarang wanita untuk mengajar pria, perhatikan ayat lain dalam Alkitab yang memberi keseimbangan.

Ketika Yesus dibangkitkan kembali, seorang malaikat menugaskan tiga wanita untuk mengajar murid-murid pria Yesus. Para wanita diajarkan untuk berkata kepada murid-murid itu bahwa Yesus telah bangkit dan Ia akan menampakkan diri kepada mereka di Galilea. Tidak hanya itu saja. Sejenak kemudian, Yesus Sendiri menampakkan diri kepada wanita-wanita itu dan memerintahkan mereka untuk mengajari murid-murid untuk pergi ke Galilea (lihat Matius 28:1-10; Markus 16:1-7).

Pertama, saya pikir, adalah penting jika Yesus memilih untuk menampakkan diri pertama kepada kelompok wanita dan kemudian pria. Kedua, jika, secara mendasar atau secara moral, ada sesuatu yang keliru dengan wanita yang mengajar pria, orang akan berpendapat bahwa Yesus tak mungkin berkata kepada wanita untuk mengajari pria tentang kebangkitanNya dan orang yang mungkin telah diberitahu oleh Dia Sendiri (dan kelak ternyata memang terjadi). Pastilah, Tuhan Yesus menginstruksikan wanita untuk mengajar tentang kebenaran dan memberi pengajaran rohani kepada beberapa pria

Perikop Masalah (The Problem Passages)

Karena kita memahami banyak perkataan Alkitab tentang peranan wanita dalam pelayanan, kita mampu menafsirkan “perikop-perikop masalah” dalam tulisan-tulisan Paulus. Awalnya kita perhatikan perkataannya tentang sikap diam wanita di dalam gereja:

Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat. (1 Korintus 14:34-35).

Karena beberapa alasan, sebagian orang bertanya apakah itu benar-benar instruksi dari Paulus atau hanya kutipannya tentang penyampaian jemaat Korintus melalui surat kepadanya. Jelaslah, dalam bagian kedua dari surat itu, Paulus menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya oleh jemaat Korintus dalam sebuah surat yang mereka kirimkan (lihat 1 Korintus 7:1, 25; 8:1; 12:1; 16:1, 12).

Tambahan pula, dalam ayat berikutnya, Paulus menuliskan sesuatu sebagai reaksinya kepada kebijakan menyeluruh jemaat Korintus untuk mendiamkan wanita di gereja:

Atau adakah Firman Allah mulai dari kamu? Atau hanya kepada kamu sajakah firman itu telah datang? (Was it from you that Firman Tuhan first went forth? atau has it come to you only?) (1 Korintus 14:36).

Alkitab Versi King James menerjemahkan ayat ini dalam cara yang membuat Paulus agak terkejut atas sikap jemaat Korintus:

Apa? Firman Tuhan datang daripadamu? atau Firman itu hanya datang kepadamu? (KJV: What? came the word of Allah out from you? o came it unto you only?) (1 Korintus 14:36).

Pada salah satu kejadian di atas, Paulus jelas membuat dua pertanyaan retoris. Jawaban atas keduanya adalah Tidak. Jemaat Korintus bukanlah pembuat Firman Tuhan, dan juga Firman Tuhan tidak hanya diberikan kepada mereka. Kedua pertanyaan Paulus jelas merupakan hardikan yang ditujukan atas kesombongan mereka. Jika kedua pertanyaan itu merupakan reaksinya terhadap dua ayat terdahulu, mereka bisa saja bertanya, “Kamu pikir kamu siapa? Sejak kapan kamu menentukan siapa yang Allah pakai untuk menyampaikan FirmanNya? Allah dapat memakai wanita jika Ia mau, dan kalian bertindak bodoh karena mendiamkan para wanita.”

Tafsiran itu tampak masuk akal ketika kita perhatikan tulisan Paulus dalam surat yang sama tentang cara tepat bagi wanita untuk bernubuat di gereja-gereja (lihat 1 Korintus 11:5), hal yang mensyaratkan wanita untuk tidak berdiam. Lagipula, beberapa ayat setelah ayat-ayat yang sedang dibahas, Paulus mendesak semua orang Korintus,

[2]

termasuk wanita, untuk “mengusahakan diri memperoleh karunia untuk bernubuat” (1 Korintus 14:39). Jadi Paulus agak kontradiktif pada dirinya jika ia memang memerintahkan wanita untuk berdiam diri dalam persekutuan-pertemuan jemaat dalam 1 Korintus 14:34-35.

Kemungkinan Lain (Other Possibilities)

Tetapi, perhatikan sejenak kata-kata dari Paulus dalam 1 Korintus 14:34-35, dan bahwa ia sedang mengajar wanita untuk tetap diam. Bagaimana kita menafsirkan kata-katanya?

Kita heran mengapa Paulus membuat perintah bagi wanita untuk tetap benar-benar diam dalam pertemuan jemaat ketika ia berkata di surat yang sama sehingga mereka dapat berdoa di depan orang banyak dan bernubuat, tampaknya pada setiap pertemuan jemaat.

Lagipula, tentu Paulus menyadari banyak contoh dalam Alkitab yang telah kita perhatikan tentang Allah yang memakai wanita untuk menyampaikan FirmanNya di depan banyak orang, bahkan kepada pria. Mengapa ia benar-benar mendiamkan mereka yang Allah sering urapi untuk berbicara?

Sudah tentu akal sehat berkata bahwa Paulus tak mungkin bermaksud agar wanita benar-benar diam kapanpun jemaat berkumpul. Ingatlah bahwa jemaat mula-mula berkumpul di rumah-rumah dan berbagi makanan. Apakah kita akan berpikir bahwa wanita tidak berkata apapun sejak saat mereka memasuki rumah sampai saat mereka pulang? Apakah kita akan berpikir bahwa wanita tidak berbicara selagi mereka menyiapkan atau menikmati makan bersama? Apakah kita akan berpikir bahwa mereka tak berkata apapun kepada anak-anak mereka? Pemikiran demikian tampak aneh.

Jika, di mana “dua atau tiga orang berkumpul” dalam nama Yesus, Ia ada di antara mereka (lihat Matius 18:20), tentu saja itu pertemuan jemaat, ketika dua wanita berkumpul dalam nama Yesus, haruskah mereka tidak saling bicara?

Tidak, jika 1 Korintus 14:34-35 merupakan instruksi Paulus, ia hanya menyampaikan masalah kecil tentang penataan di dalam jemaat-jemaat. Dalam suatu cara, beberapa wanita membuat pertanyaan secara tak teratur. Paulus tak bermaksud para wanita untuk benar-benar diam selama pertemuan, ketika ia mengajarkan beberapa ayat sebelumnya kepada nabi-nabi, yang dimaksudkan agar mereka tetap diam selama pertemuan jemaat:

Tetapi jika seorang lain [nabi] yang duduk di situ mendapat penyataan, maka yang pertama itu harus berdiam diri . (1 Korintus 14:30, tambahkan penekanan).

Dalam hal ini, kata-kata “berdiam diri” berarti “kadang-kadang berhenti bicara.”

Paulus juga mengajarkan kepada mereka yang berbahasa lidah untuk tetap diam jika tidak ada orang yang menafsirkan dalam pertemuan itu:

Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah. (1 Korintus 14:28, tambahkan penekanan).

Apakah Paulus menginstruksikan orang-orang tersebut untuk benar-benar diam selama pertemuan? Tidak, ia hanya berkata kepada mereka untuk diam demi menghormati orang yang berbahasa lidah ketika tak ada orang yang menafsirkan. Perlu dicatat, Paulus berkata kepada mereka untuk “tetap diam dalam jemaat”, instruksi yang sama diberikan kepada wanita dalam 1 Korintus 14:34-35. Jadi, mengapa arti kata-kata Paulus kepada wanita untuk berdiam diri di jemaat ditafsirkan sebagai “tetap diam selama pertemuan jemaat”, lalu kata-katanya kepada mereka yang berbahasa lidah tak-beraturan ditafsirkan sebagai “berhenti bicara selama saat-saat khusus dalam pertemuan jemaat itu”?

Akhirnya, perlu dicatat bahwa Paulus tidak menunjuk semua wanita dalam perikop yang sedang dibahas. FirmanNya berlaku hanya kepada wanita yang sudah menikah, karena mereka diinstruksikan untuk “bertanya kepada suami-suami mereka di rumah” jika mereka ingin bertanya.

[3]

Mungkin sebagian atau semua masalahnya adalah para wanita yang sudah menikah yang bertanya-tanya tentang pria lain di samping suami-suami mereka sendiri. Skenario tersebut tentu dianggap tak sesuai, dan dapat menunjukkan sikap tidak-hormat dan ketiadaan penyerahan diri kepada suami masin-masing. Jika itu masalah yang dimaksud Paulus, maka ini bisa jadi alasan dasar pendapatnya mengenai fakta bahwa seorang istri harus menyerah (kepada suaminya), sesuai ungkapan Hukum Taurat dalam banyak cara dari bagian-bagian awal kitab Kejadian (lihat 1 Korintus 14:34).

Kesimpulannya, jika Paulus memang memberi instruksi mengenai wanita yang berdiam diri dalam 1 Korintus 14:34-35, ia hanya berkata kepada wanita yang sudah menikah hal tentang bertanya pada saat-saat yang tak layak atau dengan cara yang tak menghormati suami wanita itu. Jika tidak, mereka dapat bernubuat, berdoa dan berbicara.

Perikop Masalah Kedua (The Other Problem Passage)

Akhirnya, kita sampai pada “perikop masalah” kedua dalam surat pertama Paulus kepada Timotius:

Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri . Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa. (1 Timotius 2:11-14).

Sudah tentu Paulus tahu tentang Miriam, Debora, Hulda dan Hana, empat orang nabiah yang berbicara atas nama Allah kepada para pria dan wanita; mereka efektif mengajar tentang kehendak Tuhan. Tentu Paulus tahu bahwa Debora, seorang hakim atas Israel, melakukan otoritas atas pria dan wanita. Tentu Paulus tahu bahwa Allah mencurahkan RohNya pada hari Pentakosta, sebagian untuk memenuhi nubuatan Yoel tentang hari-hari terakhir ketika Allah mencurahkan RohNya kepada semua daging sehingga anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan menubuatkan Firman Tuhan. Ia pasti tahu bahwa Yesus menugaskan para wanita untuk membawa pesan dariNya kepada para rasul pria. Tentu ia tahu tentang kata-kata peneguhan, yang ditulis kepada jemaat di Korintus, perihal wanita yang berdoa dan bernubuat selama pertemuan jemaat. Juga Paulus ingat saat ia berkata kepada jemaat Korintus bahwa salah seorang dari mereka mungkin saja menerima ajaran dari Roh Kudus untuk dibagikan kepada jemaat (lihat 1 Korintus 14:26). Jadi, apa yang hendak disampaikan Paulus ketika ia menulis kata-kata ini kepada Timotius?

Perhatikan Paulus yang menunjuk kepada dua fakta terkait dari kitab Kejadian sebagai dasar instruksinya: (1) Adam diciptakan sebelum Hawa dan (2) Hawa ditipu, bukannya Adam, dan Hawa jatuh dalam dosa. Fakta pertama memperkuat hubungan yang teguh antara suami dan istri. Seperti diajarkan melalui urutan penciptaan, suami haruslah menjadi kepala, sesuatu yang Paulus ajarkan di mana saja (lihat 1 Korintus 11:3; Efesus 5:23-24).

Fakta kedua yang disebutkan oleh Paulus tidak bermaksud memberikan arti bahwa wanita lebih mudah ditipu dibandingkan pria, karena pria tak mudah ditipu. Nyatanya, karena ada lebih banyak wanita daripada pria dalam tubuh Kristus, maka dapat dianggap bahwa pria lebih mungkin kena tipu daripada wanita. Sebaliknya, fakta kedua menunjukkan bahwa ketika tatanan keluarga yang sesuai maksud Allah diabaikan, Setan bisa mendapat jalan masuk. Masalah keseluruhan dalam kemanusiaan dimulai di Taman Eden ketika hubungan antara manusia dan istrinya rusak —istri Adam tidak tunduk kepadanya. Adam pasti berkata kepada istrinya instruksi Allah mengenai buah terlarang (lihat Kejadian 2:16-17; 3:2-3). Tetapi, istrinya tidak mengikuti instruksinya. Bila diperhatikan, Hawa bahkan melakukan otoritas atas suaminya ketika ia memberikan buah terlarang kepada Adam untuk dimakan (lihat Kejadian3:6). Bukan Adam yang memimpin Hawa pada kejadian itu; justru Hawa yang memimpin Adam. Akibatnya adalah bencana.

Gereja – Model Keluarga (The Church—A Model of the Family)

Perintah yang Allah maksudkan untuk keluarga haruslah ditunjukkan melalui gereja. Seperti saya sebutkan sebelumnya, perlu diingat bahwa selama tiga ratus tahun pertama sejarah gereja, jumlah jemaat gereja hanya sedikit. Para jemaat bertemu di rumah-rumah. Seorang pendeta/penatua/penilik berfungsi bagaikan bapa sebuah rumah-tangga. Struktur gereja yang diperintahkan Allah sangat menyerupai keluarga, dan ternyata adalah sebuah keluarga rohani, sehingga posisi pimpinan oleh wanita atas gereja mungkin saja telah memberi tanda adanya hal yang keliru di dalam dan di luar gereja. Bayangkan ada pendeta/penatua/penilik wanita yang terus-menerus mengajar di sebuah gereja rumah, dan suaminya taat duduk mendengarkan istrinya mengajar dan ia menyerah kepada otoritas istrinya. Hal itu bisa saja berlawanan dengan perintah Allah dalam keluarga, dan bisa menjadi teladan yang keliru.

Itulah maksud kata-kata Paulus, dan kata-kata tersebut terdapat dalam konteks yang sangat erat dari persyaratan Paulus untuk penatua (lihat 1 Timotius 3:1-7), jabatan yang dipegang seorang pria. Harus juga dicatat bahwa penatua harus mengajar secara teratur di jemaat (lihat 1 Tim.5:17). Kata-kata Paulus mengenai wanita yang dengan tenang menerima instruksi dan tidak diizinkan untuk mengajar atau melaksanakan otoritas terhadap pria jelas terkait dengan tatanan di gereja. Yang digambarkannya sebagai tidak layak adalah wanita yang, sebagian atau seluruhnya, mengambil peranan sebagai penatua/pendeta/penilik.

Bukan berarti wanita/istri, yang tunduk kepada suaminya, tidak dapat berdoa, bernubuat, menerima pengajaran untuk dibagikan kepada jemaat, atau berbicara di depan banyak orang selama pertemuan gereja. Semua ini dapat dilakukannya di jemaat tanpa melanggar tatanan ilahi dari Allah, karena ia dapat melakukan semua hal di rumah tanpa melanggar perintah Allah. Hal yang dilarang dilakukan oleh wanita di jemaat tak lebih dari hal yang dilarang dilakukan oleh istri di rumah —melakukan otoritas atas suaminya.

Kita juga mencatat ayat-ayat berikut yang menyatakan bahwa wanita dapat melayani dalam jabatan diaken sama baiknya dengan pria (lihat 1 Timotius 3:12). Melayani di gereja sebagai diaken, atau hamba sesuai arti kata sebenarnya, tak boleh melanggar perintah Allah antara suami dan istri.

Itulah satu-satunya cara nampak untuk menyelaraskan kata-kata Paulus dalam 1 Timotius 2:11-14 dengan ajaran Alkitab. Pada contoh lain dalam Alkitab yang telah dibahas mengenai wanita yang dipakai Allah, tak satupun contoh dapat dijadikan teladan keluarga seperti halnya teladan gereja, sehingga tak satupun melanggar tatanan yang diperintahkanNya. Dalam ayat-ayat itu, tak satupun yang dapat menjadi model yang tidak sesuai dari istri yang melakukan otoritas atas suami dalam keluarga. Coba bayangkan pertemuan beberapa keluarga di sebuah rumah dan seorang istri yang bertanggung-jawab, sambil mengajar, dan mengawasi selagi suaminya duduk tak berbuat apapun dan tunduk pada pimpinan istrinya. Allah tak mengehendakinya, karena bertentangan dengan perintahNya bagi sebuah keluarga.

Namun, bagi Debora yang seorang hakim di Israel, bagi Hana yang berkata-kata tentang Kristus kepada para pria, bagi Maria dan teman-temannya yang berkata-kata tentang kebangkitan Kristus kepada para rasul, tak seorangpun dari mereka memberi pesan keliru atau meniru tatanan Allah secara tidak layak dalam unit keluarga. Pertemuan rutin jemaat adalah pemandangan unik di mana bisa muncul bahaya penyampaian pesan yang keliru bila si wanita/istri memegang otoritas dan rutin mengajari pria/suami.

Kesimpulan (In Conclusion)

Jika kita bertanya, “Pada dasarnya, apa yang keliru dengan fungsi wanita dalam pelayanan, yang melayani orang lain dari hati yang berbelas-kasihan dan memakai karunia-karunia pemberian Allah? Prinsip moral atau etika apa yang mungkin dilanggar oleh fungsi wanita dalam pelayanan?” Kemudian kita segera sadari bahwa pelanggaran prinsip yang mungkin muncul adalah pelayanan wanita yang menyalahi tatanan Allah bagi hubungan antara pria dan wanita, suami dan istri. Pada kedua “perikop masalah” yang tengah dibahas, Paulus tertarik pada tatanan ilahi dalam pernikahan sebagai dasar kepeduliannya.

Jadi kita tahu bahwa dalam pelayanan ada pembatasan peran wanita hanya dalam arti sempit. Dalam begitu banyak cara lain, Allah ingin memakai wanita untuk kemuliaanNya, dan Ia telah melakukannya selama ribuan tahun. Alkitab berbicara tentang banyak kontribusi positif yang telah dilakukan oleh wanita bagi Kerajaan Allah, sebagian kontribusi telah kita bahas. Jangan lupa, sebagian sahabat-sahabat terdekat Yesus adalah wanita (lihat Yohanes 11:5), dan wanita mendukung pelayananNya dalam hal keuangan (lihat Lukas 8:1-3), sesuatu yang tidak dikatakan untuk pria. Wanita di sumur Samaria menceritakan tentang Kristus kepada para pria di desanya, dan banyak yang jadi percaya kepadaNya (lihat Yohanes 4:28-30, 39). Murid wanita bernama Tabita konon menjadi “Perempuan itu banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah” (Kisah Para Rasul 9:36). Dialah wanita yang mengurapi Yesus untuk penguburan, dan Ia memujinya karena perbuatannya ketika orang-orang tertentu mengeluh (lihat Markus 14:3-9). Akhirnya, Alkitab mencatat bahwa para wanita yang menangisi Yesus ketika Ia memikul salibNya melalui jalan-jalan di Yerusalem, hal yang tidak dikatakan untuk pria. Contoh-contoh tersebut dan contoh-contoh serupa mendorong para wanita untuk bangkit dan memenuhi pelayanan yang dikehendaki Allah. Kita butuh peranan wanita dalam pelayanan!

 


[1]

Harus juga dicatat bahwa setiap manusia sejak Adam diciptakan oleh Allah setelah Allah menciptakan wanita yang melahirkannya. Setiap pria sejak Adam berasal dari seorang wanita, sebagaimana kita diingatkan oleh Paulus dalam 1 Korintus 11:11-12. Tentunya tak seorangpun berpendapat bahwa perintah ilahi ini membuktikan bahwa pria lebih rendah dari ibunya.

[2]

Desakan Paulus ditujukan kepada “saudara-saudara,” sebuah istilah yang ia gunakan 27 kali dalam surat itu, dan jelas mengacu pada seluruh tubuh Kristus di Korintus, tidak hanya pria.

[3]

Harus dicatat, dalam Bahasa Gerika asli, tidak ada kata-kata yang berbeda untuk wanita dan istri, atau pria dan suami. Jadi, kita harus menentukan dari konteks jika penulis sedang berbicara tentang pria dan wanita, atau suami dan istri. Dalam perikop yang sedang dibahas, Paulus berbicara kepada para istri, karena hanya mereka yang dapat bertanya apapun kepada suami-suami mereka di rumah.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Dua-Belas (Chapter Twelve)

Bab Tiga-Belas (Chapter Thirteen)

Perceraian dan Pernikahan Kembali (Divorce and Remarriage)

Masalah perceraian dan pernikahan kembali sering diperdebatkan di kalangan orang-orang Kristen yang tulus hati. Ada dua pertanyaan penting sebagai dasar perdebatan itu, yakni: (1) Bila pernah, kapankan perceraian diizinkan di mata Allah?, dan (2) Bila pernah, kapan pernikahan kembali diizinkan di mata Allah? Sebagian besar denominasi dan gereja-gereja independen memiliki pendirian doktrin resmi tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh, sesuai penafsiran tertentu tentang Alkitab. Kita harus hargai setiap denominasi dan gereja karena masing-masing memiliki ketetapan-ketetapannya dan kita hidup dari semua ketetapan itu —asalkan semuanya termotivasi oleh kasih akan Allah. Tetapi, yang terbaik adalah jika kita memandang semua ketetapan itu 100% berdasarkan Alkitab. Pelayan pemuridan tidak ingin mengajarkan hal yang bukan kehendak Allah. Pelayan itu juga tidak ingin membebani orang-orang yang Allah tak ingin mereka pikul. Mengingat tujuan itu, saya akan lakukan sebaik-baiknya untuk Alkitab terkait dengan topik yang kontroversial dan anda sendiri yang memutuskan apakah setuju atau tidak setuju.

Saya mulai dengan berkata bahwa saya, seperti anda juga, merasa pedih melihat perceraian yang tak terkendali di dunia kini. Bahkan yang lebih menyedihkan, banyak orang yang mengaku Kristen bercerai, termasuk para pelayan. Ini tragedi besar. Kita perlu berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah agar tak terjadi lagi perceraian, dan solusi terbaik bagi perceraian adalah kabarkan Injil dan serukan pertobatan. Ketika pasangan suami-istri dilahirkan kembali dan mengikuti Kristus, mereka tak akan pernah bercerai. Pelayan pemuridan akan berbuat apa saja untuk tetap mempertahankan pernikahan, dan ia tahu bahwa contoh yang ia lakukan menjadi sarana mengajar yang paling berpengaruh.

Juga, saya sudah menikah lebih dari duapuluh-lima tahun dan sebelumnya belum pernah menikah. Saya tak dapat bayangkan tentang perceraian. Sehingga saya tak punya motif untuk melunakkan ayat-ayat Alkitab tentang perceraian untuk kepentingan sendiri. Tetapi, saya bersimpati kepada orang yang diceraikan, dan saya tahu bahwa saya bisa saja membuat keputusan buruk sebagai orang muda, dengan menikahi orang yang mungkin mencobai saya untuk bercerai, atau orang lain yang kurang toleran kepada saya dibandingkan wanita istimewa yang saya nikahi. Dengan kata lain, saya bisa saja bercerai, tetapi saya tak lakukan itu oleh karena kasih karunia Allah. Saya mau sebagian besar pasangan nikah untuk memperhatikan ucapan saya, sehingga kita perlu menahan diri agar tidak menyudutkan orang yang diceraikan. Dengan pernikahan yang kurang terjaga, siapakah kita sehingga mengecam orang-orang yang bercerai, tanpa memikirkan perkara yang mungkin telah mereka upayakan? Allah bisa saja menganggap mereka lebih benar dari kita, ketika Ia tahu bahwa kita bisa saja telah bercerai pada keadaan seperti itu.

Tak seorangpun yang sudah menikah mengharapkan perceraian, dan saya sangsi apakah ada orang yang membenci perceraian lebih dari orang yang telah menderita karena perceraian. Sehingga kita harus bantu orang-orang yang sudah menikah untuk menjaga ikatan pernikahan, dan membantu orang yang bercerai untuk mendapatkan apa yang dapat diberikan oleh kasih karunia Allah. Dengan semangat itu, saya membuat tulisan ini.

Saya akan berbuat semaksimal mungkin agar Alkitab menafsirkan Alkitab. Saya perhatikan ayat-ayat tentang topik perceraian yang sering ditafsirkan sehingga dipertentangkan dengan ayat-ayat lain dalam Alkitab, dan menjadi indikasi pasti bahwa ayat-ayat itu sudah dipahami, paling tidak sebagian.

Fondasi (A Foundation)

Kita mulai dengan kebenaran mendasar agar kita semua bisa sepaham. Yang paling mendasar, Alkitab tegaskan bahwa Allah sangat menentang perceraian. Selama beberapa pria Israel menceraikan istri mereka, Allah menyatakan melalui nabi Maleaki:

Sebab Aku membenci perceraian , ….. juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, ……Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat! (Maleakhi 2:16).

Tak mengejutkan bagi siapapaun yang tahu sesuatu tentang karakter Allah yang penuh kasih dan keadilan, atau siapapun yang tahu sesuatu tentang bagaimana perceraian berakibat buruk kepada suami, istri dan anak-anak. Kita harus tanyakan tentang karakter moral dari siapapun yang mendukung perceraian. Allah adalah kasih (lihat 1 Yohanes 4:8), sehingga Ia benci perceraian.

Beberapa orang Farisi pernah bertanya kepada Yesus tentang keabsahan perceraian “untuk alasan apapun.” JawabanNya menyatakan bahwa pada dasarnya Ia tidak setuju perceraian. Kenyataannya, Allah tak pernah menghendaki perceraian untuk siapapun:

Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Matius 19:3-6).

Menurut sejarah, ada dua kelompok pemikiran di antara para pemimpin agama Yahudi pada zaman Yesus. Kita selidiki dua kelompok pemikiran itu secara rinci, tetapi cukup dikatakan bahwa kelompok satu konservatif dan yang lain liberal. Kelompok konservatif percaya bahwa suami boleh menceraikan istrinya hanya karena alasan-alasan moral yang sangat serius. Kelompok liberal percaya bahwa suami boleh menceraikan istrinya karena alasan apapun, termasuk mendapatkan wanita yang lebih menarik. Pertentangan-pertentangan itu manjadi dasar pertanyaan orang-orang Farisi kepada Yesus.

Yesus menunjuk pada ayat-ayat Alkitab dari bagian-bagian awal kitab Kejadian yang menunjukkan bagaimana rencana awal Allah untuk menyatukan pria dan wanita bersama untuk selamanya, bukan untul sementara. Musa menyatakan bahwa Allah menciptakan dua jenis kelamin, sambil memikirkan pernikahan keduanya; pernikahan adalah ikatan yang signifikan, yang menjadi ikatan yang utama. Ketika pernikahan diteguhkan, kedudukannya menjadi lebih tinggi dibandingkan hubungan seseorang dengan orangtua. Suami meninggalkan orang tuanya untuk menggantungkan diri kepada istrinya.

Lagipula, penyatuan seks antara suami dan istri menunjuk pada penyatuan yang Allah kehendaki. Jelas, Allah tidak menginginkan hubungan pernikahan sementara, yang menghasilkan keturunan. Saya ragu, ada nada kekecewaan yang dalam pada tanggapan Yesus terhadap orang-orang Farisi sampai pertanyaan itu dilontarkan. Allah sudah tentu tidak bermaksud agar suami menceraikan istrinya “karena alasan apapun.”

Allah pasti tidak ingin siapapun berbuat dosa dalam hal apapun, tetapi kita semua telah berdosa. Dengan penuh kasih, Allah mau menyelamatkan kita dari perbudakan dosa. Ia juga ingin mengatakan beberapa hal setelah kita melakukan apa yang tidak Ia inginkan. Dan, Allah tak pernah ingin siapapun untuk bercerai, tetapi perceraian tak dapat dihindarkan di antara manusia yang tidak berserah kepada Allah. Allah tidak terkejut pada perceraian pertama atau jutaan perceraian berikutnya. Sehingga Ia membenci perceraian dan juga Ia ingin mengatakan beberapa hal kepada mereka yang telah bercerai.

Pada Mulanya (In the Beginning)

Dengan peletakan dasar ini, kita dapat selidiki secara khusus pernyataan Allah tentang perceraian dan pernikahan kembali. Karena pernyataan-pernyataan paling kontroversial tentang perceraian dan pernikahan kembali menjadi bahan pembicaraan Yesus kepada orang-orang Israel, maka kita dapat mempelajari lebih dulu perkataan Allah tentang persoalan itu kepada orang-orang Israel ratusan tahun sebelumnya. Jika ditemukan ada pertentangan antara perkataan Allah melalui Musa dan perkataan Allah melalui Yesus, maka kita bisa yakin bahwa Hukum Taurat Allah telah berubah atau kita salah menafsirkan sesuatu dari perkataan Musa atau Yesus. Jadi, kita mulai dengan pengungkapan dari Allah mengenai perceraian dan pernikahan kembali.

Saya telah menyebutkan perikop itu dalam Kejadian 2 yang, menurut Yesus, memiliki relevansi dengan masalah perceraian. Kali ini, kita baca langsung dari kitab Kejadian:

Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. (Kejadian 2:22-24).

Itulah pernikahan pertama. Allah menciptakan wanita pertama dari manusia pertama dan untuk manusia pertama, dan Allah secara pribadi membawa perempuan itu kepada manusia itu. Dalam kata-kata Yesus, “Allah … telah mempersatukan [mereka]” (Matius 19:6, tambahkan penekanan). Pernikahan pertama yang ditentukan oleh Allah menjadi pola bagi pernikahan-pernikahan selanjutnya. Allah menciptakan jumlah wanita sama dengan jumlah pria, dan Ia ciptakan mereka sehingga satu jenis kelamin merasa tertarik kepada jenis kelamin lainnya. Maka dapat dikatakan, Allah masih menata pernikahan dalam skala besar (walau ada lebih banyak calon pasangan untuk seseorang dibandingkan untuk Adam dan Hawa). Karena itu, seperti yang Yesus tunjukkan, tak satupun manusia dapat memisahkan apa yang telah Allah persatukan. Allah tak ingin pasangan nikah hidup terpisah, tetapi mereka akan mendapat berkat dalam kebersamaan hidup dalam saling ketergantungan. Pelanggaran atas kehendak Allah akan menghasilkan dosa. Sehingga dari Kejadian pasal 2, perceraian bukanlah kehendak Allah dalam pernikahan.

Hukum Taurat Allah yang Dituliskan dalam Hati (God’s Law Written in Hearts)

Saya juga berpendapat bahwa orang yang belum pernah membaca Kejadian pasal 2 langsung tahu bahwa perceraian adalah keliru, karena janji pernikahan seumur hidup dilakukan di banyak budaya dari para penyembah berhala di mana mereka tak tahu tentang Alkitab. Sesuai tulisan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma:

Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri . Sebab dengan itu mereka menunjukkan , bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela. (Roma 2:14-15).

Kode etik Allah dituliskan di dalam hati setiap manusia. Ternyata, kode etik yang berbicara melalui kata hati menjadi aturan yang pernah Allah berikan kepada siapapun, kecuali kepada orang-orang Israel, sejak Adam sampai masa Yesus. Siapapun yang sedang berpikir untuk bercerai akan tahu bahwa ia harus memperhatikan kata-hatinya, dan cara untuk dapat mengatasi kata-hatinya adalah mencari pertimbangan yang baik untuk bercerai. Jika orang itu meneruskan proses perceraian tanpa pertimbangan yang baik, maka kata-hatinya akan menuduhnya, walaupun ia dapat menekan perasaan itu.

Sepanjang pengetahuan kita, selama duapuluh-tujuh generasi dari Adam sampai pemberian Hukum Taurat Musa kepada Israel sekitar tahun 1440 SM, hukum hati nurani adalah pewahyuan yang Allah berikan kepada setiap orang, termasuk orang-orang Israel, mengenai perceraian dan pernikahan kembali; Allah menganggapnya sudah cukup. (Ingat, Musa tidak menuliskan kisah penciptaan dalam Kejadian 2 sampai saat keluarnya bangsa Israel dari Mesir). Tentu, kita bisa berpendapat bahwa selama duapuluh-tujuh generasi sebelum Hukum Taurat Musa, termasuk zaman Air Bah Nuh, sebagian dari jutaan pernikahan selama ratusan tahun itu berakhir dengan perceraian. Kita bisa simpulkan bahwa Allah, yang tak pernah berubah, mau mengampuni orang yang menimbulkan rasa bersalah dari perceraian jika dia mengaku dan bertobat dari dosanya. Kita yakin bahwa orang dapat diselamatkan, atau dibenarkan oleh Allah melalui imannya, sebelum pemberian Hukum Taurat Musa, seperti halnya Abraham (lihat Roma 4:1-12). Jika orang-orang dapat dibenarkan melalui iman mereka dari Adam sampai Musa, itu berarti mereka dapat diampuni dari suatu hal, termasuk dosa yang timbul dari perceraian. Maka, saat kita mencari solusi untuk perceraian dan pernikahan kembali, saya ragu: Apakah orang-orang, yang menimbulkan dosa perceraian sebelum Hukum Taurat Musa dan yang menerima pengampunan dari Allah, dipersalahkan oleh kata-hatinya (karena tidak ada hukum tertulis) sehingga mereka menimbulkan rasa bersalah jika mereka menikah lagi? Saya hanya menuliskan pertanyaan ini.

Bagaimana dengan korban-korban perceraian yang tidak berbuat dosa, orang yang diceraikan tanpa kesalahannya, tetapi hanya karena pasangan hidup yang egois? Apakah kata-hati mereka mencegahnya untuk tak menikah lagi? Tampaknya tak mungkin. Jika suami meninggalkan istrinya untuk wanita lain, apa yang membuat istrinya berkesimpulan bahwa ia tak berhak menikah lagi? Wanita itu telah diceraikan tanpa berbuat salah.

Hukum Taurat Musa (The Law of Moses)

Belum sampai pada kitab ketiga dari Alkitab, kita dapati penyebutan secara spesifik tentang perceraian dan pernikahan kembali. Isi Hukum Taurat Musa adalah larangan terhadap imam-imam yang menikahi wanita-wanita yang diceraikan:

Janganlah mereka mengambil seorang perempuan sundal atau perempuan yang sudah dirusak kesuciannya atau seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, karena imam itu kudus bagi Allah nya. (Imamat 21:7).

Di dalam Hukum Taurat Musa, tak ada larangan tersebut bagi kaum pria Israel. Dan, ayat di atas bermakna bahwa (1) sudah ada wanita-wanita Israel yang diceraikan, dan (2) tiada yang keliru dengan pria-pria Israel bukan imam yang menikah sebelumnnya. Hukum yang dikutip di atas hanya berlaku bagi imam dan wanita yang diceraikan yang mungkin menikahi imam. Dalam Hukum Taurat Musa, tiada yang keliru dengan pernikahan ulang dari wanita yang diceraikan, selama wanita itu tak menikahi imam. Selain imam, tak ada yang keliru bila pria manapun menikahi wanita yang diceraikan.

Imam kepala (mungkin sebagai tipe terbaik Kristus) harus hidup menurut standar yang lebih tinggi dibandingkan imam biasa. Ia bahkan tak boleh menikahi seorang janda. Kita baca beberapa ayat nanti dalam Imamat:

Seorang janda atau perempuan yang telah diceraikan atau yang dirusak kesuciannya atau perempuan sundal, janganlah diambil, melainkan harus seorang perawan dari antara orang-orang sebangsanya. (Imamat 21:14).

Apakah ayat itu membuktikan bahwa adalah dosa bila: (i) setiap dan semua janda Israel untuk menikah lagi, atau (ii) setiap dan semua pria Israel untuk menikahi janda? Tidak. Nyatanya, ayat itu bermakna bahwa janda manapun tidak berdosa bila menikahi pria manapun selama pria itu bukan imam kepala, dan ayat itu bermakna bahwa pria manapun, selain imam kepala, boleh menikahi janda. Ayat-ayat lain dalam Alkitab menegaskan legitimasi penuh dari janda yang menikah kembali (lihat Roma 7:2-3; 1 Tim.5:14).

Ayat di atas juga, juga dengan ayat sebelumnya (Imamat 21:7), bermakna bahwa bila pria Israel (selain imam atau imam kepala) boleh menikahi wanita yang diceraikan atau bahkan wanita yang tidak lagi perawan, “yang tercemar karena pelacuran.” Ayat ini juga bermakna bahwa, sesuai Hukum Taurat Musa, tak ada yang keliru bagi wanita yang diceraikan untuk menikah lagi atau bagi wanita “yang tercemar karena pelacuran” untuk menikah, selama ia tidak menikahi seorang imam. Allah dengan kasih karunianya memberi kesempatan kepada orang yang cabul dan orang yang bercerai, meskipun Ia sangat menentang percabulan dan perceraian.

Larangan Kedua terhadap Pernikahan Kembali (A Second Specific Prohibition Against Remarriage)

Berapa “kesempatan kedua” yang Allah berikan kepada wanita yang diceraikan? Dapatkah disimpulkan bahwa Allah memberikan kepada wanita yang diceraikan hanya satu kesempatan lagi menurut Hukum Taurat Musa, yang memungkinkan hanya satu pernikahan kembali? Ini kesimpulan keliru. Bacalah dalam Hukum Taurat Musa,

Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu. (Ulangan 24:1-4).

Perlu dicatat, dalam ayat-ayat di atas, larangan dikenakan kepada wanita yang dua kali menikah (atau wanita yang pernah diceraikan dan pernah menjanda) yang menikahi kembali suami pertamanya. Tiada yang dapat dikatakan tentang rasa bersalahnya yang muncul karena menikah kedua kali, dan ketika ia diceraikan kali kedua (atau menjadi janda dari suami kedua), ia hanya dilarang kembali kepada suami pertama. Implikasi yang jelas adalah si wanita tadi bebas menikah lagi dengan pria manapun (yang mau mengambil kesempatan kepada wanita itu). Andaikata dia berdosa karena menikah kembali dengan pria lain, maka Allah tak mungkin perlu memberi instruksi khusus seperti itu. Yang dapat dikatakan adalah, “Orang yang diceraikan dilarang menikah kembali.”

Lagipula, jika Allah izinkan wanita itu menikah kedua kali, maka pria yang menikah dengannya, setelah perceraian pertama si wanita, tidak menimbulkan rasa bersalah. Dan jika si wanita diizinkan menikah ketiga kali, maka pria manapun, yang menikahinya setelah si wanita bercerai dua kali, tidak berdosa (jika ia tidak menjadi suaminya yang pertama). Jadi, Allah yang membenci perceraian mengasihi orang yang diceraikan, dan Ia dengan penuh kasih memberikan mereka kesempatan lain.

Ikhtisar (A Summary)

Kita buat kesimpulan dari hal-hal yang telah didapatkan: Meskipun Allah mengatakan kebencianNya atas perceraian, Ia tak memberikan indikasi sebelum atau selama perjanjian lama bahwa pernikahan kembali adalah dosa, dengan dua pengecualian: (1) wanita, yang dua kali diceraikan atau yang sekali diceraikan dan sekali menjanda, yang menikahi kembali suami pertama, dan (2) perkara wanita yang diceraikan yang menikahi seorang imam. Lagipula, Allah tidak memberi indikasi bahwa menikahi seorang yang diceraikan adalah dosa bagi siapapun, kecuali bila dilakukan oleh imam.

Hal itu bertentangan dengan ucapan Yesus tentang orang yang diceraikan yang menikah kembali dan orang yang menikahi orang yang diceraikan. Yesus berkata bahwa orang-orang itu berzinah (lihat Matius 5:32). Jadi, kita salah-paham kepada Yesus atau Musa, atau Allah mengubah Hukum TauratNya. Saya curiga, kita bisa salah tafsir dengan ajaran Yesus, karena tampak aneh bila Allah tiba-tiba menyatakan sesuatu sebagai berdosa menurut moral yang diberlakukan selama seribu limaratus tahun dalam Hukum Taurat yang Dia berikan kepada Israel.

Sebelum kita atasi kontradiksi itu dengan jelas, saya ingin tekankan bahwa persetujuan dari Allah untuk menikah kembali menurut perjanjian lama tidak memberikan ketentuan yang berdasarkan alasan perceraian seseorang atau kadar rasa bersalah yang ditimbulkan oleh seseorang dalam perceraian. Allah tak pernah berkata bahwa orang yang diceraikan tidak memenuhi syarat untuk menikah kembali karena perceraiannya bukan karena alasan sah. Allah tidak berkata bahwa sebagian orang boleh menikah kembali oleh karena keabsahan perceraian itu. Namun penilaian sering dibuat oleh pelayan kini berdasarkan kesaksian sepihak. Misalnya, istri yang diceraikan mencoba meyakinkan pendetanya bahwa ia diizinkan menikah kembali karena ia menjadi korban perceraian. Mantan suaminya menceraikannya —ia tidak menceraikan suaminya. Tetapi, jika pendeta diberi kesempatan mendengarkan cerita dari bekas suaminya, ia bisa saja bersimpati kepada mantan suaminya. Mungkin istrinya galak dan layak disalahkan.

Saya mengenal seorang suami dan istri yang melakukan provokasi untuk bercerai agar masing-masing dapat menghindari rasa bersalah karena ikut bercerai. Keduanya ingin mengatakan setelah perceraian bahwa pasangannyalah, bukan mereka berdua, yang mau bercerai, sehingga tindakan itu memberi pengesahan bagi masing-masing untuk menikah kedua kali. Kita bisa saja membodohi orang lain, tetapi kita tak dapat membodohi Allah. Misalnya, apa penghargaanNya bagi wanita yang, dalam ketidaktaatan pada Firman Tuhan, terus menolak hubungan seks dengan suaminya, lalu menceraikannya karena ia tak setia kepada istrinya? Apakah istri tak sedikitpun bertanggung-jawab atas perceraian?

Kasus wanita yang dua kali diceraikan dalam Ulangan 24 tidak menyatakan tentang legitimasi kedua perceraiannya. Suami pertamanya mendapati ”ketidaksenonohan” pada wanita itu. Jika ”ketidaksenonohan” itu adalah perzinahan, maka wanita itu layak dihukum mati menurut Hukum Taurat Musa, yang menganjurkan bahwa pezinah harus dilempari batu (lihat Imamat 20:10). Jadi, jika perzinahan menjadi alasan bercerai, mungkin suami pertamanya tidak punya alasan tepat untuk menceraikannya. Di lain pihak, mungkin si wanita telah berzinah, dan si suami, bagaikan orang benar seperti Yusuf suami Maria, “bermaksud menceraikannya dengan diam-diam” (Matius 1:19). Mungkin ada banyak skenario.

Suami keduanya konon telah “berbalik melawannya.” Sekali lagi, kita tidak tahu siapa yang patut disalahkan atau apakah mereka menanggung kesalahan bersama-sama. Tetapi hal itu takkan memberi perbedaan apapun. Kasih karunia Allah diberikan kepada istri untuk menikah kembali dengan siapapun yang mengambil kesempatan kepada wanita yang dua kali bercerai, kecuali suami pertamanya.

Keberatan (An Objection)

Sering muncul keluhan “Tetapi jika orang tahu bahwa ia boleh menikah kembali setelah bercerai dengan suatu alasan, yang akan mendorongnya untuk bercerai karena alasan yang tidak sah.” Saya berpendapat mungkin saja hal itu berlaku pada kasus orang yang taat yang tidak berusaha untuk menyenangkan Allah, tetapi agaknya tak ada gunanya mencegah orang yang tidak berserah kepadaNya agar tak berbuat dosa. Namun, setiap orang yang mau berserah kepada Allah di dalam hatinya tak akan berniat untuk berbuat dosa. Orang itu mencoba menyenangkan Allah, dan orang seperti itu biasanya punya ikatan pernikahan kuat. Lagipula, pada masa perjanjian lama sepertinya Allah tak peduli kepada orang-orang yang bercerai karena alasan yang tidak sah yang disebabkan oleh aturan terbuka bagi pernikahan kembali, sebab Allah memberi aturan terbuka itu kepada orang-orang Israel.

Apakah kita tak perlu berkata kepada orang yang dosanya Allah mau ampuni, agar ia tak terdorong untuk berbuat dosa karena ia tahu ada pengampunan? Jika demikian, kita akan berhenti memberitakan Injil. Lagi-lagi, hal tersebut berpangkal pada kondisi hati setiap orang. Orang yang mengasihi Allah mau menaatiNya. Saya tahu, pengampunan Allah ada bagi saya jika saya memintanya, tak peduli dosa apa yang saya buat. Tetapi hal itu sama sekali tidak memotivasi saya untuk berbuat dosa, karena saya mengasihi Allah dan telah dilahirkan kembali. Saya telah diubahkan oleh kasih karuniaNya. Dan, saya mau menyenangkanNya.

Bagai Allah, tak perlu lagi menambah konsekwensi negatif kepada banyak konsekwensi negatif dalam perceraian yang tak terhindarkan demi memotivasi setiap pasangan nikah untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Upaya yang sedikit memberi motivasi agar tetap dalam ikatan pernikahan adalah mengatakan kepada orang yang pernikahannya bermasalah agar ia lebih baik tak bercerai karena ia tak boleh menikah lagi. Walau orang itu mempercayai anda, hidup sendirian sepertinya menjanjikan kebahagiaan kepada orang itu, dibandingkan hidup dalam pernikahan yang terus dirundung malang.

Paulus tentang Pernikahan Kembali (Paul on Remmariage)

Sebelum kita bahas tentang kesesuaian perkataan Yesus dengan Musa dalam hal pernikahan kembali, kita perlu tahu ada seorang dalam Alkitab yang sependapat dengan Musa; ia adalah rasul Paulus. Paulus menuliskan bahwa pernikahan kembali untuk orang-orang yang bercerai adalah dosa, dan ia sepakat dengan perkataan Perjanjian Lama:

Sekarang tentang para gadis. Untuk mereka aku tidak mendapat perintah dari Tuhan. Tetapi aku memberikan pendapatku sebagai seorang yang dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari Allah. Aku berpendapat, bahwa, mengingat waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya. Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mengusahakan perceraian! Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang! Tetapi, kalau engkau kawin, engkau tidak berdosa. Dan kalau seorang gadis kawin, ia tidak berbuat dosa. Tetapi orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau menghindarkan kamu dari kesusahan itu. (1 Korintus 7:25-28, tambahkan penekanan).

Dalam perikop itu, nyata-nyata Paulus menunjuk kepada orang yang diceraikan. Ia menyarankan kepada orang yang kawin, orang yang tak pernah kawin, dan orang yang bercerai agar tetap dalam keadaannya seperti itu oleh karena penganiayaan yang diderita oleh orang-orang Kristen saat itu. Tetapi, Paulus jelas meminta agar orang yang diceraikan dan anak gadis tidak melakukan dosa jika mereka menikah.

Perlu dicatat bahwa Paulus tidak membatasi keabsahan pernikahan kembali dari orang yang bercerai. Ia tidak mengatakan pernikahan kembali hanya diizinkan jika orang-orang yang bercerai tidak mau disalahkan pada perceraiannya terdahulu. (Dan siapakah yang memenuhi syarat untuk menghakimi hal seperti itu, selain Allah?). Ia tidak mengatakan pernikahan kembali hanya boleh bagi mereka yang telah bercerai sebelum ia diselamatkan. Ia hanya berkata bahwa pernikahan kembali bukanlah dosa bagi orang yang diceraikan.

Apakah Paulus Bersikap Lunak terhadap Perceraian? (Was Paul Soft on Divorce?)

Karena Paulus mendukung kebijakan yang penuh kasih-karunia terhadap pernikahan kembali, apakah itu berarti ia juga bersikap lunak terhadap perceraian? Tidak, secara umum Paulus jelas menentang tindakan perceraian. Pada awal pasal yang sama dari surat pertamanya kepada jemaat di Korintus, ia menerapkan aturan perceraian yang sesuai dengan sikap benci Allah terhadap perceraian:

Kepada orang-orang yang telah kawin aku–tidak, bukan aku, tetapi Tuhan–perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya. Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera. Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu? Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat. (1 Korintus 7:10-17).

Perlu dicatat, mula-mula Paulus berbicara kepada orang percaya yang menikah dengan orang percaya. Sudah tentu, mereka tidak boleh bercerai, dan Paulus menyatakan bahwa itulah perintah Tuhan, bukan perintahnya. Dan tentunya, hal itu selaras dengan segala sesuatu yang kita bahas dalam Alkitab sejauh ini.

Di sinilah hal itu jadi menarik. Paulus bersikap cukup realistis untuk menyadari bahwa kadang-kadang orang-orang percaya bisa bercerai. Jika hal itu terjadi, Paulus menyatakan bahwa orang yang menceraikan pasangannya harus tetap tidak menikah atau rujuk kembali dengan pasangannya. (Walaupun Paulus memberi perintah khusus itu kepada istri, saya anggap bahwa aturan yang sama berlaku juga bagi suami).

Tulisan Paulus tidak mengejutkan kita. Awalnya, Ia menegaskan peraturan Allah mengenai perceraian, tetapi ia cukup tahu bahwa peraturan Allah tidak selalu ditaati. Jadi ketika dosa perceraian terjadi antara dua orang percaya, ia memberi instruksi lanjutan. Orang yang menceraikan pasangannya harus tetap tidak menikah atau didamaikan dengan pasangannya. Hal itu adalah tindakan terbaik bagai perceraian antara orang-orang percaya. Selama mereka berdua tetap tidak menikah lagi, ada harapan untuk rujuk kembali, dan itulah jalan terbaik. Tentu saja, jika salah seorang menikah lagi, maka berakhirlah harapan dan kemungkinan rujuk kembali. (Dan jelas, jika mereka telah melakukan hal yang tak dapat diampuni melalui perceraian, ada alasan yang diberikan Paulus kepada mereka untuk tetap tidak menikah lagi atau didamaikan kembali).

Apakah anda berpendapat bahwa Paulus tahu bahwa petunjuknya yang kedua kepada orang percaya yang bercerai mungkin tidak selalu ditaati? Saya sependapat. Mungkin ia tidak memberi petunjuk lanjutan kepada orang percaya yang bercerai karena ia berharap agar orang percaya sejati mengikuti petunjuknya untuk tak bercerai, sehingga petunjuknya yang kedua diperlukan hanya untuk kasus yang jarang terjadi. Tentu saja, pengikut sejati Kristus, jika dapat masalah pernikahan, akan berbuat apa saja untuk menjaga pernikahan. Dan tentunya seorang percaya yang, setelah coba mempertahankan pernikahan, merasa tak punya pilihan kecuali bercerai, tentunya orang percaya itu, dari perasaan malu dan keinginannya untuk menghormati Kristus, tidak berpikir untuk menikah kembali dengan siapapun, dan masih berharap rujuk kembali. Bagiku, masalah sebenarnya dalam gereja masa kini dalam hal perceraian adalah banyak orang percaya yang sedang tersesat, orang-orang yang tak sungguh percaya kepada Tuhan Yesus dan berserah kepadaNya.

Dari tulisan Paulus dalam 1 Korintus 7, jelaslah Allah sangat berharap bagi orang-orang percaya, di mana Roh Kudus berdiam di dalam diri mereka, dibandingkan yang Dia lakukan bagi orang-orang yang tidak percaya. Seperti kita baca, Paulus menuliskan bahwa orang percaya tak boleh menceraikan pasangannya yang tak percaya selama pasangannya itu bersedia tinggal bersama. Sekali lagi, petunjuk itu tidak mengejutkan, karena sesuai sekali dengan semua yang terdapat dalam Alkitab, terkait dengan pokok masalahnya. Allah menentang perceraian. Tetapi, Paulus berkata lagi bahwa jika orang yang tidak percaya ingin bercerai, maka Paulus membolehkannya. Paulus tahu bahwa orang yang tidak percaya tidak berserah kepada Allah, dan ia tidak mengharapkan orang yang tidak percaya untuk bertindak seperti orang percaya. Dapat saya tambahkan, ketika orang yang tidak percaya setuju untuk hidup bersama dengan orang percaya, maka ada indikasi baik bahwa orang yang tidak percaya berpeluang membuka diri terhadap Injil, atau orang percaya itu berbalik menjadi tidak percaya atau orang Kristen palsu.

Kini, siapa yang akan berkata bahwa orang percaya yang telah diceraikan oleh seorang tak percaya tidak bebas untuk menikah kembali? Paulus tidak mengatakan hal tersebut, seperti yang ia lakukan dalam kasus dua orang percaya yang diceraikan. Kita heran mengapa Allah menentang pernikahan kembali orang percaya yang telah diceraikan oleh seorang yang tidak percaya. Apa tujuannya? Namun tampaknya pemberian izin itu bertentangan dengan ucapan Yesus tentang pernikahan kembali: “Siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (Matius 5:32). Hal tersebut membuat saya curiga bahwa kita salah menafsirkan penyampaian dari Yesus.

Masalah (The Problem)

Yesus, Musa dan Paulus sependapat bahwa perceraian adalah indikasi dosa dari satu pihak atau dua pihak yang bercerai. Pada umumnya, ketiganya konsisten menentang perceraian. Tetapi, masalahnya: Bagaimana kita mencocokkan apa yang dikatakan oleh Musa dan Paulus tentang pernikahan kembali dengan perkataan Yesus tentang pernikahan kembali? Kita tentu berharap ketiganya memiliki pendapat yang selaras karena semuanya diilhami oleh Allah untuk menyatakan perkataan mereka.

Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Matius 19:3-9).

Selama percakapan dengan Yesus, orang-orang Farisi menyebutkan bagian dari Hukum Taurat yang disebut sebelumnya, Ulangan 24:1-4. Tertulis, “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya…” (Ulangan 24:1, tambahkan penekanan).

Pada masa Yesus, sudah ada dua kelompok pemikiran mengenai hal yang merupakan “ketidaksenonohan.” Sekitar duapuluh tahun sebelumnya, seorang rabbi bernama Hillel mengajarkan bahwa ketidaksenonohan adalah perbedaan yang bertentangan. Sebelum Yesus berdebat dengan orang-orang Farisi, penafsiran “Hillel” bahkan menjadi lebih liberal, yang membolehkan perceraian karena “alasan apa saja”, sebagaimana tampak pada pertanyaan orang-orang Farisi kepada Yesus. Suami dapat saja menceraikan istrinya jika ia membuat masakan hangus, memberi terlalu banyak garam pada makanan, berjalan-jalan di muka umum sehingga lututnya terbuka, memotong rambutnya, berbicara kepada pria lain, berkata sesuatu yang tak baik tentang ibu mertuanya, atau bila ia mandul. Seorang suami dapat menceraikan istrinya jika ia melihat seseorang yang lebih menarik, sehingga menjadikan istrinya “tidak menarik.”

Rabbi lain yang terkenal, Shammai, yang hidup sebelum Hillel, mengajarkan bahwa “ketidaksenonohan” adalah sesuatu yang sangat tak bermoral, seperti perzinahan. Agak diragukan, di antara orang-orang Farisi di zaman Yesus, penafsiran liberal Hillel jauh lebih dikenal dibandingkan penafsiran Shammai. Orang-orang Farisi hidup dan mengajarkan bahwa perceraian adalah sah dalam hal apapun, sehingga perceraian tak terelakkan. Dalam cara menurut tradisi Farisi, orang-orang Farisi mengutamakan pentingnya pemberian surat cerai ketika menceraikan istrinya, agar “tidak melanggar Hukum Taurat Musa.”

Jangan Lupa bahwa Yesus Berbicara kepada Orang-orang Farisi (Don’t Forget that Jesus’ was Speaking to Pharisees)

Dengan mengingat latar-belakang itu, kita makin mengerti keadaan yang Yesus hadapi. Di depanNya berdiri para guru agama munafik yang, kebanyakan atau mungkin semua, telah bercerai sekali atau lebih, dan mungkin karena mereka telah temukan pasangan yang lebih menarik. (Menurut saya, bukan kebetulan bahwa perkataan Yesus tentang perceraian dalam Khotbah di Bukit secara langung mengikuti semua peringatanNya mengenai hawa-nafsu, yang juga menyebutnya sebagai bentuk perzinahan). Namun mereka membenarkan diri mereka sendiri, dengan mengklaim telah menaati Hukum Taurat Musa.

Pertanyaan mereka sendiri mengungkapkan kecenderungan mereka. Mereka percaya bahwa orang bisa saja menceraikan istrinya karena alasan apapun. Yesus mengungkapkan kekeliruan pemahaman mereka akan maksud Allah dalam pernikahan dengan merujuk pada kata-kata Musa tentang pernikahan pada Kejadian pasal 2. Allah tak pernah ingin terjadi perceraian apapun, “dengan alasan apapun”, namun para pemimpin Israel menceraikan istri-istri mereka persis seperti remaja mengakhiri “kebiasaan” mereka!

Saya curiga orang-orang Farisi sudah tahu pendirian Yesus tentang perceraian, ketika Ia menyatakan di depan banyak orang sebelumnya, sehingga mereka sudah siap membuat penyangkalan: “… apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” (Matius 19:7).

Pertanyaan itu kembali mengungkapkan kecurigaan mereka. Pertanyaan itu dibuat sehingga berbunyi seolah-olah Musa memerintakan suami untuk menceraikan istri ketika ia menemukan “ketidaksenonohan,” dan memerlukan surat cerai, tetapi seperti dalam Ulangan 24:1-4, itu bukanlah perkataan Musa. Ia hanya memberi aturan untuk pernikahan ketiga oleh seorang wanita, dengan melarangnya untuk menikahi lagi suami pertamanya.

Karena Musa menyebut perceraian, pasti perceraian dibolehkan dengan satu alasan. Tetapi, perhatikan bagaimana kata yang Yesus pakai dalam jawabanNya, membolehkan, berbeda dengan pilihan kata dari orang-orang Farisi: memerintahkan. Musa membolehkan, tetapi tak pernah memerintahkan, perceraian. Musa membolehkan perceraian karena kekerasan hati bangsa Israel. Yakni, Allah membolehkan perceraian sebagai persetujuan dengan kasih karunia kepada keadaan berdosa manusia. Ia tahu seseorang tak akan setia kepada pasangannya. Ia tahu akan terjadi kejatuhan moral. Ia tahu hati orang yang disakiti. Sehingga Ia membolehkan perceraian. Bukan itu yang saya maksudkan dari awal, tetapi dosa membuat perceraian perlu dilakukan.

Berikutnya, Yesus menerapkan aturan Allah kepada orang-orang Farisi, dengan mendefiniskan kata “ketidaksenonohan” dari Musa: “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” ” (Matius 19:9, tambahkan penekanan). Di mata Allah, zinah adalah satu-satunya alasan sah bagi suami untuk menceraikan istrinya, dan saya pahami itu. Apa yang bisa dilakukan oleh pria atau wanita yang bisa saja menjadi tindakan yang tak menyenangkan pasangannya? Ketika berzinah atau berselingkuh, si pria/wanita mengirimkan pesan yang jahat. Yesus tentu tak menyebut perzinahan ketika memakai kata “amoralitas.” Tentunya mencium dan mencumbu pasangan dengan bernafsu merupakan penyimpangan amoral, seperti halnya melihat-lihat gambar porno, dan penyimpangan seks lainnya. Ingatlah, Yesus menyamakan nafsu dengan perzinahan selama KhotbahNya di Bukit.

Jangan lupa, kepada siapa Yesus berbicara, yakni kepada orang-orang Farisi yang menceraikan istri-istri mereka dengan alasan apapun dan dengan cepat menikah kembali, tetapi mereka tidak melakukan zinah, seperti yang dilarang Allah, demi berjaga agar mereka tidak melanggar perintah ketujuh. Yesus berkata bahwa mereka hanya membodohi diri. Perilaku mereka tak berbeda dengan perzinahan. Orang jujur paham bahwa seseorang, yang menceraikan istrinya agar dapat menikahi wanita lain, tengah berbuat zinah, tetapi bersembunyi di balik legalitas.

Solusi (The Solution)

Inilah kunci untuk menyelaraskan Yesus dengan Musa dan Paulus. Yesus memaparkan kemunafikan orang-orang Farisi. Ia tidak menetapkan peraturan yang melarang pernikahan kembali. Jika Ia menetapakan peraturan, maka Ia menentang pendapat Musa dan Paulus dan membingungkan jutaan orang yang bercerai dan jutaan orang yang menikah ulang. Jika, Yesus menetapkan aturan nikah kembali, maka apa yang harus dikatakan kepada orang yang telah diceraikan dan menikah kembali sebelum ia mendengar tentang peraturan Yesus? Apakah kita harus berkata bahwa ia sedang hidup dalam zinah dan menganjurkan dia untuk bercerai lagi, karena Alkitab ingatkan bahwa tak ada pezinah akan mewarisi Kerajaan Allah (lihat 1 Korintus 6:9-10)? Tetapi tidakkah Allah membenci perceraian?

Apakah kita harus berkata kepadanya untuk berhenti berhubungan seks dengan pasangannya sampai mantan pasangannya meninggal untuk menghindari perzinahan? Tetapi tidakkah Paulus melarang pasangan yang sudah menikah untuk saling menolak hubungan seks? Tidakkah saran itu menimbulkan godaan seks dan bahkan memicu keinginan bekas pasangan untuk mati?

Apakah kita harus berkata kepada orang itu untuk menceraikan pasangannya kini dan menikahi pasangan aslinya (seperti anjuran sebagian orang), sesuatu yang dilarang dalam Hukum Taurat Musa dalam Ulangan 24:1-4?

Bagaimana dengan orang yang diceraikan yang tidak kawin lagi? Jika ia hanya boleh menikah kembali jika bekas pasangannya melakukan amoralitas, yang akan bertanggung jawab untuk menentukan apakah amoralitas memang dilakukan? Untuk menikah kembali, apakah seseorang perlu membuktikan bahwa bekas pasangannya bersalah hanya karena hawa-nafsu, sedangkan orang lain perlu membawa saksi bagi perselingkuhan yang dilakukan oleh bekas pasangan tadi?

Seperti pertanyaan saya sebelumnya, bagaimana halnya dengan bekas pasangan yang berzinah karena dinikahi oleh seseorang yang tak mau berhubungan seks? Adilkah bila orang yang tak mau berhubungan seks dibolehkan menikah kembali selagi orang yang berzinah tidak diizinkan untuk kawin lagi?

Bagaimana dengan orang yang telah bersetubuh sebelum nikah? Bukankah perbuatan itu wujud ketidaksetiaaan kepada calon pasangan nanti? Tidakkah dosa orang itu sama dengan perzinahan, andaikan ia atau pasangan seksnya sudah menikah ketika berbuat dosa? Lalu, mengapa orang itu dibolehkan menikah?

Bagaimana dengan dua orang yang hidup bersama, tanpa ikatan pernikahan, yang kemudian “berpisah.” Mengapa mereka boleh menikahi orang lain setelah berpisah, hanya karena mereka tidak menikah resmi? Bagaimana mereka berbeda dengan orang-orang yang bercerai dan menikah kembali?

Bagaimana dengan fakta bahwa “yang lama sudah berlalu” dan “yang baru sudah datang” ketika seseorang menjadi pengikut Kristus (lihat 2 Korintus 5:17)? Apakah itu berarti setiap dosa yang dilakukan kecuali dosa perceraian yang tidak sah?

Semua itu dan lebih banyak pertanyaan

[1]

dapat dilontarkan, yang menjadi alasan kuat untuk berpendapat bahwa Yesus tak menetapkan aturan baru tentang pernikahan kembali. Tentu saja Yesus tahu konsekwensi dari aturan baruNya tentang pernikahan kembali jika sudah demikian adanya seperti sebelumnya. Cukup kita tahu bahwa Yesus hendak mengungkap kemunafikan orang-orang Farisi —orang-orang yang bernafsu, beragama dan munafik yang menceraikan istri dengan “alasan apapun” dan yang menikah kembali.

Tentu saja alasan, yang Yesus katakan bahwa mereka “berzinah” bukannya berkata bahwa yang perilaku mereka adalah keliru, adalah karena Ia ingin mereka sadari bahwa perceraian dengan alasan apapun dan pernikahan kembali tak berbeda dengan perzinahan, hal yang tak pernah mereka lakukan. Apakah kita akan simpulkan bahwa kepedulian Yesus adalah aspek seksual dari pernikahan kembali; dan apakah kita akan simpulkan bahwa Ia menyetujui pernikahan kembali selama ada penolakan hubungan seks? Jelas tidak. Jadi, kita tak perlu memintaNya untuk mengatakan hal yang tidak Ia kehendaki.

Perbandingan yang Bijaksana (A Thoughtful Comparison)

Bayangkan ada dua pria. Pria pertama sudah menikah, taat beribadah, yang menyatakan mengasihi Allah dengan seluruh hatinya, dan yang mulai tergila-gila kepada gadis muda tetangga. Ia segera menceraikan istrinya, lalu menikahi gadis itu.

Pria kedua tidak beribadah. Ia tak pernah mendengar Injil dan hidup dengan gaya hidup penuh dosa, yang akhirnya membuat dia harus menikah. Beberapa tahun kemudian, sebagai bujangan, ia mendengar Injil, bertobat, dan mulai mengikuti Yesus dengan sepenuh hatinya. Tiga tahun kemudian ia mencintai seorang wanita Kristen yang sangat berkomitmen yang ia temui di gereja. Mereka berdua setia mencari Tuhan dan melakukan konseling bersama, lalu menikah. Mereka menikah, dan melayani Tuhan dan saling melayani dengan setia sampai mati.

Kini, kita asumsikan kedua pria itu berbuat dosa dengan melakukan pernikahan ulang. Siapakah yang memiliki dosa yang lebih besar? Jelas, si pria pertama. Ia bagaikan pezinah.

Tetapi bagaimana si pria kedua? Apakah benar-benar ia telah berbuat dosa? Apakah ia tak berbeda dengan pezinah, seperti dikatakan kepada orang pertama? Saya tidak yakin. Haruskah kita berkata padanya perkataan Yesus tentang orang yang bercerai dan menikah kembali, dengan memberitahukan bahwa ia kini hidup dengan wanita yang bukan jodoh dari Allah, karena Allah menganggapnya masih menikah dengan istri pertamanya? Haruskah kita berkata padanya bahwa ia hidup dalam perzinahan?

Jawabannya jelas. Perzinahan dilakukan oleh orang yang telah menikah yang memandangi orang selain pasangannya. Jadi, menceraikan pasangan karena bertemu dengan orang yang lebih menarik sama dengan perzinahan. Tetapi orang yang belum kawin tak dapat berzinah karena ia tidak punya pasangan yang tidak setia, dan orang yang diceraikan tidak dapat berzinah karena ia tidak punya pasangan yang bisa ia khianati. Ketika kita pahami konteks Alkitab dan sejarah perkataan Yesus, kita tidak mendapat kesimpulan yang tak masuk akal dan yang bertentangan dengan Alkitab.

Sementara itu, ketika murid-murid mendengar jawaban Yesus terhadap pertanyaan orang-orang Farisi, mereka menanggapi, “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin” (Matius 19:10). Ketahuilah, mereka telah bertumbuh dengan pengajaran dan pengaruh orang-orang Farisi, dan dalam budaya yang banyak dipengaruhi oleh orang-orang Farisi. Mereka tak pernah pikir bahwa pernikahan harus begitu lama. Nyatanya, beberapa menit sebelumnya, mereka juga mungkin percaya bahwa seseorang boleh menceraikan istrinya dengan alasan apapun. Sehingga mereka cepat menyimpulkan bahwa sebaiknya menghindari pernikahan bersama-sama, sehingga tidak beresiko untuk melakukan perceraian dan perzinahan.

Yesus menjawab,

Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti. (Matius 19:11-12).

Yakni, dorongan seks seseorang dan/atau kemampuan seseorang untuk mengendalikan dorongan itu lebih merupakan faktor penentu. Bahkan Paulus berkata, “Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu.” (1 Korintus 7:9). Orang yang lahir tidak menikah atau yang dijadikan tak bisa menikah oleh pria (seperti dilakukan oleh pria yang membutuhkan pria lain yang dipercayakan untuk menjaga haremnya) tak punya dorongan seks. Orang yang menjadikan “dirinya sendiri tak bisa menikah demi kerajaan sorga” tampak menjadi orang yang diberi karunia khusus oleh Allah dengan pengendalian diri ekstra, yang menjadi alasan “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja” (Matius 19:11).

Khotbah di Bukit (The Sermon on the Mount)

Kita harus ingat bahwa selama KhotbahNya di Bukit, Yesus berbicara kepada banyak orang yang juga orang-orang yang hidupnya dipengaruhI oleh orang-orang Farisi, para penguasa dan guru bermuka dua di Israel. Saat kita pelajari dalam pelajaran awal kita tentang Khotbah di Bukit, jelaslah bahwa banyak perkataan Yesus tidak lebih sebagai koreksi dari ajaran sesat dari orang-orang Farisi. Yesus bahkan berkata kepada orang banyak bahwa mereka tidak akan masuk ke Kerajaan Sorga jika hidup keagamaan mereka tidak lebih benar dari hidup keagamaan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (lihat Matius 5:20); ungkapan ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi akan masuk neraka. Di akhir khotbahNya, orang banyak terkejut sebagian karena Yesus mengajar “tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka” (Matius 7:29).

Pada awal khotbahNya, Yesus mengungkapan kemunafikan mereka yang mengaku tak pernah berzinah, tetapi yang berhawa-nafsu atau yang bercerai dan menikah kembali. Ia memperluas arti perzinahan selain tindakan dosa secara fisik antara dua orang yang sudah menikah. PerkataanNya jelas bagi tiap orang jujur yang baru saja memikirkan hal itu. Ingat, sampai saat Yesus berkhotbah, sebagian besar orang dalam rombongan berpikir bahwa bercerai dengan “alasan apapun” dibolehkan. Yesus inginkan para pengikutNya dan siapapun tahu bahwa maksud Allah dari mulanya adalah standar yang jauh lebih tinggi.

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka. Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah. (Matius 5:27-32).

Mula-mula, seperti saya sebutkan sebelumnya, perhatikan perkataan Yesus tentang perceraian dan pernikahan kembali yang tidak hanya secara langsung mengikuti FirmanNya tentang hawa-nafsu, dengan mengaitkan kedua hal itu, tetapi juga Yesus menyamakan kedua hal tersebut sebagai perzinahan. Sehingga kita lihat jalinan yang menelusuri seluruh bagian itu dalam Alkitab. Yesus membantu para pengikutNya untuk memahami hal yang menyertai tindakan penaatan perintah ketujuh. Penaatan perintah itu juga berarti tidak mengumbar hawa-nafsu, tidak bercerai dan tidak menikah kembali.

Setiap orang dalam rombongan orang Yahudi di zamanNya sudah tahu perintah ketujuh yang dibaca di sinagoga (tak seorangpun punya Alkitab), dan mereka mendengar pemaparan juga menyaksikan aplikasinya dalam kehidupan para guru, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus lalu berkata, “tetapi Aku berkata kepada kalian”, tetapi Ia tidak menambahkan hukum-hukum baru. Ia hanya mengungkap maksud sebenarnya dari Allah.

Pertama, hawa-nafsu dilarang oleh perintah kesepuluh, dan bahkan tanpa perintah kesepuluh, siapapun yang memikirkan hawa-nafsu sadar bahwa mengingini hal yang Allah benci adalah keliru.

Kedua, dari pasal-pasal awal kitab Kejadian, Allah memperjelas bahwa pernikahan adalah komitmen seumur hidup. Lagipula, siapapun yang memikirkan pernikahan akan berkesimpulan bahwa perceraian dan pernikahan kembali adalah perzinahan, terutama ketika seseorang bercerai untuk menikah kembali.

Tetapi dalam khotbah itu, sudah jelas Yesus hanya ingin menolong orang untuk memahami kebenaran tentang hawa-nafsu dan kebenaran tentang perceraian untuk alasan apapun dan pernikahan kembali. Ia tidak menetapkan hukum baru untuk pernikahan kembali yang sampai kini tidak “ada dalam kitab-kitab.”

Hal yang menarik adalah sedikit sekali orang dalam gereja yang pernah menafsirkan perkataan Yesus tentang mencungkil matanya atau memotong tangannya dalam arti sebenarnya, karena ide-ide itu muncul demikian yang bertentangan dengan bagian lain dalam Alkitab, dan ide-ide itu hanya menjadi dasar kuat untuk menghindari godaan seks. Namun, banyak orang di gereja berusaha menafsirkan perkataan Yesus dengan arti kata sebenarnya tentang orang yang menikah kembali yang melakukan zinah, bahkan ketika penafsiran itu bertentangan dengan Alkitab. Yesus bermaksud agar para pendengarNya menghadapi kebenaran, agar tidak banyak terjadi perceraian. Jika para pengikutNya menyimpan perkataanNya di dalam hati tentang hawa-nafsu, tidak akan ada amoralitas di antara mereka. Jika tak ada amoralitas, tak akan ada dasar sah bagi perceraian, dan tak akan ada perceraian, sesuai maksud Allah dari awal.

Bagaimana Suami Membuat Istrinya Berzinah? (How Does a Man Make His Wife Commit Adultery?)

Perhatikan ucapan Yesus, “Setiap orang yang menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah.” Ini membuat kita percaya bahwa Ia tidak memberikan aturan baru tentang pernikahan kembali, tetapi hanya mengungkapkan kebenaran tentang dosa suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan yang baik. Ia “menjadikan istrinya berzinah.” Jadi, sebagian orang berkata bahwa Yesus melarang istrinya menikah kembali, karena Ia menyebutnya sebagai perzinahan. Tetapi itu aneh. Penekanan ada pada dosa suami yang melakukan perceraian. Karena hal yang suami lakukan, istrinya tak punya pilihan lain kecuali menikah kembali, yang bukan jadi dosa baginya ketika ia menjadi korban keegoisan suaminya. Tetapi, di mata Allah, karena suami meninggalkan istrinya dalam keadaan tak punya apa-apa dan tanpa pilihan lain kecuali menikah kembali, seolah-olah ia memaksa istrinya berselingkuh dengan pria lain. Jadi, orang yang menganggap suami belum berzinah dianggap bersalah karena perzinahan ganda, perzinahannya sendiri dan perzinahan istrinya.

Yesus tidak berkata bahwa Allah menganggap istri yang jadi korban sebagai bersalah karena zinah, karena hal itu tidak adil, dan nyatanya hal itu tak berarti bila istri yang jadi korban itu tak pernah kawin lagi. Bagaimana dapat Allah berkata bahwa ia berzinah jika ia tak menikah lagi? Bagaimanapun juga, hal itu tak masuk akal. Jelaslah, Allah menganggap suami bersalah karena perzinahannya, dan “perzinahan” istrinya, yang ternyata bukan perzinahan sama sekali bagi istrinya. Itulah pernikahan kembali yang sesuai aturan.

Dan bagaimana pernyataan Yesus bahwa “siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”? Hanya ada dua kemungkinan logis. Apakah Yesus menambahkan cuplikan ketiga tentang perzinahan terhadap pria yang beranggapan bahwa ia tak pernah berzinah (untuk alasan serupa seperti Ia menambahkan cuplikan kedua), atau Yesus sedang berbicara tentang pria yang mendesak seorang wanita untuk menceraikan suaminya demi menikahinya agar “tidak melakukan perzinahan.” Jika Yesus berkata bahwa setiap pria, yang menikahi wanita yang bercerai, sedang berzinah, maka setiap pria Israel selama ratusan tahun sebelumnya melakukan perzinahan yang, menurut Hukum Taurat Musa, menikahi wanita yang diceraikan. Nyatanya, setiap pria, dalam rombongan bersama Yesus pada hari itu, yang menikahi wanita yang diceraikan menurut Hukum Taurat Musa tiba-tiba merasa bersalah atas apa yang bukan salahnya satu menit sebelumnya, dan Yesus tentu telah mengubah aturan Allah saat itu. Lagipula, dengan merujuk pada kata-kata Paulus dalam suratnya kepada jemaat Korintus bahwa menikahi orang yang bercerai bukanlah dosa, orang yang menikahi orang yang bercerai sebenarnya sedang melakukan dosa, dengan cara zinah.

Keseluruhan semangat dalam Alkitab membuat kita memuji pria yang menikahi wanita yang bercerai. Jika wanita itu jadi korban yang tak bersalah karena sikap egois bekas suaminya, saya salut kepada pria itu sama halnya dengan saya memuji pria yang menikahi janda, yang membuatnya ada di bawah pengawaan pria. Jika, wanita itu menanggung kesalahan karena perceraiannya sebelumnya, saya memujinya karena keserupaannya dengan Kristus dalam meyakini hal yang terbaik darinya, dan untuk kasih karunianya dalam berkorban untuk melupakan masa lalu dan menanggung resiko. Mengapa orang yang telah membaca Alkitab dan memiliki Roh Kudus di dalam dirinya berkesimpulan bahwa Yesus melarang seseorang untuk menikahi orang yang bercerai? Bagaimana pandangan tersebut sesuai dengan keadilan Allah, keadilan yang tak pernah menghukum orang karena menjadi korban, seperti kasus wanita yang diceraikan tanpa kesalahan di pihaknya? Bagaimana pandangan tersebut sesuai dengan pesan Injil, yang menawarkan pengampunan dan kesempatan lain bagi orang berdosa yang bertobat?

Kesimpulan (In Summary)

Alkitab secara konsisten berkata bahwa perceraian selalu melibatkan dosa bagi satu pihak atau kedua pihak. Allah tak pernah mau siapapun untuk bercerai, tetapi dengan penuh kasih memberi ketentuan bagi perceraian ketika terjadi amoralitas. Ia juga dengan penuh kasih memberikan ketentuan bagi orang yang diceraikan untuk menikah kembali.

Jika bukan karena perkataan Yesus tentang pernikahan kembali, maka tak ada pembaca Alkitab pernah berpikir bahwa pernikahan kembali adalah dosa (kecuali karena dua kasus yang sangat jarang terjadi di masa perjanjian lama dan karena satu kasus yang sangat jarang terjadi di masa perjanjian baru, yakni pernikahan kembali setelah seseorang diceraikan dari seorang Kristen sebagai seorang Kristen). Namun, kita telah dapatkan cara logis untuk mencocokkan perkataan Yesus tentang pernikahan kembali dengan ajaran Alkitab. Yesus tidak mengganti aturan pernikahan kembali dari Allah dengan aturan yang lebih ketat yang melarang pernikahan kembali pada tiap kejadian, sebagai aturan yang mustahil ditaati oleh orang yang sudah bercerai dan menikah lagi (bagaikan menegakkan benang basah), dan aturan yang membuat bingung dan menyebabkan orang lain melanggar aturan lain dari Allah. Malahan, Ia mendukung orang untuk memahami sikap munafiknya. Ia menolong orang yang meyakini bahwa orang itu tak pernah berzinah untuk memahami bahwa ia sedang berzinah dengan cara lain, yakni hawa-nafsu dan sikapnya yang liberal terhadap perceraian.

Sesuai ajaran Alkitab, pengampunan diberikan untuk orang berdosa yang bertobat, tak peduli apapun dosa yang dilakukannya, dan kesempatan kedua dan ketiga diberikan kepada orang berdosa, termasuk orang yang diceraikan. Tidak ada dosa dalam pernikahan kembali berdasarkan perjanjian baru, kecuali orang percaya yang diceraikan dari orang percaya lain, yang tak pernah terjadi karena orang percaya sejati tidak berbuat amoralitas, sehingga tak ada alasan untuk bercerai. Dalam peristiwa yang jarang terjadi itu, masing-masing pasangan harus tetap menyendiri atau saling berdamai.

 


[1]

Misalnya, perhatikan komentar seorang pendeta yang diceraikan yang dirinya terisah dari tubuh Kristus ketika ia menikah lagi. Ia berkata, “Lebih baik saya membunuh istri saya daripada menceraikannya. Setelah membunuhnya, saya bisa minta ampun, menerima pengampunan, menikah lagi secara sah, dan meneruskan pelayanan saya.”

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Tiga-Belas (Chapter Thirteen)

Bab Sebelas (Chapter Eleven)

Baptisan Roh Kudus (The Baptism in the Holy Spirit)

 

Ketika seseorang membaca seluruh kitab Kisah Para Rasul, akan terlihat nyata pekerjaan Roh Kudus di jemaat mula-mula di setiap halaman dari kitab itu. Jika anda keluarkan pekerjaan Roh Kudus dari kitab Kisah Para Rasul, anda tak akan punya apa-apa lagi. Sebenarnya, Roh Kudus memberdayakan murid-murid pertama untuk “mengacaukan seluruh dunia” (lihat Kisah Para Rasul 17:6).

Di manapun di dunia kini gereja terus bertambah dengan sangat cepat dan menjadi tempat di mana pengikut Yesus berserah dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Hal ini tak mengherankan. Roh Kudus dapat bekerja sepuluh detik lebih cepat dibandingkan yang dapat kita kerjakan dalam sepuluh ribu tahun. Jadi, sangatlah penting bila pelayan pemuridan memahami pengajaran Alkitab tentang pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan dan pelayanan orang-orang percaya.

Dalam kitab Kisah Para Rasul, kita sering temukan contoh orang-orang percaya yang dibaptis dengan Roh Kudus dan dikuatkan untuk pelayanan. Sebaiknya kita mempelajari baptisan Roh Kudus sehingga kita dapat mengalami pengalaman mereka, dan sebaiknya juga kita nikmati pertolongan ajaib dari Roh Kudus seperti yang mereka nikmati. Walaupun sebagian orang menyatakan bahwa karya ajaib dari Roh Kudus hanya terkait dengan para rasul di masa itu, saya tak temukan dasar Alkitabiah, sejarah atau logika untuk pendapat itu. Pendapat tersebut adalah teori yang lahir dari ketidakyakinan. Mereka yang percaya janji Firman Tuhan akan mengalami berkat-berkat yang dijanjikan. Seperti halnya orang-orang Israel yang tidak percaya yang gagal memasuki Tanah Perjanjian, mereka yang tak percaya janji Allah kini akan gagal memasuki tempat yang Allah telah siapkan. Di kategori mana anda berada? Secara pribadi, saya berada di antara orang-orang percaya.

Dua Karya oleh Roh Kudus (Two Works by the Holy Spirit)

Setiap orang yang sungguh percaya kepada Tuhan Yesus telah mengalami pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupannya. Pribadi di dalam dirinya, atau roh, telah diubahkan oleh Roh Kudus (lihat Titus 3:5), dan Roh Kudus kini tinggal di dalam dirinya (lihat Roma 8:9; 1 Korintus 6:19). Ia telah “dilahirkan dari Roh ” (Yohanes 3:5).

Karena tidak memahami hal itu, banyak orang Kristen Karismatik dan Pentakosta telah berbuat keliru dengan berkata kepada orang-orang percaya tertentu bahwa mereka tidak memiliki Roh Kudus jika mereka tidak dibaptis dengan Roh Kudus dan berbahasa lidah. Tetapi kekeliruan itu ada dalam Alkitab dan dalam pengalaman. Banyak orang percaya yang bukan Karismatik/Pentakosta memiliki lebih banyak bukti tentang Roh yang diam dalam diri mereka dibandingkan beberapa orang percaya Karismatik/Pentakosta! Mereka lebih banyak memanifestasikan buah-buah Roh yang disebutkan oleh Paulus dalam Galatia 5:22-23, suatu hal yang mustahil, selain memiliki Roh Kudus yang diam dalam dirinya.

Namun, hanya karena seseorang telah dilahirkan dari Roh tidaklah menjamin bahwa ia juga telah dibaptis dengan Roh Kudus. Menurut Alkitab, pengalaman dilahirkan dari Roh Kudus dan pengalaman dibaptiskan dengan Roh Kudus adalah dua hal yang berbeda.

Ketika kita mulai selidiki pembahasan ini, mula-mula kita perhatikan apa yang pernah Yesus katakan tentang Roh Kudus kepada sorang wanita yang belum diselamatkan di sebuah sumur di Samaria:

Jawab Yesus kepadanya: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup.” …. Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini [dari sumur], ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam diri nya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yohanes 4:10, 13-14).

Wajar saja bila kita simpulkan bahwa air hidup yang diam dalam diri manusia yang Yesus bicarakan melambangkan Roh Kudus yang diam dalam diri orang percaya. Dan, dalam Injil Yohanes, Yesus lagi-lagi memakai frase yang sama, “air hidup”, dan sudah pasti Ia berbicara tentang Roh Kudus:

Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu, Yesus berdiri dan berseru: “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.” Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya; sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan. (Yohanes 7:37-39, tambahkan penekanan).

Dalam contoh ini Yesus tidak berbicara tentang air hidup yang menjadi “sumber mata air kepada kehidupan kekal.” Sebaliknya, kali ini, air hidup menjadi sungai-sungai yang mengalir dari dalam diri orang yang menerima air hidup.

Kedua perikop yang mirip itu dari Injil Yohanes menggambarkan dengan indah perbedaan antara dilahirkan dari Roh dan dibaptis dengan Roh Kudus. Dilahirkan dari Roh adalah untuk keuntungan orang yang dilahirkan kembali, sehingga menikmati kehidupan kekal. Ketika seseorang dilahirkan kembali oleh Roh, ia memiliki bendungan Roh di dalamnya yang memberikannya kehidupan kekal.

Tetapi, yang dibaptis dengan Roh Kudus adalah untuk keuntungan orang lain karena tindakan itu memperlengkapi orang-orang percaya untuk melayani orang-orang lain dengan kuasa Roh. “Sungai-sungai air kehidupan” akan mengalir dari dalam diri manusia, yang membawa berkat-berkat Allah kepada orang lain melalui kuasa Roh.

Alasan Perlunya Baptisan Roh Kudus (Why the Baptism in the Holy Spirit is Needed)

Betapa kita sangat butuh pertolongan Roh Kudus untuk melayani orang lain! Tanpa pertolonganNya, kita tak dapat memuridkan seluruh bangsa. Nyatanya, itulah alasannya Yesus berjanji untuk membaptiskan orang-orang percaya dengan Roh Kudus —sehingga dunia dapat mendengarkan Injil. Ia berkata kepada murid-muridNya:

Dan Aku akan mengirim kepadamu apa yang dijanjikan Bapa-Ku. Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi.” (Lukas 24:49, tambahkan penekanan).

Lukas juga mencatat perkataan Yesus:

“Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kisah Para Rasul 1:7-8, tambahkan penekanan).

Yesus berkata kepada murid-muridNya untuk tidak meninggalkan Yerusalem sampai mereka “diperlengkapi dengan kuasa dari atas.” Ia tahu bahwa, jika tidak diperlengkapi, mereka tak berdaya, pasti gagal dalam tugas yang telah Ia berikan kepada mereka. Tetapi, kita perlu catat bahwa ketika mereka dibaptis dengan Roh Kudus, Allah mulai memakai mereka secara adikodrati untuk menyebarkan Injil.

Jutaan orang Kristen di seluruh dunia, setelah dibaptis dengan Roh Kudus, mengalami dimensi baru kuasa, terutama ketika bersaksi kepada orang yang belum diselamatkan. Ternyata, mereka berkata-kata dengan cara menyerang pribadi orang dan mereka kadang-kadang mengutip ayat-ayat Alkitab yang sebenarnya tidak dipahami. Sebagian orang merasa terpanggil dan diberi karunia khusus untuk tugas pelayanan tertentu, seperti penginjilan. Sebagian orang lain menyadari bahwa Allah memakai sesuai kehendakNya dalam berbagai karunia adikodrati dari Roh. Pengalaman mereka seluruhnya bersifat Alkitabiah. Orang yang menentang pengalaman mereka tak punya dasar Alkitabiah atas penentangan mereka. Nyatanya, mereka melawan Allah.

Tidak mengejutkan bahwa kita yang dipanggil untuk meneladani Kristus dipanggil untuk meneladani pengalamanNya bersama Roh Kudus. Sudah tentu, Ia dilahirkan dari Roh ketika Ia dikandung dalam rahim Maria (lihat Matius 1:20). Barangsiapa dilahirkan dari Roh dibaptiskan dalam Roh sebelum peneguhan pelayananNya (lihat Matius 3:16). Jika Yesus perlu dibaptis dengan Roh Kudus untuk memperlengkapiNya dalam pelayanan, berapa banyak lagi kita perlu dibaptis dengan Roh?

Bukti Awal Baptisan Roh (The Initial Evidence of the Baptism in the Spirit)

Ketika orang percaya dibaptis dengan Roh Kudus, bukti awal pengalamannya adalah ia berbicara bahasa baru, yang Alkitab sebut sebagai “bahasa lidah yang baru” atau “bahasa lidah lain.” Banyak ayat Alkitab mendukung fakta itu. Perhatikanlah ayat-ayat itu.

Pertama, saat-saat akhir sebelum kenaikanNya, Yesus berkata bahwa satu tanda yang akan menyertai orang-orang percaya adalah mereka akan berbicara bahasa lidah yang baru:

Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, (Markus 16:15-17, tambahkan penekanan).

Beberapa komentator menyatakan agar ayat-ayat itu tak perlu ada dalam Alkitab karena beberapa naskah kuno Perjanjian Baru tidak memasukkannya. Tetapi, banyak naskah kuno memasukkan ayat-ayat itu, dan, yang saya baca, tak satupun dari banyak naskah terjemahan dalam Bahasa Inggris yang menghapuskannya. Selain itu, hal yang Yesus katakan dalam ayat-ayat itu berkaitan sempurna dengan pengalaman jemaat mula-mula seperti terdapat dalam Kisah Para Rasul.

Dalam Kisah Para Rasul, ada lima contoh orang-orang percaya yang awalnya dibaptis dengan Roh Kudus. Perhatikan kelima contoh itu, dan kita akan sampaikan dua pertanyaan: (1) Apakah baptisan Roh Kudus merupakan pengalaman yang mengikuti keselamatan? dan (2) Apakah penerima Roh Kudus berbicara bahasa lidah yang baru? Maka, kita terbantu untuk mengerti kehendak Tuhan bagi orang-orang percaya sekarang.

Yerusalem (Jerusalem)

Contoh pertama terdapat dalam Kisah Para Rasul 2, ketika seratus duapuluh murid dibaptis dengan Roh Kudus pada hari Pentakosta:

Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. (Kisah Para Rasul 2:1-4, tambahkan penekanan).

Tentu saja, seratus duapuluh orang percaya baru saja diselamatkan dan dilahirkan kembali, sehingga mereka pasti mengalami baptisan Roh Kudus setelah diselamatkan. Tetapi, mustahil mereka telah mendapat baptisan Roh Kudus sebelum waktunya hanya karena Roh Kudus diberikan kepada jemaat sampai hari terjadinya baptisan Roh itu.

Jelaslah, tanda yang menyertai baptisan Roh Kudus adalah berbicara bahasa lidah lain.

Samaria (Samaria)

Contoh kedua orang-orang percaya yang dibaptis dengan Roh Kudus terdapat dalam Kisah Para Rasul 8, ketika Filipus menuruni kota Samaria dan menginjil di sana:

Tetapi sekarang mereka [orang-orang Samaria] percaya kepada Filipus yang memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, dan mereka memberi diri mereka dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan. …. Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar, bahwa tanah Samaria telah menerima Firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke situ. Setibanya di situ kedua rasul itu berdoa, supaya orang-orang Samaria itu beroleh Roh Kudus. Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorangpun di antara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. (Kisah Para Rasul 8:12-16).

Orang-orang Kristen di Samaria jelas mengalami baptisan Roh Kudus sebagai pengalaman kedua setelah mereka diselamatkan. Alkitab dengan gamblang menyatakan bahwa sebelum Petrus dan Yohanes tiba, orang-orang Samaria telah “menerima Firman Tuhan”, percaya kepada Injil, dan dibaptis dalam air. Namun ketika Petrus dan Yohanes turun untuk mendoakan mereka, Alkitab mengatakannya memang demikian “sehingga mereka dapat menerima Roh Kudus.” Bagaimana bisa hal itu lebih diperjelas?

Apakah orang-orang percaya di Samaria berbicara dengan bahasa lidah yang baru ketika mereka dibaptis dengan Roh Kudus? Alkitab tidak mengatakannya, tetapi menyatakan bahwa sesuatu yang ajaib terjadi kepada mereka. Ketika orang yang bernama Simon menyaksikan peristiwa ketika Petrus dan Yohanes menumpangkan tangan kepada orang-orang Kristen di Samaria, ia mencoba untuk membeli dari mereka karunia yang sama untuk membagikan karunia Roh Kudus:

Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus. Ketika Simon melihat, bahwa pemberian Roh Kudus terjadi oleh karena rasul-rasul itu menumpangkan tangannya, ia menawarkan uang kepada mereka, serta berkata: “Berikanlah juga kepadaku kuasa itu, supaya jika aku menumpangkan tanganku di atas seseorang, ia boleh menerima Roh Kudus.” (Kisah Para Rasul 8:17-19).

Apa yang dilihat Simon yang sangat berkesan baginya? Ia menyaksikan sejumlah mujizat lain, seperti orang-orang yang dibebakan dari roh-roh jahat, dan orang-orang yang lumpuh dan pincang disembuhkan dengan ajaib (lihat Kisah Para Rasul 8:6-7). Ia sendiri sebelumnnya terlibat dalam kekuatan magis okultis, yang mengejutkan semua orang di Samaria (lihat Kisah Para Rasul 8:9-10). Sehingga, peristiwa yang disaksikannya ketika Petrus dan Yohanes berdoa pastilah sangat spektakuler. Walaupun kita tak dapat berkata dengan pasti, wajar saja bila kita berpikir bahwa Simon menyaksikan gejala yang sama seperti yang terjadi pada saat-saat orang-orang Kristen menerima Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul, yakni ia melihat dan mendengar mereka berbicara bahasa-bahasa lidah lain.

Saulus di Damsyik (Saul in Damascus)

Sebutan ketiga dalam Kisah Para Rasul mengenai orang yang menerima Roh Kudus adalah Saulus dari Tarsus; kelak ia menjadi rasul Paulus. Ia diselamatkan dalam perjalanan ke Damaskus, di mana ia mengalami kebutaan sementara. Tiga hari setelah pertobatannya, orang bernama Ananias diutus kepadanya melalui bantuan ilahi: Lalu pergilah Ananias ke situ dan masuk ke rumah itu. Ia menumpangkan tangannya ke atas Saulus, katanya: “Saulus, saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus.” Dan seketika itu juga seolah-olah selaput gugur dari matanya, sehingga ia dapat melihat lagi. Ia bangun lalu dibaptis. (Kisah Para Rasul 9:17-18).

Sudah pasti, Saulus dilahirkan kembali sebelum Ananias tiba untuk mendoakannya. Ia percaya kepada Tuhan Yesus ketika dalam perjalanan menuju Damsyik, dan ia segera menaati perintah Tuhannya. Juga, ketika Ananias bertemu pertama kali dengan Saulus, ia menyebutnya “saudara Saulus.” Perlu dicatat bahwa Ananias berkata kepada Saulus bahwa ia datang agar ia sembuh kembali dari kebutaannya dan penuh dengan Roh Kudus. Jadi, bagi Saulus, peristiwa kepenuhan dengan, atau dibaptis dalam, Roh Kudus terjadi tiga hari setelah ia menerima keselamatan.

Ayat-ayat Alkitab tidak mencatat kejadian sebenarnya mengenai Saulus yang dibaptis dengan Roh Kudus, namun pasti hal itu telah terjadi segera setelah Ananias tiba di mana Saulus tinggal. Sudah tentu, Saulus berbicara dengan bahasa lidah lain, karena ia kemudian menyatakan dalam 1 Korintus 14:18, “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua.”

Kaesarea (Caesarea)

Penyebutan keempat tentang orang-orang percaya yang dibaptis dengan Roh Kudus terdapat dalam Kisah Para Rasul 10. Dengan kuasa ilahi, Rasul Petrus ditugaskan untuk menginjil rumah-tangga Kornelius di Kaesarea. Segera setelah Petrus mengungkapan bahwa keselamatan diterima melalui iman dalam Yesus, seluruh pengikutnya yang bukan orang Yahudi segera menanggapi dengan iman, dan Roh Kudus meliputi mereka:

Ketika Petrus sedang berkata demikian, turunlah Roh Kudus ke atas semua orang yang mendengarkan pemberitaan itu. Dan semua orang percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus, tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga, sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh dan memuliakan Allah. Lalu kata Petrus: “Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?” Lalu ia menyuruh mereka dibaptis dalam nama Yesus Kristus. (Kisah Para Rasul 10:44-48a).

Dalam hal ini, tampak seolah-olah anggota-anggota keluarga Kornelius, yang menjadi orang-orang percaya pertama bukan Yahudi di dalam Yesus, dilahirkan kembali dan dibaptis dengan Roh Kudus pada saat bersamaan.

Jika kita perhatikan ayat-ayat Alkitab di sekitarnya dan mempelajari konteks sejarah, tampaklah alasannya Allah tidak menunggu Petrus dan sesama orang percaya untuk menumpangkan tangan kepada orang-orang percaya bukan Yahudi untuk menerima Roh Kudus. Petrus dan orang-orang percaya Yahudi lain sulit meyakini bahwa orang-orang bukan Yahudi bahkan dapat diselamatkan, karena kurang menerima Roh Kudus! Mereka mungkin tak pernah berdoa bagi seisi rumah Kornelius untuk menerima baptisan Roh Kudus, sehingga Allah bertindak secara berdaulat. Allah mengajari Petrus dan rekan-rekannya perihal kasih karuniaNya yang ajaib bagi orang-orang bukan Yahudi.

Apa yang membuat Petrus dan orang-orang percaya lainnya yang bukan Yahudi bahwa seisi rumah Kornelius telah menerima Roh Kudus? Lukas menulis, “sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh…” (Kisah Para Rasul 10:46). Petrus menyatakan bahwa orang-orang bukan Yahudi telah menerima Roh Kudus seperti yang didapatlan oleh seratus duapuluh orang pada hari Pentakosta (lihat 10:47).

Efesus (Ephesus)

Penyebutan kelima kali bagi orang-orang percaya yang dibaptis dengan Roh Kudus terdapat dalam Kisah Para Rasul 19. Selagi dalam perjalanan melalui Efesus, rasul Paulus bertemu beberapa murid dan bertanya kepada mereka: “Sudahkah kamu menerima Roh Kudus, ketika kamu menjadi percaya?” (Kisah Para Rasul 19:2).

Jelaslah, Paulus, yang menulis beberapa surat dalam Perjanjian Baru, percaya bahwa seseorang bisa saja percaya kepada Yesus tetapi belum menerima Roh Kudus. Jika tidak demikian, pastilah ia tidak melontarkan pertanyaan tersebut.

Orang-orang menjawab bahwa mereka tak pernah mendengar tentang Roh Kudus. Nyatanya, mereka hanya mendengar tentang kedatangan Mesias melalui Yohanes Pembaptis, orang yang telah membaptis mereka. Paulus segera membaptis mereka lagi di dalam air, dan kali ini mereka mengalami baptisan Kristen yang sejati. Akhirnya, Paulus menumpangkan tangan kepada mereka sehingga mereka dapat menerima Roh Kudus:

Ketika mereka mendengar hal itu, mereka memberi diri mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Dan ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat. Jumlah mereka adalah kira-kira dua belas orang. (Kisah Para Rasul 19:5-7).

Baptisan Roh Kudus jelas merupakan peristiwa setelah seseorang diselamatkan, tak peduli apakah keduabelas murid itu sudah dilahirkan kembali atau belum sebelum mereka bertemu Paulus. Sekali lagi, tanda yang menyertai baptisan Roh Kudus adalah berbahasa lidah (dan dalam hal ini juga nubuatan ).

Keputusan (The Verdict)

Kita evaluasi kelima contoh di atas. Sedikitnya dalam empat contoh, baptisan Roh Kudus merupakan pengalaman yang terjadi setelah keselamatan.

Dalam tiga contoh di atas, Alkitab jelas-jelas menyatakan bahwa orang-orang, yang menerima Roh Kudus, berbicara bahasa-bahasa lidah lain. Lagipula, dalam perjumpaan Paulus dengan Ananias, pengalamannya dalam baptisan dengan Roh Kudus sebenarnya tidak diuraikan, tetapi kita tahu bahwa pada akhirnya ia benar-benar berbahasa lidah. Hal itu mewakili contoh keempat.

Pada kejadian berikut, terjadi sesuatu yang adikodrati ketika orang-orang percaya di Samaria menerima Roh Kudus karena Simon mencoba membeli kuasa untuk mengimpartasikan Roh Kudus.

Jadi buktinya sudah jelas. Pada zaman jemaat mula-mula, orang-orang percaya yang dilahirkan kembali menerima pengalaman kedua bersama dengan Roh Kudus, dan ketika menerimanya, mereka berbicara bahasa-bahasa lidah lain. Hal itu tak mengejutkan, karena Yesus berkata bahwa barangsiapa yang percaya padaNya akan berbahasa lidah.

Jadi, kita dapat bukti sebagai kesimpulan bahwa setiap orang yang dilahirkan kembali harus juga mengalami pekerjaan lain dari Roh Kudus, yakni dibaptiskan dengan Roh Kudus. Lagipula, setiap orang percaya harus berusaha berbicara dengan bahasa lidah lain ketika ia benar-benar menerima baptisan Roh Kudus.

Cara Menerima Baptisan Roh Kudus (How to Receive the Baptism in the Holy Spirit)

Seperti semua karunia Allah, Roh Kudus diterima dengan iman (lihat Galatia 3:5). Untuk memiliki iman agar dapat menerima Roh Kudus, seorang percaya mula-mula harus yakin bahwa Tuhan ingin dia dibaptis dengan Roh Kudus. Jika ia bertanya-tanya atau ragu-ragu, ia tidak akan menerimaNya (lihat Yakobus1:6-7).

Tak ada orang percaya yang memiliki alasan apapun yang baik untuk tidak percaya bahwa Tuhan menghendaki baginya untuk menerima Roh Kudus, karena Yesus jelas-jelas menyatakan kehendak Tuhan dalam hal itu:

Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Lukas 11:13).

Janji Yesus pasti meyakinkan setiap anak Allah bahwa Allah ingin agar ia menerima Roh Kudus.

Ayat yang sama juga mendukung kebenaran bahwa baptisan Roh Kudus terjadi setelah seseorang memperoleh keselamatan, karena di sini Yesus berjanji kepada anak-anak Allah (orang-orang yang memiliki Allah sebagai “Bapa sorgawi”) bahwa Allah akan memberi mereka Roh Kudus jika mereka meminta. Jelaslah, jika satu-satunya pengalaman yang bisa didapatkan bersama dengan Roh Kudus adalah dilahirkan kembali ketika memperoleh keselamatan, maka janji Yesus tak ada arti lagi. Tidak seperti pendapat tertentu dari para teolog kini, Yesus percaya bahwa sangatlah layak bagi orang-orang yang telah dilahirkan kembali untuk meminta Roh Kudus kepada Allah.

Menurut Yesus, hanya ada dua kondisi yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk menerima Roh Kudus. Pertama, Allah pastilah Bapanya seseorang; Dia adalah Bapamu bila anda dilahirkan kembali. Kedua, anda harus meminta Roh Kudus dariNya.

Walaupun menerima Roh Kudus melalui penumpangan tangan adalah sesuai Alkitab (lihat Kisah Para Rasul 8:17; 19:6), hal itu bukanlah kebutuhan mutlak. Setiap orang Kristen sendiri dapat menerima Roh Kudus di tempatnya berdoa. Ia hanya perlu meminta, menerima dengan iman, dan mulai berbahasa lidah ketika Roh memberikannya.

Ketakutan Umum (Common Fears)

Sebagian orang kuatir jika mereka berdoa meminta Roh Kudus, mereka dapat saja membuka diri mereka terhadap roh jahat. Tetapi, masalah itu ada dasarnya. Yesus berjanji,

Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Lukas 11:11-13).

Bila kita meminta Roh Kudus, Allah akan memberikan Roh Kudus kepada kita, dan kita tak perlu takut untuk menerima hal lainnya.

Ketika berbicara bahasa-bahasa lidah lain, sebagian orang kuatir bahwa hanya mereka sendiri yang membentuk bahasa yang tak punya arti bukannya bahasa adikodrati yang diberikan oleh Roh Kudus. Tetapi, jika anda coba temukan bahasa yang meyakinkan sebelum dibaptis dengan Roh Kudus, hal itu tak mungkin. Di lain pihak, harus dipahami bahwa jika anda akan berbahasa lidah lain, secara sadar anda harus gunakan bibir, lidah dan alat-alat ucap anda. Roh Kudus tidak berbicara kepada anda —Ia hanya memberikan ucapan-ucapan. Ialah penolong, bukan pelaku. Anda harus berbicara secara aktual, sesuai yang Alkitab ajarkan:

Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. (Kisah Para Rasul 2:4, tambahkan penekanan).

Dan ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat. (Kisah Para Rasul 19:6, tambahkan penekanan).

Setelah orang percaya meminta karunia Roh Kudus, ia harus percaya dan berharap untuk berbicara bahasa lidah lain. Karena Roh Kudus diterima dengan iman, penerima karunia Roh Kudus tidak boleh berharap mengalami perasaan tertentu atau sensasi fisik. Ia hanya perlu membuka mulut dan mulai mengucapakan suara-suara dan suku-suku kata baru yang akan menjadi bahasa yang Roh Kudus berikan padanya. Jika tidak, orang percaya mulai berbicara dengan iman, tidak ada ucapan akan muncul dari mulutnya. Ia harus berbicara, dan Roh Kudus akan memberikan ucapan-ucapan.

Sumber Ucapan (The Source of the Utterance)

Menurut Paulus, ketika orang percaya berdoa dalam bahasa lidah, yang berdoa adalah rohnya, bukan pikirannya:

Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa. Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku. (1 Korintus 14:14-15).

Paulus berkata bahwa ketika ia berdoa dalam bahasa lidah, pikirannya tak berbuah. Itu berarti pikirannya tidak ikutserta di dalamnya, dan ia tidak mengerti apa yang didoakannya dalam bahasa lidah. Sehingga, bukannya berdoa sepanjang waktu dalam bahasa lidah tanpa memahami perkataannya, Paulus juga mengambil waktu untuk berdoa dengan pikirannya dalam bahasanya sendiri. Ia mengambil waktu untuk bernyanyi dalam bahasa lidah, juga bernyanyi dalam bahasanya sendiri. Ada tempat bagi kedua jenis doa dan pujian, dan adalah bijak bila kita meneladani Paulus dalam hal melakukan keseimbangan.

Perhatikan juga, bagi Paulus, berbahasa lidah adalah mengikuti kehendaknya yang sama dengan berbicara dalam bahasanya sendiri. Ia berkata, “Saya akan berdoa dengan roh dan saya akan berdoa dengan pikiran juga.” Para kritikus sering mengklaim bahwa jika menggunakan bahasa lidah sekarang ini memang merupakan karunia Roh, orang tak akan mampu mengendalikannya, agar ia tidak keliru mengendalikan Allah. Tetapi ide itu tak berdasar. Menggunakan bahasa lidah di masa lalu dan masa kini dikendalikan oleh orang yang Allah sudah rencanakan. Para kritikus bisa saja berkata bahwa orang-orang yang memiliki tangan yang benar-benar ciptaan Allah tak memiliki kendali atas tangan-tangan mereka, dan orang-orang yang membuat keputusan secara sadar untuk menggunakan tangan mereka akan coba mengendalikan Allah.

Setelah dibaptis dengan Roh Kudus, dengan mudah anda dapat buktikan sendiri bahwa ucapan dalam bahasa lidah berasal dari roh bukannya dari pikiran anda. Pertama, cobalah berbincang dengan seseorang dan di saat yang sama anda membaca buku ini. Ternyata, anda tak dapat melakukan kedua kegiatan pada saat yang sama. Tetapi, anda akan tahu, saat anda berbahasa lidah, anda dapat terus membaca buku ini. Karena anda tidak memakai pikiran anda untuk berbahasa lidah, yakni ucapan dari roh anda. Jadi, saat roh anda berdoa, anda dapat gunakan pikiran anda untuk membaca dan memahami.

Karena Engkau Dibaptis dengan Roh Kudus (Now That You Are Baptized in the Holy Spirit)

Ingatlah, alasan utama Allah membaptis dengan Roh Kudus adalah untuk melengkapi anda untuk menjadi saksiNya, melalui manifestasi buah-buah dan karunia-karunia Roh (lihat 1 Korintus 12:4-11; Galatia 5:22-23). Dengan memiliki hidup yang seperti Kristus dan menunjukkan kasih, sukacita, dan damai sejahtera dariNya kepada dunia, dan juga mewujudkan karunia-karunia Roh yang adikodrati, maka Allah akan memakai anda untuk menarik orang-orang lain kepadaNya. Kemampuan berbahasa lidah hanyalah salah satu “sungai air hidup” yang harus mengalir dari kehidupan dari dalam diri anda.

Juga, ingatlah Allah memberikan kita Roh Kudus untuk memampukan kita menjangkau semua orang di bumi dengan Injil (lihat Kisah Para Rasul 1:8). Ketika kita berbahasa lidah, kita harus sadari bahwa bahasa yang kita pakai bisa saja bahasa asli dari suku terpencil atau dari bangsa asing. Setiap kali kita berdoa dalam bahasa lidah, kita harus tetap ingat bahwa Allah inginkan orang-orang dari setiap bahasa untuk mendengar tentang Yesus. Kita harus bertanya kepada Tuhan bagaimana cara Ia mau kita untuk terlibat dalam pemenuhan Amanat Agung Yesus.

Berbahasa lidah haruslah dilakukan sesering mungkin. Paulus, seorang nara-sumber kuasa roh, menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua.” (1 Korintus 14:18). Ia menuliskan kata-kata itu kepada jemaat yang banyak mempraktekkan bahasa lidah (walau biasanya pada saat-saat yang tidak tepat). Karena itu, Paulus pasti sering berbahasa lidah demi melakukan lebih dari yang mereka lakukan. Berdoa dalam bahasa lidah akan membantu kita untuk tetap sadar akan kehadiran Roh Kudus, yang berdiam di dalam kita, dan membantu kita “berdoa tanpa henti” sesuai ajaran Paulus dalam 1 Tesalonika 5:17.

Paulus juga mengajarkan bahwa berbicara bahasa lidah lain mengajarkan orang percaya (lihat 1 Korintus 14:4). Artinya berbahasa lidah akan membangun kita secara rohani. Dengan berdoa dalam bahasa lidah, kita dapat memperkuat manusia batin kita, dalam satu hal kita mungkin tak paham sepenuhnya. Berbicara bahasa lidah lain hendaknya memperkaya kehidupan rohani setiap orang percaya pada setiap hari dan tidak menjadi pengalaman kepenuhan Roh Kudus yang hanya sekali saja.

Ketika anda dibaptis dengan Roh Kudus, saya anjurkan anda untuk meluangkan waktu setiap hari untuk berdoa kepada Allah dalam bahasa baru yang anda alami. Dengan demikian, anda akan rasakan peningkatan hidup dan pertumbuhan rohani dalam diri anda.

Jawaban atas Beberapa Pertanyaan Umum (Answers to a Few Common Questions)

Bisakah kita berkata dengan pasti bahwa orang yang tak pernah berbahasa lidah tak pernah dibaptiskan dengan Roh Kudus? Saya pribadi tak sependapat.

Saya selalu mengajak orang untuk berusaha berbahasa lidah ketika saya berdoa agar mereka dibaptis dengan Roh Kudus, dan, dalam beberapa detik saat mendoakan mereka, sekitar 95% dari mereka mengalami baptisan Roh Kudus. Jumlah itu sama dengan ribuan orang selama bertahun-tahun.

Tetapi, saya tidak ingin berkata seorang Kristen yang telah berdoa untuk dibaptiskan dalam Roh dan yang belum berbahasa lidah tidak dibaptis dengan Roh Kudus, karena baptisan Roh diterima dengan iman dan berbahasa lidah adalah sukarela. Tetapi, jika saya punya waktu untuk berbagi dengan seorang percaya yang telah berdoa untuk dibaptis dalam Roh tetapi tak pernah berbahasa lidah, awalnya saya tunjukkan padanya semua ayat Alkitab dalam Kisah Para Rasul mengenai perkara yang jadi pokok bahasan. Lalu saya juga tunjukkan padanya bagaimana Paulus menuliskan bahwa ia dalam keadaan terkendali ketika ia berbicara atau tidak berbahasa lidah. Seperti Paulus, saya dapat berbahasa lidah kapanpun saya mau, sehingga saya dapat tentukan, jika saya mau, untuk tidak berbahasa lidah lagi. Sehingga, saya yakin dapat saja dibaptis dengan Roh Kudus dan tak pernah berbahasa lidah awalnya tanpa bekerja-sama dengan ucapan-ucapan dari Roh.

Ketika saya mendapat kesempatan untuk berbagi dengan seorang Kristen yang telah berdoa dengan iman untuk mendapatkan baptisan Roh Kudus, tetapi ia tak pernah berbahasa lidah, saya tidak berkata padanya (saya juga tidak percaya) bahwa ia tidak dibaptis dengan Roh Kudus. Saya hanya jelaskan padanya bahwa berbahasa lidah bukan sesuatu yang Roh Kudus pisahkan dari kita. Saya jelaskan bahwa Roh Kudus memberikan ucapan, tetapi kita harus melakukan ucapan, seperti saat seseorang berbicara dalam bahasanya sendiri. Lalu saya beri dia dorongan untuk bekerja-sama dengan Roh Kudus dan mulai berbahasa lidah. Hampir tanpa kecuali, semua segera terjadi.

Tidakkah Paulus Menulis bahwa Tidak Semua Orang Berbahasa Lidah? (Didn’t Paul Write that Not All Speak with Tongues?)

Pertanyaan retoris Paulus, “Bukankah semua orang tidak berbicara dengan bahasa-bahasa lidah?” (1 Korintus 12:30) memiliki jawaban yang jelas, yakni “Tidak”. Pertanyaan itu harus diselaraskan dengan bagian lain dari Perjanjian Baru. Pertanyaan Paulus terdapat dalam konteks pengajarannya tentang karunia-karunia roh, yang semuanya hanya terwujud bila Roh berkehendak (lihat 1 Korintus 12:11). Paulus secara khusus menulis tentang karunia roh dari “berbagai macam bahasa lidah” (1 Korintus 12:10) yang, menurut Paulus, harus selalu disertai dengan karunia roh untuk menafsirkan bahasa lidah. Karunia khsusus ini tidak mungkin jadi manifestasi dari orang-orang di gerejanya, ketika mereka berbahasa lidah di depan banyak orang tanpa ada yang mengartikan. Kita harus bertanya, Mengapa Roh Kudus mengimpartasi karunia bahasa lidah kepada seseorang di depan banyak orang tanpa memberinya karunia mengartikan? Jawabannya adalah Ia tak akan memberikan. Jika tidak, maka Roh Kudus hanya memberikan sesuatu yang bukan kehendak Tuhan.

Jemaat Korintus pasti berdoa dalam bahasa lidah selama ibadah-ibadah jemaat, tanpa ada yang mengartikan. Jadi, kita pelajari bahwa berbahasa lidah memiliki dua manfaat berbeda. Pertama adalah berdoa dalam bahasa lidah yang, kata Paulus, dilakukan secara pribadi. Penggunaan bahasa lidah tidak disertai dengan pemberian artinya, seperti yang Paulus tuliskan, “Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa.” (1 Korintus 14:14). Jelaslah, Paulus tidak selalu tahu apa yang dikatakannya ketika ia berbahasa lidah. Tak ada pemahaman dalam dirinya; juga tak ada pemberian artinya.

Tetapi, ada juga penggunaan karunia bahasa lidah untuk jemaat umum di gereja, yang selalu disertai dengan karunia penafsiran bahasa lidah itu. Hal itu terjadi ketika Roh Kudus menggerakkan seseorang ketika Roh menghendaki, dengan memberinya karunia itu. Orang itu berbicara di depan banyak orang, dan kemudian diberikan artinya. Tetapi, Allah tidak memakai setiap orang seperti itu. Itu sebabnya Paulus menulis bahwa tidak semua orang berbahasa lidah. Tidak semua orang dipakai oleh Allah dalam karunia berbahasa lidah yang muncul tiba-tiba dan diberikan secara spontan, karena Allah tidak memakai setiap orang dalam karunia menafsirkan bahasa lidah. Itulah cara menjawab pertanyaan retoris Paulus, “Bukankah semua orang tidak berbicara dengan bahasa lidah?” dengan bagian-bagian lain yang diajarkan oleh Alkitab.

Saya dapat berbahasa lidah kapanpun saya mau, seperti yang dilakukan oleh Paulus. Jadi jelaslah baik Paulus maupun saya sendiri tidak berkata bahwa kapanpun kita berbahasa lidah, itu “hanya kehendak Roh.” Sesuai kehendak kita. Jadi, apa yang akan kita lakukan ketika kita mau bisa saja bukan karunia bahasa lidah yang hanya terjadi “saat Roh berkehendak.” Juga, Paulus, seperti saya, berbahasa lidah sendiri tanpa memahami apa yang dikatakannya, sehingga bisa saja bukan karunia bahasa lidah yang ditulis dalam 1 Korintus, yang, kata Paulus, selalu disertai dengan karunia penafsiran bahasa lidah.

Jarang sekali saya berbahasa lidah di depan banyak orang. Hanya ketika saya merasakan gerakan Roh Kudus untuk saya lakukan, walaupun saya dapat (seperti yang dilakukan jemaat Korintus) berdoa dalam bahasa lidah dengan keras-keras kapanpun saya mau tanpa ada orang yang mengartikan. Ketika saya merasakan gerakan Roh Kudus di atasku dengan karunia itu, selalu ada pemberian arti yang memperbaiki tubuh Kristus.

Kesimpulannya, kita harus tafsirkan Alkitab secara selaras. Karena pertanyaan retoris Paulus dalam 1 Korintus 12:30, orang-orang mengabaikan banyak ayat Alkitab yang tidak selaras dengan tafsirannya. Mereka berkesimpulan bahwa tak semua orang percaya harus berbicara dengan bahasa lidah lain. Karena kesalahan itulah, mereka kehilangan berkat besar dari Tuhan.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Sebelas (Chapter Eleven)

Bab Sembilan (Chapter Nine)

Pengkhotbah yang Disukai Yesus (Jesus’ Favorite Preacher)

Anda mungkin kaget saat tahu bahwa Yesus memiliki pengkhotbah yang paling Dia sukai. Bahkan, anda mungkin kaget saat tahu bahwa pengkhotbah itu bukanlah dari gereja Lutheran, Methodis, Pentakosta, Anglikan, atau Presbiterian. Sebaliknya, ia seorang Pembaptis! Sudah tentu, kita mengenalnya sebagai Yohanes Pembaptis! Yesus berkata tentang Yohanes Pembaptis,

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis. (Matius 11:11a).

Karena semua orang “lahir dari wanita”, inilah cara lain untuk berkata bahwa, menurut dugaan Yesus, Yohanes Pembaptis adalah orang terbesar yang pernah hidup. Alasan Yesus merasa seperti itu hanyalah asumsi. Wajar bila kita berpikir bahwa Yesus sangat menghargai Yohanes oleh karena kualitas-kualitas rohaninya. Jika demikian, kita tentu harus bersikap bijak untuk belajar dan meneladani semua kualitas rohani itu. Saya temukan ada tujuh kualitas rohani yang terpuji dalam diri Yohanes Pembaptis. Walaupun pelayanan Yohanes melambangkan pelayanan penginjil, ketujuh kualitas rohani itu cocok untuk setiap pelayan Injil. Perhatikan kualitas pertama.

Kualitas Pertama dari Yohanes (John’s First Quality)

Dan inilah kesaksian Yohanes ketika orang Yahudi dari Yerusalem mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi kepadanya untuk menanyakan dia: “Siapakah engkau?” Ia mengaku dan tidak berdusta, katanya: “Aku bukan Mesias.” Lalu mereka bertanya kepadanya: “Kalau begitu, siapakah engkau? Elia?” Dan ia menjawab: “Bukan!” “Engkaukah nabi yang akan datang?” Dan ia menjawab: “Bukan!” Maka kata mereka kepadanya: “Siapakah engkau? Sebab kami harus memberi jawab kepada mereka yang mengutus kami. Apakah katamu tentang dirimu sendiri ?” Jawabnya: “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” (Yohanes 1:19-23).

Yohanes mengetahui panggilannya dan mengejar panggilan itu.

Betapa penting bagi setiap pelayan untuk mengetahui panggilannya dan mengejar panggilan itu. Bila anda seorang penginjil, maka anda tak boleh mencoba jadi pendeta. Bila anda seorang guru, anda tak boleh mencoba jadi nabi. Bila tidak, anda akan frustrasi.

Bagaimana mengetahui panggilan anda? Pertama, mencari Tuhan, Oknum yang telah memanggil anda. Kedua, menguji karunia yang diberikan kepada anda. Jika Allah telah memanggil anda untuk menjadi penginjil, Ia akan memperlengkapi anda untuk tugas tersebut. Dan ketiga, penegasan orang lain yang tentu akan memperhatikan karunia yang diberikan kepada anda.

Ketika anda yakin akan panggilan itu, kejarlah dengan segenap hatimu, dan tak ada halangan yang merintangi anda. Banyak orang menunggu Tuhan untuk melakukan kehendakNya. Nuh tidak menunggu Tuhan untuk membangun bahtera!

Sudah disebutkan bahwa kata pelayanan dieja dengan K E R J A. Setan tentu akan coba menghentikan langkah anda agar tidak memenuhi panggilan anda, tetapi anda harus melawannya dan secara bertahap maju dengan iman. Meskipun Alkitab tidak megatakan kepada kita, yakinlah bahwa pada suatu hari Yohanes pertama kali mulai berkhotbah di sekitar wilayah sungai Yordan. Sudah pasti kerumunan orang banyak mula-mula jauh lebih sedikit dibanding kerumunan berikutnya. Bisa jadi orang-orang mempermainkan dan menganiayanya. Tetapi ia tak dapat dihentikan. Tujuan satu-satunya adalah menyenangkan Allahnya yang telah memanggilnya kepada pelayanannya. Pada akhirnya, ia berhasil.

Kualitas rohani pertama dari Yohanes yang layak ditiru adalah: Yohanes mengetahui panggilannya dan mengejarnya.

Kualitas Kedua dari Yohanes (John’s Second Quality)

Pada waktu itu tampillah Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea dan memberitakan: “bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Matius 3:1-2).

Sudah tentu Yesus sangat menghargai pesan sederhana dari Yohanes, karena itulah pesan sama yang Yesus khotbahkan di manapun Ia pergi (lihat Matius 4:17). Yohanes menyerukan agar orang-orang bertobat —berbalik dari kehidupan dosa dan berpindah kepada hidup dalam kebenaran. Ia tahu bahwa hubungan dengan Allah dimulai dengan pertobatan, dan orang yang tidak bertobat akan dilempar ke nereka.

Tidak seperti banyak penginjil kini, Yohanes tak pernah menyebutkan kasih Allah. Ia juga tidak berbicara tentang “kebutuhan yang dirasakan” orang-orang sebagai cara untuk meyakinkan mereka untuk memanjatkan doa yang tak berarti tentang “menerima Yesus” sehingga mereka mulai mengalami “hidup berkelimpahan.” Ia tidak membimbing orang-orang untuk percaya bahwa merekalah orang-orang baik yang Allah ingin bawa ke sorga jika mereka dapat menyadari bahwa keselamatan bukanlah hasil usaha. Sebaliknya, ia melihat mereka ketika Allah melihat mereka — memberontak demi menghadapi konsekwensi kekal atas dosa-dosa mereka. Ia serius mengingatkan mereka akan murka yang akan datang. Ia meyakinkan mereka untuk memahami bahwa jika mereka tidak mengubah hati dan pikiran mereka, mereka akan mendapat hukuman.

Jadi kualitas kedua yang dimiliki oleh Yohanes yang layak diteladani oleh pelayan pemuridan adalah: Yohanes menegaskan pertobatan sebagai langkah pertama untuk memiliki hubungan dengan Allah.

Kualitas Ketiga dari Yohanes (John’s Ketiga Quality)

Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan. (Matius 3:4).

Sudah tentu, Yohanes tidak cocok dengan gambaran sebagai seorang “pengkhotbah ajaran kemakmuran” masa kini. Kenyataannya, mereka tak pernah membolehkan orang yang demikian tampil di mimbar gerejanya karena ia tidak berpakaian kesuksesan. Tetapi, Yohanes adalah orang benar dari Allah yang tak tertarik mengejar harta duniawi atau memberi kesan kepada orang-orang yang berpenampilan luar, dan saat itu juga mengetahui bahwa Allah melihat hati manusia. Yohanes hidup dengan sederhana, dan gaya hidupnya menyebabkan tak seorangpun tersandung, ketika mereka pahami bahwa motifnya bukanlah uang. Hal itu tetap teguh dalam menghadapi banyak pelayan masa kini di seluruh dunia, yang memakai Injil demi mendapatkan keuntungan pribadi. Dan saat mereka keliru menggambarkan tentang Yesus, mereka benar-benar menghancurkan maksud Kristus.

Kualitas ketiga Yohanes yang mendukung statusnya sebagai pengkhotbah yang disukai Yesus adalah: Yohanes hidup sederhana.

Kualitas Keempat dari Yohanes (John’s Fourth Quality)

Lalu ia [Yohanes ] berkata kepada orang banyak yang datang kepadanya untuk dibaptis, katanya: “Hai kamu keturunan ular beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu melarikan diri dari murka yang akan datang? Jadi hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! (Lukas 3:7-8).

Ketika pelayanan Yohanes mulai menyentuh lebih banyak orang, ia tidak mengkompromikan pesannya. Yohanes bisa saja curiga atas motif orang-orang ketika ia tahu bahwa pembaptisan menjadi topik yang sudah meluas. Bahkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi melakukan perjalanan ke sungai Yordan (lihat Matius 3:7). Ia kuatir akan makin bertambahnya orang yang mengikuti kerumunan orang banyak. Sehingga ia melakukan apa saja agar mereka tidak menipu dirinya sendiri, dengan meruntuhkan tiang-tiang penyanggah yang menopang cara hidup mereka yang suka menipu. Ia tidak mau siapapun menganggap bahwa hanya dengan baptisan orang dapat diselamatkan, atau hanya dengan pengakuan pertobatan akan menghindarkan mereka dari neraka. Ia mengingatkan bahwa pertobatan sejati menghasilkan buah-buah ketaatan.

Lagipula, karena banyak orang Yahudi menganggap diri mereka diselamatkan karena garis keturunan fisik dari Abraham, Yohanes mengungkapkan kekeliruan harapan itu.

Kualitas keempat yang patut dipuji dari Yohanes adalah: Ia mau orang cukup berkata kebenaran kepada orang banyak. Ia tak menjamin seseorang yang tidak suci dan belum bertobat bahwa ia sedang menuju ke sorga.

Kualitas Kelima dari Yohanes (John’s Fifth Quality)

Yohanes biasanya tidak membaptis orang-orang yang tidak bertobat, dan tak ingin mendukung sikap menipu diri sendiri dari siapapun. Ia membaptis orang-orang “ketika mereka mengaku dosanya” (Matius 3:6). Ia mengingatkan orang-orang yang datang:

Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api… dan alat penampi sudah ditangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan.” (Matius 3:10, 12).

Yohanes tak gentar mengatakan kebenaran tentang neraka, yang sering dihindari oleh para pengkhotbah yang coba mencari popularitas bukannya memenangkan jiwa-jiwa bagi Kerajaan Allah. Yohanes juga tidak menyebarluaskan tema yang sama dalam Khotbah Kristus di Bukit —hanya orang-orang suci akan mewarisi Kerajaan Allah. Orang-orang yang tidak menghasilkan buah akan dilempar ke api nereka.

Jika Yohanes hidup kini, banyak orang yang mengaku Kristen pasti mengkritiknya sebagai seorang “pengkhotbah api-neraka dan belerang”, seorang “nabi kesuraman dan bencana”, “tidak peka-pencari”, atau sebutan yang lebih buruk, “negatif”, “menimbulkan kecaman”, “penuh aturan” atau “benar-sendiri.” Namun Yohanes adalah pengkhotbah favorit Yesus. Kualitas kelimanya: Yohanes berkhotbah tentang neraka dan memperjelas orang-orang jenis apa yang sedang menempuh perjalanannya ke neraka. Hal yang menarik, Lukas menyebut pesan Yohanes sebagai “Injil” (Lukas 3:18).

Kualitas Keenam dari Yohanes (John’s Sixth Quality)

Walaupun Allah memakai Yohanes dengan penuh kuasa dan dikenal orang banyak, ia tahu ia bukan apa-apa dibandingkan Yesus, sehingga ia selalu memuliakan Tuhan:

Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api. (Matius 3:11).

Betapa penilaian diri dari Yohanes bertentangan dengan keangkuhan yang terlalu sering dipamerkan oleh “pelayan” sekarang ini. Berbagai majalah berwarna tentang pelayanan mereka berisi foto-foto mereka di setiap halaman, sementara Yesus jarang disebut di dalamnya. Mereka berbaris bagaikan burung-burung merak di halaman gereja, sambil memuliakan diri sendiri di hadapan para pengikutnya. Mereka tak tersentuh dan tak mudah dicapai, bersikap mementingkan diri. Sebagian bahkan memerintahkan malaikat dan Allah! Namun Yohanes menganggap dirinya tidak layak untuk melepas kasut Yesus, tindakan yang hanya dilakukan oleh seorang budak rendahan. Ia keberatan ketika Yesus datang kepadanya untuk dibaptis, dan ketika ia sadar Yesuslah sang Kristus, ia segera mengalihakan perhatian semua orang kepadaNya, dengan menyatakanNya sebagai “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Slogan Yohanes dalam kerendahan hatinya adalah “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yohanes 3:30).

Itulah kualitas keenam Yohanes yang ikut membuatnya jadi pengkhotbah yang disukai Yesus: Yohanes merendahkan diri dan memuliakan Yesus. Ia tak ingin meninggikan diri.

Kualitas Ketujuh dari Yohanes (John’s Seventh Quality)

Para pengkhotbah masa kini sering berbicara dengan memakai ungkapan-ungkapan umum yang tak jelas agar mereka tak menyinggung perasaan siapapun. Betapa mudahnya berkhotbah, ”Allah inginkan kita melakukan apa yang benar!” Orang-orang Kristen yang benar dan tidak benar pasti berkata “Amin” pada khotbah itu. Banyak pengkhotbah juga selalu berkata tentang dosa-dosa dunia yang memalukan, dan menghindari penyebutan dosa-dosa yang serupa dalam gereja. Misalnya, mereka marah untuk melawan pornografi, tetapi tak berani menyebut video dan DVD jenis-R dan tak bermoral yang ditonton dan dikoleksi oleh banyak anggota jemaatnya. Rasa takut manusia telah menjerat mereka.

Tetapi Yohanes, tak ragu-ragu berkhotbah secara khusus. Lukas melaporkan:

Orang banyak bertanya kepadanya: “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” Jawabnya: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” Ada datang juga pemungut-pemungut cukai untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya: “Guru, apakah yang harus kami perbuat?” Jawabnya: “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.” Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: “Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?” Jawab Yohanes kepada mereka: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” (Lukas 3:10-14).

Yang menarik, lima dari enam petunjuk khusus yang diberikan oleh Yohanes terkait dengan uang atau materi. Yohanes tak takut mengkhotbahkan tentang pengelolaan khusus karena hal itu terkait dengan aturan emas dan perintah terbesar kedua. Yohanes tidak juga menunggu beberapa tahun sampai “orang-orang percaya” baru siap dengan konsep-konsep “berat” itu. Ia percaya, melayani Allah dan mammon pada saat bersamaan adalah hal yang mustahil, maka pengelolaan khusus sangatlah penting sejak awal.

Muncul pendapat lain. Yohanes tak mengurusi hal-hal kecil, yang terus membicarakan aturan berpakaian dan masalah kesucian lain terkait dengan penampilan luar. Ia berfokus pada “yang terpenting dalam hukum Taurat” (Matius 23:23). Ia tahu hal yang terpenting, yakni mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri dan memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Artinya, kita berbagi pakaian dan makanan dengan mereka yang tak memiliki pakaian dan makanan, dan memiliki hubungan yang tulus dengan orang lain, dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki.

Itulah kualitas ketujuh yang membuat Yohanes dikasihi oleh Yesus: Ia berkhotbah bukan dengan kata-kata umum yang tak jelas, tetapi menyebutkan hal-hal khusus yang harus orang-orang lakukan untuk menyenangkan Allah, bahkan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan khusus. Dan, ia memfokuskan kepada hal yang sangat penting.

Kesimpulan (In Conclusion)

Pelayanan seorang pendeta atau guru tentu banyak ditandai permasalahan dibandingkan pelayanan Yohanes. Yohanes berkhotbah kepada orang-orang yang belum bertobat. Para pendeta dan guru haruslah mengajari orang-orang yang telah bertobat. Pengajaran didasarkan pada hal-hal yang Yesus katakan kepada murid-muridNya dan yang dituliskan dalam surat-surat Perjanjian Baru.

Tetapi, kita sering tak mengenali dengan tepat siapa pendengar kita, dan tampak kini orang-orang berdosa sering dikhotbahkan seolah-olah mereka itu orang-orang suci. Hanya karena orang-orang duduk di gedung gereja tidak berarti tugas kita adalah menjamin keselamatan mereka, terutama jika kehidupan mereka tak berbeda dengan orang-orang dunia. Sekarang ini, semakin banyak dibutuhkan jutaan “Yohanes Pembaptis” untuk berkhotbah dari mimbar-mimbar gereja. Maukah anda bangkit untuk menerima tantangan itu? Maukah anda menjadi salah seorang pengkhotbah yang disukai oleh Yesus?

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Sembilan (Chapter Nine)

Bab Sepuluh (Chapter Ten)

Kelahiran Baru (The New Birth)

 

Ketika orang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, ia “dilahirkan kembali.” Apa arti dilahirkan kembali? Topik itulah yang akan dibahas dalam bab ini.

Untuk memahami arti dilahirkan kembali, pertama kita perlu pahami hakekat manusia. Alkitab menyatakan bahwa kita bukan hanya mahluk jasmani, tetapi juga mahluk rohani. Misalnya, Paulus menulis,

Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita. (1 Tesalonika 5:23, tambahkan penekanan).

Sesuai petunjuk Paulus, manusia dapat dianggap sebagai mahluk yang terdiri dari tiga bagian yakni roh, jiwa dan tubuh. Alkitab tidak persis mendefiniskan ketiga bagian itu, sehingga semaksimal mungkin kita bedakan ketiga kata itu dengan pemahaman kita tentang kata-kata itu. Biasanya kita berkesimpulan bahwa tubuh adalah keberadaan fisik manusia, yakni daging, tulang, darah, dan lain-lain. Jiwa adalah keberadaan intelek dan emosi manusia, yakni pikiran. Roh manusia adalah keberadaan rohaninya, atau seperti gambaran rasul Petrus tentang dia, “manusia batiniah yang tersembunyi” (1 Petrus 3:4).

Karena roh tak terlihat oleh mata fisik, orang-orang yang tidak dilahirkan kembali cenderung tak peduli kepada keberadaan roh itu. Tetapi, Alkitab sangat jelas menyatakan bahwa kita semua adalah mahluk-mahluk rohani. Alkitab menyatakan bahwa ketika seseorang mati, hanya tubuhnya yang tidak berfungsi, sedangkan roh dan jiwanya tetap berfungsi selalu. Ketika tubuh mati, roh dan jiwa mengosongkan tubuh (sebagai satu kesatuan) untuk berdiri pada penghakiman di hadapan Allah (lihat Ibrani 9:27). Setelah penghakiman, roh dan jiwa menuju ke sorga atau neraka. Akhirnya, roh dan jiwa setiap orang akan disatukan kembali dengan tubuhnya pada saat kebangkitan.

Definisi Lebih Rinci tentang Roh Manusia (The Human Spirit More Defined)

Dalam 1 Petrus 3:4, Petrus menyebut roh sebagai “pribadi tersembunyi”, yang menunjukkan bahwa roh adalah satu pribadi. Paulus juga menyebutnya sebagai “manusia batiniah”, yang menunjukkan keyakinannya bahwa roh manusia bukan hanya satu konsep atau kekuatan, tetapi satu pribadi:

Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. (2 Korintus 4:16, tambahkan penekanan).

“Manusia luar” adalah gambaran tubuh fisik, sedangkan “manusia batiniah” adalah gambaran roh. Setiap hari, selagi tubuh menjadi tua, roh diperbarui.

Perhatikan lagi bahwa Paulus menyebut tubuh dan roh sebagai manusia. Jadi ketika anda bayangkan roh anda, jangan bayangkan awan rohani. Bayangkanlah seseorang yang bentuknya tampak seperti bentuk anda. Tetapi, jika tubuh anda sudah tua, jangan pikir roh anda kelihatan tua. Bayangkan penampilan anda dalam usia terbaik dalam kehidupan anda karena roh anda tak pernah menjadi tua! Roh anda terus diperbarui dari hari ke hari.

Roh anda adalah bagian dari anda yang dilahirkan kembali (jika anda telah percaya kepada Tuhan Yesus ). Roh anda bersatu dengan Roh Allah (lihat 1 Korintus 6:17), dan Ialah pribadi yang membimbing anda ketika anda mengikuti Yesus (lihat Roma 10:14).

Alkitab mengajarkan bahwa Allah juga adalah roh (lihat Yohanes 4:24), demikian juga para malaikat dan roh jahat. Semuanya memiliki bentuk dan berada di wilayah roh. Tetapi wilayah roh tak dapat dipahami dengan panca indera manusia. Berhubungan dengan dunia roh dengan panca indera mirip dengan merasakan sinyal radio dengan tangan kita. Panca indera kita tak bisa merasakan gelombang radio yang mengalir melewati ruangan, tetapi ketidakmampuan panca indera tidak membuktikan bahwa tidak ada gelombang radio di dalam ruangan. Cara untuk menangkap frekwensi radio adalah menghidupkan radio.

Hal ini juga berlaku bagi alam roh. Hanya karena alam roh tak dapat diinderai dengan panca indera, tak berarti alam roh itu tidak ada. Alam itu benar-benar ada, dan apakah orang-orang sadar atau tidak, mereka adalah bagian dari alam roh karena mereka adalah mahluk-mahluk roh. Mereka berhubungan secara roh dengan Setan (bila mereka tidak bertobat) atau berhubungan secara rohani dengan Allah (bila mereka dilahirkan kembali). Beberapa ahli spiritualisme telah mempelajari cara berhubungan dengan alam roh melalui roh-roh mereka, tetapi nyatanya mereka berhubungan dengan alam kekuasaan Setan, yakni kerajaan kegelapan.

Tubuh Kekal (Eternal Bodies)

Saat kita membahas topik utama, saya ajak anda untuk memperhatikan sesuatu tentang tubuh manusia. Walaupun tubuh akhirnya akan mati, kematian tubuh tak akan selamanya. Suatu hari nanti, Allah Sendiri akan membangkitkan setiap tubuh manusia yang mati. Yesus berkata,

Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, 29 dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum. (Yohanes 5:28 29).

Yohanes menulis dalam kitab Wahyu bahwa kebangkitan tubuh orang-orang yang harus dihukum akan terjadi seribu tahun setelah kebangkitan tubuh orang-orang benar:

Dan mereka [orang-orang suci yang mati sahid selama Masa Kesukaran] hidup kembali dan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus untuk masa seribu tahun. Tetapi orang-orang mati yang lain tidak bangkit sebelum berakhir masa yang seribu tahun itu. Inilah kebangkitan pertama.

[1]

Berbahagia dan kuduslah ia, yang mendapat bagian dalam kebangkitan pertama itu. .. mereka akan menjadi imam-imam Allah dan Kristus, dan mereka akan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Dia, seribu tahun lamanya. (Wahyu 20:4b-6).

Alkitab juga menerangkan bahwa ketika Yesus kembali menjemput umatnya, semua tubuh mati orang-orang benar akan dibangkitkan kembali dan bersatu dengan roh-roh mereka ketika kembali dari sorga bersama dengan Yesus ke atmosfir Bumi:

Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia [sebagai roh-roh]. Ini kami katakan kepadamu dengan Firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus [tubuh mereka] akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. (1 Tesalonika 4:14-17).

Allah membentuk manusia pertama dari debu tanah, dan hanyalah masalah kecil bagiNya untuk mengambil unsur-unsur dari setiap tubuh manusia dan membentuk kembali manusia ke dalam tubuh baru dari bahan yang sama.

Mengenai kebangkitan tubuh, Paulus menulis:

Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Saudara-saudara, inilah yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu bahwa daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah dan bahwa yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa. Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati. (1 Korintus 15:42-44a, 50-53).

Perhatikan bahwa karakter menonjol tubuh baru adalah tubuh kita yang akan kekal dan tak dapat musnah. Tubuh takkan pernah menjadi tua, sakit, atau mati! Tubuh baru kita akan seperti tubuh baru yang Yesus terima setelah Ia dibangkitkan kembali:

Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri -Nya. (Filipi 3:20-21, tambahkan penekanan).

Rasul Yohanes juga menegaskan kebenaran yang mengagumkan itu:

Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. (1 Yohanes 3:2, tambahkan penekanan).

Walaupun pikiran kita mustahil untuk memahami sepenuhnya hal tersebut, kita dapat mempercayainya dan bersukacita akan apa yang nanti terjadi!

[2]

 

Yesus dalam hal Kelahiran Baru (Jesus on the New Birth)

Yesus pernah berbicara kepada pemimpin Yahudi bernama Nikodemus tentang perlunya kelahiran kembali dari roh manusia melalui pekerjaan Roh Kudus:

Yesus menjawab, kata-Nya [kepada Nikodemus]: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Kata Nikodemus kepada-Nya: “Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?” Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali.” (Yohanes 3:3-7).

Pertama-tama, Nikodemus menganggap pembicaraan Yesus tentang kelahiran kembali secara fisik ketika Ia berkata bahwa seseorang harus dilahirkan kembali untuk memasuki kerjaan sorga. Tetapi, Yesus memperjelas bahwa Ia sedang berbicara tentang kelahiran kembali secara rohani. Yakni, roh seseorang harus dilahirkan kembali.

Alasan bahwa kita butuh kelahiran kembali secara rohani adalah karena roh-roh kita telah terkotori dengan sifat jahat dan dosa. Sifat dosa itu sering disebut dalam Alkitab sebagai kematian. Untuk lebih memahami, kita sebut sifat jahat itu sebagai kematian rohani sehingga kita dapat bedakan antara kematian rohani dan kematian tubuh (ketika tubuh jasmani tak berfungsi).

Definisi Kematian Rohani (Spiritual Death Defined)

Paulus menggambarkan arti kematian sebagai kematian rohani dalam Efesus 2:1-3:

Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalam nya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain. (tambahkan penekanan).

Paulus tidak mengacu pada kematian tubuh fisik karena suratnya ditujukan kepada orang-orang yang secara fisik masih hidup. Namun ia berkata bahwa mereka pernah “mati dalam pelanggaran dan dosa-dosa mereka”. Dosa membuka pintu menuju ke kematian rohani (lihat Roma 5:12). Mati rohani berarti memiliki sifat dosa dalam roh. Perhatikan kata Paulus bahwa ”pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang harus dimurkai.”

Selain itu, menjadi mati rohani berarti memiliki sedikit sifat Setan dalam roh anda. Paulus berkata bahwa orang yang mati rohani memiliki “roh-roh jahat di udara” yang bekerja di dalamnya. “Roh-roh jahat di udara” sudah pasti adalah Iblis (lihat Efesus 6:12), dan rohnya bekerja dalam diri orang yang tidak diselamatkan.

Yesus berkata kepada orang-orang Yahudi yang belum dilahirkan kembali:

Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta. (Yohanes 8:44).

Dari sudut pandang roh, orang yang tidak dilahirkan kembali memiliki sifat Setan di dalam rohnya, dan Setan jadi bapa bagi rohnya. Orang itu secara naluriah bertindak seperti Iblis. Orang itu adalah pembunuh dan pembohong.

Tak semua orang yang belum selamat melakukan pembunuhan, tetapi mereka termotivasi oleh kebencian yang sama dengan para pembunuh, dan mereka akan membunuh jika dapat melepaskan diri. Legalisasi aborsi di banyak negara membuktikan fakta itu. Orang yang belum selamat bahkan akan membunuh bayinya yang belum lahir.

Itu sebabnya seseorang harus mengalami kelahiran kembali secara rohani. Ketika ia lahir kembali, maka sifat dosa dari Setan dikeluarkan dari rohnya dan diganti dengan sifat suci dari Allah. Roh Kudus dari Allah datang berdiam di dalam rohnya. Ia tak lagi “mati rohani” tetapi menjadi “hidup secara rohani.” Rohnya tak lagi mati tetapi hidup kepada Allah. Bukannya menjadi anak roh dari Setan, ia menjadi anak roh dari Allah.

Pembaruan bukanlah Ganti bagi Kelahiran Kembali (Reformation is No Substitute for Regeneration)

Orang yang belum selamat mati secara rohani, maka ia tak dapat diselamatkan melalui pembaruan-diri, tak peduli betapa kerasnya ia berusaha. Orang yang belum selamat memerlukan sifat baru, bukan hanya perbuatan baru secara lahiriah. Anda dapat mendandani seekor babi, dan membersihkannya, menyemprotkan parfum, dan memberi pita merah muda di lehernya, tetapi yang anda dapatkan hanyalah babi yang dibersihkan! Sifatnya tetap sama. Dan keadaan itu tak akan lama berlangsung sebelum baunya hilang dan akhirnya ia berkubang di becek lagi.

Hal yang sama terjadi pada orang-orang religius yang tak pernah dilahirkan kembali. Mereka dapat saja dibersihkan sedikit di bagian luar, tetapi di dalamnya tetap kotor seperti sebelumnya. Yesus berkata kepada sejumlah orang yang sangat religius pada zamanNya,

Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih. Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan. (Matius 23:25-28).

Perkataan Yesus adalah gambaran yang sesuai bagi semua orang religius tetapi tak pernah mengalami kelahiran baru dari Roh Kudus. Peristiwa kelahiran baru menjadikan orang bersih di dalam dirinya, tidak hanya di bagian luar.

Apa yang Terjadi pada Jiwa ketika Roh Dilahirkan Kembali? (What Happens to the Soul When Spirit is Reborn?)

Ketika roh seseorang dilahirkan kembali, jiwanya mula-mula tetap tak terpengaruh (selain nyata ia telah memutuskan dalam pikirannya untuk mengikuti Yesus). Tetapi, Allah mengharapkan kita untuk melakukan sesuatu dengan jiwa kita ketika kita menjadi anak-anakNya. Jiwa (pikiran) kita harus diperbarui dengan Firman Tuhan sehingga kita berpikir sesuai kehendak Allah. Melalui pembaruan pikiran kita, transformasi dari luar yang terus berlanjut dikerjakan dalam hidup kita, yang membuat kita semakin menjadi seperti Yesus:

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. (Roma 12:2, tambahkan penekanan).

Yakobus juga menulis tentang proses yang sama dalam kehidupan orang percaya:

Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. (Yakobus 1:21b).

Perhatikan bahwa Yakobus menyurati orang-orang Kristen, orang-orang yang rohnya telah dilahirkan kembali. Tetapi mereka perlu menyelamatkan jiwa mereka, dan hal itu hanya terjadi ketika mereka dengan rendah hati menerima “firman yang dicangkokkan.” Itu sebabnya orang-orang yang baru percaya harus diajarkan Firman Tuhan.

Sisa Sifat Lama (The Residue of the Old Nature)

Setelah lahir baru, seorang Kristen segera tahu bahwa dia adalah orang yang memiliki dua sifat, yakni mengalami perang antara “Roh dan daging”, sesuai sebutan Paulus:

Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging–karena keduanya bertentangan–sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. (Galatia 5:17).

Paulus menyebut sisa dari sifat dosa lama yang tetap ada sebagai “daging”. Kedua sifat di dalam kita menghasilkan perbedaan keinginan yang, bila kita berserah, menghasilkan tindakan dan gaya hidup berbeda. Perhatikan perbedaan yang dibuat oleh Paulus antara “perbuatan daging” dan “buah-buah Roh ”:

Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu–seperti yang telah kubuat dahulu–bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. (Galatia 5:19-23).

Jelaslah, orang Kristen dapat menyerah pada keinginan daging; jika tidak Paulus tidak akan mengingatkannya. Jika orang itu bertindak sesuai keinginan daging, ia tak akan mewarisi Kerajaan Allah. Dalam suratnya kepada jemaat Roma, Paulus juga menuliskan dua sifat orang Kristen dan mengingatkan akibat dari penyerahan diri kepada daging:

Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran. ….Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup. Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. (Roma 8:10, 12-14, tambahkan penekanan).

Hal itu jelas menjadi peringatan bagi orang-orang Kristen. Hidup (yang menunjukkan tindakan yang rutin) menurut daging mengakibatkan kematian. Paulus telah mengingatkan tentang kematian rohani, karena setiap orang akhirnya mati secara badani, bahkan orang-orang Kristen yang “mematikan perbuatan tubuh.”

Orang Kristen untuk sementara bisa saja jatuh ke dalam dosa-dosa yang disebutkan oleh Paulus; tetapi, ketika seorang percaya berbuat dosa, ia merasa bersalah dan mau bertobat. Siapapun yang mengaku dosanya dan meminta pengampunan Allah tentu akan disucikan (lihat 1 Yohanes 1:9).

Ketika seorang Kristen berdosa, tidak berarti ia telah putus hubungan dengan Allah —ia telah memutuskan persekutuannya. Ia masih tetap anak Allah, tetapi kini ia anak bandel Allah. Jika orang percaya tidak mengaku dosanya, ia ada dalam posisi untuk didisiplinkan oleh Tuhan.

Perang (The War)

Jika anda ingin melakukan hal-hal itu yang sebenarnya keliru, maka anda mengalami “keinginan daging.” Pasti anda juga dapati bahwa ketika dicobai oleh keinginan daging untuk berbuat salah, sesuatu dalam diri anda melawan pencobaan itu. Itulah “keinginan Roh.” Dan jika anda tahu perasaan bersalah di dalam diri ketika anda menyerah pada pencobaan, maka anda mengenali suara roh anda, yang disebut “kata hati” kita.

Allah tahu dengan baik bahwa keinginan daging kita menggoda kita untuk berbuat salah. Tetapi, itu bukan alasan, karena kita membenarkan tindakan menyerah kepada keinginan daging. Allah masih mengharapkan kita untuk bertindak dalam ketaatan dan kesucian dan untuk mengatasi sifat daging:

Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. (Galatia 5:16).

Tak ada rumusan magis untuk mengatasi keinginan daging. Paulus hanya berkata agar kita “berjalan dengan Roh”, dan kita “tidak akan melakukan keinginan-keinginan daging” (Galatia 5:16). Tak seorang Kristenpun mendapatkan keuntungan atas orang Kristen lainnya dalam hal itu. Mengejar Roh adalah keputusan yang harus kita buat, dan bakti kita kepada Tuhan dapat diukur dengan tingkat sejauh mana kita tidak menyerah pada keinginan-keinginan daging.

Paulus demikian juga menulis:

Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. (Galatia 5:24).

Perhatikan perkataan Paulus bahwa orang yang menjadi milik Kristus telah (keterangan waktu lampau) menyalibkan keinginan daging. Itu terjadi ketika kita bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Kita menyalibkan sifat dosa, dengan memutuskan untuk menaati Allah dan melawan dosa. Jadi, kini masalahnya bukanlah menyalibkan keinginan daging, tetapi membuat agar keinginan daging tetap terus disalibkan.

Memang tidak selalu mudah untuk terus menyalibkan keinginan daging kita, tetapi hal itu tetap dapat dilakukan. Jika kita hendak melakukan keinginan dengan pimpinan manusia batiniah, bukannya menyerah kepada dorongan keinginan daging, maka kita akan mewujudkan kehidupan Kristus dan berjalan dalam kesucian di hadapanNya.

Sifat Roh kita yang Diciptakan Kembali (The Nature of our Recreated Spirits)

Satu kata yang paling cocok untuk menggambarkan sifat dari roh-roh yang diciptakan kembali adalah Kristus. Melalui Roh Kudus, yang memiliki sifat identik sebagai Yesus, kita sebenarnya memiliki sifat Yesus yang hidup di dalam kita. Paulus menulis, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Galatia 2:20).

Karena kita memiliki kemampuan dan sifatNya di dalam diri kita, maka kita memiliki peluang baik untuk hidup seperti Kristus. Kita tak memerlukan lebih banyak kasih, kesabaran, atau pengendalian diri —dalam diri kita, kita memiliki Pribadi yang sangat menyayangi, sangat sabar dan sangat mampu mengendalikan diri! Kita perlu undang Dia untuk tetap tinggal di dalam kita.

Tetapi, kita semua punya musuh utama, yakni keinginan daging, yang berperang melawan sifat Yesus, yakni sifat yang menghambat keinginan daging agar tidak mewujudkan dirinya dalam kita. Tak heran, Paulus berkata agar kita menyalibkan daging kita. Kita bertanggung-jawab melakukan sesuatu dengan keinginan daging, dan kita hanya akan buang-buang waktu bila meminta Allah melakukan sesuatu untuk itu. Paulus juga sulit menangani sifat kedagingannya, tetapi ia bertanggung-jawab dan mengatasi sifat itu:

Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak. (1 Korintus 9:27).

Anda juga harus menjadikan tubuhmu sebagai hamba dari roh anda jika anda ingin berjalan dalam kesucian di hadapan Tuhan. Yakinlah, anda sanggup melakukannya!

 


[1]

Karena Yohanes berkata bahwa ini adalah “kebangkitan pertama,” maka kita percaya tak ada lagi kebangkitan masal sebelum kejadian tersebut. Karena hal itu terjadi ketika berakhirnya masa kesukaran di seluruh dunia ketika Yesus kembali, maka hal itu bertentangan dengan ide pengangkatan di “masa pra-kesukaran”. Seperti kita tahu akan ada kebangkitan masal ketika Yesus datang dari sorga pada saat Pengangkatan Gereja menurut 1 Tesalonika 4:13-17. Kita akan pelajari hal itu secara lebih rinci pada bab yang berjudul Akhir Zaman.

[2]

Untuk meneliti lebih lanjut topik tentang kebangkitan, lihat Daniel 12:1-2; Yohanes 11:23-26; Kisah Para Rasul 24:14-15; 1 Korintus 15:1-57.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Sepuluh (Chapter Ten)