Bab Duapuluh-Tujuh (Chapter Twenty Seven)

Kehidupan Setelah Kematian (The Afterlife)

 

Sebagian besar orang Kristen tahu bahwa ketika seorang manusia mati, ia bisa saja ke neraka atau ke sorga. Namun tak semua orang menyadari bahwa sorga bukanlah tempat akhir bagi orang benar, dan bahwa Hades bukanlah tempat akhir bagi orang tidak benar.

Ketika para pengikut Yesus Kristus meninggal, roh-roh/jiwa-jiwa mereka segera pergi ke sorga di mana Allah tinggal (lihat 2 Korintus 5:6-8; Filipi 1:21-23; 1 Tesalonika 4:14). Namun sekali kelak nanti, Allah akan menciptakan sorga baru dan bumi baru, dan Yerusalem Baru akan turun dari sorga ke bumi (lihat 2 Petrus 3:13; Wahyu 21:1-2). Di Yerusalem Baru, orang-orang benar akan hidup selamanya.

Ketika orang tidak benar meninggal, ia pergi ke Hades, yakni tempat sementara di mana ia akan menunggu tubuhnya untuk dibangkitkan kembali. Ketika harinya tiba, ia akan berdiri di hadapan takhta penghakiman Allah, lalu dilempar ke dalam lautan yang menyala-nyala dengan api dan belerang, dan di dalam Alkitab, tempat itu disebut Gehenna. Kita akan bahas semua itu secara lebih rinci dari Alkitab.

Ketika Orang Tidak Benar Mati (When the Unrighteous Die)

Untuk memahami dengan benar apa yang terjadi kepada orang yang tidak benar setelah ia mati, kita harus pelajari satu kata bahasa Ibrani dalam Perjanjian Lama dan tiga kata bahasa Gerika dalam Perjanjian Baru. Walaupun satu kata bahasa Ibrani dan tiga kata bahasa Gerika menggambarkan tiga tempat berbeda, semua kata itu sering diterjemahkan menjadi neraka dalam terjemahan Alkitab, yang bisa saja membingungkan para pembaca.

Pertama, perhatikan kata Sheol dalam bahasa Ibrani dalam Perjanjian Lama.

Kata Sheol disebutkan lebih dari 60 kali dalam Perjanjian Lama. Kata itu mengacu pada tempat tinggal setelah-mati bagi orang-orang tidak benar. Misalnya, ketika Korah dan para pengikutNya memberontak melawan Musa di padang gurun, Allah menghukum mereka dengan cara membuka tanah, sehingga mereka dan semua harta miliknya terperosok. Alkitab berkata bahwa mereka jatuh ke dalam Sheol:

Demikianlah mereka dengan semua orang yang ada pada mereka turun hidup-hidup ke dunia orang mati [Sheol]; dan bumi menutupi mereka, sehingga mereka binasa dari tengah-tengah jemaah itu. (Bilangan 16:33, tambahkan penekanan).

Lalu dalam sejarah Israel, Allah ingatkan mereka bahwa murka Allah memperkuat nyala api yang membakar Sheol:

Sebab api telah dinyalakan oleh murka-Ku, dan bernyala-nyala sampai ke bagian dunia orang mati yang paling bawah; api itu memakan bumi dengan hasilnya, dan menghanguskan dasar gunung-gunung. (Ulangan 32:22, tambahkan penekanan).

Raja Daud menyatakan bahwa,

Orang-orang fasik akan kembali ke dunia orang mati [Sheol], ya, segala bangsa yang melupakan Allah. (Mazmur 9:17, tambahkan penekanan).

Dan ia berdoa untuk menghadapi orang-orang yang tidak benar dengan memohon,

Biarlah maut menyergap mereka, biarlah mereka turun hidup-hidup ke dalam dunia orang mati [Sheol]! Sebab kejahatan ada di kediaman mereka, ya dalam batin mereka. (Mazmur 55:16, tambahkan penekanan).

Untuk mengingatkan orang muda akan tipuan wanita sundal, Salomo menuliskan,

Rumahnya adalah jalan ke dunia orang mati [Sheol], yang menurun ke ruangan-ruangan maut. …. Tetapi orang itu tidak tahu, bahwa di sana ada arwah-arwah dan bahwa orang-orang yang diundangnya ada di dalam dunia orang mati [Sheol]. (Amsal 7:27; 9:18, tambahkan penekanan).

Salomo menuliskan amsal lainnya yang membuat kita percaya bahwa bukanlah orang-orang benar yang berakhir di Sheol:

Jalan kehidupan orang berakal budi menuju ke atas, supaya ia menjauhi dunia orang mati [Sheol] di bawah. (Amsal 15:24, tambahkan penekanan).

Engkau memukulnya [anakmu] dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati [Sheol]. (Amsal 23:14, tambahkan penekanan)

Akhirnya, dengan memperkirakan gambaran Yesus tentang neraka, dengan nubuatan Yesaya berbicara kepada raja Babilonia, yang meninggikan dirinya tetapi yang nanti dilemparkan ke dalam Sheol:

Dunia orang mati [Sheol] yang di bawah gemetar untuk menyongsong kedatanganmu, dijagakannya arwah-arwah bagimu, yaitu semua bekas pemimpin di bumi; semua bekas raja bangsa-bangsa dibangunkannya dari takhta mereka. Sekaliannya mereka mulai berbicara dan berkata kepadamu: ‘Engkau juga telah menjadi lemah seperti kami, sudah menjadi sama seperti kami!’ Ke dunia orang mati sudah diturunkan kemegahanmu dan bunyi gambus-gambusmu; ulat-ulat dibentangkan sebagai lapik tidurmu, dan cacing-cacing sebagai selimutmu.” “Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di Bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi! Sebaliknya, ke dalam dunia orang mati [Sheol] engkau diturunkan, ke tempat yang paling dalam di liang kubur. Orang-orang yang melihat engkau akan memperhatikan dan mengamat-amati engkau, katanya: Inikah dia yang telah membuat bumi gemetar, dan yang telah membuat kerajaan-kerajaan bergoncang, yang telah membuat dunia seperti padang gurun, dan menghancurkan kota-kotanya, yang tidak melepaskan orang-orangnya yang terkurung pulang ke rumah? (Yesaya 14:9-17, tambahkan penekanan).

Ayat-ayat Alkitab di atas dan ayat-ayat lain seperti itu meyakinkan kita bahwa Sheol sudah menjadi dan masih menjadi tempat siksaan di mana orang-orang tidak benar dikurung setelah mereka mati. Dan masih ada bukti lagi.

Hades (Hades)

Hades, kata bahasa Gerika dalam Perjanjian Baru, mengacu pada tempat yang sama dengan kata bahasa Ibrani dalam Perjanjian Lama, Sheol. Untuk bukti hal ini, kita bandingkan Mazmur 16:10 dengan Kisah Para Rasul 2:27, berikut ini:

Sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati [Sheol], dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. (Mazmur 16:10, tambahkan penekanan).

Sebab Engkau tidak menyerahkan aku kepada dunia orang mati [Hades], dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. (Kisah Para Rasul 2:27, tambahkan penekanan).

Dengan demikian, dalam sepuluh contoh di mana kata Hades disebutkan dalam Perjanjian Baru, kata itu selalu dibicarakan dalam arti negatif dan sering disebut sebagai tempat penyiksaan orang-orang jahat yang dikurung setelah mati (lihat Matius 11:23; 16:18; Lukas 10:15; 16:23; Kisah Para Rasul 2:27; 2:31; Wahyu 1:18; 6:8; 20:13-14). Semua hal di atas menunjukkan bahwa Sheol/Hades dulu dan sekarang adalah tempat bagi orang-orang tidak benar setelah mereka mati, satu tempat penyikasaan.

[1]

 

Apakah Yesus Pergi ke Sheol/Hades? (Did Jesus Go to Sheol/Hades?)

Selanjutnya perhatikan Mazmur 16:10 dan kutipan Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:27, dua ayat yang menunjukkan bahwa Sheol dan Hades adalah tempat yang sama. Menurut khotbah Petrus di hari Pentakosta, Daud tidak berbicara tentang dirinya dalam Mazmur 16:10, tetapi secara profetik ia berbicara tentang Kristus, karena tubuh Daud, tidak seperti tubuh Kristus, mengalami kehancuran (lihat Act 2:29-31). Maka, kita sadari bahwa sebenarnya Yesus sedang berbicara kepada Bapanya dalam Mazmur16:10, yang menyatakan keyakinanNya bahwa Bapanya tidak akan meninggalkan jiwaNya menuju Sheol atau mengizinkan tubuhNya mengalami kehancuran.

Sebagian orang menafsirkan pernyataan Yesus itu sebagai bukti bahwa jiwaNya menuju ke Sheol/Hades selama tiga hari antara kematianNya dan kebangkitanNya. Tetapi, bukan itu yang dimaksudkan. Pastikan apa yang Yesus katakan kepada BapaNya:

Sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati [Sheol], dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. (Mazmur 16:10).

Yesus tidak berkata kepada BapaNya, “Saya tahu bahwa jiwaku akan pergi beberapa hari di Sheol/Hades, tetapi saya percaya Engkau tidak akan meninggalkanKu di sana.” Sebaliknya Ia berkata, “Saya percaya bahwa ketika saya mati saya tidak akan diperlakukan seperti orang tidak benar, jiwaku ditinggalkan di Sheol/Hades. Saya tidak akan berada di Sheol semenitpun. Tidak, saya percaya Engkau berencana membangkitkanKu tiga hari lagi, dan Engkau tidak akan izinkan tubuhKu membusuk.”

Penafsiran itu tentu mendapat dukungan. Ketika Yesus berkata, “Engkau tidak … membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan”, kita tidak tafsirkan bahwa tubuh Yesus berangsur-angsur membusuk selama tiga hari sampai dipulihkan di saat Ia bangkit. Sebaliknya, kita tafsirkan dengan arti bahwa tubuhNya tak pernah membusuk sedikitpun dalam cara apapun sejak kematianNya sampai kebangkitanNya.

Demikian juga, pernyataanNya bahwa jiwaNya tidak akan diserahkan ke Sheol/Hades tak perlu ditafsirkan bahwa Ia ditinggalkan di Sheol/Hades selama beberapa hari tetapi akhirnya tidak ditinggalkan di tempat itu.

[2]

Sebaliknya, kita tafsirkan bahwa jiwaNya tidak diperlakukan seperti jiwa orang tidak benar yang akan ditinggalkan di Sheol/Hades. JiwaNya tak pernah ada semenitpun di Sheol/Hades. Perhatikan juga, Yesus berkata, “Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati [Sheol]”, bukan, “Engkau tidak menyerahkan aku di dalam dunia orang mati [Sheol].”

Di Mana Jiwa Yesus Selama Tiga Hari? (Where Was Yesus’ Soul During the Three Days?)

Ingatlah, Yesus berkata kepada murid-muridNya bahwa Ia berada tiga hari tiga malam di dalam perut bumi (lihat Matius 12:40). Tampaknya hal tersebut menjadi acuan kepada keberadaan tubuhNya dalam kuburan selama tiga hari, karena kuburan hampir tidak dianggap berada di “tengah-tengah bumi.” Sebaliknya, Yesus pasti sedang berbicara tentang roh/jiwaNya yang ada di dalam bumi. Karena itu dapat disimpulkan bahwa roh/jiwaNya tidak berada di sorga antara kematian dan kebangkitanNya. Yesus menegaskan hal itu saat Ia bangkit ketika Ia berkata kepada Maria bahwa Ia belum naik kepada BapaNya (lihat Yohanes 20:17).

Mengingat bahwa Yesus juga berkata kepada pencuri yang bertobat saat tergantung di salib bahwa ia akan bersama denganNya pada hari itu juga di dalam Firdaus (lihat Lukas 23:43). Dengan semua faktor itu, kita tahu bahwa roh/jiwa Yesus berada tiga hari dan tiga malam di dalam perut bumi. Sedikitnya sebagian waktu Ia ada di tempat yang Ia sebut “Firdaus”, yang bukan kata sinonim dengan tempat siksaan yang disebut Sheol/Hades!

Dengan begitu, saya pikir harus ada tempat di dalam perut bumi selain Sheol/Hades, yakni tempat yang disebut Firdaus. Ide tersebut tentu didukung oleh kisah yang pernah Yesus ceritakan mengenai dua orang yang mati, satu orang tidak benar dan satu orang benar, yakni orang kaya dan Lazarus. Kita baca kisahnya berikut:

“Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut [Hades] ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini. Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang. (Lukas 16:19-26, tambahkan penekanan).

Tentu saja, Lazarus dan orang kaya tidak dalam tubuh mereka yang sebenarnya ketika mereka mati, tetapi keduanya pergi ke tempat masing-masing dalam wujud roh/jiwa.

Di mana Lazarus? (Where Was Lazarus?)

Perhatikan bahwa orang kaya berada di alam maut [Hades], tetapi ia dapat melihat Lazarus di tempat lain bersama Abraham. Ternyata, Lazarus disebutkan berada di atas “pangkuan Abraham”, bukan nama tempat tetapi mungkin acuan kepada kesenangan yang Lazarus dapatkan dari Abraham ketika ia tiba di tempat itu.

Berapa jarak antara orang kaya dan Lazarus setelah mereka mati?

Alkitab berkata bahwa orang kaya itu melihat Lazarus “berada jauh”, dan kita tahu bahwa ada “jarak pemisah yang ditetapkan” di antara mereka. Sehingga jarak antara mereka menjadi satu spekulasi. Tetapi, wajar saja bila kita simpulkan bahwa jarak antara mereka tak begitu jauh, seperti jarak antara bagian dalam bumi dan sorga. Jika tidak, mustahillah bagi orang kaya untuk sanggup melihat Lazarus (di luar bantuan ilahi), dan hampir tak perlu ada sebutan atau bahkan ada “jarak pemisah yang ditetapkan” di antara dua tempat khusus agar tak seorangpun dapat menyeberang dari satu tempat ke tempat lain. Lagipula, orang kaya “berseru-seru” kepada Abraham dan Abraham menyahuti seruan orang itu. Sehingga, kita jadi berpikir, mereka agak saling dekat ketika mereka berbicara melintasi “jarak pemisah” itu.

Semua itu memberi keyakinan bahwa Lazarus tak berada di sorga, tetapi sebaliknya di bagian terpisah di dalam bumi.

[3]

Pasti tempat itu adalah Firdaus, sesuai sebutan Yesus kepada pencuri yang bertobat di kayu salib. Tentu, setelah kematian orang-orang benar di zaman Perjanjian Lama mereka menuju Firdaus itu yang di dalam bumi. Itulah tempatnya Lazarus, Yesus dan pencuri yang disalib di saat mereka mati.

Tampaknya, itu juga tempat di mana nabi Samuel pergi setelah ia mati. Kita baca dalam 1 Samuel 28 bahwa ketika Allah izinkan roh nabi Samuel yang sudah mati muncul dan berbicara secara profetik kepada Saul, medium En-dor menggambarkan Samuel sebagai “sesuatu yang ilahi muncul dari dalam bumi (1 Samuel 28:13, tambahkan penekanan). Samuel sendiri berkata kepada Saul, “Mengapa engkau mengganggu aku dengan memanggil aku muncul?” (1 Samuel 28:15, tambahkan penekanan). Tampaknya, roh/jiwa Samuel telah berada di Firdaus dalam bumi.

Alkitab tampak mendukung fakta bahwa ketika Kristus bangkit, Firdaus dikosongkan, dan orang-orang benar yang mati selama masa Perjanjian Lama dibawa ke sorga bersama Yesus. Alkitab berkata bahwa ketika Yesus naik ke sorga dari bagian bawah bumi, “Ia membawa tawanan-tawanan” (Efesus 4:8-9; Mazmur 68:18). Saya berpendapat bahwa tawanan-tawanan itu sebagai orang-orang di dalam Firdaus. Yesus tentu tidak membebaskan orang-orang dari Sheol/Hades!

[4]

 

Yesus Berkhotbah kepada Roh-Roh yang Terpenjara (Jesus Preached to Spirits in Prison)

Alkitab juga berkata bahwa Yesus menginjili roh-roh manusia yang terlepas dari tubuh mereka, di satu waktu antara saat kematian dan saat kebangkitanNya. Kita baca 1 Petrus 3:

Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaanNya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu. (1 Petrus 3:18-20).

Perikop dalam Alkitab itu tentu menimbulkan pertanyaan yang tak dapat saya jawab. Mengapa Yesus secara khusus menginjili sejumlah orang yang tidak taat yang mati waktu air bah Nuh? Apakah yang dikatakanNya kepada mereka? Bagaimanapun juga, ayat Alkitab itu mendukung fakta bahwa Yesus tidak seluruhnya berada selama tiga hari dan tiga malam sejak kematianNya sampai kebangkitanNya di dalam Firdaus.

Gehenna (Gehenna)

Kini, ketika tubuh-tubuh orang yang benar mati, roh-roh/jiwa-jiwa mereka segera pergi ke sorga (lihat 2 Korintus 5:6-8; Filipi 1:21-23; 1 Tesalonika 4:14).

Orang-orang yang tidak benar menuju ke Sheol/Hades di mana mereka disiksa dan menantikan kebangkitan tubuh mereka, penghakiman terakhir mereka, dan pembuangan mereka ke dalam “lautan api,” suatu tempat yang berbeda dan terpisah dari Sheol/Hades.

Lautan api digambarkan dengan kata ketiga yang kadang diterjemahkan sebagai neraka, kata bahasa Gerika Gehenna. Kata itu berasal dari nama tempat pembuangan sampah di luar kota Yerusalem di lembah Hinnom, setumpuk sampah busuk yang dikerumuni cacing-cacing dan ulat-ulat, dan bagian yang terus-menerus berasap dan terbakar api.

Ketika berbicara tentang Gehenna, Yesus mengacu pada tempat di mana orang-orang akan dilemparkan dalam bentuk tubuh. Misalnya, Ia berkata dalam Injil Matius:

Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka [Gehenna]….. Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka [Gehenna]. (Matius 5:30, 10:28, tambahkan penekanan).

Gehenna dan Hades bukanlah tempat yang sama karena Alkitab berkata bahwa orang-orang tidak benar dikirim ke Hades dalam wujud roh-roh/jiwa-jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh. Setelah pemerintahan seribu tahun oleh Kristus ketika tubuh-tubuh orang-orang yang tidak benar akan dibangkitkan kembali dan menghadapi penghakiman di hadapan Allah, mereka kelak akan dilempar ke dalam lautan api atau Gehenna (lihat Wahyu 20:5, 11-15). Dan lagi, suatu hari Hades sendiri akan dilempar masuk ke lautan api itu (lihat Wahyu 20:14), jadi Hades pastilah tempat yang berbeda dari lautan api.

Tartaros (Tartaros)

Kata keempat yang sering diterjemahkan sebagai neraka dalam Alkitab adalah kata bahasa Gerika tartaros. Kata ini hanya sekali disebut dalam Perjanjian Baru:

Sebab jikalau Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka [tartaros] sehingga menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman. (2 Petrus 2:4).

Tartaros dianggap sebagai penjara khusus bagi malaikat tertentu yang berdosa; maka, tempat itu bukanlah Sheol/Hades atau Gehenna. Yudas juga menulis tentang para malaikat yang tengah ditahan di tempat itu:

Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar (Yudas 1:6).

Kengerian Neraka (The Horrors of Hell)

Ketika orang yang tidak bertobat mati, ia tidak diberi kesempatan lagi untuk bertobat. Nasibnya sudah disegel. Alkitab berkata, “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibrani 9:27).

Neraka adalah tempat kekal, dan orang-orang yang terkurung di sana tak punya harapan untuk bebas. Sambil berbicara tentang hukuman kelak bagi orang-orang yang tidak benar, Yesus berkata, “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” (Matius 25:46, tambahkan penekanan). Hukuman bagi orang-orang tidak benar di neraka adalah sama kekalnya dengan kehidupan kekal bagi orang-orang benar.

Demikian juga, Paulus menuliskan:

Sebab memang adil bagi Allah untuk membalaskan penindasan kepada mereka yang menindas kamu …., pada waktu Tuhan Yesus dari dalam sorga menyatakan diriNya bersama-sama dengan malaikat-malaikatNya, dalam kuasaNya, di dalam api yang bernyala-nyala, dan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang tidak mau mengenal Allah dan tidak mentaati Injil Yesus, Tuhan kita. Mereka ini akan menjalani hukuman kebinasaan selama-lamanya, dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya, (2 Tesalonika 1:6-9, tambahkan penekanan).

Neraka adalah tempat penderitaan yang tak terperikan karena hukumannya tidak akan pernah berakhir. Dengan terkurung di sana selamanya, orang-orang tidak benar akan menanggung kesalahan dan penderitaan kekal sebagai amarah Allah di dalam lautan api yang tak kunjung padam.

Yesus menggambarkan neraka sebagai tempat “kegelapan yang paling gelap”, di sanalah akan terdapat “ratap dan kertak gigi”, ”dan suatu tempat“ di mana ulat-ulat tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam” (Matius 22:13; Markus 9:44). Oh, betapa kita perlu ingatkan orang-orang akan tempat itu dan berkata kepada mereka tentang keselamatan yang diberikan hanya di dalam Kristus!

Satu denominasi tertentu mengajarkan konsep tempat penyucian, tempat di mana orang-orang percaya akan menderita selama waktu untuk penyucian atas dosa-dosa mereka, sehingga dijadikan layak untuk masuk sorga. Tetapi ide itu tidak diajarkan dalam Alkitab.

Orang Benar Setelah Mati (The Righteous After Death)

Ketika orang percaya meninggal, rohnya segera pergi ke sorga untuk bersama dengan Tuhan. Paulus memperjelas fakta ini ketika ia menulis tentang kematiannya sendiri:

Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik; (Filipi 1:21-23, tambahkan penekanan).

Perhatikan perkataan Paulus bahwa ia ingin pergi dan jika ia pergi, ia akan bersama-sama dengan Kristus. Rohnya tidak pergi dalam keadaan tidak sadar, sambil menunggu kebangkitan (seperti anggapan beberapa orang).

Perhatikan juga perkataan Paulus bahwa baginya, mati adalah keuntungan. Hal itu hanya nyata jika ia pergi ke sorga ketika ia mati. Paulus juga menyatakan dalam surat keduanya kepada jemaat di Korintus bahwa bila roh orang percaya meninggalkan tubuhnya, ia kemudian “tinggal menetap bersama Tuhan”:

Maka oleh karena itu hati kami senantiasa tabah, meskipun kami sadar, bahwa selama kami mendiami tubuh ini, kami masih jauh dari Tuhan, —- dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan. (2 Korintus 5:6-8).

Dengan tambahan dukungan, Paulus juga menuliskan:

Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama denganNya. (1 Tesalonika 4:13-14).

Jika pada saat Yesus kembali dari sorga bersama Allah, Ia akan membawa “orang-orang yang telah meninggal”, maka mereka pasti berada di sorga bersamaNya sekarang.

Sorga yang Terlihat Sebelumnya (Heaven Foreseen)

Bagaimana rupa sorga itu? Dalam benak kita yang terbatas, kita tak pernah dapat memahami sepenuhnya semua kemuliaan yang menunggu kita di dorga dan Alkitab hanya memberi satu kilasan. Fakta yang paling menyenangkan tentang sorga untuk orang-orang percaya adalah kita akan bertemu berhadap-hadapan dengan Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita, dan Allah Bapa kita. Kita akan tinggal di “rumah Bapa”:

Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. (Yohanes 14:2-3).

Ketika sampai ke sorga, kita akan mengerti banyak misteri yang kini tak dapat dipahami oleh pikiran kita. Paulus menulis,

Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. (1 Korintus 13:12).

Kitab Wahyu memberi gambaran terbaik mengenai rupa sorga itu. Dengan gambaran sebagai tempat kegiatan yang besar, keindahan tiada tara, berbagai hal yang tak terbatas, dan sukacita yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, sorga tidak akan menjadi tempat bagi orang-orang yang hanya duduk di awan dan memetik harpa sepanjang hari!

Yohanes, yang pernah diberi penglihatan tentang sorga, pertama-tama memperhatikan takhta Allah, pusat dari alam semesta:

Segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang. Dan Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis; dan suatu pelangi melingkungi takhta itu gilang-gemilang bagaikan zamrud rupanya. Dan sekeliling takhta itu ada dua puluh empat takhta, dan di takhta-takhta itu duduk dua puluh empat tua-tua, yang memakai pakaian putih dan mahkota emas di kepala mereka. Dan dari takhta itu keluar kilat dan bunyi guruh yang menderu, dan tujuh obor menyala-nyala di hadapan takhta itu: itulah ketujuh Roh Allah. Dan di hadapan takhta itu ada lautan kaca bagaikan kristal; di tengah-tengah takhta itu dan di sekelilingnya ada empat makhluk penuh dengan mata, di sebelah muka dan di sebelah belakang. Adapun makhluk yang pertama sama seperti singa, dan makhluk yang kedua sama seperti anak lembu, dan makhluk yang ketiga mempunyai muka seperti muka manusia, dan makhluk yang keempat sama seperti burung nasar yang sedang terbang. Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.” Dan setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Dia, yang duduk di atas takhta itu dan yang hidup sampai selama-lamanya, maka tersungkurlah kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata: “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.” (Wahyu 4:2-11).

Yohanes secara umum benar-benar menggambarkan sebaik mungkin hal-hal yang tak dapat dibandingkan dengan apapun yang ada di bumi. Jelas, tak ada cara kita memahami segala sesuatu yang dilihatnya sampai kita melihatnya sendiri. Tentunya gambaran itu memberi bacaan yang memberikan ilham.

Perikop-perikop yang paling memberikan ilham tentang sorga ada dalam Wahyu pasal 21 dan pasal 22, di mana Yohanes menggambarkan Yerusalem Baru, yang kini ada di sorga namun tidak akan turun ke bumi setelah seribu tahun pemerintahan Kristus:

Lalu, di dalam roh ia membawa aku ke atas sebuah gunung yang besar lagi tinggi dan ia menunjukkan kepadaku kota yang kudus itu, Yerusalem, turun dari sorga, dari Allah. Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal. Dan temboknya besar lagi tinggi dan pintu gerbangnya dua belas buah; dan di atas pintu-pintu gerbang itu ada dua belas malaikat dan di atasnya tertulis nama kedua belas suku Israel. Di sebelah timur terdapat tiga pintu gerbang dan di sebelah utara tiga pintu gerbang dan di sebelah selatan tiga pintu gerbang dan di sebelah barat tiga pintu gerbang. Dan tembok kota itu mempunyai dua belas batu dasar dan di atasnya tertulis kedua belas nama kedua belas rasul Anak Domba itu. Dan ia, yang berkata-kata dengan aku, mempunyai suatu tongkat pengukur dari emas untuk mengukur kota itu serta pintu-pintu gerbangnya dan temboknya. Kota itu bentuknya empat persegi, panjangnya sama dengan lebarnya. Dan ia mengukur kota itu dengan tongkat itu: dua belas ribu stadia; panjangnya dan lebarnya dan tingginya sama. Lalu ia mengukur temboknya: seratus empat puluh empat hasta, menurut ukuran manusia, yang adalah juga ukuran malaikat. Tembok itu terbuat dari permata yaspis; dan kota itu sendiri dari emas tulen, bagaikan kaca murni. Dan dasar-dasar tembok kota itu dihiasi dengan segala jenis permata. Dasar yang pertama batu yaspis, dasar yang kedua batu nilam, dasar yang ketiga batu mirah, dasar yang keempat batu zamrud, dasar yang kelima batu unam, dasar yang keenam batu sardis, dasar yang ketujuh batu ratna cempaka, yang kedelapan batu beril, yang kesembilan batu krisolit, yang kesepuluh batu krisopras, yang kesebelas batu lazuardi dan yang kedua belas batu kecubung. Dan kedua belas pintu gerbang itu adalah dua belas mutiara: setiap pintu gerbang ter diri dari satu mutiara dan jalan-jalan kota itu dari emas murni bagaikan kaca bening. Dan aku tidak melihat Bait Suci di dalam nya; sebab Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, adalah Bait Sucinya, demikian juga Anak Domba itu. Dan kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya. Dan bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup pada siang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya. Tetapi tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu. …… Lalu ia menunjukkan kepadaku sungai air kehidupan, yang jernih bagaikan kristal, dan mengalir ke luar dari takhta Allah dan takhta Anak Domba itu. Di tengah-tengah jalan kota itu, yaitu di seberang-menyeberang sungai itu, ada pohon-pohon kehidupan yang berbuah dua belas kali, tiap-tiap bulan sekali; dan daun pohon-pohon itu dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa. Maka tidak akan ada lagi laknat. Takhta Allah dan takhta Anak Domba akan ada di dalamnya dan hamba-hambaNya akan beribadah kepada-Nya, dan mereka akan melihat wajah-Nya, dan namaNya akan tertulis di dahi mereka. Dan malam tidak akan ada lagi di sana, dan mereka tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka, dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya.” (Wahyu 21:10-22:5).

Setiap pengikut Yesus bisa menantikan semua peristiwa ajaib itu, selama imannya tetap teguh. Tak heran, selama beberapa hari pertama di sorga, kita akan terus berucap, “Oh!

Jadi, itulah peristiwa yang hendak digambarkan oleh Yohanes dalam kitab Wahyu!”

 


[1]

Beberapa orang mencoba menunukkan kejadian melalui beberapa ayat seperti Kejadian 37:35, Ayub 14:13, Mazmur 89:48, Pengkhotbah 9:10 dan Yesaya 38:9-10, bahwa Sheol adalah tempat di mana orang-orang benar juga berada setelah mereka mati. Bukti Alkitab untuk ide itu tidak sangat meyakinkan. Jika Sheol adalah tempat di mana orang-orang benar dan tidak benar berada setalh mereka mati, maka Sheol terdiri dari dua bagian terpisah, satu bagian neraka dan satu bagian firdaus, yang biasanya diperdebatkan oleh para pendukung ide tersebut.

[2]

Mereka yang sepakat dengan penafsiran tertentu harus sependapat dengan satu dari dua teori lains. Satu teori adalah bahwa Sheol/Hades adalah nama untuk tempat setelah matinya orang-orang yang tidak benar dan yang benar yang dibagi menjadi dua bagian, tempat penyiksaan dan tempat firdaus di mana Yesus pergi. Teori lain adalah bahwa Yesus menahan siksaan jahanam selama tiga hari dan tiga malam dalam api Sheol/Hades ketika Ia menanggung derita sepenuhnya hukuman dosa sebagai ganti kita. Kedua teori itu sulit dibuktikan dari Alkitab, dan tak satupun diperlukan jika Yesus tak pernah melewatkan waktu di Sheol/Hades. Itulah arti sebenarnya pernyataanNya. Mengenai teori kedua, Yesus tidak menderita siksaan jahanam selama tiga hari tiga malam antara kematian dan kebangkitanNya, karena penebusan kita telah lunas dibayar melalui penderitaanNya di kayu salib (lihat Kolose 1:22), bukan melalui dugaan penderitaan di Sheol/Hades.

[3]

Perhatikan juga bahwa walapun tubuh Lazarus dan tubuh si orang kaya saling terpisah, keduanya dalam keadaan sadar dan memiliki semua kemampuan seperti melihat, menyentuh dan mendengar. Keduanya dapat merasakan sakit dan senang dan mengingat pengalaman masa lalu. Hal itu tidak mendukung teori “jiwa tidur”, yakni ide bahwa orang-orang memasuki keadaan tak sadar ketika mereka mati, sambil menunggu waktu untuk mendapatkan kesadaran pada saat kebangkitan tubuh mereka.

[4]

Sebagian orang menganggap, dan mungkin benar, bahwa tawanan-tawanan yang disebutkan dalam Efesus 4:8-9 adalah kita semua di mana yang adalah tawanan-tawanan dosa, yang kini dibebaskan melalui kebangkitan Kristus.

Bab Duapuluh-Delapan (Chapter Twenty-Eight)

Rencana Kekal Allah (God’s Eternal Plan)

Mengapa Allah menciptakan kita? Apakah Ia ingat tujuan yang sama sejak awal? Tidak Ia tahu bahwa setiap orang akan memberontak melawan Dia? Apakah Ia tak meramalkan akibat dari pemberontakan kita, semua penderitaan dan kesedihan yang telah dihadapi umat manusia? Lalu mengapa Alah menciptakan manusia pada mulanya?

Alkitab menjawab setiap pertanyaan di atas. Alkitab menyatakan bahwa sebelum Allah menciptakan Adam dan Hawa, Ia tahu bahwa mereka dan tiap orang setelah mereka akan berbuat dosa. Mengherankan, Ia sudah merancangkan untuk menebus umat manusia yang jatuh dalam dosa melalui Yesus. Dari rencana Allah sebelum penciptaan, Paulus menulis,

Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karuniaNya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman (2 Timotius 1:8b-9, tambahkan penekanan).

Kasih karunia Allah diberikan kepada kita dalam Kristus sebelum permulaan zaman, tidak hanya sampai semua kekekalan. Itu menunjukkan bahwa pengorbanan kematian Yesus adalah sesuatu yang Allah telah rencanakan sejak berabad-abad lalu. Demikian juga, Paulus menulis dalam suratnya kepada jemaat Efesus:

Sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakanNya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Efesus 3:11, tambahkan penekanan).

Kematian Yesus di kayu salib bukanlah perenungan, yakni rencana yang cepat dibuat untuk menetapkan hal yang belum Allah rencanakan.

Allah memiliki tujuan kekal dalam memberi kasih-karuniaNya kepada kita dari semua kekekalan, juga Ia sudah tahu dari kekekalan siapa yang akan memilih untuk menerima kasih-karuniaNya, dan bahkan Ia menuliskan nama-nama mereka dalam satu buku:

Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya [binatang dalam kitab Wahyu], yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih [Yesus]. (Wahyu 13:8, tambahkan penekanan).

Allah tidak terkejut ketika Adam jatuh dalam dosa. Demikian juga, Allah tidak tekejut ketika anda atau saya jatuh dalam dosa. Allah tahu bahwa kita akan berbuat dosa, dan Ia juga tahu orang yang akan bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus.

Pertanyaan Berikut (The Next Question)

Jika Allah telah tahu sebelumnya bahwa sebagian orang akan percaya kepada Yesus dan sebagian lainnya akan menolakNya, mengapa Ia menciptakan orang-orang yang Ia tahu akan menolakNya? Mengapa Ia tidak menciptakan orang-orang yang Ia tahu akan bertobat dan percaya kepada Yesus?

Jawaban atas pertanyaan itu agak sulit dipahami, namun bukan mustahil untuk dijawab.

Pertama, kita harus mengerti bahwa Allah menciptakan kita dengan kehendak bebas. Yakni, kita semua punya hak istimewa untuk memutuskan sendiri apakah kita akan melayaniNya atau tidak. Allah tak menentukan sebelumnya keputusan kita untuk menaati atau tidak menaati, bertobat atau tidak bertobat. Tiap keputusan itu adalah pilihan kita.

Sehingga, setiap kita harus diuji. Allah pasti tahu sebelumnya apa yang akan kita lakukan, tetapi kita harus lakukan sesuatu pada satu waktu agar Dia tahu hal tersebut sebelumnya.

Contohnya, Allah tahu hasil pertandingan sepakbola sebelum dimainkan, tetapi pertandingan harus dimainkan untuk mendapatkan hasil. Allah tidak (dan tidak dapat) tahu sebelumnya hasil pertandingan yang tak pernah dimainkan karena tidak ada hasil untuk mengetahui sebelumnya.

Demikian juga, Allah hanya dapat tahu sebelumnya setiap keputusan dari pelaku moral bebas jika pelaku itu diberi kesempatan untuk membuat keputusan dan melakukannya. Pelaku itu harus diuji. Karena itu Allah tak (dan tak dapat) menciptakan hanya orang-orang yang Ia sudah tahu sebelumnya akan bertobat dan percaya pada Yesus.

Pertanyaan Lain (Another Question)

Dapat juga ditanyakan, “Jika yang Allah inginkan adalah orang-orang yang taat, mengapa Ia menciptakan kita dengan kehendak bebas? Mengapa tidak Ia ciptakan kelompok robot yang taat selamanya?”

Jawabnya, karena Allah adalah Bapa. Ia ingin memiliki hubungan Bapak-anak dengan kita, dan tak mungkin ada hubungan Bapak-anak dengan robot. Allah ingin memiliki keluarga kekal dari anak-anak yang telah dipilih, oleh kehendak bebas mereka, untuk mengasihiNya. Menurut Alkitab, itulah rencanaNya yang telah ditentukan sebelumnya:

Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya. (Efesus 1:4b-5, tambahkan penekanan).

Jika anda ingin berpikir seberapa senang Allah menciptakan robot-robot, taruhlah boneka di tangan anda dan suruh boneka itu berkata bahwa ia mengasihi anda. Mungkin, anda tak akan merasakan perasaan hangat dalam hati anda! Boneka itu hanya mengatakan apa yang anda mau dia katakan. Ia tak benar-benar mengasihi anda.

Yang membuat kasih itu sangat istimewa adalah bahwa kasih didasarkan pada pilihan seseorang dengan kehendak bebas. Boneka dan robot tidak tahu apa-apa tentang kasih karena keduanya tak dapat memutuskan apapun bagi mereka sendiri.

Karena Allah mau sebuah keluarga anak-anak yang akan memilih untuk mengasihi dan melayaniNya yang terdorong dari dalam hati mereka, Ia harus menciptakan pelaku moral bebas. Dengan keputusan itu, Allah menghadapi resiko bahwa beberapa pelaku moral bebas akan memilih untuk tidak mengasihi dan melayaniNya. Dan, setelah seumur hidup mereka melawan Allah yang mengungkapkan diriNya dan menarik semua orang melalui ciptaanNya, kata-hati mereka dan panggilan Injil, maka para pelaku moral bebas harus menerima hukuman setimpal, setelah terbukti mereka layak mendapatkan murka Allah.

Tak seorangpun di neraka dapat menuduh Allah karena Ia memberikan cara sehingga setiap orang dapat menghindari hukuman atas dosa-dosanya. Allah mau setiap orang selamat (lihat 1 Timotius 2:4; 2 Petrus 3:9), tetapi ia harus memutuskan sendiri.

Predestinasi menurut Alkitab (Biblical Predestination)

Bagaimana dengan ayat-ayat Alkitab dalam Perjanjian Baru yang berbicara tentang Allah yang membuat predestinasi bagi kita, dengan memilih kita sebelum dunia dijadikan?

Sebagian orang menganggap bahwa Allah khusus memilih orang-orang tertentu untuk diselamatkan dan memilih orang-orang lain untuk dihukum, berdasarkan keputusanNya pada hal-hal yang tidak dilakukan oleh orang-orang itu. Yakni, Allah seperti memilih siapa yang akan diselamatkan atau dihukum. Ide itu jelas mengenyahkan konsep kehendak bebas dan itu tentu tidak diajarkan dalam Alkitab. Perhatikan ajaran Alkitab tentang predestinasi.

Memang, Alkitab mengajarkan bahwa Allah telah memilih kita, tetapi fakta itu harus diselidiki dengan cermat. Allah telah memilih sejak dijadikannya dunia untuk menebus orang-orang yang Ia sudah pilih sebelumnya untuk bertobat dan mempercayai Injil dengan pengaruh tarikan Allah, namun melalui pilihan mereka sendiri. Bacalah perkataan rasul Paulus tentang orang-orang pilihan Allah:

Allah tidak menolak umatNya yang dipilih-Nya. Ataukah kamu tidak tahu, apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Elia, waktu ia mengadukan Israel kepada Allah: “Tuhan, nabi-nabi-Mu telah mereka bunuh, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan; hanya aku seorang diri lah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku.” Tetapi bagaimanakah Firman Allah kepadanya? “Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal.” Demikian juga pada waktu ini ada tinggal suatu sisa, menurut pilihan kasih karunia. (Roma 11:2-5, tambahkan penekanan).

Perhatikan, Allah berkata kepada Elia bahwa Ia telah “menyediakan bagi diriNya tujuh ribu orang”, tetapi tujuh ribu orang itu telah mula-mula memilih untuk tidak “sujud menyembah Baal.” Paulus berkata bahwa dengan cara yang sama, ada juga sisa orang-orang Yahudi yang percaya menurut pilihan Allah. Sehingga kita dapat berkata ya, Allah telah memilih kita, tetapi Allah telah memilih mereka yang telah pertama-tama membuat pilihan benar bagi mereka sendiri. Allah memilih untuk menyelamatkan semua orang yang percaya kepada Yesus, dan itulah rencanaNya bahkan sebelum penciptaan.

Allah Sudah Tahu Sebelumnya (God’s Foreknowledge)

Alkitab juga mengajarkan bahwa Allah juga mengetahui sebelumnya semua mereka yang akan memilih untuk membuat pilihan yang benar. Misalnya, Petrus menuliskan:

Kepada orang-orang pendatang, …… yaitu orang-orang yang dipilih,sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita. (1 Petrus 1:1-2a, tambahkan penekanan).

Kita dipilih menurut pengetahuan terdahulu dari Allah. Paulus juga menulis tentang orang-orang percaya yang sudah diketahui sebelumnya:

Sebab semua orang [kita] yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia [Yesus], AnakNya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya. (Roma 8:29-30).

Allah sudah tahu sebelumnya kita yang akan memilih percaya kepada Yesus, dan Ia menentukan sebelumnya bahwa kita akan menjadi serupa dengan gambar AnakNya, menjadi anak-anak yang dilahirkan kembali dari Allah dalam keluarga besarNya. Selaras dengan rencana kekal itu, Ia memanggil kita melalui Injil, membenarkan kita dan akhirnya akan memuliakan kita di dalam KerajaanNya nanti.

Paulus menulis dalam surat lainnya:

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karuniaNya yang mulia, yang dikaruniakanNya kepada kita di dalam Dia, yang di kasihi-Nya. (Efesus 1:3-6, tambahkan penekanan).

Kebenaran yang sama muncul —sebelum dunia dijadikan, Allah sudah menentukan sebelumnya kita (yang akan bertobat dan percaya yang Ia sudah tahu sebelumnya) untuk menjadi anak-anakNya yang suci melalui Yesus Kristus.

Seperti sudah disebutkan, sebagian orang membelokkan pengertian ayat-ayat Alkitab tersebut dengan tak mempedulikan segala ajaran Alkitab, dan menyatakan bahwa kita tak punya pilihan dalam keselamatan kita —pilihan yang tampak berasal dari Allah. Mereka menyebutnya doktrin “pilihan tanpa syarat”. Tetapi siapapun yang pernah mendengar hal itu sebagai “pilihan tanpa syarat”, yakni pilihan yang tidak dibuat berdasarkan syarat tertentu yang dipenuhi? Di negara-negara bebas, dalam benak kita, kita memilih kandidat-kandidat politik berdasarkan persyaratan yang mereka penuhi. Orang memilih pasangan hidupnya berdasarkan syarat yang ia penuhi, karakternya yang menjadikannya disukai. Namun sebagian ahli teologi ingin agar kita percaya bahwa konon pilihan Allah mengenai siapa yang diselamatkan dan yang tak diselamatkan adalah “pilihan tanpa syarat”, bukan berdasarkan syarat yang dipenuhi orang-orang! Jadi keselamatan orang adalah oleh kesempatan murni, desakan-desakan dari seorang monster yang jahat, tidak benar, hipokrit dan bodoh yang bernama Allah! Frase “pilihan tanpa syarat” itu sendiri menimbulkan kontradiksi, karena kata pilihan mengandung arti syarat. Jika pilihan itu adalah “pilihan tanpa syarat”, maka pilihan itu sama sekali bukanlah pilihan, tetapi kesempatan.

Gambar Besar (The Big Picture)

Kini kita lihat gambar besar. Allah tahu bahwa kita semua akan berbuat dosa, tetapi Ia merencanakan untuk menebus kita sebelum kita lahir. Rencana itu mengungkapkan kasih dan keadilanNya yang mengagumkan, karena mensyaratkan AnakNya yang tak berdosa untuk mati karena dosa-dosa kita sebagai ganti kita. Dan Allah menentukan sebelumnya bahwa kita, yang bertobat dan percaya, diampuni; dan juga kita menjadi seperti AnakNya Yesus, seperti kata Paulus, “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Galatia 2:20).

Kita adalah anak-anak yang dilahirkan kembali dari Allah, yang kelak nanti akan diberikan tubuh yang tak dapat binasa, dan kita akan hidup dalam masyarakat sempurna, melayani, mengasihi dan bersekutu dengan Bapa kita yang ajaib di sorga! Kita akan hidup di bumi baru dan di Yerusalem Baru. Semua ini hanya boleh jadi melalui pengorbanan kematian Yesus! Puji Tuhan atas rencana yang telah Ia tentukan sebelumnya!

Kehidupan Sekarang (This Present Life)

Ketika mengerti rencana kekal dari Allah, kita sepenuhnya dapat pahami sebenarnya apa kehidupan sekarang. Terutama, kehidupan ini adalah ujian bagi tiap orang. Pilihan tiap orang menentukan apakah ia akan menikmati berkat hak istimewa menjadi salah seorang anak Allah yang akan hidup bersamaNya sampai kekal. Orang yang merendahkan dirinya dengan menyerah pada tarikan Allah, lalu bertobat dan percaya, akan ditinggikan (lihat Lukas 18:14). Kehidupan ini pada dasarnya adalah ujian bagi kehidupan kekal nanti.

Dengan itu, kita memahami beberapa misteri yang melingkupi kehidupan kita. Misalnya, banyak orang heran, “Mengapa Setan dan roh-roh jahatnya diizinkan untuk mencobai orang-orang?” atau “Ketika Setan diusir dari sorga, mengapa ia mendapatkan akses ke bumi?”

Kini kita paham bahwa bahkan Setan melayani tujuan ilahi dalam Rencana Allah. Terutama, Setan menjadi pilihan lain bagi umat manusia. Jika satu-satunya pilihan adalah melayani Yesus, maka setiap orang akan melayani Yesus apakah ia bersedia atau tidak bersedia melakukannya.

Hal itu mirip dengan pilihan di mana setiap orang harus memilih, tetapi hanya ada satu calon. Calon itu dipilih secara mutlak, tetapi ia tak pernah percaya diri bahwa ia dicintai atau bahkan disukai oleh setiap orang yang memberikan pilihannya! Mereka hanya punya pilihan untuk memberikan suara kepadanya! Allah berada dalam situasi serupa jika sudah tak ada orang yang bersaing denganNya untuk memenangkan hati orang-orang.

Perhatikan hal itu dari sudut ini: Bagaimana bila Allah menempatkan Adam dan Hawa di taman yang tanpa larangan? Maka, Adam dan Hawa menjadi dua robot karena lingkungan mereka. Mereka tak mungkin berkata, “Kami memilih untuk menaati Allah”, karena mereka mungkin saja tak punya kesempatan untuk tidak menaatiNya.

Yang lebih penting adalah Allah tak mungkin berkata, “Aku tahu Adam dan Hawa mengasihiKu”, karena Adam dan Hawa tak punya kesempatan untuk menaati dan membuktikan kasih mereka bagi Allah. Allah harus memberi kesempatan kepada pelaku moral bebas untuk tidak menaati agar Dia menentukan apakah mereka ingin menaatiNya. Allah tidak mencobai siapapun (lihat Yakobus 1:13), tetapi Ia menguji setiap orang (lihat Mazmur 11:5; Amsal 17:3). Cara Ia menguji seseorang ialah membiarkan orang itu dicobai oleh Setan, yang menjadi tujuan ilahi dalam rencana kekal dariNya.

Teladan Sempurna (A Perfect Example)

Kita baca dalam Ulangan 13:1-3:

Apabila di tengah-tengahmu muncul seorang nabi atau seorang pemimpi, dan ia memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mujizat, dan apabila tanda atau mujizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti Allah lain, yang tidak kaukenal, dan mari kita berbakti kepadanya, maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu; sebab TUHAN, Allahmu, mencoba kamu untuk mengetahui, apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. (tambahkan penekanan).

Wajarlah bila disimpulkan bahwa bukan Allah yang memberi kemampuan adikodrati kepada nabi palsu itu untuk mengerjakan tanda atau mujizat —pasti itu perbuatan Setan. Namun Allah izinkan dan memakai cobaan dari Setan sebagai ujianNya untuk mencari tahu apa yang ada di dalam hati umatNya.

Prinsip yang sama itu digambarkan dalam Hakim-Hakim 2:21-3:8 ketika Allah izinkan bangsa Israel untuk dicobai oleh bangsa-bangsa sekitarnya untuk menentukan apakah mereka menaatiNya atau tidak. Yesus juga dipimpin oleh Roh menuju padang gurun untuk dicobai oleh Iblis (lihat Matius 4:1) dan dengan semikian diuji oleh Allah. Ia harus terbukti tak berdosa, dan cara pembuktian bahwa ia tak berbuat dosa ialah ujian melalui pencobaan.

Setan Tidak Selalu Harus Disalahkan (Satan Does Not Deserve All the Blame)

Setan sudah banyak menipu banyak orang di dunia dengan cara membutakan pikiran-pikiran mereka terhadap kebenaran Injil, tetapi kita harus sadar bahwa Setan tak sanggup membutakan seseorang. Ia hanya dapat menipu mereka yang membiarkan dirinya mereka ditipu, yakni orang-orang yang menolak kebenaran.

Paulus berkata bahwa orang-orang tidak percaya “digelapkan pengertiannya” (Efesus 4:18) dan tidak peduli, dan juga ia ungkapkan alasan gelapnya pengertian dan hati mereka:

Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran. (Efesus 4:17b-19, tambahkan penekanan).

Orang-orang yang belum diselamatkan adalah mereka yang tak beruntung dan telah ditipu oleh Setan. Sebaliknya, merekalah orang-orang berdosa yang memberontak yang sengaja tak peduli dan yang ingin tetap ditipu karena hati mereka sangat keras.

Tak seorangpun mau terus ditipu, seperti bukti dalam kehidupan anda! Ketika anda lembutkan hati anda kepada Allah, Setan tak dapat terus menipu anda.

Pada akhirnya, Setan akan diikat selama seribu tahun pemerintahan Kristus, dan ia tidak akan mempengaruhi siapapun:

Ia [seorang malaikat] menangkap naga, si ular tua itu, yaitu Iblis dan Satan. Dan ia mengikatnya seribu tahun lamanya, lalu melemparkannya ke dalam jurang maut, dan menutup jurang maut itu dan memeteraikannya di atasnya, supaya ia jangan lagi menyesatkan bangsa-bangsa, sebelum berakhir masa seribu tahun itu; kemudian dari pada itu ia akan dilepaskan untuk sedikit waktu lamanya. (Wahyu 20:2-3).

Sebelum Setan dirantai, ia “menipu bangsa-bangsa”, namun ketika ia dirantai ia takkan lagi menipu bangsa-bangsa. Namun, saat dibebaskan, ia akan menipu bangsa-bangsa lagi:

Dan setelah masa seribu tahun itu berakhir, Iblis akan dilepaskan dari penjaranya, dan ia akan pergi menyesatkan bangsa-bangsa pada keempat penjuru bumi, ….. dan mengumpulkan mereka untuk berperang …… Maka naiklah mereka ke seluruh dataran bumi, lalu mengepung perkemahan tentara orang-orang kudus dan kota yang dikasihi itu. Tetapi dari langit turunlah api menghanguskan mereka, (Wahyu 20:7-9, tambahkan penekanan).

Mengapa Allah akan membebaskan Setan selama waktu yang singkat? Agar mereka semua akan dimanifestasikan, yakni mereka yang membenci Kristus di dalam hati mereka tetapi berpura-pura taat kepadaNya selama pemerintahanNya. Lalu mereka dapat dihakimi dengan benar. Hal itu akan menjadi ujian terakhir.

Dengan alasan sama, Setan diizinkan bekerja di atas bumi sekarang ini —agar orang-orang yang membenci Kristus di hati mereka dapat dimanifestasikan dan akhirnya dihakimi. Saat Allah tidak memakai Setan untuk memenuhi tujuan ilahiNya, si penipu akan dilempar ke lautan api untuk disiksa di sana selamanya (lihat Wahyu 20:10).

Siap-siap Menyongsong Bumi Baru (Preparing For the Future World)

Jika anda sudah bertobat dan percaya Injil, anda sudah melewati ujian awal dan terpenting dalam hidup ini. Tetapi, jangan pikir anda tidak akan terus diuji agar Allah dapat menentukan kesungguhan hati dan kesetiaan anda yang seterusnya kepadaNya. Hanya mereka yang “tetap setia dalam iman” akan tampil di hadapan Allah sebagai “yang suci dan tak bercacat-cela” (Kolose 1:22-23).

Di luar itu, sudah jelas dalam Alkitab bahwa kita semua satu hari akan berdiri di takhta penghakiman Allah, di mana setiap kita akan diberi upah menurut ketaatan kita di bumi. Jadi, kita masih diuji untuk menentukan kelayakan kita untuk mendapatkan upah itu di dalam Kerajaan Allah. Paulus menuliskan,

Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. Karena ada tertulis: “Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah.” Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah. (Roma 14:10-12, tambahkan penekanan).

Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat. (2 Korintus 5:10).

Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah. (1 Korintus 4:5, tambahkan penekanan).

Apakah Upah Yang Akan Kita Dapat? (What Will be the Rewards?)

Apa sebenarnya upah yang akan diberikan kepada orang yang membuktikan kasih dan kesungguhan hati kepada Yesus?

Alkitab berbicara tentang dua macam upah —pujian dari Allah, dan kesempatan lebih untuk melayaniNya. Keduanya terungkap dalam perumpamaan Yesus tentang bangsawan:

Maka Ia berkata: “Ada seorang bangsawan berangkat ke sebuah negeri yang jauh untuk dinobatkan menjadi raja di situ dan setelah itu baru kembali. Ia memanggil sepuluh orang hambanya dan memberikan sepuluh mina kepada mereka, katanya: Pakailah ini untuk berdagang sampai aku datang kembali. Akan tetapi orang-orang sebangsanya membenci dia, lalu mengirimkan utusan menyusul dia untuk mengatakan: Kami tidak mau orang ini menjadi raja atas kami. Dan terjadilah, ketika ia kembali, setelah ia dinobatkan menjadi raja, ia menyuruh memanggil hamba-hambanya, yang telah diberinya uang itu, untuk mengetahui berapa hasil dagang mereka masing-masing. Orang yang pertama datang dan berkata: Tuan, mina tuan yang satu itu telah menghasilkan sepuluh mina. Katanya kepada orang itu: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang baik; engkau telah setia dalam perkara kecil, karena itu terimalah kekuasaan atas sepuluh kota. Datanglah yang kedua dan berkata: Tuan, mina tuan telah menghasilkan lima mina. Katanya kepada orang itu: Dan engkau, kuasailah lima kota. Dan hamba yang ketiga datang dan berkata: Tuan, inilah mina tuan, aku telah menyimpannya dalam sapu tangan. Sebab aku takut akan tuan, karena tuan adalah manusia yang keras; tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan tuan menuai apa yang tidak tuan tabur. Katanya kepada orang itu: Hai hamba yang jahat, aku akan menghakimi engkau menurut perkataanmu sendiri. Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang keras, yang mengambil apa yang tidak pernah aku taruh dan menuai apa yang tidak aku tabur. Jika demikian, mengapa uangku itu tidak kauberikan kepada orang yang menjalankan uang? Maka sekembaliku aku dapat mengambilnya serta dengan bunganya. Lalu katanya kepada orang-orang yang berdiri di situ: Ambillah mina yang satu itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh mina itu. Kata mereka kepadanya: Tuan, ia sudah mempunyai sepuluh mina. Jawabnya: Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ada padanya. Akan tetapi semua seteruku ini, yang tidak suka aku menjadi rajanya, bawalah mereka ke mari dan bunuhlah mereka di depan mataku.” (Lukas 19:12-27).

Jelas, Yesus digambarkan sebagai bangsawan yang tidak hadir tetapi akhirnya kembali. Ketika Yesus kembali, kita harus bertanggung-jawab atas perbuatan kita dengan karunia-karunia, keahlian, pelayanan, dan kesempatan yang Ia berikan kepada kita, yang digambarkan sebagai satu mina yang diberikan kepada setiap hamba dalam perumpamaan itu. Jika kita setia, kita akan mendapat upah dengan pujian dariNya dan diberikan kuasa untuk membantuNya mengatur dan memerintah di atas bumi (lihat 2 Timotius 2:12; Wahyu 2:26 27; 5:10; 20:6), yang, dalam perumpamaan itu, digambarkan dengan pemberian kuasa kepada setiap hamba yang setia untuk menguasai kota-kota.

Keadilan bagi Penghakiman Kita Nanti (The Fairness of Our Future Judgment)

Perumpamaan lain yang Yesus ceritakan menggambarkan keadilan sempurna untuk penghakiman kita nanti:

“Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan merekapun pergi. Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku. Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga. Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.” (Matius 20:1-16).

Yesus tidak mengajar dalam perumpamaan itu bahwa semua hamba Tuhan akan menerima upah sama kelak nanti, karena itu tidak adil dan bertentangan dengan banyak ayat lain dalam Alkitab (lihat, misalnya, Lukas 19:12-27; 1 Korintus 3:8).

Sebaliknya, Yesus ajarkan bahwa setiap hamba Tuhan akan mendapat upah, sesuai dengan apa yang mereka lakukan bagiNya dan berapa banyak kesempatan yang Ia berikan kepada mereka. Para pekerja yang bekerja satu jam dalam perumpamaan Kristus itu mau bekerja sepanjang hari, seandainya sang tuan tanah memberi kesempatan kepada mereka. Sehingga orang yang memaksimalkan kesempatan satu jam akan diberi upah sama dengan orang yang diberi kesempatan bekerja seharian penuh.

Dan juga, Allah memberi kesempatan lain kepada tiap hambaNya. Bagi beberapa orang, Ia memberi kesempatan besar untuk melayani dan memberkati ribuan orang dengan memakai karunia-karunia ajaib yang Ia berikan pada mereka. Ia memberi lebih sedikit kesempatan dan karunia kepada orang-orang lain, namun akhirnya mereka dapat menerima upah sama jika mereka sama setianya dengan apa yang Allah berikan kepada mereka.

[1]

 

Kesimpulan (The Conclusion)

Tiada hal lebih penting dibandingkan menaati Allah, dan suatu hari setiap orang akan tahu hal itu. Orang bijak tahu hal itu, dan karena itu mereka bertindak!

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat. (Pengkhotbah 12:13-14).

Tiap pelayan pemuridan menaati Allah dengan sepenuh hati dan akan melakukan segala yang dapat dilakukannya agar murid-muridnya terdorong untuk melakukan hal itu juga!

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang topik penghakiman di takhta Allah, lihat Matius 6:1-6, 16-18; 10:41-42; 12:36-37; 19:28-29; 25:14-30; Lukas 12:2-3; 14:12-14; 16:10-13; 1 Korintus 3:5-15; 2 Timotius 2:12; 1 Petrus 1:17; Wahyu 2:26-27; 5:10; 20:6.

 


[1]

Perumpamaan ini juga tidak mengajarkan bahwa orang yang bertobat pada usia muda dan setia bekerja selama bertahun-tahun akan mendapat upah yang sama dengan orang yang bertobat pada tahun terakhir kehidupannya dan yang setia melayani Allah hanya satu tahun. Ini tidak adil, dan tidak berdasarkan kesempatan yang Allah berikan kepada setiap orang, karena Allah memberi kesempatan untuk bertobat selama hidupnya. Jadi, orang yang bekerja lebih lama akan menerima upah lebih dibandingkan orang yang bekerja dengan waktu yang lebih singkat.

Bab Duapuluh-Lima (Chapter Twenty-Five)

Didikan dari Tuhan (The Discipline of the Lord)

 

Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diriNya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah. Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang di kasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh. (Ibrani 12:3-13).

Menurut penulis kitab Ibrani yang diilhami, Bapa kita di sorga mendisiplikan semua anakNya. Jika kita tak pernah didisiplinkan olehNya, maka kita bukanlah anak-anakNya. Karena itu kita perlu sadar dan peka terhadap didikan Tuhan. Sebagian orang yang mengaku Kristen, yang hany fokus kepada berkat-berkat dan kebaikan Allah, menafsirkan setiap keadaan negatif sebagai serangan Iblis. Itu bisa jadi kesalahan besar jika Allah coba membimbing mereka kepada pertobatan melalui didikanNya atau pendisiplinanNya.

Setiap orang-tua yang baik di dunia ini mendisiplinkan anak-anaknya agar mereka mau belajar, menjadi dewasa, dan siap menghadapi kehidupan dewasa yang bertanggung-jawab. Allah juga medidik/mendisiplinkan kita agar kita tumbuh secara rohani, menjadi lebih berguna dalam pelayananNya, dan siap berdiri di hadapan tahta penghakimanNya. Ia mendisiplinkan karena Ia mengasihi kita dan Ia ingin kita meniru kesucianNya. Bapa sorgawi yang penuh kasih memberi pertumbuhan rohani kita. Alkitab berkata, “….Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” (Filipi 1:6).

Tak seorang anakpun mau pantatnya dipukul oleh orang-tuanya, dan ketika Allah mendisiplinkan kita, pengalaman itu tak “menyenangkan, namun menyedihkan”, seperti yang kita baca. Tetapi, akhirnya, kita lebih baik demikian karena disiplin menghasilkan “buah-buah kebenaran yang membawa kedamaian.”

Bilamana dan Bagaimana Allah Mendisiplinkan Kita (When and How Does God Discipline Us?)

Seperti seorang ayah, Allah hanya mendisiplinkan anakNya ketika ia bandel. Kapanpun tidak menaatiNya, kita beresiko untuk didisiplinkan olehNya. Tetapi, Tuhan sangat penuh kasih, dan biasanya Ia memberikan kita banyak waktu untuk bertobat. Pendisiplinan Tuhan terjadi setelah kita berkali-kali tidak taat dan setelah Allah berkali-kali memberi peringatan.

Bagaimana Allah mendisiplinkan kita? Seperti kita pelajari pada bab sebelumnya, didikan Tuhan bisa berupa kelemahan, penyakit atau bahkan kematian sebelum waktunya:

Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal. Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia. (1 Korintus 11:30-32).

Kita tidak langsung berkesimpulan bahwa semua penyakit adalah akibat pendisiplinan dari Allah (ingat saat Ayub sakit). Tetapi, jika penyakit tidak menyerang, kita sebaiknya mengecek rohani kita untuk mengetahui apakah kita sudah membuka pintu bagi pendisiplinan dari Allah melalui ketidaktaatan.

Kita dapat menghindari hukuman Allah jika kita menilai diri kita sendiri —yakni, mengakui dosa dan meminta ampun. Wajarlah bila kita simpulkan bahwa kita nanti disembuhkan saat kita bertobat jika penyakit kita merupakan hasil pendisiplinan Allah.

Dengan hukuman dari Allah, Paulus berkata bahwa kita sebenarnya menghindari hukuman bersama dengan dunia. Apa artinya? Paulus bisa saja bermaksud berkata bahwa pendisiplinan dari Allah membawa kita kepada pertobatan sehingga akhirnya kita tak mendapat hukuman neraka bersama dengan dunia. Hal itu sulit diterima oleh orang yang menganggap kesucian sebagai hal yang tidak wajib bagi orang yang sedang menuju ke sorga. Tetapi bagi orang yang telah membaca Khotbah di Bukit oleh Yesus, ia tahu bahwa hanya orang yang menaati Allah akan masuk KerajaanNya (lihat Matius 7:21). Dengan demikian jika kita terus berbuat dosa dan tidak bertobat, kita beresiko kehilangan kehidupan kekal. Pujilah Tuhan atas pendisiplinanNya yang membawa kita kepada pertobatan dan menyelamatkan kita dari neraka!

Setan sebagai Alat Hukuman Allah (Satan as a Tool of God’s Judgment)

Dari beberapa perikop Alkitab, Allah jelas dapat memakai Setan untuk maksud pendisiplinan dari Tuhan. Misalnya, dalam perumpamaan hamba yang tidak mengampuni dalam Matius 18, Yesus berkata bahwa tuan sang hamba “marah” ketika ia tahu bahwa hambanya yang telah diampuni tak mengampuni sesama hamba. “Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.” (Matius 18:34). Yesus mengakhiri perumpamaan itu dengan kata-kata tegas:

Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Matius 18:35).

Siapakah “algojo-algojo” itu? Mungkin sekali, merekalah Iblis dan roh-roh jahat. Allah dapat menyerahkan seorang anakNya yang bandel kepada Iblis agar ia bertobat. Kesulitan hidup dan bencana menjadi cara untuk membuat orang bertobat —seperti yang dipelajari oleh anak yang hilang (lihat Lukas 15:14-19).

Dalam Perjanjian Lama, kita temukan contoh-contoh Allah yang memakai Setan atau roh-roh jahat demi pendisiplinanNya atau hukumanNya bagi kehidupan orang yang layak mendapatkan amarahNya. Contoh dalam Hakim-Hakim 9 adalah “Allah membangkitkan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem” (Hakim-Hakim 9:23) untuk menghukum mereka atas perbuatan jahat mereka terhadap anak-anak Gideon.

Alkitab juga berkata bahwa “suatu roh jahat dari Tuhan” menyiksa Raja Saul untuk membawanya kepada pertobatan (1 Samuel 16:14). Tetapi, Saul tak pernah bertobat, dan akhirnya ia mati dalam pertempuran oleh karena pemberontakannya.

Pada kedua contoh Perjanjian Lama, Alkitab berkata bahwa roh-roh jahat ”dikirimkan dari Allah.” Bukan berarti bahwa Allah memiliki roh-roh jahat di sorga yang tengah menunggu untuk melayaniNya. Mungkin, Allah hanya izinkan roh-roh jahat dari Setan untuk bekerja tanpa batas agar orang-orang berdosa mau bertobat karena menderita.

Cara-Cara Lain Disiplin Allah (Other Means of God’s Discipline)

Dalam perjanjian lama, Allah juga sering mendidik umatNya dengan mengizinkan berbagai kesulitan seperti kelaparan atau musuh-musuh yang tak dikenal menguasai mereka. Akhirnya, mereka bertobat dan Ia membebaskan mereka dari musuh-musuhnya. Ketika mereka menolak bertobat setelah melewati masa-masa tekanan dan mendapat peringatan, Allah akhirnya izinkan kuasa asing untuk mengatasi mereka dan mengusir mereka dari negerinya, lalu mereka menjadi pengungsi.

Berdasarkan perjanjian baru, mungkin saja Allah mendisiplinkan anak-anakNya yang bandel dengan mengizinkan kesulitan dalam hidup mereka, atau Ia izinkan musuh-musuh menindas mereka. Misalnya, ayat Alkitab yang dikutip pada awal pasal tersebut tentang didikan Tuhan (Ibrani 12:3-13) ditemukan di dalam konteks orang-orang percaya Ibrani yang sedang dianiaya karena iman mereka. Tetapi, tidak semua penganiayaan diizinkan terjadi oleh karena ketidaktaatan. Setiap kejadian harus dinilai secara terpisah.

Reaksi yang Benar terhadap Pendisiplinan/Didikan dari Tuhan (Rightly Reacting to God’s Discipline)

Menurut peringatan yang dikutip di awal bab ini, kita dapat bereaksi salah terhadap pendisiplinan/didikan dari Tuhan dalam salah satu dari dua cara yang ada. Kita bisa saja “menganggap enteng didikan Tuhan, atau berputus asa apabila [kita] diperingatkan-Nya” (Ibrani 12:5). “Menganggap enteng” didikan Tuhan berarti tidak mengakui didikanNya, atau mengabaikan peringatan didikan itu. Putus asa kepada Tuhan berarti tidak membuat hatiNya senang karena kita pikir didikanNya terlalu keras. Kedua tindakan itu keliru. Akuilah bahwa Allah mengasihi kita, dan Ia mendidik kita untuk kebaikan kita. Ketika kita menerima uluran tanganNya yang penuh kasih dalam mendidik kita, kita harus bertobat dan menerima pengampunanNya.

Ketika kita bertobat, kita mengharapkan pemulihan dari didikan Tuhan. Tetapi. kita tak boleh langsung mengharapkan pemulihan dari akibat dosa kita yang tak terhindarkan, walaupun kita dapat meminta belas-kasihan dan pertolongan Tuhan. Allah menanggapi orang yang rendah hati dan penuh penyesalan (lihat Yesaya 66:2). Alkitab berjanji, “Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.” (Mazmur 30:6).

Setelah HukumanNya menimpa bangsa Israel, Allah berjanji:

Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajah-Ku terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihani engkau, firman TUHAN, Penebusmu. (Yesaya 54:7-8).

Allah itu baik dan penuh kasih karunia!

Untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai didikan Tuhan, lihat 2 Tawarikh 6:24-31, 36-39; 7:13-14; Mazmur 73:14; 94:12-13; 106:40-46; 118:18; 119:67, 71; Yeremia 2:29-30; 5:23-25; 14:12; 30:11; Hagai 1:2-13;2:17; Kisah Para Rasul 5:1-11; Wahyu 3:19.

Bab Duapuluh-Enam (Chapter Twenty-Six)

Berpuasa (Fasting)

Berpuasa adalah tindakan sukarela untuk tidak makan dan/atau minum selama satu periode waktu.

Alkitab mencatat banyak contoh orang berpuasa. Sebagian orang tidak makan semua jenis makanan, dan sebagian lainnya tidak makan jenis-jenis makanan tertentu selama puasa mereka. Contoh puasa yang tidak makan jenis-jenis makanan tertentu adalah puasa tiga minggu Daniel, ketika ia tidak makan “makanan yang sedap …daging atau anggur” (Daniel 10:3).

Ada juga beberapa contoh dalam Alkitab orang-orang yang berpuasa tidak makan dan tidak minum, tetapi berpuasa total seperti ini jarang dilakukan dan dianggap adikodrati, jika puasa itu berlangsung selama lebih dari tiga hari. Misalnya, ketika Musa pergi selama empat puluh hari tanpa makan atau minum apapun, ia berada dalam hadirat Allah Sendiri, selama wajahnya bersinar-sinar (lihat Keluaran34:28-29). Ia mengulangi puasa kedua selama 40 hari segera setelah puasa pertama (lihat Ulangan 9:9, 18). Kedua puasanya itu sangat adikodrati, dan dalam hal itu tak seorangpun mencoba meniru Musa. Selain pertolongan adikodrati dari Allah, orang tak mungkin bertahan lebih dari beberapa hari tanpa air. Dehidrasi menyebabkan kematian. Namun, sebagian besar orang sehat dapat bertahan selama beberapa minggu, hanya dengan makan, tanpa minum.

Mengapa Berpuasa (Why Fast?)

Tujuan utama puasa adalah mendapatkan manfaat-manfaat yang disediakan dengan mengambil waktu dalam doa dan mencari Tuhan. Dalam Alkitab, hampir tak ada acuan pada berpuasa, dan tak juga ada acuan kepada doa; sehingga, tak ada gunanya berpuasa tanpa berdoa.

[1]

Misalnya, dua acuan berpuasa dalam Kisah Para Rasul menyebut hal berdoa. Acuan pertama (lihat Kisah Para Rasul 13:1-3), para nabi dan guru di Antiokhia hanya “melayani Tuhan dan berpuasa.” Ketika melakukannya, mereka menerima pewahyuan profetik, lalu mengutus Paulus dan Barnabas pada perjalanan misi mereka yang pertama. Acuan kedua, Paulus dan Barnabas menunjuk para penatua untuk memimpin jemaat-jemaat baru di Galatia. Kita baca,

Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang adalah sumber kepercayaan mereka. (Kisah Para Rasul 14:23).

Mungkin pada acuan kedua, Paulus dan Barnabas mengikuti teladan Yesus, ketika Ia berdoa sepanjang malam, lama sebelum Ia memilih dua-belas murid (lihat Lukas 6:12). Keputusan-keputusan penting, seperti mengangkat pemimpin rohani, perlu didoakan sampai seseorang yakin bahwa ia mendapat bimbingan dari Tuhan, dan berpuasa dapat memberi lebih banyak waktu untuk berdoa. Jika Perjanjian Baru menghargai tindakan puasa sementara untuk tak berhubungan seks antara pasangan nikah demi meningkatkan kesungguhan dalam doa (lihat 1 Korintus 7:5), maka kita dapat lebih memahami bagaimana berpuasa sementara untuk tidak makan dapat menjadi tujuan yang sama.

[2]

 

Jadi, bila kita perlu berdoa meminta petunjuk Allah untuk mendapatkan keputusan rohani penting, berpuasa menjadi sesuai untuk maksud itu. Doa-doa untuk mendapatkan banyak kebutuhan lain dapat dilakukan dengan singkat. Misalnya, kita tak perlu berpuasa untuk menaikkan Doa Bapa Kami. Doa-doa untuk mendapatkan bimbingan perlu waktu lebih lama oleh karena kesulitan kita dalam “mengenali suara Allah dalam hati kita”, ketika suara Allah sering tumpang-tindih dengan berbagai keinginan atau dorongan keliru, atau tiadanya kesetiaan di dalam kita. Bila kita dapat jaminan dalam bimbingan, maka perlu tambahan waktu doa, dan itulah contoh di mana puasa ternyata menguntungkan.

Sudah tentu, meluangkan waktu untuk berdoa demi tujuan yang baik hampir tak ada apa-apanya selain keuntungan rohani. Karena itu, kita harus menganggap berpuasa sebagai cara yang menguntungkan untuk mendapatkan kekuatan dan efektifitas rohani —selama puasa kita dibarengi dengan doa. Kita baca dalam Kisah Para Rasul bahwa rasul-rasul zaman dulu bersungguh-sungguh “dalam doa dan pelayanan Firman” (Kisah Para Rasul 6:4). Tentu, hal tersebut mengungkapkan sebagian rahasia kepada kita untuk mendapatkan kekuatan dan efektifitas rohani.

Alasan Keliru Berpuasa (Wrong Reasons to Fast)

Karena kita telah menetapkan alasan berpuasa yang Alkitabiah berdasarkan Perjanjian Baru, kita harus juga perhatikan beberapa alasan berpuasa yang tidak Alkitabiah.

Sebagian orang berpuasa dengan harapan bahwa puasa akan menambah kesempatan bagi Allah untuk menjawab permohonan doa mereka. Tetapi, Yesus berkata bahwa cara utama agar doa dijawab adalah iman, bukan puasa (lihat Matius 21:22). Puasa bukanlah cara untuk “memelintir lengan Allah”, atau cara mengatakan kepadaNya, “Engkau lebih baik menjawab doaku atau saya akan kelaparan sampai mati!” Itu bukan puasa yang Alkitabiah —yakni mogok makan! Ingatlah, Daud berpuasa dan berdoa selama beberapa hari agar bayinya yang sakit dari istrinya Bethsheba tetap hidup, tetapi bayi meninggal karena Allah mendisiplinkan Daud. Berpuasa tak mengubah situasinya. Daud tidak berdoa dengan iman karena ia tidak berjanji untuk tetap bertahan. Nyatanya, ia berdoa dan berpuasa yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, terbukti oleh akibat yang terjadi.

Berpuasa bukanlah prasyarat untuk melakukan kebangunan rohani. Dalam Perjanjian Baru, tak ada contoh siapapun yang berpuasa untuk kebangunan rohani. Sebaliknya, rasul-rasul hanya menaati Yesus dengan memberitakan Injil. Jika sebuah kota tak menanggapi, mereka menaati Yesus lagi, dengan mengebaskan debu dari kaki mereka dan melakukan perjalanan ke kota berikutnya (lihat Lukas 9:5; Kisah Para Rasul 13:49-51). Mereka tak menunggu dan berpuasa, dengan mencoba “menghancurkan penghalang-penghalang rohani”, dan menunggu kebangunan rohani. Namun, dengan perkataan tersebut, saya harus tambahkan bahwa berpuasa yang dibarengi dengan doa tentu dapat menguntungkan bagi pemberita Injil, sehingga menjadikan mereka sebagai pelaku-pelaku kebangunan rohani. Banyak orang besar secara rohani yang dapat kita baca dalam sejarah gereja adalah orang-orang yang biasa melakukan doa dan puasa.

Berpuasa bukanlah cara “merendahkan keinginan daging”, seperti keinginan untuk makan merupakan keinginan yang wajar dan bukan dosa, tidak seperti “keinginan-keinginan daging” yang disebutkan dalam Galatia 5:19-21. Di lain pihak, berpuasa adalah tindakan pengendalian-diri, dan kebajikan yang sama diperlukan untuk mengejar hal-hal dari Roh dan bukan mengejar hal-hal kedagingan.

Berpuasa untuk membuktikan spiritualitas atau untuk memamerkan kesetiaan kepada Allah hanyalah buang-buang waktu dan menjadi tanda kemunafikan. Itulah alasan orang-orang Farisi berpuasa, dan Yesus mengecam mereka karena itu (lihat Matius 6:16; 23:5).

Sebagian orang berpuasa untuk mendapatkan kemenangan atas Setan. Tetapi puasa seperti itu tidak Alkitabiah. Alkitab berjanji bahwa bila kita menghadapi Setan dengan iman dalam Firman Allah, maka Setan akan lari dari kita (lihat Yakobus 4:7; 1 Pet.5:8-9). Berpuasa tidak perlu.

Tetapi tidakkah Yesus berkata bahwa beberapa roh jahat hanya dapat diusir dengan cara “berdoa dan berpuasa”?

Pernyataan itu dibuat dengan mengacu pada pembebasan seseorang dari roh jahat jenis tertentu yang merasukinya, bukan mengacu pada orang percaya yang perlu mendapatkan kemenangan atas serangan Setan terhadapnya; di mana dengan hal tersebut orang percaya menjadi sasaran serangan Setan.

Tetapi tidakkah pernyataan Yesus menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh kuasa yang lebih besar atas roh-roh jahat melaui puasa?

Ingatlah, ketika Yesus mendengar laporan di mana murid-muridNya gagal mengusir roh jahat dari seorang anak, yang pertama Ia lakukan adalah meratapi mereka yang tak punya iman (lihat Matius 17:17). Ketika murid-muridNya bertanya kepadaNya mengapa mereka gagal, Ia menjawab bahwa penyebabnya adalah kurangnya iman mereka (lihat Matius 17:20). Ia mungkin juga telah menambahkan sebagai catatan kaki, “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa” (Matius 17:21). Saya berkata bahwa Ia bisa saja telah menambahkan kata-kata itu sebagai catatan kaki karena ada bukti bahwa pernyataan itu mungkin tidak dimasukkan dalam Injil asli dari Matius. Sebuah catatan dalam catatan pinggir Alkitab (Alkitab versi New American Standard, versi Alkitab Bahasa Inggris yang sangat istimewa) menunjukkan bahwa banyak naskah asli Injil Matius tidak berisikan pernyataan khusus itu, yang berarti bisa saja Yesus tak pernah berkata, “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.” Pengguna Bahasa Inggris mendapatkan manfaat dengan memiliki bagian-bagian dari beberapa terjemahan Alkitab yang berbeda dalam bahasa itu, sedangkan banyak Alkitab dalam bahasa-bahasa lain diterjemahkan, bukan dari naskah-naskah asli bahasa Ibrani dan Gerika, tetapi dari versi Alkitab King James, terjemahan yang kini telah berusia lebih dari 400 tahun.

Dalam paparan Injil Markus dengan kejadian yang sama, Yesus berkata, “ Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa.” (Markus 9:29), dan dicatat dalam catatan pinggir Alkitab versi New American Standard yang banyak naskah menambahkan frase “dan berpuasa” pada akhir ayat itu.

Jika Yesus benar-benar mengucapkan kata-kata itu, kesimpulan kita keliru bahwa puasa diperlukan bagi orang untuk mengusir roh-roh jahat. Jika Yesus memberi seseorang kuasa atas roh-roh jahat, seperti yang Ia lakukan kepada duabelas muridNya (lihat Matius 10:1), maka orang itu telah memiliki kuasa itu, dan puasa tak dapat menambah kuasanya. Tentu, puasa dapat memberikan banyak waktu untuk berdoa, sehingga meningkatkan kepekaan rohani dan mungkin imannya dalam kuasa yang Allah berikan kepadanya.

Juga ingatlah, jika Yesus benar-benar membuat pernyataan, pernyataan itu hanyalah acuan kepada satu jenis roh jahat. Walaupun murid-murid Yesus pernah gagal mengusir satu jenis roh jahat, mereka berhasil mengusir banyak roh jahat lainnya (lihat Luke10:17).

Dengan kata lain, kita tak perlu berpuasa untuk mendapatkan kemenangan pribadi atas serangan Setan terhadap kita.

Penekanan Berlebihan mengenai Berpuasa (Overemphasis Regarding Fasting)

Beberapa orang Kristen menyimpulkam satu agama dari tindakan puasa, dengan memberi tempat dominan kepada hal berpuasa dalam kehidupan Kristen. Tetapi tiada satupun acuan kepada berpuasa dalam suratan-suratan Perjanjian Baru.

[3]

Tiada petunjuk yang diberikan kepada orang percaya mengenai bagaimana atau kapan harus berpuasa. Tak ada dorongan untuk melakukan puasa. Hal itu menunjukkan bahwa berpuasa bukanlah aspek penting dalam mengikut Yesus.

Dalam Perjanjian Lama, berpuasa disebutkan lebih sering. Berpuasa paling sering dikaitkan dengan saat-saat duka, seperti dalam hubungan dengan kematian seseorang atau saat bertobat, atau dengan doa yang khusuk selama masa-masa krisis nasional atau pribadi (lihat Hakim-Hakim 20:24-28; 1 Samuel 1:7-8; 7:1-6; 31:11-13; 2 Samuel 1:12; 12:15-23; 1 Raja-Raja 21:20-29; 2 Tawarikh 20:1-3; Ezra 8:21-23; 10:1-6; Nehemia 1:1-4; 9:1-2; Ester 4:1-3, 15-17; Mazmur 35:13-14; 69:10; Yesaya 58:1-7; Daniel 6:16-18; 9:1-3; Yoel 1:13-14; 2:12-17; Yunus 3:4-10; Zakharia 7:4-5). Saya percaya semua ayat itu tetap menjadi alasan sah untuk melakukan puasa di masa kini.

Perjanjian Lama juga mengajarkan bahwa tidaklah seimbang bila kita hanya serius berpuasa tanpa peduli pada penaatan perintah-perintah yang kedudukannya lebih penting, seperti kepedulian kepada kaum miskin (lihat Yesaya 58:1-12; Zakharia 7:1-14).

Tentu, kita tak dapat menuduh Yesus telah menyuruh kita untuk berpuasa secara berlebihan. Orang-orang Farisi menuduh Yesus tidak melakukan puasa (lihat Matius 9:14-15). Ia menghardik mereka karena menempatkan hal berpuasa di atas masalah-masalah rohani yang lebih penting (lihat Matius 23:23; Lukas 18:9-12).

Di lain pihak, Yesus berbicara tentang berpuasa kepada para pengikutNya selama KhotbahNya di Bukit. Ia mengajarkan kepada mereka untuk berpuasa dengan alasan yang benar, yang menunjukkan bahwa Ia mengharapkan agar para pengikutNya sewaktu-waktu berpuasa. Yesus juga berjanji bahwa Allah memberikan upah bagi mereka yang berpuasa. Ia Sendiri juga berpuasa (lihat Matius 17:21). Dan Ia berkata bahwa saatnya akan tiba ketika murid-muridNya berpuasa, ketika Ia diambil dari antara mereka (lihat Lukas 5:34-35).

Berapa Lama Seseorang Harus Berpuasa? (How Long Should One Fast?)

Seperti sudah dikatakan sebelumnnya, semua puasa selama empat-puluh hari yang terdapat dalam Alkitab dapat digolongkan sebagai peristiwa adikodrati. Kita telah simak Musa yang dua kali berpuasa, masing-masing selama empat-puluh hari dalam hadirat Allah. Elia juga berpuasa selama empat-puluh hari, tetapi sebelumnya ia diberi makan oleh malaikat (lihat 1 Raja-Raja 19:5-8). Sudah ada juga beberapa unsur yang sangat adikodrati pada puasa empat-puluh hari yang Yesus lakukan. Ia secara adikodrati dipimpin oleh Roh Kudus menuju padang gurun. Ia mengalami cobaan adikodrati dari Setan pada saat-saat akhir puasaNya. Ia juga dilawati oleh para malaikat pada saat akhir puasaNya (lihat Matius 4:1-11). Puasa empat-puluh hari bukanlah norma Alkitab.

Jika seseorang rela berpantang makan sekali saja demi meluangkan waktu untuk mencari Tuhan, ia telah berpuasa. Kita keliru bila berpendapat bahwa puasa hanya dapat diukur dalam beberapa hari.

Puasa disebutkan dua kali dalam Kisah Para Rasul (lihat Kisah Para Rasul 13:1-3; 14:23), tampaknya keduanya bukan puasa yang berlangsung lama. Mungkin hanya puasa untuk tidak makan sekali saja.

Karena puasa bertujuan untuk mencari Tuhan, saya sarankan anda berpuasa selama anda perlu, sampai anda dapatkan apa yang anda perlukan dari Allah.

Ingat, berpuasa tidak memaksa Allah untuk berbicara pada anda. Berpuasa hanya dapat memperkuat kepekaan anda terhadap Roh Kudus. Allah tengah berbicara apakah anda berpuasa atau tidak. Dari keinginan-keinginan kita, kita sulit mengetahui pimpinanNya.

Saran Praktis (Some Practical Advice)

Berpuasa biasanya mempengaruhi tubuh fisik dalam berbagai cara. Orang bisa menjadi lemah, lelah, sakit kepala, muntah-muntah, pusing, kram perut, dan lain-lain. Jika ia biasa minum kopi, teh, atau minuman lain berkafein, sebagian dari gejala-gejala itu dapat diakibatkan oleh kafein. Dalam hal itu, sebaiknya orang yang akan berpuasa tidak meminum minuman berkafein dari menu makanan beberapa hari sebelum puasa dimulai. Jika ia berpuasa secara teratur atau setengah-teratur, puasanya akan semakin mudah, walaupun biasanya ia jadi lemah selama satu minggu atau dua minggu pertama.

Selama puasanya, ia harus banyak minum air agar tidak mengalami dehidrasi.

Puasa harus dihentikan secara hati-hati dan pelan-pelan, dan makin lama puasa, makin hati-hati berhenti puasa. Jika perut tak mencerna makanan padat selama tiga hari, tidaklah bijak untuk berhenti puasa dengan memakan makanan yang sulit dicerna. Makanlah makanan yang mudah dicerna dan minum jus buah. Puasa yang lebih lama memerlukan lebih banyak waktu bagi sistem pencernaan untuk menyesuaikan lagi dengan makanan, tetapi tidak makan sekali atau dua kali tak perlu periode khusus untuk berhenti puasa.

Sebagian orang yakin bahwa puasa yang cermat dan tak berlebihan adalah langkah untuk meningkatkan kesehatan tubuh, dan saya melakukannya, setelah mendengar kesaksian dari orang-orang sakit yang disembuhkan selagi berpuasa. Menurut anggapan, berpuasa adalah cara untuk mengistirahatkan dan membersihkan tubuh. Ini bisa jadi alasan mengapa puasa pertama kita biasanya paling sulit dilakukan. Orang yang tak pernah puasa memiliki kemungkinan besar untuk melakukan pembersihan fisik di dalam dirinya.

Rasa lapar selama puasa biasanya akan berhenti sejak dua atau tiga hari dalam puasanya. Ketika rasa lapar kembali muncul (biasanya setelah beberapa minggu), pertanda kita untuk mengakhiri puasa dengan hati-hati, karena itulah awal rasa lapar, ketika tubuh telah memakai cadangan lemak dan kini menggunakan sel-sel esensial. Alkitab berkata bahwa Yesus menjadi lapar setelah empat-puluh hari berpuasa, dan itulah saatnya Ia mengakhiri puasaNya (lihat Matius 4:2).

 


[1]

Saya telah berpuasa selama tujuh hari tanpa manfaat rohani apapun, demi alasan sederhana bahwa saya mempunya tujuan tidak rohani dan tidak meluangkan waktu lebih dalam doa.

[2]

Alkitab versi King James dalam 1 Korintus 7:5 menyebutkan kesepakatan bersama antara suami dan istri untuk tak melakukan hubungan seks agar mereka dapat berkonsentrasi pada “puasa dan doa.” Sebagian besar terjemahan Bahasa Inggris modern untuk ayat ini tak menyebutkan puasa, namun menyebutkan doa.

[3]

Pengecualian adalah penyebutan oleh Paulus tentang berpuasa oleh pasangan suami-istri dalam 1 Korintus 7:5, namun di antara berbagi terjemahan Alkitab dalam Bahasa Inggris, berpuasa hanya disebutkan dalam Alkitab versi King James. Berpuasa sukarela disebutkan Kisah Para Rasul 27:21, 33-34, 1 Korintus 4:11 dan 2 Korintus 6:5; 11:27. Namun, puasa-puasa itu dilakukan tidak untuk maksud-maksud rohani, namun hanya oleh karena keadaan-keadaan yang sulit atau karena tak ada makanan untuk dimakan.

Bab Duapuluh-Tiga (Chapter Twenty-Three)

Bab Duapuluh-Tiga (Chapter Twenty-Three) Sakramen (The Sacraments)

 

Yesus memberikan kepada gereja hanya dua sakramen: baptisan air (lihat Matius 28:19) dan Perjamuan Tuhan (lihat 1 Korintus 11:23-26). Pertama-tama, kita pelajari baptisan air. Berdasarkan perjanjian baru, setiap orang percaya harus mengalami tiga baptisan, yakni baptisan ke dalam tubuh Kristus, baptisan air, dan baptisan Roh Kudus. Ketika seseorang dilahirkan kembali, ia otomatis dibaptiskan ke dalam tubuh Kristus, yakni ia menjadi anggota gereja, tubuh Kristus:

Sebab dalam satu Roh kita semua… telah dibaptis menjadi satu tubuh. (1 Korintus 12:13; lihat juga Roma 6:3; Efesus 1:22-23; Kolose 1:18, 24).

Yang dibaptis dalam Roh Kudus adalah pengalaman yang mengikuti keselamatan, dan baptisan ini dapat dan harus diterima oleh setiap orang percaya.

Setiap orang percaya harus dibaptis dalam air segera setelah ia bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus. Baptisan harus jadi tindakan awal bagi ketaatan orang percaya baru:

Lalu Ia [Yesus] berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. (Markus 16:15-16, tambahkan penekanan).

Gereja mula-mula menganggap penting perintah Yesus untuk membaptis. Hampir tanpa kecuali, setiap petobat baru dibaptis segera setelah pertobatannya (lihat Kisah Para Rasul 2:37-41; 8:12-16, 36-39; 9:17-19; 10:44-48; 16:31-33; 18:5-8; 19:1-5).

Beberapa Ide yang Tidak Alkitabiah mengenai Baptisan (Some Unscriptural Ideas about Baptism)

Sebagian orang mempraktekkan baptisan dengan memercikan beberapa tetes air kepada petobat baru. Apakah itu benar? Kata kerja yang diterjemahkan membaptiskan dalam Perjanjian Baru adalah bahasa Gerika baptizo, yang berarti “menenggelamkan.” Karena itu, orang yang dibaptis ke dalam air harus diselamkan di bawah air dan tidak dipercik dengan beberapa tetes saja. Simbol baptisan orang Kristen, yang kita akan pelajari, juga mendukung ide baptisan selam.

Sebagian orang mempraktekkan baptisan bayi, namun tak ada contoh baptisan bayi dalam Alkitab. Praktek tersebut berasal dari doktrin sesat “kelahiran kembali dengan baptisan”, yakni ide bahwa seseorang dilahirkan kembali saat ia dibaptis. Alkitab jelas mengajarkan bahwa setiap orang harus pertama-tama percaya kepada Yesus sebelum ia dibaptis. Jadi, anak yang sudah cukup usia untuk bertobat dan mengikuti Yesus memenuhi syarat untuk dibaptis, tetapi bukan bayi dan anak kecil.

Sebagian orang mengajarkan bahwa, walaupun seseorang bisa percaya kepada Yesus, ia tidak diselamatkan sebelum dibaptiskan dalam air. Itu tak benar menurut Alkitab. Dalam Kisah Para Rasul 10:44-48 dan 11:17, seisi rumah Kornelius diselamatkan dan dibaptis dalam Roh Kudus sebelum salah satu dari mereka dibaptis dalam air. Mustahil seseorang dibaptis dalam Roh Kudus jika ia tak diselamatkan lebih dulu (lihat Yohanes 14:17).

Sebagian orang mengajarkan bahwa jika seseorang tidak dibaptis menurut rumusan tertentu, ia benar-benar tidak selamat. Alkitab tidak memberikan ritual khusus yang harus diikuti untuk baptisan yang benar. Misalnya, sebagian orang berkata bahwa orang percaya tidak selamat jika ia sudah dibaptis “dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus” (Matius 28:19) bukannya “dalam nama Yesus ” (Kisah Para Rasul 8:16). Orang-orang menunjukkan roh yang sama yang mendominasi orang-orang Farisi, yang menyaring seekor lalat dan menelan unta. Mengerikan bila kita saksikan orang-orang Kristen berdebat tentang penggunaan kata-kata yang tepat selama pembaptisan selagi dunia menunggu untuk mendengarkan Injil.

Simbol Baptisan menurut Alkitab (The Scriptural Symbolism of Baptism)

Baptisan air melambangkan beberapa hal yang telah terjadi dalam kehidupan orang percaya baru. Paling sederhana, baptisan melambangkan bahwa dosa-dosa kita telah disucikan, dan kini kita berdiri suci di hadapan Allah. Ketika Ananias dikirim kepada Saulus (Paulus) segera setelah pertobatan Paulus, ia berkata kepada Paulus:

Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan! (Kisah Para Rasul 22:16, tambahkan penekanan).

Kedua, baptisan air melambangkan identifikasi kita dengan Kristus dalam kematian, penguburan dan kebangkitanNya. Saat kita dilahirkan kembali dan disatukan dalam tubuh Kristus, sejak itu Allah menganggap kita sebagai ada “di dalam Kristus”. Karena Yesus adalah pengganti kita, Allah memberikan semua yang dilakukan Yesus kepada kita. Jadi “berada dalam Kristus”, kita telah mati, dikuburkan, dan dibangkitkan kembali dari kematian untuk hidup sebagai manusia baru:

Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama denganNya oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. (Roma 6:3-4).

Karena denganNya kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. (Kolose 2:12).

Kebenaran-kebenaran tersebut harus diajarkan kepada setiap orang percaya baru ketika ia dibaptis dalam air, dan ia harus dibaptis segera setelah ia percaya kepada Yesus.

Perjamuan Tuhan (The Lord’s Supper)

Perjamuan Tuhan berasal dari Perayaan Paskah dalam Perjanjian Lama. Pada malam ketika Allah membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir, Ia memerintahkan semua keluarga untuk masing-masing mengorbankan seekor domba berumur setahun dan memercikkan darahnya pada palang dan tiang pintu rumah mereka. Saat “malaikat maut” berlalu melalui bangsa itu pada malam itu, dan membunuh anak-anak yang baru lahir di Mesir, malaikat itu akan melihat darah di rumah-rumah orang Israel dan “melewatkannya.”

Lagipula, orang-orang Israel harus merayakan hari raya dengan memakan daging domba Paskah dan juga memakan roti tak beragi selama tujuh hari. Perayaan ini menjadi peraturan permanen bagi Israel, yang dirayakan pada saat yang sama setiap tahun (lihat Keluaran 12:1-28). Jelaslah, anak domba Paskah adalah gambaran Kristus, yang disebut “anak domba Paskah” dalam 1 Korintus 5:7.

Ketika Yesus melembagakan Perjamuan Tuhan, Ia dan murid-muridNya merayakan Pesta Paskah. Yesus disalibkan selama perayaan Paskah, yang sebenarnya memenuhi panggilanNya sebagai “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29).

Roti yang kita makan melambangkan tubuh Yesus yang dipecah-pecahkan untuk kita, dan anggur yang kita minum melambangkan darahNya yang ditumpahkan untuk menghapus dosa-dosa kita:

Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa. Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku.” (Matius 26:26-29).

Rasul Paulus mengisahkan dengan cara berikut:

Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. (1 Korintus 11:23-26).

Kapan dan Bagaimana (When and How)

Alkitab tidak menyatakan berapa kali kita melakukan Perjamuan Tuhan, tetapi jelas pada masa awal gereja, Perjamuan Tuhan dilakukan secara teratur dalam pertemuan-pertemuan gereja rumah sebagai acara jamuan makan penuh (lihat 1 Korintus 11:20-34). Karena memiliki asal-usul dari Jamuan Makan Paskah, maka Perjamuan Tuhan merupakan jamuan makan ketika dilembagakan oleh Yesus, dan dilakukan sebagai jamuan makan oleh gereja mula-mula, seperti yang dipraktekkan kini. Namun banyak gereja masih mengikuti “tradisi-tradisi manusia.”

Kita harus mendekati Perjamuan Tuhan dengan penuh rasa hormat. Rasul Paulus mengajarkan bahwa melakukan Perjamuan Tuhan secara tidak layak adalah tindakan mendatangkan hukuman yang serius:

Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal. Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia. (1 Korintus 11:27-32).

Kita diingatkan untuk menguji dan menilai diri sendiri sebelum ambil bagian dalam Perjamuan Tuhan, dan jika kita menemukan ada dosa, kita perlu bertobat dan mengakuinya. Jika tidak, kita dapat saja “bersalah atas tubuh dan darah Tuhan.”

Karena Yesus mati dan menumpahkan darahNya untuk membebaskan kita dari dosa, kita tentu tidak ingin ambil bagian dalam unsur-unsur Perjamuan Tuhan –sebagai tubuh dan darahNya—bila dosa-dosa tidak diakui. Jika kita ambil bagian dalam unsur-unsur Perjamuan Tuhan, kita dapat makan dan minum penghakiman atas diri kita dalam wujud penyakit dan kematian yang lebih cepat, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di Korintus. Cara menghindari disiplin Allah adalah “menghakimi diri kita sendiri”, yakni mengakui dan bertobat dari dosa-dosa kita.

Dosa utama orang-orang Kristen di Korintus adalah ketiadaan kasih; mereka saling cekcok dan berseteru. Kenyataannya, ketiadaan pertimbangan pikiran oleh orang-orang Kristen di Korintus itu bahkan terwujud selama Perjamuan Tuhan ketika sebagian orang makan, selagi yang lain dalam keadaan lapar, dan sebagian lain bahkan mabuk (lihat 1 Korintus 11:20-22).

Roti yang kita makan melambangkan tubuh Kristus, yang kini adalah gereja. Kita ambil sepotong roti, yang adalah kesatuan kita sebagai satu tubuh (lihat 1 Korintus 10:17). Adalah jahat bila kita ambil bagian dalam hal perlambangan satu tubuh Kristus selagi kita masih bermusuhan dan tidak berdamai dengan anggota-anggota lain dalam tubuh Kristus! Sebelum kita mengikuti Perjamuan Tuhan, kita perlu yakin bahwa kita memiliki hubungan baik dengan saudara-saudara kita dalam Kristus..

Bab Duapuluh-Empat (Chapter Twenty-Four)

Konfrontasi, Pengampunan dan Pendamaian Kembali (Confrontation, Forgiveness and Reconciliation)

 

Ketika mempelajari Khotbah di Bukit oleh Yesus pada bab sebelumnya, kita pelajari betapa penting mengampuni mereka yang berdosa kepada kita. Bila kita tak mengampuni mereka, Yesus berjanji bahwa Allah tidak akan mengampuni kita (lihat Matius 6:14-15).

Apa artinya mengampuni seseorang? Perhatikanlah apa yang Alkitab ajarkan.

Yesus membandingkan pengampunan dengan penghapusan utang seseorang (lihat Matius 18:23-35). Misalkan seseorang berhutang uang kepada anda, lalu anda membebaskannya untuk mengembalikan uang itu. Anda hancurkan dokumen catatan hutangnya. Anda tak lagi berharap kembalinya uang, dan anda tak lagi marah kepada si peminjam. Kini, lihatlah dia secara berbeda dibandingkan saat anda berhutang kepadanya.

Kita dapat juga memahami apa artinya mengampuni jika kita perhatikan apa artinya diampuni oleh Allah. Ketika Ia mengampuni dosa kita, Ia tak lagi menganggap kita bertanggung-jawab atas apa yang sudah kita lakukan yang tidak berkenan bagiNya. Ia tak lagi marah kepada kita oleh karena dosa tadi. Ia tidak akan mendisiplinkan atau menghukum kita atas perlakuan kita. Kita diperdamaikan denganNya.

Demikian juga, jika saya benar-benar mengampuni seseorang, saya bebaskan orang itu di dalam hati saya, dengan mengatasi keinginan untuk mendapatkan keadilan atau balas dendam dengan menunjukkan belas-kasihan. Saya tak lagi marah kepada orang yang berdosa kepada saya. Kita telah berdamai. Jika saya marah atau dendam kepada seseorang, maka saya belum mengampuninya.

Dalam hal ini, orang Kristen sering membodohi diri sendiri. Menurutnya, ia telah mengampuni seseorang, dan tahu bahwa itulah yang harus ia lakukan, tetapi di dalam hatinya ia masih dendam kepada orang yang bersalah kepadanya. Ia menghindari bertemu dengan orang itu karena dapat menimbulkan bahaya lagi. Saya tahu apa yang saya sedang katakan, karena saya baru saja melakukannya. Jangan bodohi diri kita. Ingatlah, bahkan Yesus tidak ingin kita marah kepada sesama orang percaya (lihat Matius 5:22).

Saya ingin bertanya: Siapakah yang lebih mudah mengampuni, orang bersalah yang memohon ampun atau orang bersalah yang tak memohon ampun? Sudah tentu, jauh lebih mudah mengampuni orang bersalah yang mengaku kesalahannya dan memohon ampun. Ternyata, lebih mudah mengampuni orang yang meminta ampun dibandingkan orang yang tidak meminta ampun. Mengampuni orang yang tak meminta ampun tampaknya mustahil.

Perhatikanlah hal itu dari sudut lain. Jika menolak mengampuni orang bersalah yang memohon ampun dan menolak mengampuni orang yang tidak bertobat, keduanya salah, manakah dosa yang lebih besar? Saya kira kita sepakat, jika keduanya salah, menolak mengampuni orang bersalah yang meminta ampun adalah dosa yang lebih besar.

Kejutan dari Alkitab (A Surprise from Scripture)

Semua itu memunculkan pertanyaan: Apakah Allah mau kita mengampuni setiap orang yang berdosa kepada kita, bahkan orang yang tak merendahkan dirinya sendiri, mengakui dosanya, dan memohon ampun?

Saat mempelajari Alkitab dengan teliti, kita temukan jawabannya, yakni ”Tidak.” Terhadap kekejutan banyak orang Kristen, Alkitab jelas berkata bahwa, walaupun kita diperintahkan untuk mengasihi setiap orang, termasuk bahkan musuh-musuh kita, kita tak perlu mengampuni setiap orang.

Misalnya, apakah Yesus mengharapkan kita untuk mengampuni sesama orang percaya yang berdosa kepada kita? Tidak. Jika tidak, Ia tak akan berkata agar kita mengikuti empat langkah kepada pendamaian kembali sesuai uraian Matius 18:15-17, sebagai langkah-langkah yang berakhir dengan pengucilan jika orang yang berdosa pada kita tidak bertobat:

Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.

Jelaslah, jika langkah keempat dicapai (pengucilan), pengampunan tidak diberikan kepada orang yang berdosa pada kita, karena pengampunan dan pengucilan adalah tindakan yang tak dapat didamaikan. Aneh bila kita dengar seseorang berkata, “Kami mengampuninya, lalu kita mengucilkannya,” karena pengampunan menghasilkan pendamaian kembali, bukan pengucilan. (Apa pendapat anda jika Allah berkata, “Aku mengampunimu, tetapi Aku tidak akan berurusan denganmu mulai sekarang”?). Yesus meminta kita untuk memperlakukan orang yang dikucilkan “sebagai orang bukan Yahudi dan pemungut cukai”, dua jenis orang yang tak mau dihubungi dan benar-benar dibenci oleh orang-orang Yahudi.

Pada empat langkah yang Yesus tekankan, pengampunan tidak diberikan setelah langkah pertama, langkah kedua atau langkah ketiga jika orang berdosa tidak bertobat. Jika ia tidak bertobat setelah satu langkah, ia dibawa ke langkah berikut, masih diperlakukan sebagai orang berdosa yang tak bertobat. Ketika orang berdosa “mendengarkan anda” (yakni bertobat), maka anda “telah memenangkan saudara anda” (yakni diperdamaikan).

Tujuan melakukan pertemuan adalah memberikan pengampunan. Tetapi, pengampunan dijadikan dasar ketika orang yang berdosa kepada kita bertobat. Sehingga kita (1) berhadap-hadapan agar orang yang berdosa kepada kita akan (2) bertobat sehingga kita dapat (3) mengampuninya.

Jadi, dapat dikatakan bahwa Allah tak mau kita hanya mengampuni sesama orang percaya yang telah berdosa kepada kita dan yang tidak bertobat setelah bertemu. Tentu, hal itu tak memberikan kita hak untuk membenci orang percaya yang membenci kita. Sebaliknya, kita adakan pertemuan karena kita mengasihi orang percaya itu dan ingin mengampuninya dan berdamai.

Namun ketika diadakan pendamaian kembali melalui tiga langkah yang diuraikan oleh Yesus, langkah keempat mengakhiri hubungan tersebut dalam ketaatan pada Kristus.

[1]

Karena kita tak boleh bersekutu dengan orang yang menyebut dirinya Kristen yang adalah pezinah, pemabuk, homoseks, dan lain-lain (lihat 1 Korintus 5:11), kita tak boleh bersekutu dengan orang yang menyebut dirinya Kristen yang menolak bertobat dalam kesepakatan seluruh tubuh Kristus. Orang itu terbukti bukanlah pengikut sejati Kristus, dan ia menimbulkan cela terhadap gerejaNya.

Teladan Allah (God’s Example)

Ketika memperhatikan tanggung-jawab untuk mengampuni orang lain, kita mungkin heran mengapa Allah mengharapkan kita untuk melakukan sesuatu yang Ia Sendiri tidak lakukan. Allah tentu mengasihi orang-orang yang bersalah dan mengulurkan tanganNya yang berbelas kasihan demi mengampuni mereka. Ia menahan amarahNya dan memberi mereka waktu untuk bertobat. Tetapi pengampunan yang diberikan kepada mereka tergantung pada pertobatan mereka. Allah tidak mengampuni orang-orang bersalah jika mereka tidak bertobat. Jadi mengapa kita pikir bahwa Ia berharap lebih banyak dari kita?

Jika demikian, apakah tidak mungkin bahwa dosa yang tak diampuni yang Allah benci adalah dosa tidak mengampuni orang yang memohon pengampunan kita? Adalah menarik, setelah Yesus menggarisbawahi empat langkah disiplin gereja, Petrus bertanya,

“Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Matius 18:21-22).

Apakah Petrus menganggap bahwa Yesus berharap untuk mengampuni saudara yang tidak bertobat ratusan kali untuk ratusan dosa ketika Yesus baru saja berkata kepadanya sebelumnya untuk memperlakukannya sebagai saudara yang tidak bertobat seperti orang bukan Yahudi dan pemungut cukai oleh karena satu dosa? Tampaknya sangat tidak mungkin. Lagi-lagi, anda tidak memperlakukan seseorang sebagai orang yang dibenci jika anda sudah mengampuninya.

Pertanyaan lain yang menggelitik pemikiran kita adalah: Jika Yesus mengharapkan kita untuk mengampuni orang percaya ratusan kali untuk ratusan dosa yang tak pernah ia mintakan ampunan, sehingga hubungan kita tetap bertahan, mengapa Ia izinkan kita untuk memutuskan hubungan pernikahan hanya untuk satu dosa yang dilakukan terhadap kita, dosa perzinahan, jika pasangan kita tidak bertobat (lihat Matius 5:32)?

[2]

Tampaknya hal itu agak tidak konsisten.

Penjelasan (An Elaboration)

Segera setelah Yesus berkata kepada Petrus untuk mengampuni saudara empat ratus sembilan puluh kali, Ia menceritakan satu perumpamaan agar Petrus dapat memahami:

Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. [Di zaman Yesus, jumlah ini sama dengan lebih dari 5,000 tahun gaji untuk pekerja rata-rata]. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar [setara dengan gaji seratus hari] kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Matius 18:23-35).

Perhatikan, hamba pertama diampuni karena ia memohon ampunan kepada tuannya. Lalu, hamba kedua juga dengan rendah hati memohon pengampunan kepada hamba pertama. Hamba pertama tak memberikan apa yang telah didapatkannya kepada hamba kedua, dan itulah yang membuat tuannya marah. Dengan demikian, apakah Petrus berpikir bahwa Yesus mengharapkannya untuk mengampuni saudara yang tidak bertobat yang tak pernah memohon pengampunan, sesuatu yang tidak digambarkan sama sekali melalui perumpamaan Yesus? Tampaknya mustahil, dan bahkan lebih lagi karena Yesus baru saja berkata kepadanya untuk memperhatikan saudara yang tidak bertobat, setelah ia bertemu muka dengannya, bagaikan orang bukan Yahudi dan pemungut cukai.

Tampaknya tidak mungkin Petrus menganggap dirinya harus mengampuni seorang saudara yang tidak bertobat dengan melihat hukuman yang Yesus janjikan jika kita tidak mengampuni saudara kita dari dalam hati kita. Yesus berjanji memulihkan semua hutang yang telah diampuni sebelumnya dan menyerahkan kita kepada penindas sampai kita mengembalikan apa yang tidak pernah kita kembalikan. Apakah itu hukuman adil bagi seorang Kristen yang tak mengampuni saudaranya, saudara yang Allah tidak ampuni juga? Jika seorang saudara berdosa terhadap saya, ia berdosa terhadap Allah, dan Allah tak mengampuninya jika tak ia bertobat. Dapatkah Allah menghukum saya karena saya tidak mengampuni seseorang yang Ia tidak ampuni?

Sinopsis (A Synopsis)

Harapan Yesus untuk kita mengampuni sesama orang percaya dinyatakan melalui FirmanNya dalam Lukas 17:3-4:

Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” (tambahkan penekanan).

Seberapa jelaskah itu? Yesus berharap kita untuk mengampuni sesama orang percaya ketika mereka meminta ampun. Ketika kita berdoa, “Ampuni dosa-dosa kami seperti kami juga telah mengampuni orang-orang yang bersalah kepada kami”, kita memohon Allah untuk melakukan bagi kita apa yang telah kita lakukan kepada orang-orang lain. Kita tak pernah mengharapkan Dia mengampuni kita jika kita tidak memohon. Jadi, mengapa kita anggap bahwa Ia mau kita mengampuni orang yang tidak memohon ampun?

Lagi-lagi, semua itu tak memberikan kita hak untuk menaruh dendam kepada saudara dalam Kristus yang telah berdosa kepada kita. Kita diperintahkan untuk saling mengasihi. Itu sebabnya kita diperintahkan untuk menghadapi sesama orang percaya yang berdosa terhadap kita, sehingga ada pendamaian kembali dengannya, dan ia dapat diperdamaikan dengan Allah yang kepadaNya ia telah berdosa. Itulah cara kerja kasih. Namun seringkali, orang-orang Kristen berkata mereka mengampuni sesama orang percaya yang menyakiti mereka, tetapi itu hanya alasan untuk menghindari pertemuan. Mereka sebenarnya tak mengampuni, dan itu tampak melalui perbuatan mereka. Bagaimanapun juga, mereka menghindari orang yang bersalah dan sering berbicara tentang sakit-hati mereka. Tak ada pendamaian kembali.

Ketika kita berdosa, Allah memperhadapkan kita dengan Roh KudusNya di dalam kita karena Ia mengasihi dan ingin mengampuni kita. Kita harus meneladaniNya, yang dengan penuh kasih mempertemukan sesama orang percaya yang berdosa kepada kita sehingga terjadi pertobatan, pengampunan dan pendamaian kembali.

Allah selalu berharap seluruh umatNya saling mengasihi dengan kasih yang tulus, kasih yang perlu teguran, tetapi kasih tanpa dendam. Hukum Taurat Musa mengandung perintah:

Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN. (Imamat 19:17-18, tambahkan penekanan).

Keberatan (An Objection)

Tetapi bagaimana dengan Perkataan Yesus dalam Markus 11:25-26? Apakah perkataan itu tidak menunjukkan bahwa kita harus mengampuni setiap orang dari setiap segi, tak peduli apakah mereka memohon pengampunan atau tidak?

Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.

Ayat itu tidak menggantikan ayat-ayat lain yang telah dibahas, terkait dengan pokok bahasan. Kita tahu bahwa yang tak berkenan kepada Allah adalah penolakan mengampuni orang yang memohon ampun dari kita. Sehingga kita dapat tafsirkan ayat ini dengan fakta sangat kuat. Di ini, Yesus hanya tekankan bahwa kita harus mengampuni orang lain jika kita inginkan pengampunan dari Allah. Ia tidak mengatakan prosedur pengampunan yang lebih khusus dan hal yang orang harus lakukan untuk saling menerimanya.

Di sini, Yesus juga tidak berkata bahwa kita harus meminta ampun kepada Allah untuk menerima ampun dariNya. Lalu, apakah kita abaikan hal lain yang Alkitab ajarkan tentang pengampunan Allah yang ditegaskan pada permohonan ampun kita (lihat Matius 6:12; 1 Yohanes 1:9)? Apakah kita berasumsi bahwa kita tak perlu minta ampun dari Allah ketika kita berdosa karena Yesus tidak menyebutkannya? Itu jadi asumsi yang tidak bijak bila melihat perkataan Alkitab kepada kita. Sama tidak bijaknya bila kita abaikan semua yang Alkitab ajarkan tentang pengampunan kita bagi orang lain berdasarkan permohonan pengampunan dari orang itu.

Keberatan Lainnya (Another Objection)

Apakah Yesus tidak berdoa untuk para prajurit yang membagi-bagikan jubahNya, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34)? Apakah ini tidak menunjukkan bahwa Allah mengampuni orang-orang tanpa mereka memintanya?

Memang demikian, tetapi hanya pada keadaan tertentu. Itu menunjukkan bahwa Allah menunjukkan belas-kasihan kepada orang yang tak peduli, sebagai langkah pengampunan. Karena Allah sangat adil, Ia meminta orang-orang untuk bertanggung-jawab ketika mereka tahu mereka sedang berbuat dosa.

Doa Yesus untuk para prajurit tidak menjamin mereka untuk mendapatkan tempat di sorga —doa itu hanya menjamin bahwa mereka tidak dimintakan pertanggungjawaban karena membagi-bagikan jubah Anak Allah, dan hanya oleh karena ketidakpedulian mereka terhadap siapa Dia. Mereka menganggapNya sebagai seorang penjahat yang harus dihukum mati. Sehingga Allah memberi belas-kasihan atas perbuatan yang sepatutnya mendapatkan hukuman, andaikan mereka tahu apa yang sedang mereka lakukan.

Apakah Yesus berdoa agar Allah mengampuni setiap orang lain yang bertanggung-jawab atas penderitaanNya? Tidak, Ia tidak berdoa demikian. Misalnya Yudas, kata Yesus, adalah lebih baik jika ia tak pernah dilahirkan (lihat Matius 26:24). Yesus tentu tidak berdoa agar BapaNya mengampuni Yudas. Justru sebaliknya —bila diperhatikan Mazmur 69 dan Mazmur 109 sebagai doa nubuatan dari Yesus, seperti yang Petrus lakukan (lihat Kisah Para Rasul 1:15-20). Yesus berdoa agar hukuman tidak menimpa Yudas.

Sebagai orang-orang yang berupaya meniru Kristus, kita harus tunjukkan belas-kasihan kepada mereka yang tak peduli pada apa yang telah mereka lakukan kepada kita, seperti orang-orang yang tak percaya, layaknya para prajurit yang tak peduli membagi-bagikan jubah Yesus. Yesus berharap agar kita menunjukkan belas-kasihan yang luar-biasa kepada orang tak percaya, mengasihi musuh kita, berbuat baik kepada orang yang membenci kita, memberkati orang yang mengutuk kita dan mendoakan orang yang mencaci kita (lihat Lukas 6:27-28 ). Kita harus cairkan kebencian mereka dengan kasih kita, dengan membalas kejahatan dengan kebaikan. Konsep ini bahkan ditetapkan dalam Hukum Taurat Musa:

Apabila engkau melihat lembu musuhmu atau keledainya yang sesat, maka segeralah kau kembalikan binatang itu. Apabila engkau melihat rebah keledai musuhmu karena berat bebannya, maka janganlah engkau enggan menolongnya. Haruslah engkau rela menolong dia dengan membongkar muatan keledainya”. (Keluaran 23:4-5)

Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu. (Amsal 25:21-22).

Walaupun Yesus memerintahkan untuk mengasihi musuh kita, adalah menarik bahwa berbuat baik kepada orang yang membenci kita, memberkati orang yang mengutuk kita dan mendoakan orang yang mencaci kita (lihat Luke 6:27-28), Ia tak pernah berkata untuk mengampuni mereka. Kita sebenarnya dapat mengasihi orang-orang tanpa mengampuni mereka —layaknya Allah mengasihi orang tanpa mengampuninya. Kita tidak hanya dapat mengasihi mereka, tetapi kita harus mengasihi mereka, seperti perintah Allah untuk melakukan hal demikian. Dan kasih bagi mereka harus diwujudkan melalui perbuatan kita.

Hanya karena Yesus berdoa kepada BapaNya untuk mengampuni para prajurit yang membagi-bagi jubahNya tidak membuktikan bahwa Allah mau kita untuk mengabaikan segala sesuatu yang telah kita pelajari dari Alkitab berkenaan dengan hal itu dan mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kita. Maka, kita diajari untuk harus segera mengampuni orang yang tak peduli akan dosanya terhadap kita dan menunjukkan belas-kasihan yang luar biasa kepada orang tak percaya.

Bagaimana dengan Yusuf? (What About Joseph?)

Yusuf, dengan kerendahan hati mengampuni saudara-saudaranya yang telah menjualnya menjadi budak, kadang-kadang dijadikan teladan bagaimana kita harus mengampuni siapapun dan setiap orang yang berdosa terhadap kita, tak peduli apakah pengampunan diminta atau tidak. Tetapi itukah yang diajarkan dari kisah Yusuf?

Tidak.

Yusuf membuat saudara-saudaranya melewati pencobaan dan ujian berulang-ulang selama setahun untuk membawa mereka ke tempat pertobatan. Ia bahkan menyuruh menahan seorang saudaranya selama berbulan-bulan di Mesir (lihat Kejadian 42:24). Ketika saudara-saudaranya akhirnya mengakui kesalahan mereka (lihat Kejadian 42:21; 44:16), dan ketika salah seorang dari mereka menawarkan diri sebagai tebusan untuk anak yang dikasihi bapa mereka (lihat Kejadian 44:33), Yusuf tahu mereka bukanlah orang-orang sama yang cemburu dan egois yang telah menjualnya sebagai budak. Kemudian Yusuf mengungkapkan identitasnya dan mengucapkan kata-kata yang penuh kasih kepada mereka yang telah berdosa kepadanya. Andaikan Yusuf segera “mengampuni” mereka, mereka tak akan pernah bertobat. Dan itulah salah-satu kesalahan dari pesan “pengampunan instan kepada setiap orang” yang kadang-kadang diajarkan kini. Mengampuni saudara kita yang telah berdosa kepada kita tanpa menghadapinya mengakibatkan dua hal: (1) Pengampunan palsu yang tidak menghasilkan pendamaian kembali, dan (2) orang yang bersalah yang tidak bertobat dan bertumbuh secara rohani.

Praktek dalam Matius 18:15-17 (The Practice of Matthew 18:15-17)

Walaupun empat langkah pendamaian kembali yang disebutkan Yesus agak mudah dipahami, keempat langkah itu sebenarnya bisa lebih rumit dipraktekkan. Ketika Yesus menekankan langkah-langkah itu, Ia melakukannya dari perspektif ketika saudara A yakin bahwa saudara B telah berdosa terhadapnya. Tetapi, nyatanya saudara A bisa saja keliru. Jadi kita bayangkan situasi di mana kita mempertimbangkan setiap kemungkinan skenario yang mungkin terjadi.

Jika saudara A yakin bahwa saudara B telah berdosa terhadapnya, ia harus pastikan bahwa ia tidak dalam keadaan kritis, dengan mengeluarkan selumbar di mata saudara B. Acuhkan banyak tindakan menyakitkan dan berikanlah belas-kasihan (lihat Matius 7:3-5). Tetapi, jika saudara A merasakan kebencian terhadap saudara B karena tindakan tak menyenangkan, ia harus menemui saudara B.

Ia harus melakukannya diam-diam, dengan menaati perintah Yesus, sehingga ia menunjukkan kasih kepada saudara B. Motifnya adalah kasih dan tujuannya untuk pendamaian kembali. Ia tak boleh berkata kepada orang lain tentang perbuatan tak menyenangkan itu. “Kasih menutup banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:8). Jika kita mengasihi seseorang, kita tak akan menceritakan dosa-dosanya kepada orang lain; kita akan tutupi dosa-dosa itu.

Pertemuan untuk pendamaian harus dilakukan dengan lemah-lembut, sehingga tampak kasih. Ia harus berkata, “Saudara B, saya sangat hargai hubungan kita. Tetapi sesuatu telah terjadi sehingga muncul halangan di hati saya terhadapmu. Saya tak ingin halangan itu ada di hati saya, sehingga saya harus katakan kepadamu mengapa saya merasa engkau telah bersalah terhadapku sehingga kita dapat berdamai kembali. Dan jika saya telah berbuat sesuatu yang menambah masalah, saya ingin engkau katakan padaku.” Lalu ia harus pelan-pelan berkata kepada saudara B apa salahnya.

Dalam banyak kejadian, saudara B tak sadar bahwa ia bersalah kepada saudara A, dan segera setelah tahu bahwa ia telah bersalah, ia akan minta ampun. Jika hal itu terjadi, saudara A harus segera mengampuni saudara B. Pendamaian kembali terjadi.

Kemungkinan skenario lain adalah saudara B akan coba membenarkan dosanya terhadap saudara A dengan berkata kepadanya bahwa ia hanya bereaksi terhadap kesalahan yang telah dilakukan saudara A terhadapnya. Jika itu masalahnya, saudara B seharusnya mendatangi saudara A. Tetapi kini akhirnya ada dialog dan harapan pendamaian kembali.

Dalam kejadian tersebut, pihak yang disalahkan harus membahas apa yang terjadi, mengakui kesalahan yang terkait dengan kesalahan bersama, lalu saling memberi dan menerima pengampunan. Pendamaian kembali tercapai.

Skenario ketiga: A dan B tak mampu berdamai kembali. Mereka perlu bantuan, dan sekarang kita ke langkah kedua.

Langkah Dua (Step Two)

Sebaiknya saudara A dan saudara B menyepakati siapa yang harus mendampingi untuk membantu dalam pendamaian kembali. Idealnya, saudara C dan saudara D tahu dan mengasihi saudara A dan saudara B, sehingga saudara C dan saudara D dijamin tidak akan memihak. Dan hanya saudara C dan saudara D yang diberitahu tentang perseturuan dengan dibarengi kasih dan hormat kepada A dan B.

Dengan demikian, jika saudara B tidak kooperatif, terserah kepada saudara A untuk mencarikan satu atau dua orang lain yang dapat membantu.

Jika saudara C dan saudara D bersikap bijak, mereka tidak akan memberi penilaian sampai mereka telah mendengar sudut-pandang si A dan si B. Ketika C dan D telah memberi penilaian, A dan B harus tunduk pada keputusan mereka, meminta maaf dan memberi ganti-rugi yang disampaikan kepada satu pihak atau pihak lain atau kedua pihak.

Saudara C dan saudara D jangan bersikap lebih memihak dan mengambil resiko dengan merekomendasikan agar saudara A dan saudara B perlu bertobat ketika ternyata hanya satu pihak yang sebenarnya harus bertobat. Mereka harus tahu, jika A atau B menolak keputusan mereka, perkara tersebut akan disidangkan di depan seluruh jemaat, dan keputusan mereka akan menjadi bukti bagi setiap orang. Cobaan yang dihadapi oleh C dan D untuk menjaga persahabatan mereka dengan A dan B dengan mengkompromikan kebenaran menjadi alasan mengapa 2 hakim lebih baik daripada 1 hakim, karena 2 hakim dapat saling menguatkan kebenaran. Dan, keputusan C dan D menjadi beban bagi A dan B.

Langkah Tiga (Step Three)

Jika A atau B menolak keputusan C dan D, masalahnya akan dipikul oleh seluruh jemaat gereja. Langkah ketiga ini tak pernah dilakukan di gereja-gereja lembaga —dan karena alasan yang baik— hal tersebut tentu mengakibatkan pemisahan jemaat ketika orang-orang berpihak. Yesus tak pernah bermaksud agar ukuran gereja lokal lebih besar daripada sebuah rumah. Keluarga jemaat di mana setiap orang tahu dan peduli kepada A dan B adalah tempat untuk langkah tiga. Di gereja lembaga, langkah tiga harus dilakukan dalam konteks kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang tahu dan mengasihi A dan B. Jika A dan B adalah anggota dari gereja-gereja berbeda, anggota-anggota yang paling layak dari kedua gereja dapat menjadi badan pembuat keputusan.

Pada saat gereja menyampaikan keputusan, saudara A dan saudara B harus tunduk pada keputusan itu, dan tahu konsekwensi dari pelanggaran keputusan itu. Harus ada permintaan maaf, pengampunan dan pendamaian kembali.

Jika A atau B menolak minta maaf sesuai yang disarankan, ia harus dikeluarkan dari gereja dan tak satupun anggota gereja bersekutu dengannya lagi. Seringkali, sebelum dikeluarkan dari gereja, orang yang tak bertobat akan rela memisahkan dirinya, dan ia bisa saja telah memisahkan diri sebelumnya jika keinginannya tidak terkabul dalam proses itu. Sehingga, ia tak berkomitmen serius untuk mengasihi keluarga rohaninya.

Masalah yang Lazim Terjadi (A Common Problem)

Di gereja lembaga, orang biasanya menuntaskan perselisihan dengan meninggalkan satu gereja dan pindah ke gereja lain di mana pendetanya ingin membangun kerajaannya berapapun harganya dan pendeta itu tak punya hubungan dengan pendeta-pendeta lain; si pendeta itu menyambut orang itu dan membelanya karena ia menceritakan kesedihannya. Pola itu bertentangan dengan langkah-langkah pendamaian kembali yang Kristus perintahkan. Biasanya, beberapa bulan atau tahun kemudian, orang yang bersalah itu, yang disambut oleh pendeta tadi ke gerejanya, meninggalkan gerejanya dan mencari gereja lain, karena melakukan kesalahan lagi.

Yesus berharap jumlah jemaat tak perlu besar agar dapat beribadah di dalam rumah, dan pendeta/penatua/penilik lokal bekerja sama dalam satu kesatuan gereja. Maka, pengucilan seorang anggota gereja secara efektif akan menjadi pengucilan oleh semua anggota gereja. Setiap pendeta/penatua/penilik bertanggung-jawab bertanya kepada setiap orang Kristen yang baru masuk, terkait latar-belakang gerejanya yang dulu, lalu menghubungi pimpinan gereja itu untuk menentukan apakah orang itu perlu disambut.

Maksud Tuhan bagi Gereja yang Suci (God’s Intention for a Holy Church)

Masalah lazim lainnya di gereja lembaga adalah seringkali jemaat terdiri dari banyak orang yang datang untuk pamer, dan tiap orang hanya mau sedikit bertanggung-jawab karena hubungan dalam jemaat murni bersifat sosial. Jadi tak seorangpun, dan terutama pendeta, punya ide bagaimana harus hidup, dan orang-orang yang tidak suci selalu menodai gereja yang mereka datangi. Lalu, orang luar menilai orang yang mereka anggap orang Kristen sebagai tak berbeda dengan orang yang tidak percaya.

Terbukti bahwa struktur gereja lembaga bukanlah struktur yang Allah kehendaki bagi gerejaNya yang kudus. Orang-orang yang tidak suci dan munafik selalu bersembunyi di gereja-gereja lembaga, dengan membuat kritikan kepada Kristus. Namun dari bacaan dalam Matius 18:15-17, Yesus jelas ingin agar gerejaNya terdiri dari orang-orang kudus, yakni para anggota yang sungguh-sungguh dalam satu kumpulan yang selalu menyucikan diri. Dunia memperhatikan gereja dan melihat mempelai Kristus yang murni. Tetapi, kini, mereka melihat wanita sundal, yakni orang yang tak setia pada Mempelainya.

Terbukti ada aspek yang bersifat ilahi dan yang menyucikan diri di dalam gereja ketika Paulus memperhatikan situasi penting dalam jemaat Korintus. Seorang anggota yang diterima dalam jemaat sebenarnya hidup dalam perzinahan dengan ibu tirinya:

Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya. Sekalipun demikian kamu sombong. Tidakkah lebih patut kamu berdukacita dan menjauhkan orang yang melakukan hal itu dari tengah-tengah kamu? Sebab aku, sekalipun secara badani tidak hadir, tetapi secara rohani hadir, aku –sama seperti aku hadir– telah menjatuhkan hukuman atas dia, yang telah melakukan hal yang semacam itu. Bilamana kita berkumpul dalam roh, kamu bersama-sama dengan aku, dengan kuasa Yesus, Tuhan kita, orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan…. dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini. Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat? Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah. Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu. (1 Korintus 5:1-5, 9-13).

Orang yang disebutkan di atas tak perlu melalui langkah-langkah pendamaian kembali karena jelas ia bukan orang percaya sejati. Paulus menyebutnya “seakan-akan saudara” dan “seorang yang jahat”. Lagipula, dalam beberapa ayat kemudian, Paulus menulis,

Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Korintus 6:9-10).

Jelaslah, Paulus percaya bahwa orang tak bermoral, seperti orang dalam jemaat Korintus itu, mengkhianati iman para jemaat. Orang tersebut tak boleh dianggap sebagai saudara dan ia diperlakukan melalui empat langkah pendamaian kembali. Orang itu harus dikucilkan, “diserahkan kepada Setan”, sehingga gereja tak menambah penipuan dari orang itu, agar orang itu mendapat harapan pertobatan agar “diselamatkan pada hari Tuhan Yesus” (1 Korintus 5:5).

Di gereja-gereja besar di seluruh dunia kini, kadang-kadang ada ratusan orang yang menunjukkan diri sebagai orang Kristen yang, menurut standar Alkitab, adalah orang-orang tak percaya dan harus dikucilkan. Alkitab jelas menunjukkan bahwa gereja bertanggung-jawab mengeluarkan orang-orang tak percaya itu dari dalam gereja di mana mereka adalah orang-orang tak bertobat seperti orang cabul, pezinah, homoseks, pemabuk, dan sebagainya. Namun orang-orang itu, melalui “kasih karunia”, kini sering ada dalam kelompok pendukung gereja di mana mereka dapat diberi dorongan oleh “orang-orang percaya” lain yang memiliki masalah serupa. Hal itu jadi penghinaan bagi kuasa yang mengubahkan hidup dari Injil Yesus Kristus.

Pemimpin yang Jatuh (Fallen Leaders)

Akhirnya, jika seorang pemimpin yang bertobat jatuh dalam dosa serius (seperti perzinahan), haruskah ia segera dipulihkan ke jabatannya? Walaupun Tuhan mengampuni pemimpin yang bertobat itu (demikian juga sidang jemaat mengampuninya), pemimpin itu telah kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang dia layani. Kepercayaan adalah sesuatu yang harus didapatkan. Karena itu, pemimpin yang jatuh harus rela memisahkan dirinya dari jabatan pimpinan dan menyerahkannya kepada bimbingan roh sampai ia dapat membuktikan kelayakan dirinya. Ia harus mulai lagi. Barangsiapa yang tak bersedia melayani dengan rendah hati dalam hal-hal kecil, demi mendapatkan kembali kepercayaan, tak boleh dijadikan pemimpin di dalam jemaat.

Kesimpulan (In Summary)

Sebagai pelayan pemuridan yang dipanggil untuk “menyatakan kesalahan, menegor, menasihati dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2), marilah kita tak segan-segan melakukan panggilan kita. Ajari murid-murid kita untuk saling mengasihi dengan menunjukkan kesabaran yang penuh kasih, bila perlu berdamai dengan sikap lembut, berdamai lagi dengan bantuan orang lain bila perlu, dan mengampuni kapanpun diminta. Betapa lebih baik hal itu dibandingkan pengampunan yang palsu yang tak membawa pemulihan sejati bagi hubungan yang rusak. Dan usahakan taati Tuhan dalam setiap aspek untuk menjaga kemurnian dan kesucian gerejaNya, terpuji namaNya!

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang berdamai dengan orang yang bersalah kepada kita dan tentang disiplin gereja, lihat Roma 16:17-18; 2 Korintus 13:1-3; Galatia 2:11-14; 2 Tesalonika 3:6, 14-15; 1 Timotius 1:19-20, 5:19-20; Titus 3:10-11; Yakobus 5:19-20; 2 Yohanes 10-11.

 


[1]

Wajarlah bila orang yang dikucilkan kemudian meminta ampun, maka Yesus berharap agar dia diberikan pengampunan.

[2]

Bila pasangan yang berselingkuh adalah seorang Kristen, kita harus meminta dia untuk melalui tiga tahap yang disebutkan Yesus untuk diperdamaikan kembali sebelum melewati perceraian. Bila pasangan yang berselingkuh itu meminta ampun, kita harus mengampuninya menurut perintah Yesus.

Bab Duapuluh-Dua (Chapter Twenty-Two)

Bagaimana Dipimpin oleh Roh (How to Be Led by the Spirit)

Injil Yohanes mencatat beberapa janji Yesus mengenai peranan Roh Kudus dalam kehidupan orang-orang percaya. Kita baca beberapa janji itu berikut ini:

Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. (Yohanes 14:16-17).

Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu. (Yohanes 14:26).

Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu. …… Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” (Yohanes 16:7, 12-15).

Yesus berjanji kepada murid-muridNya bahwa Roh Kudus akan tinggal di dalam diri mereka. Kepada mereka, Roh Kudus juga akan menolong, mengajar, membimbing dan menunjukkan hal-hal yang akan terjadi nanti. Sebagai murid-murid Kristus kini, tak ada alasan bagi kita berpikir bahwa Roh Kudus akan melakukan sedikit untuk kita.

Ajaibnya, Yesus berkata kepada murid-muridNya bahwa mereka beruntung bila Ia pergi, jika tidak Roh Kudus tidak akan datang! Hal itu menunjukkan bahwa persekutuan mereka dengan Roh Kudus bisa akrab, seolah Yesus selalu hadir secara fisik bersama mereka. Jika tidak, mereka tak beruntung memiliki Roh Kudus bersama mereka, sebagai ganti kehadiran Yesus. Melalui Roh Kudus, Yesus selalu bersama dan berada dalam kita.

Dalam cara apa kita mengharapkan Roh Kudus untuk memimpin kita?

Namanya, Roh Kudus, menunjukkan bahwa peranan utamaNya dalam memimpin kita adalah membimbing kita untuk tetap kudus dan taat kepada Allah. Sehingga segala sesuatu yang rerkait dengan kesucian dan penggenapan kehendak Tuhan di bumi ada dalam pimpinan Roh Kudus. Ia akan membimbing kita untuk menaati semua perintah umum Kristus dan semua perintah khusus Kristus yang menyangkut pelayanan unik di mana Allah telah memanggil kita untuk melakukannya. Jadi bila anda ingin dipimpin oleh Roh dalam pelayanan khusus, anda harus juga dipimpin oleh Roh dalam kesucian. Anda tak dapat memiliki satu perintah tanpa perintah lain. Terlalu banyak pelayan ingin Roh Kudus untuk memimpin mereka kepada segala perbuatan dan mujizat dalam pelayanan yang luar biasa, tetapi tak mau peduli kepada aspek-aspek ”lebih kecil” tentang kesucian. Itu kesalahan besar. Bagaimana Yesus memimpin murid-muridNya? Utamanya dengan memberikan perintah umum dalam kesucian. Jarang ada bimbingan khusus oleh Yesus untuk tanggung-jawab pelayanan dari para pelayan. Jadi, Ia membimbing kita dengan Roh Kudus yang berdiam di dalam kita. Jadi jika ingin dipimpin oleh Roh, anda harus pertama-tama mengikuti pimpinanNya untuk menjadi suci.

Rasul Paulus menulis, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” (Roma 8:14). Pimpinan Roh inilah yang menandai kita sebagai bagian dari anak-anak Allah. Jadi semua anak Allah dipimpin oleh Roh. Tentu, tergantung kepada kita, sebagai pelaku moral yang bebas, untuk menaati bimbingan Roh.

Dengan demikian, maka tak ada orang Kristen perlu diajarkan bagaimana dipimpin oleh Roh Kudus, karena Roh Kudus sedang memimpin setiap orang Kristen. Sebaliknya, Setan mencoba menyesatkan anak-anak Allah, dan di dalam diri kita masih ada sifat daging lama, sifat yang mencoba memimpin kita, yang berbeda dengan kehendak Tuhan. Sehingga orang-orang percaya perlu belajar membedakan pimpinan Roh dari pimpinan-pimpinan lain. Itulah proses yang sedang menuju pada kedewasaan. Fakta mendasar adalah: Roh akan selalu memimpin kita sejalan dengan Firman Allah tertulis, dan Ia akan selalu memimpin kita untuk melakukan apa yang benar dan menyenangkan Allah, yang akan membawa kemuliaan bagiNya (lihat Yohanes 16:14).

Suara Roh Kudus (The Voice of the Holy Spirit)

Walaupun Alkitab menyatakan bahwa Roh Kudus kadang-kadang memimpin kita secara spektakuler melalui visi, nubuatan, atau suara Allah yang dapat didengar. Cara yang lebih lazim bahwa Roh Kudus berkomunikasi adalah dalam roh kita melalui “perasaan.” Yakni, jika Roh ingin kita berbuat sesuatu, Ia akan “menarik” kita —dalam roh— dan kita akan merasakan “pimpinan” untuk mengikuti arah tertentu.

Kita dapat menyebut suara roh kita sebagai “kata-hati” kita. Setiap orang Kristen mengetahui seperti apa kata-hatinya. Jika kita dicobai untuk berbuat dosa, kita tidak mendengar suara yang dapat didengar di dalam kita dengan berkata, “Jangan menyerah kepada pencobaan.” Sebaliknya, kita hanya merasakan sesuatu di dalam diri dengan melawan cobaan itu. Dan jika kita menyerah kepada pencobaan, setelah dosa dilakukan, kita tak mendengar suara yang dapat didengar dengan berkata, “Engkau berdosa! Engkau berdosa!” kita hanya merasa tertuduh dalam diri kita, yang kini memimpin kita untuk bertobat dan mengaku dosa kita.

Dengan cara yang sama, Roh akan mengajar dan memimpin kita kepada kebenaran dan pemahaman umum. Ia akan memimpin kita dengan mengimpartasi pewahyuan yang tiba-tiba (selalu sesuai dengan Alkitab) dalam diri kita. Pewahyuan itu bisa berlangsung sepuluh menit untuk diuraikan kepada orang lain, tetapi pewahyuan itu bisa datang melalui Roh Kudus dalam waktu beberapa detik.

Dengan cara yang sama, Roh Kudus akan memimpin kita dalam urusan pelayanan. Kita harus berupaya secara sadar untuk peka kepada pimpinan dan perasaan, dan kita perlahan-lahan akan belajar (melalui cara pemecahan masalah sehingga tiada lagi kesalahan) untuk mengikuti Roh dalam hal-hal yang terkait dengan pelayanan. Ketika kita izinkan otak kita (cara berpikir rasional atau tidak rasional) untuk masuk di hati kita (di mana Roh memimpin kita), kita berbuat salah terkait dengan kehendak Tuhan.

Cara Roh Memimpin Yesus (How the Spirit Led Jesus)

Yesus dipimpin oleh Roh Kudus melalui perasaan batin. Misalnya, Injil Markus menggambarkan hal yang terjadi secara langung setelah Yesus dibaptis dalam Roh Kudus setelah Yohanes membaptisNya:

Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun.” (Markus 1:12, tambahkan penekanan).

Yesus tak mendengar suara yang dapat didengar atau melihat visi yang memimpinNya ke padang gurun —Ia hanya dipimpin untuk pergi. Itulah cara Roh Kudus memimpin kita. Kita akan rasakan tarikan, pimpinan, kepastian, di dalam kita untuk melakukan suatu hal.

Ketika Yesus berkata kepada orang yang lumpuh yang diturunkan lewat atap bahwa dosa-dosanya telah diampuni, Yesus tahu bahwa para ahli Taurat yang ada di situ menganggap bahwa Ia tengah mengutuk. Bagaimana Ia tahu apa yang sedang mereka pikirkan ? Kita baca dalam Injil Markus :

Tetapi Yesus segera mengetahui dalam hati-Nya, bahwa mereka berpikir demikian, lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu?” (Markus 2:8, tambahkan penekanan).

Di dalam rohNya, Yesus tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Jika kita peka kepada roh kita, kita juga bisa tahu cara menjawab mereka yang menentang pekerjaan Allah.

Pimpinan Roh dalam Pelayanan Paulus (The Spirit’s Leading in the Ministry of Paul)

Setelah melayani duapuluh tahun, rasul Paulus menjadi tahu dengan baik bagaimana mengikuti pimpinan Roh Kudus. Agaknya, Roh menunjukkan padanya “hal-hal yang akan datang” terkait dengan pelayanannya nanti. Misalnya, ketika Paulus mengakhiri pelayanannya di Efesus, Ia mendapat pemahaman tentang bagaimana nantinya jalan hidup dan pelayanannya selama tiga tahun berikut:

Kemudian dari pada semuanya itu Paulus bermaksud pergi ke Yerusalem melalui Makedonia dan Akhaya. Katanya: “Sesudah berkunjung ke situ aku harus melihat Roma juga.” (Kisah Para Rasul 19:21).

Perhatikan bahwa Paulus tidak menginginkan arah yang ditunjukkan dalam pikirannya tetapi dalam rohnya. Hal itu menunjukkan bahwa Roh Kudus sedang memimpinnya dalam rohnya untuk pergi ke Makedonia dan Akhaya (sekarang ini kedua kota itu ada di Yunani), lalu kembali ke Yerusalem, dan akhirnya kembali ke Roma. Dan itulah persis perjalanan yang ia ikuti. Jika anda punya peta dalam Alkitab yang menunjukkan perjalanan misi ketiga dari Paulus dan perjalanannya ke Roma, anda dapat mengikuti jejaknya dari Efesus (di mana ia mengusulkan rutenya di dalam rohnya) melalui Makedonia dan Akhaya, menuju Yerusalem, dan beberapa tahun kemudian, ke Roma.

Lebih tepatnya, Paulus bepergian melalui Makedonia dan Akhaya, lalu ia kembali menapaki melalui Makedonia sekali lagi, mengitari pesisir pantai di Laut Aegea, dan kemudian ia menuju pantai Aegea di Asia Kecil. Selama perjalanan itu, ia berhenti di kota Miletus, memanggil para penatua gereja di dekat Efesus, dan menyampaikan ucapan perpisahan kepada mereka di mana ia berkata:

Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. (Kisah Para Rasul 20:22-23, tambahkan penekanan).

Paulus berkata ia “sebagai tawanan Roh”, yang berarti ia mendapat desakan dalam rohnya yang memimpinnya ke Yerusalem. Ia tak punya gambaran lengkap tentangi apa yang akan terjadi ketika tiba di Yerusalem, tetapi ia nyatakan bahwa, di setiap kota perhentiannya pada perjalanannya, Roh Kudus bersaksi tentang berbagai ikatan dan penderitaan yang menantinya di sana. Bagaimana Roh Kudus “bersaksi” tentang berbagai ikatan dan penderitaan yang menantinya di Yerusalem?

Dua Contoh (Two Examples)

Dalam pasal 21 dalam Kisah Para Rasul, ada dua kejadian yang menjawab pertanyaan itu. Pertama, ketika Paulus mendarat di kota pelabuhan di Mediteranea, yakni Tirus:

Di situ kami mengunjungi murid-murid dan tinggal di situ tujuh hari lamanya. Oleh bisikan Roh murid-murid itu menasihati Paulus, supaya ia jangan pergi ke Yerusalem. (Kisah Para Rasul 21:4).

Oleh karena ayat itu, beberapa komentator berkesimpulan bahwa Paulus tidak menaati Allah dengan cara melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem. Tetapi, sesuai informasi lain dalam Kisah Para Rasul, kita tak dapat buat kesimpulan itu dengan benar. Sehingga menjadi jelas saat kita lanjutkan dalam kisah itu.

Tampaknya, murid-murid di Tirus benar-benar peka dan jelas memahami bahwa kesulitan menunggu Paulus di Yerusalem. Mereka selanjutnya coba meyakinkannya untuk tidak pergi. Terjemahan William tentang Perjanjian Baru menegaskan hal itu, karena menerjemahkan Kisah Para Rasul 21:4, yang terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia adalah: “Oleh karena pesan yang dibuat oleh Roh, mereka terus memperingatkan Paulus untuk tidak menginjakkan kaki di Yerusalem.”

[1]

 

Namun, murid-murid di Tirus gagal karena Paulus tetap melakukan perjalanannya ke Yerusalem meskipun mereka sudah memperingatkannya.

Maka kita belajar bahwa kita harus hati-hati agar kita tidak menambah penafsiran kepada pewahyuan yang kita terima dalam roh kita. Paulus tahu bahwa kesulitan menunggunya di Yerusalem, tetapi ia juga tahu bahwa Tuhan menghendakinya untuk pergi ke sana apapun jadinya. Jika Allah mengungkapkan sesuatu bagi kita melalui Roh Kudus, tak berarti kita harus langsung pergi dan mengatakannya, dan kita juga harus berhati-hati untuk tak menambah penafsiran kepada hal yang telah diungkapkan oleh Roh.

Persinggahan Di Kaesarea (Caesarea Stop Over)

Persinggahan berikut perjalanan Paulus ke Yerusalem adalah kota pelabuhan Kaesarea:

Setelah beberapa hari kami tinggal di situ, datanglah dari Yudea seorang nabi bernama Agabus. Ia datang pada kami, lalu mengambil ikat pinggang Paulus. Sambil mengikat kaki dan tangannya sendiri ia berkata: “Demikianlah kata Roh Kudus: Beginilah orang yang empunya ikat pinggang ini akan diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain.” (Kisah Para Rasul 21:10-11).

Itu contoh lain tentang Roh Kudus yang bersaksi kepada Paulus bahwa “ikatan-ikatan dan penderitaan” menunggunya di Yerusalem. Tetapi perhatikan, Agabus tidak berkata, “Karena itu, Tuhan berkata, ‘Jangan pergi ke Yerusalem!” Allah memimpin Paulus ke Yerusalem dan menyiapkannya melalui nubutan nabi Agabus akan kesulitan-kesulitan yang menunggunya. Juga, nubutan nabi Agabus hanya menegaskan apa yang Paulus ketahui dalam rohnya beberapa bulan sebelumnya. Kita tak boleh dipimpin oleh nubuatan. Jika nubuatan tak menegaskan hal yang sudah kita tahu, kita tak boleh mengikutinya.

Nubutan nabi Agabus adalah hal yang dianggap “bimbingan spektakuler”, karena nubuatan itu melampaui kesan batin di dalam roh Paulus. Ketika Allah memberi “bimbingan spektakuler”, seperti visi atau mendengarkan suara yang dapat didengar, hal itu biasanya karena Allah mengetahui jalan kita tak akan mudah. Kita perlu jaminan yang dibawa melalui bimbingan spektakuler. Paulus hampir terbunuh oleh satu huru-hara dan dipenjara selama beberapa tahun sebelum perjalanannya ke Roma sebagai tawanan. Tetapi, karena bimbingan spektakuler yang ia terima, ia dapat memelihara kedamaian sempurna melewati semua itu, dan ia tahu bahwa hasil akhir nanti akan membawa keuntungan.

Jika anda tidak menerima bimbingan spektakuler, anda tak akan peduli karena jika anda memerlukannya, Allah akan mengerti bahwa anda mendapatkannya. Tetapi, kita harus selalu peka terhadap kesaksian di dalam diri dan dipimpin oleh kesaksian itu.

Dibelenggu dan dalam Kehendak Tuhan (In Chains and in God’s Will)

Ketika Paulus tiba di Yerusalem, ia ditangkap dan dipenjarkan. Sekali lagi ia menerima bimbingan spektakuler dalam bentuk visi dari Yesus:

Pada malam berikutnya Tuhan datang berdiri di sisinya [ Paulus] dan berkata kepadanya: “Kuatkanlah hatimu, sebab sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian jugalah hendaknya engkau pergi bersaksi di Roma.” (Kisah Para Rasul 23:11).

Perhatikan bahwa Yesus tidak berkata, “Nah Paulus, apa yang kamu lakukan di sini? Saya coba ingatkan kamu untuk tidak datang ke Yerusalem!” Tidak, Yesus sebenarnya menegaskan pimpinan Paulus rasakan dalam rohnya berbulan-bulan sebelumnya. Paulus menjadi pusat maksud Allah di Yerusalem untuk bersaksi demi nama Yesus. Ia akhirnya mempopulerkan nama Kristus di Roma juga.

Kita harus ingat, sebagian panggilan awal Paulus adalah bersaksi di depan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi, juga di depan raja-raja (lihat Kisah Para Rasul 9:15). Selama Paulus dipenjara di Yerusalem dan kemudian di Kaesarea, ia diberi kesempatan untuk bersaksi di depan Gubernur Felix, Porcius Festus, dan Raja Agripa, yang “hampir diyakinkan” (Kisah Para Rasul 26:28) untuk percaya kepada Yesus. Akhirnya, Paulus dikirim ke Roma untuk bersaksi di depan Kaisar Roma sendiri, yakni Nero.

Dalam Perjalanan Menemui Nero (On the Way to See Nero)

Selagi dalam perjalanan kapal yang membawanya ke Italia, Paulus sekali lagi menerima bimbingan Allah dengan kepekaan rohnya. Ketika kapten kapal dan awaknya mencoba menentukan di pelabuhan mana mereka akan lewatkan musim dingin di pulau Kreta, Paulus menerima pewahyuan:

Sementara itu sudah banyak waktu yang hilang. Waktu puasa sudah lampau dan sudah berbahaya untuk melanjutkan pelayaran. Sebab itu Paulus memperingatkan mereka, katanya: “Saudara-saudara, aku lihat, bahwa pelayaran kita akan mendatangkan kesukaran-kesukaran dan kerugian besar, bukan saja bagi muatan dan kapal, tetapi juga bagi nyawa kita.” (Kisah Para Rasul 27:9-10, tambahkan penekanan).

Paulus menyadari apa yang akan terjadi. Jelas, persepsinya menjadi pesan yang Roh berikan.

Sayangnya, kapten tak mendengarkan Paulus dan mencoba mencapai pelabuhan lain. Akibatnya, kapal terperangkap badai dahsyat selama dua minggu. Situasinya sangat membahayakan sehingga para awak kapal membuang barang-barang dari kapal pada hari kedua, dan pada hari ketiga bahkan melemparkan takal ke laut. Sejurus kemudian, Paulus menerima bimbingan lanjutan:

Setelah beberapa hari lamanya baik matahari maupun bintang-bintang tidak kelihatan, dan angin badai yang dahsyat terus-menerus mengancam kami, akhirnya putuslah segala harapan kami untuk dapat menyelamatkan diri kami. Dan karena mereka beberapa lamanya tidak makan, berdirilah Paulus di tengah-tengah mereka dan berkata: “Saudara-saudara, jika sekiranya nasihatku dituruti, supaya kita jangan berlayar dari Kreta, kita pasti terpelihara dari kesukaran dan kerugian ini! Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap bertabah hati, sebab tidak seorangpun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini. Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari Allah yang aku sembah sebagai milik-Nya, berdiri di sisiku, dan ia berkata: Jangan takut, Paulus! Engkau harus menghadap Kaisar; dan sesungguhnya oleh karunia Allah, maka semua orang yang ada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat karena engkau. Sebab itu tabahkanlah hatimu, saudara-saudara! Karena aku percaya kepada Allah, bahwa semuanya pasti terjadi sama seperti yang dinyatakan kepadaku. Namun kita harus mendamparkan kapal ini di salah satu pulau.” (Kisah Para Rasul 27:20-26).

Menurut saya, jelaslah mengapa Allah memberikan Paulus “bimbingan spektakuler“ lagi dengan terjadinya keadaan sulit waktu itu. Melewati penderitaan itu, Paulus segera menghadapi karam kapal. Segera setelah itu, ia digigit ular yang mematikan (lihat Act 27:41-28:5). Betapa senang melihat malaikat sorga yang memberitahukan kepada anda sebelumnya bahwa segala sesuatu baik-baik saja!

Nasehat Praktis (Some Practical Advice)

Mulailah perhatikan roh anda untuk mengetahui setiap persepsi dan pesan yang merupakan pimpinan Roh Kudus. Awalnya anda mungkin keliru berpikir bahwa Roh Kudus tengah memimpin anda ketika Ia tidak ada, tetapi hal itu biasa terjadi. Jangan putus asa, tetaplah bertahan.

Hal itu juga membantu kita untuk dapat melewatkan waktu di tempat tenang, sambil berdoa dalam bahasa lidah dan membaca Alkitab. Saat berdoa dalam bahasa lidah lain, roh kita berdoa, dan biasanya kita cenderung lebih peka kepada roh kita. Dengan membaca dan merenungkan Firman Tuhan, kita juga menjadi lebih peka kepada roh kita karena Firman Tuhan adalah makanan rohani.

Ketika Allah memimpin anda ke satu arah, pimpinanNya tetap ada. Itu berarti anda harus terus mendoakan keputusan penting agar yakin bahwa Allahlah yang memimpin anda, bukan pendapat atau emosi anda sendiri. Jika tidak merasa damai di hati ketika anda berdoa ke arah tertentu, janganlah ke arah itu sampai anda yakin merasa damai.

Menerima bimbingan spektakuler adalah baik, tetapi jangan coba “percaya” untuk mendapatkan visi atau mendengarkan suara yang dapat didengar. Allah tidak berjanji untuk memimpin kita dengan cara-cara tersebut (walaupun kadang Ia menuruti kehendakNya yang berdaulat). Tetapi, kita selalu yakin bahwa Ia akan memimpin kita dengan kesaksian batin kita.

Akhirnya, jangan tambahkan apaun kepada perkataan Allah bagi anda. Allah dapat mengungkapkan pelayanan apa yang Ia telah siapkan untuk anda di masa depan, tetapi anda dapat perkirakan bahwa waktu penggenapannya bisa saja berminggu-minggu, yang ternyata bisa saja bertahun-tahun. Saya tahu hal itu dari pengalaman. Jangan berasumsi. Paulus sedikit tahu hal yang akan terjadi di masa depannya tetapi tak tahu apapun, karena Allah tak mengungkapkan apapun. Allah ingin kita untuk selalu berjalan dengan iman.

 


[1]

Versi Bahasa Inggris dari William untuk Kisah Para Rasul 21:adalah, “Because of impressions made by the Spirit they kept on warning Paul not to set foot in Jerusalem” di mana versi itu berbeda dengan versi Bahasa Inggris dari versi New American Standard Bible/NASB, yakni, “And they kept telling Paul through the Spirit not to set foot in Jerusalem.

Bab Duapuluh (Chapter Twenty)

Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship)

Kata perempuan itu kepadaNya [Yesus]: “Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi. Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. ….. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran.” (Yohanes 4:19-24).

Kata-kata ucapan Yesus itu memberikan landasan pemahaman tentang aspek-aspek terpenting dalam penyembahan. Ia berbicara tentang “para penyembah yang benar” dan menguraikan tentang kualifikasinya. Ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang adalah penyembah tetapi bukan penyembah yang benar. Mereka dapat menganggap dirinya menyembah Allah tetapi sebenarnya tidak, karena mereka tak memenuhi persyaratanNya.

Yesus menyatakan tanda bagi penyembah yang benar —ia menyembah “dalam roh dan kebenaran.” Jadi, dapat dikatakan bahwa penyembah yang sesat adalah dia yang menyembah “dalam kedagingan dan ketidaktulusan.” Penyembah kedagingan dan sesat dapat mengalami gerakan-gerakan penyembahan, tetapi itu hanya pertunjukan, karena penyembahan itu tidak berasal dari hati yang mengasihi Allah.

Penyembahan yang benar kepada Allah hanya berasal dari hati yang mengasihi Allah. Karena itu, penyembahan dilakukan ketika jemaat berkumpul, dan juga dilakukan setiap saat dalam kehidupan kita ketika kita menaati perintah-perintah Kristus. Ajaibnya, wanita yang berbicara dengan Yesus sudah kawin lima kali dan kini hidup bersama dengan seorang suami, dan ia ingin berdebat tentang tempat yang benar untuk menyembah Allah! Betapa hebatnya wanita itu yang menggambarkan banyak orang yang menghadiri pujian penyembahan selagi kehidupan sehari-harinya memberontak kepada Allah. Mereka bukanlah penyembah-penyembah yang benar.

Yesus pernah menegur orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat karena penyembahan mereka yang palsu dan tanpa hati:

“Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” (Matius 15:7-9, tambahkan penekanan).

Walaupun orang-orang Yahudi dan Samaria di zaman Yesus memberi tekanan penting pada tempat penyembahan, Yesus berkata bahwa tempat tidak penting. Sebaliknya, hal yang menentukan kualitas penyembahan seseorang adalah kondisi hati dan sikap orang itu kepada Allah.

Banyak “penyembahan” yang dilakukan oleh para penyembah “mati” di gereja-gereja kini hanyalah ritual “mati”. Tanpa perasaan, orang-orang hanya mengikuti kata-kata orang lain tentang Allah ketika mereka bernyanyi “lagu-lagu pujian,” dan penyembahan mereka sia-sia, karena gaya-hidup mereka mengkhianati isi hati mereka yang sebenarnya.

Allah lebih suka mendengar ungkapan sederhana “Saya mengasihiMu” yang keluar dari dalam hati seorang anak sejatiNya yang taat dibandingkan dengungan penyembahan yang membosankan tanpa perasaan hati oleh seribu orang Kristen di hari Minggu pagi yang menyanyikan “How Great Thou Art” (Aku Memuji KebesaranMu).

Menyembah dalam Roh (Worshipping in Spirit)

Sebagian orang berkata bahwa untuk menyembah “dalam roh” berarti berdoa dan bernyanyi dalam bahasa-bahasa lidah lain. Tetapi itu hanya penafsiran yang dipaksakan bila kita perhatikan perkataan Yesus bahwa “satu jam akan datang, dan sekarang adalah, ketika para penyembah yang benar menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran,” yang menunjukkan bahwa sudah ada orang-orang yang memenuhi syarat untuk penyembahan “dalam roh” ketika Ia membuat pernyataanNya. Sudah tentu, tak seorangpun berbahasa lidah sampai hari Pentakosta. Karena itu, setiap orang percaya, apakah ia dapat berbahasa lidah atau tidak, dapat menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Berdoa dan bernyanyi dalam bahasa lidah lain tentu dapat membantu orang percaya dalam penyembahannya, tetapi bahkan berdoa dalam bahasa lidah dapat menjadi ritual yang tanpa hati.

Satu pendekatan menarik ke dalam penyembahan dalam gereja mula-mula terdapat dalam Kisah Para Rasul 13:1-2:

Pada waktu itu dalam jemaat di Antiokhia ada beberapa nabi dan pengajar, yaitu: Barnabas dan Simeon yang disebut Niger, dan Lukius orang Kirene, dan Menahem yang diasuh bersama dengan raja wilayah Herodes, dan Saulus. Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus: “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.” (tambahkan penekanan).

Perhatikan perikop itu yang menyatakan bahwa mereka “melayani Tuhan.” Wajarlah bila kita anggap hal itu berarti mereka menyembahNya, sehingga kita pelajari bahwa penyembahan yang benar pada dasarnya melayani Tuhan. Tetapi, hal itu benar ketika Tuhan menjadi obyek kasih dan kepedulain kita.

Cara-Cara Menyembah (Ways to Worship)

Mazmur-mazmur, yang dapat dikatakan sebagai buku himne Israel, menganjurkan kita untuk menyembah Allah dalam beberapa cara. Misalnya, dalam Mazmur 32 kita baca:

“Bersorak-sorailah, hai orang-orang jujur!” (Mazmur 32:11b, tambahkan penekanan).

Walaupun tenang dan penuh hikmat, penyembahan mendapatkan tempatnya, juga sorak-sorak sukacita.

Bersorak-sorailah, hai orang-orang benar, dalam TUHAN! Sebab memuji-muji itu layak bagi orang-orang jujur. Bersyukurlah kepada TUHAN dengan kecapi, bermazmurlah bagiNya dengan gambus sepuluh tali! Nyanyikanlah bagiNya nyanyian baru; petiklah kecapi baik-baik dengan sorak-sorai! (Mazmur 33:1-3, tambahkan penekanan).

Kita tentu harus bernyanyi kepada Tuhan dalam penyembahan, tetapi nyanyian kita harus penuh sukacita, sebagai indikasi lain yang tampak dari luar mengenai kondisi hati seseorang. Kita dapat juga mengiringi nyanyian sukacita kita dengan alat-alat musik. Tetapi, harus saya sebutkan bahwa dalam persekutuan gereja, alat-alat musik listrik sering terlalu keras sehingga menenggelamkan nyanyian jemaat. Volume alat-alat musik listrik itu harus dikecilkan atau dimatikan. Pemazmur tak menemui masalah itu!

Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu. (Mazmur 63:5, tambahkan penekanan).

Sebagai tanda penyerahan diri dan hormat, kita dapat mengangkat tangan bagi Tuhan.

Untuk pemimpin biduan. Nyanyian Mazmur. Bersorak-sorailah bagi Allah, hai seluruh bumi, mazmurkanlah kemuliaan nama-Nya, muliakanlah Dia dengan puji-pujian! Katakanlah kepada Allah : “Betapa dahsyatnya segala pekerjaan-Mu; oleh sebab kekuatan-Mu yang besar musuh-Mu tunduk menjilat kepada-Mu. Seluruh bumi sujud menyembah kepada-Mu, dan bermazmur bagi-Mu, memazmurkan nama-Mu.” (Mazmur 66:1-4, tambahkan penekanan).

Kita harus berkata pada Tuhan betapa hebatnya Ia dan memuji Dia atas banyak sifatNya yang mengagumkan. Mazmur merupakan sarana istimewa untuk mendapatkan kata-kata yang cocok untuk memuji Tuhan. Kita perlu berbuat lebih dari hanya mengulangi kata-kata “Aku puji Engkau, Tuhan!” Banyak hal yang dapat kita katakan kepadaNya.

Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. (Mazmur 95:6).

Bahkan sikap tubuh kita bisa jadi ungkapan penyembahan kita: berdiri, berlutut atau membungkuk.

Biarlah orang-orang saleh beria-ria dalam kemuliaan, biarlah mereka bersorak-sorai di atas tempat tidur mereka! (Mazmur 149:5, tambahkan penekanan).

Tetapi, kita tak harus berdiri atau berlutut untuk menyembah — bisa saja sambil berbaring di tempat tidur.

Masuklah melalui pintu gerbangNya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataranNya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepadaNya dan pujilah nama-Nya! (Mazmur 100:4, tambahkan penekanan).

Ucapan syukur tentulah harus menjadi bagian dari penyembahan kita.

Biarlah mereka memuji-muji namaNya dengan tari-tarian. (Mazmur 149:3, tambahkan penekanan).

Kita bahkan dapat memuji Tuhan dengan menari. Tetapi, tarian bukan yang bersifat kedagingan, tidak sensual atau tidak memberikan hiburan.

Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi! Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling! Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang! Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya! (Mazmur 150:3-6).

Pujilah Tuhan untuk mereka yang berbakat musik. Karunia-karunia mereka dapat dipakai untuk memuliakan Tuhan ketika mereka memainkan alat-alat musik dengan hati yang penuh kasih.

Kidung-Kidung Rohani (Spiritual Songs)

Mazmur. Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib. (Mazmur 98:1a, tambahkan penekanan).

Tidak ada yang keliru dalam menyanyikan lagu lama, jika hal itu bukan menjadi ritual. Sehingga, kita perlu kidung baru dari hati kita. Dalam Perjanjian Baru, kita pelajari bahwa Roh Kudus akan membantu kita untuk mengkomposisi kidung-kidung baru:

Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. (Kolose 3:16).

Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita. (Efesus 5:18-20).

Paulus menulis bahwa kita harus saling menyanyikan “mazmur-mazmur, himne-himne, dan kidung-kidung rohani,” sehingga ada perbedaan antara ketiganya. Penelitian tentang kata-kata bahasa Gerika asli akan membantu, tetapi mungkin “mazmur-mazmur” berarti nyanyian mazmur-mazmur sebenarnya dari Alkitab yang diiringi dengan alat-alat musik. Di lain pihak, “Himne” bisa menjadi kidung ucapan syukur yang dikomposisikan oleh orang-orang percaya di gereja. “Kidung-kidung rohani” bisa jadi lagu-lagu spontan yang diberikan oleh Roh Kudus dan mirip dengan karunia nubuatan sederhana, hanya saja ucapannya dinyanyikan.

Pujian dan penyembahan haruslah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari —bukan hanya sesuatu yang dilakukan ketika jemaat berkumpul. Sepanjang hari kita dapat melayani Tuhan dan mengalami persekutuan erat denganNya.

Pujian — Iman dalam Tindakan (Praise—Faith in Action)

Pujian dan penyembahan adalah ungkapan iman kita kepada Allah. Jika kita benar-benar percaya janji-janji Firman Allah, lalu kita menjadi orang-orang yang penuh pujian kepada Allah. Yosua dan orang-orang Israel harus berseru mula-mula; lalu tembok-tembok runtuh. Alkitab menegur kita unutk “selalu bersukacita dalam Tuhan” (Filipi 4:4) dan “Mengucap syukurlah dalam segala hal” (1 Tesalonika 5:18a).

Contoh menonjol pujian kuasa ada dalam 2 Tawarikh 20 ketika bangsa Yehuda diserang oleh pasukan Moab dan Amon. Menjawab doa Raja Yosafat, Allah memerintahkan Israel:

Janganlah kamu takut dan terkejut karena laskar yang besar ini, sebab bukan kamu yang akan berperang melainkan Allah. Besok haruslah kamu turun menyerang mereka…… dalam peperangan ini tidak usah kamu bertempur. Hai Yehuda dan Yerusalem, tinggallah berdiri di tempatmu, dan lihatlah bagaimana TUHAN memberikan kemenangan kepadamu. Janganlah kamu takut dan terkejut. Majulah besok menghadapi mereka, TUHAN akan menyertai kamu.” (2 Tawarikh 20:15b-17).

Kisahnya berlanjut:

Keesokan harinya pagi-pagi mereka maju menuju padang gurun Tekoa. Ketika mereka hendak berangkat, berdirilah Yosafat, dan berkata: “Dengar, hai Yehuda dan penduduk Yerusalem! Percayalah kepada TUHAN, Allahmu, dan kamu akan tetap teguh! Percayalah kepada nabi-nabi-Nya, dan kamu akan berhasil!” Setelah ia berunding dengan rakyat, ia mengangkat orang-orang yang akan menyanyi nyanyian untuk TUHAN dan memuji TUHAN dalam pakaian kudus yang semarak pada waktu mereka keluar di muka orang-orang bersenjata, sambil berkata: “Nyanyikanlah nyanyian syukur bagi TUHAN, bahwa sanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!” Ketika mereka mulai bersorak-sorai dan menyanyikan nyanyian pujian, dibuat Tuhanlah penghadangan terhadap bani Amon dan Moab, dan orang-orang dari pegunungan Seir, yang hendak menyerang Yehuda, sehingga mereka terpukul kalah. Lalu bani Amon dan Moab berdiri menentang penduduk pegunungan Seir hendak menumpas dan memunahkan mereka. Segera sesudah mereka membinasakan penduduk Seir, mereka saling bunuh-membunuh. Ketika orang Yehuda tiba di tempat peninjauan di padang gurun, mereka menengok ke tempat laskar itu. Tampaklah semua telah menjadi bangkai berhantaran di tanah, tidak ada yang terluput. Lalu Yosafat dan orang-orangnya turun untuk menjarah barang-barang mereka. Mereka menemukan banyak ternak, harta milik, pakaian dan barang-barang berharga. Yang mereka rampas itu lebih banyak dari pada yang dapat dibawa. Tiga hari lamanya mereka menjarah barang-barang itu, karena begitu banyaknya. (2 Tawarikh 20: 20-25, tambahkan penekanan)

Dengan pujian yang penuh iman, kita mendapat perlindungan dan selalu berjaga-jaga!

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kuasa dalam pujian, lihat Filipi 4:6-7 (pujian membawa kedamaian), 2 Tawarikh 5:1-14 (pujian membawa hadirat Allah ), Kisah Para Rasul 13:1-2 (pujian memperjelas maskud dan rencana Allah ), dan Kisah Para Rasul 16:22-26 (dengan pujian, Allah akan membawa pemeliharaan dan pembebasan dari belenggu penjara).

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Duapuluh (Chapter Twenty)

Bab Duapuluh-Satu (Chapter Twenty-One)

Keluarga Kristen (The Christian Family)

 

Tuhan adalah Oknum pembentuk sebuah keluarga. Tentu Dia memberikan pemahaman kepada kita tentang bagaimana seharusnya fungsi sebuah keluarga dan Dia sanggup mengingatkan kita akan bahaya-bahaya yang dapat menghancurkan keutuhan keluarga. Memang, Tuhan telah memberikan banyak prinsip dalam FirmanNya mengenai struktur keluarga dan peranan yang harus dipikul oleh tiap anggota. Ketika perintah-perintah dalam Alkitab ditaati, maka keluarga-keluarga akan menikmati semua berkat yang Allah mau mereka dapatkan. Ketika perintah dilanggar, muncullah kekacauan dan sakit-hati.

Peranan Suami dan Istri (The Role of Husband and Wife)

Allah telah merancang keluarga Kristen agar mengikuti struktur tertentu. Karena kerangka ini memberikan stabilitas bagi kehidupan keluarga, Setan bekeja keras untuk mengacaukan rancangan maksud Allah.

Pertama, Allah telah menetapkan bahwa suami menjadi kepala keluarga. Hal ini tidak memberikan hak kepada suami untuk secara egois mendominasi istri dan anak-anaknya. Allah memanggil suami untuk mengasihi, melindungi, mencukupi kebutuhan, dan memimpin keluarganya sebagai kepala keluarga. Allah juga menghendaki agar istri menyerah kepada pimpinan suaminya. Hal itu jelas dinyatakan dalam Alkitab:

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. (Efesus 5:22-24).

Suami bukanlah kepala rohani dari istrinya —Yesus adalah Pribadi yang memenuhi peran itu. Yesus adalah kepala rohani dari gerejanya, dan istri Kristen adalah anggota gereja, sama halnya dengan suami Kristen. Tetapi, di dalam keluarga, suami Kristen adalah kepala dari istri dan anak-anaknya, dan ia harus berserah kepada otoritas yang diberikan oleh Allah.

Sampai sejauh mana istri menyerah kepada suaminya? Ia harus tunduk kepada suami dalam segala sesuatu, seperti kata Paulus. Kecuali jika suaminya mengharapkannya untuk tidak menaati Firman Tuhan atau melakukan sesuatu yang melanggar kata-hatinya. Sudah tentu, tidak ada suami Kristen pernah berharap istrinya untuk melakukan sesuatu yang melanggar Firman Tuhan atau kata-hati istrinya. Suami bukanlah tuhan bagi istrinya —hanya Yesus yang memiliki tempat itu dalam kehidupan sang istri. Jika harus memilih siapa yang akan ditaati, sang istri harus memilih Yesus.

Suami harus ingat bahwa Allah tidak secara langsung selalu “berpihak kepada suami.” Allah pernah berkata kepada Abraham untuk melakukan apa kata istrinya Sarah kepadanya (lihat Kejadian 21:10-12). Alkitab juga mencatat bahwa Abigail tidak menaati suaminya yang bodoh, Nabal, dan menimbulkan bencana (lihat 1 Samuel 25:2-38).

Firman Tuhan kepada Para Suami (God’s Word to Husbands)

Kepada setiap suami, Allah berkata:

Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya ….. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri : Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 30 karena kita adalah anggota tubuh-Nya. ….Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya. (Efesus 5:25, 28-30, 33).

Suami diperintahkan untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gereja. Itu bukanlah tanggung-jawab kecil! Dengan senang hati, setiap istri tunduk kepada orang yang mencintainya persis seperti yang Yesus lakukan —yang memberikan kehidupanNya dalam kasihNya yang penuh pengorbanan. Seperti Kristus mengasihi gerejaNya, demikian juga suami harus mengasihi istri yang olehnya ia menjadi “satu daging” (Efesus5:31). Jika suami Kristen mengasihi istrinya sebagaimana seharusnya, maka ia akan menyediakan kebutuhan, mempedulikan, menghormati, menolong, memberi dorongan, dan meluangkan waktu untuk istrinya. Jika tak sanggup bertanggung-jawab mengasihi istrinya, suami itu berada dalam bahaya karena akan menghambat jawaban atas doa-doanya:

Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai [kaum] yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang. (1 Petrus 3:7, tambahkan penekanan).

Tentu, belum pernah ada pernikahan yang tak pernah mengalami konflik dan pertengkaran. Tetapi, melalui komitmen dan perkembangan buah-buah roh dalam kehidupan, suami dan istri dapat belajar hidup secara harmoni dan mengalami keberkatan yang terus-menerus dalam pernikahan Kristen. Melalui permasalahan yang tak dapat dihindarkan yang muncul dalam tiap pernikahan, setiap pasangan dapat belajar bertumbuh makin dewasa menjadi serupa dengan Kristus.

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kewajiban suami dan istri, lihat Kejadian 2:15-25; Amsal 19:13;21:9, 19; 27:15-16; 31:10-31; 1 Korintus 11:3; 13:1-8; Kolose 3:18-19; 1 Timotius 3:4-5; Titus 2:3-5; 1 Petrus 3:17.

Seks dalam Pernikahan (Sex in Marriage)

Allah adalah oknum yang menemukan seks, dan Ia menciptakan seks demi kesenangan juga untuk menghasilkan keturunan. Tetapi, Alkitab tegas-tegas berkata bahwa hubungan seks harus dinikmati hanya oleh mereka yang telah menyatukan diri mereka dalam ikatan pernikahan seumur-hidup.

Hubungan seks tanpa ikatan pernikahan digolongkan sebagai perzinahan atau perselingkuhan. Rasul Paulus menyatakan bahwa mereka yang melakukan hal-hal itu tidak akan mewarisi Kerajaan Allah (lihat 1 Korintus 6:9-11). Walaupun orang Kristen dapat dicobai dan berzinah atau berselingkuh, ia akan merasakan hukuman dalam rohnya yang akan membawanya pada pertobatan.

Paulus juga memberikan beberapa petunjuk khusus tentang tanggung-jawab seks kepada suami dan istri:

Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak. (1 Korintus 7:2-5).

Ayat-ayat di atas memperjelas bahwa seks tidak boleh digunakan sebagai “hadiah” oleh suami atau istri karena baik suami atau istri tak berkuasa atas tubuhnya sendiri.

Lagipula, seks adalah karunia pemberian Allah, dan seks adalah hal yang suci atau bukan dosa selama dalam batas-batas pernikahan. Paulus mendorong para pasangan nikah Kristen untuk tetap terlibat dalam hubungan seks. Lagipula, kita bisa temukan saran tersebut bagi para suami Kristen dalam kitab Amsal:

Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya. (Amsal 5:18-19).

[1]

 

Bila pasangan suami-istri Kristen ingin menikmati hubungan seks yang saling memberi kepuasan, maka keduanya harus memahami bahwa ada perbedaan besar karakter seksual antara pria dan wanita. Bila diperbandingkan, kualitas seksual pria lebih bersifat fisik, sedangkan kualitas seksual wanita terkait dengan emosinya. Secara seksual, pria mudah terangsang oleh stimulasi visual (lihat Matius 5:28), sedangkan secara seksual wanita cenderung terangsang melalui sentuhan (lihat 1 Korintus 7:1). Pria tertarik kepada wanita yang menarik di matanya; sedangkan wanita cenderung tertarik kepada pria yang mereka sanjung karena berbagai alasan, dibandingkan hanya daya-tarik fisik. Jadi, istri yang bijak selalu memperhatikan hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk menyenangkan suaminya sepanjang waktu. Suami yang bijak menunjukkan perhatiannya kepada istrinya setiap waktu dengan memberi pelukan dan perhatian penuh, bukannya mengharapkan istrinya untuk tetap “siap setiap saat” dalam sekejap di penghujung hari.

Tingkat dorongan seks pria cenderung meningkat dengan bertambahnya air mani dalam tubuhnya, sedangkan dorongan seks wanita meningkat atau menurun, tergantung pada siklus menstruasinya. Pria punya kapasitas rangsangan seks dan pengalaman klimaks seks dalam hitungan detik atau menit; wanita butuh waktu lebih lama. Walaupun pria biasanya siap secara fisik untuk berhubungan seks dalam beberapa detik, tubuh wanita bisa saja tak siap secara fisik selama setengah jam. Jadi, suami yang bijak menggunakan waktu untuk melakukan permainan seks pendahuluan dengan melakukan pelukan mesra, ciuman dan rangsangan dengan tangan ke bagian-bagian tubuh istri yang akan membuat istri menjadi siap melakukan persetubuhan. Jika tak tahu bagian-bagian tubuh istri, suami perlu bertanya kepada istrinya. Juga, ia harus tahu bahwa walaupun ia mampu mencapai hanya sekali klimaks seks, istrinya mampu mencapai lebih dari sekali klimaks. Suami harus paham agar istri mendapatkan apa yang diinginkannya.

Sangatlah penting agar suami dan istri Kristen saling mendiskusikan kebutuhan mereka dengan jujur dan belajar sebanyak mungkin tentang bagaimana perbedaan masing-masing. Selama berbulan-bulan dan tahunan komunikasi, penemuan dan praktek, hubungan seks antara suami dan istri dapat menghasilkan keberkatan yang semakin meningkat.

Anak-anak Keluarga Kristen (Children of a Christian Family)

Anak-anak harus diajarkan agar tunduk dan taat pada orang-tua Kristen mereka. Dan jika mereka tunduk dan taat, ada janji umur panjang dan berkat-berkat lain bagi mereka:

Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. “Hormatilah ayahmu dan ibumu”—(ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini), “supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. (Efesus 6:1-3).

Sebagai kepala keluarga, bapak-bapak Kristen bertanggung-jawab utama untuk mendidik anak-anak mereka:

Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:4).

Perlu dicatat bahwa ada dua tanggung-jawab bapak: mendidik anak-anaknya dalam disiplin dan pengajaran Tuhan. Mulanya, perhatikanlah pendisiplinan bagi anak-anak.

Pendisiplinan Anak (Child Discipline)

Anak yang tak pernah didisiplinkan akan tumbuh menjadi egois dan suka memberontak terhadap perintah. Anak harus didisiplinkan kapanpun ia dengan keras kepala tidak menaati aturan yang wajar yang telah ditetapkan sebelumnya oleh orang-tua. Anak tak boleh dihukum karena kesalahan atau karena sikap tidak bertanggung-jawab. Tetapi, anak harus menghadapi konsekwensi kesalahan dan sikap tidak bertanggung-jawabnya, sehingga dapat membantunya untuk siap menghadapi realitas kehidupan dewasa kelak.

Anak kecil harus didisiplinkan dengan memukul pantatnya, sesuai perintah Firman Tuhan. Tentu saja, bayi tak boleh dipukuli pantatnya. Itu tidak berarti bahwa bayi selalu diberikan sesuai kemauannya. Nyatanya, sejak lahirnya, harus jelas bahwa bayi adalah tanggung-jawab ibu dan ayahnya. Pada usia sangat muda, bayi dapat diajari tentang arti kata “tidak” dengan mencegahnya agar tak melakukan apa yang akan atau hampir saja dilakukan. Ketika bayi mulai mengerti arti kata “tidak“, pukulan ringan di pantatnya akan membantunya mengerti dengan lebih baik ketika ia tidak patuh. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, anak-anak akan belajar taat pada usia sangat muda.

Orang tua dapat juga melaksanakan kuasanya tanpa melakukan tindakan yang tak diinginkan bagi anaknya, seperti memberi apa yang anak nginkan setiap kali ia menangis. Perlakuan itu akan mengajarkan anak untuk menangis agar setiap keinginannya terkabul. Atau, jika orang tua mengabulkan permintaan anaknya tiap kali amarah atau rengekannya meledak, orang tua itu sebenarnya hanya mendukung perilakunya yang tak diinginkan. Orang tua yang bijak hanya menghargai perilaku yang disukai dalam diri anaknya.

Pukulan di pantat tak boleh membahayakan fisik anak tetapi tentunya memberi cukup rasa sakit agar anak yang bandel dapat menangis sebentar. Sehingga, anak akan belajar mengaitkan ketidaktaatan dengan rasa-sakit. Alkitab menegaskan:

Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya. …. Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya…Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati. ….. Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya. (Amsal 13:24; 22:15; 23:13-14; 29:15).

Ketika menerapkan aturannya, orang tua tak perlu mengancam anak untuk taat. Jika anak berkeras tidak taat, ia harus dipukuli pantatnya. Jika orang tua hanya mengancam untuk memukul pantat anak bandel itu, ia hanya membuat anak itu tetap tidak taat. Akibatnya, anak itu belajar tak taat sampai ancaman orang-tua mencapai volume tertentu.

Setelah pantatnya dipukul, si anak harus dipeluk dan dijamin bahwa ia layak mendapat kasih sayang orang tuanya.

Mendidik Anak (Train Up a Child)

Orang tua Kristen harus sadar bahwa ia bertanggung-jawab mendidik anaknya, seperti dalam Amsal 22:6: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (tambahkan penekanan).

Didikan berwujud hukuman atas ketidaktaatan dan ganjaran untuk perilaku yang baik. Anak perlu diberi pujian yang konsisten dari orang tuanya untuk memperkuat perilakunya yang baik dan sifat-sifat yang diinginkan. Anak perlu diberikan rasa aman agar ia merasa dikasihi, diterima dan dihargai oleh orang-tuanya. Orang tua dapat menunjukkan kasihnya melalui kata-kata pujian, pelukan dan ciuman, dan meluangkan waktu bersama anaknya.

“Mendidik” berarti “membuat anak taat.” Karena itu, orang tua Kristen tak boleh memberikan pilihan kepada anaknya apakah ia mau atau tidak mau ke gereja atau berdoa setiap hari dan seterusnya. Anak cukup bertanggung-jawab untuk tahu apa yang terbaik baginya —itu sebabnya Allah memberikan orang-tua kepadanya. Bagi orang tua yang menggunakan usaha dan tenaga untuk melihat agar anaknya mendapat pendidikan yang baik, Allah berjanji bahwa anaknya tak akan menyimpang dari jalan yang benar ketika mereka menjadi dewasa, seperi dalam Amsal 22:6.

Anak harus terus diberikan tanggung-jawab ketika usianya bertambah. Tujuan efektif menjadi orang-tua adalah menyiapkan anak secara bertahap untuk memikul tanggung-jawab penuh menuju kedewasaan. Ketika anak bertambah usia, ia secara bertahap diberi lebih banyak kebebasan untuk membuat keputusannya. Juga, remaja harus mengerti bahwa ia akan menerima tanggung-jawab atas konsekwensi dari keputusannya dan orang tuanya tidak akan selalu ada untuk “menjaminnya keluar” dari kesulitan.

Tanggung-jawab Orang Tua untuk Mendidik (Parents’ Responsibility to Instruct)

Seperti kita baca Efesus 6:4, ayah bertanggung-jawab mendisiplinkan anak dan harus mengajari anak di dalam Tuhan. Gereja tak bertanggung-jawab mengajari hal moralitas yang Alkitabiah kepada anak, karakter Kristen, atau teologi —itu tugas ayahnya. Adalah keliru bila orang tua mengalihkan semua tanggung-jawabnya kepada guru Sekolah Minggu untuk mengajari anak-anak tentang Allah. Perhatikan bahwa Allah memerintahkan Israel melalui Musa:

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. (Ulangan 6:6-7, tambahkan penekanan).

Anak harus diperkenalkan kepada Allah, sejak usia dini, oleh orang tua Kristen, dengan menceritakan kepada anak tentang siapa Allah dan betapa Ia mengasihinya. Anak harus diajari kisah tentang Yesus –kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitanNya. Banyak anak dapat mengerti pesan Injil sebelum usia lima atau enam tahun dan dapat memutuskan untuk melayani Tuhan. Segera setelah itu (sebelum usia enam atau tujuh tahun, terkadang sebelum usia itu), anak dapat menerima baptisan Roh Kudus dengan berbahasa lidah. Tentu, tak boleh diberikan aturan ketat karena setiap anak berbeda. Masalahnya adalah orang-orang tua Kristen membuat pendidikan rohani bagi anak-anak mereka menjadi prioritas duniawi tertinggi menurut ukuran mereka.

Sepuluh Aturan untuk Mengasihi Anak (Ten Rules for Loving Your Children)

1.)

Jangan buat anak anda frustrasi (lihat Efesus 6:4). Anak tak boleh diharuskan berperilaku seperti orang dewasa. Jika anda berharap terlalu banyak dari anak, ia tidak akan lagi membuat anda senang, karena ia tahu bahwa hal itu mustahil.

2.)

Jangan bandingkan anak anda dengan anak lain. Biarkan ia tahu seberapa besar anda menghargai sifat-sifat unik mereka dan karunia-karunia dari Allah.

3.)

Beri dia tanggung-jawab di rumah sehingga ia akan tahu bahwa ia bagian penting dalam keluarga. Penghargaan adalah bahan bangunan bagi harga diri yang sehat.

4.)

Luangkan waktu bersama anak. Sehingga anak tahu bahwa ia penting bagi anda. Memberi materi kepada anak tak dapat menggantikan diri anda baginya. Juga, seorang anak banyak dipengaruhi oleh orang yang meluangkan paling banyak waktu bersamanya.

5.)

Jika anda harus mengatakan sesuatu yang negatif, katakalah secara posifif. Saya tak pernah berkata kepada anak saya bahwa ia “jelek” ketika ia tak menaati saya. Malahan, saya berkata kepadanya, “Kau anak yang baik, dan anak yang baik tidak melakukan hal yang baru saja kau lakukan!” (Lalu saya pukul pantatnya).

6.)

Sadarilah, kata “tidak” berarti “Saya peduli padamu.” Ketika menemukan caranya, secara intuitif anak tahu anda tak cukup peduli untuk melarangnya.

7.)

Harapkan agar anak anda meniru anda. Anak belajar dari teladan orang-tuanya. Orang-tua yang bijak tak akan pernah berkata kepada anaknya, “Lakukan apa kataku, bukan apa yang kulakukan.”

8.)

Jangan beri jaminan kepada anak anda atas masalahnya. Singkirkan batu sandungan; biarkan batu loncatan ada di jalurnya.

9.)

Layani Allah dengan segenap hati anda. Saya perhatikan, anak, yang orang-tuanya suam-suam kuku, jarang melayani Allah saat ia dewasa kelak. Anak Kristen dari orang tua yang belum selamat dan anak dari orang-tua Kristen yang berkomit-men penuh biasanya tetap melayaniNya ketika berada di luar “tempat asalnya.”

10.)

Ajarkan Firman Tuhan kepada anak. Orang tua sering memprioritaskan pendidikan anaknya tetapi gagal memberikan pendidikan terpenting yang bisa diperoleh anak itu, yakni pendidikan Alkitab.

Prioritas Pelayanan, Pernikahan dan Keluarga (The Priorities of Ministry, Marriage and Family)

Mungkin kesalahan yang paling sering muncul yang dilakukan oleh tiap pemimpin Kristen adalah meremehkan pernikahan dan keluarganya karena pengabdian kepada pelayanannya. Pemimpin itu membenarkan dirinya dengan berkata bahwa pengorbanannya adalah “untuk pekerjaan Tuhan.”

Kesalahan itu diperbaiki ketika pelayan pemuridan menyadari bahwa ketaatan dan pengabdiannya yang sejati kepada Allah tercermin oleh hubungannya dengan pasangan hidupnya dan anak-anaknya. Seorang pendeta tak dapat berkata bahwa ia mengabdi kepada Allah jika ia tidak mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gerejaNya, atau jika ia tak mau meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan anak-anaknya demi mendidik mereka agar tunduk pada pengawasan dan peringatan dari Tuhan.

Lagipula, biasanya, tanda pelayanan yang bersifat kedagingan yang dilakukan dengan kekuatan diri sendiri adalah sikap tidak mempedulikan pasangan nikah dan anak-anak demi “pelayanan”. Ada banyak pendeta gereja lembaga yang memikul beban kerja berat, karena mereka membuat diri mereka lelah demi tetap menjalankan semua program gereja.

Yesus berjanji bahwa bebanNya ringan dan kukNya enak (lihat Matius 11:30). Ia tidak memanggil pelayan untuk menunjukkan pengabdiannya bagi dunia atau gereja dengan mengorbankan cintanya kepada keluarganya. Ternyata, satu syarat untuk menjadi penatua adalah ia “harus menjadi menjadi kepala keluarga yang baik” (1 Timotius 3:4). Hubungan dengan keluarganya adalah ujian bagi kelayakannya dalam pelayanan.

Terkadang, orang yang terpanggil untuk melakukan pelayanan berpindah-pindah dan harus berada jauh harus menghabiskan waktu ekstra untuk fokus pada keluarganya ketika berada di rumah. Setiap rekan sesama tubuh Kristus harus melakukan hal dalam kuasanya sehingga tugas tersebut terlaksana. Pelayan pemuridan sadar bahwa anak-anaknya adalah murid-murid utamanya. Jika ia gagal memuridkan anak-anaknya, ia tak berhak untuk mencoba melakukan pemuridan di luar rumahnya.

 


[1]

Bukti bahwa Allah berkata dengan tegas, lihat Kidung Agung 7:1-9 dan Imamat 18:1-23.

Bab Delapan-Belas (Chapter Eighteen)

Karunia Melayani (The Ministry Gifts)

 

Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus. …… Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. (Efesus 4:7, 11-13, tambahkan penekanan).

Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. (1 Korintus 12:28, tambahkan penekanan).

Sesuai istilahnya, karunia-karunia pelayanan adalah berbagai panggilan dan kemampuan yang diberikan kepada orang-orang percaya tertentu yang memungkinkan mereka memegang jabatan rasul, nabi, penginjil, pendeta atau guru. Tak seorangpun dapat memposisikan dirinya dalam salah satu jabatan-jabatan itu. Sebaliknya, seseorang harus merasa terpanggil dan diberikan karunia oleh Allah.

Dari lima jabatan itu, seseorang bisa saja memegang lebih dari satu jabatan, tetapi hanya kombinasi tertentu yang layak. Misalnya, bisa saja seorang percaya merasa terpanggil untuk menjabat pendeta dan guru atau nabi dan guru. Tetapi seseorang tak mungkin menjabat pendeta dan penginjil hanya karena pelayanan pendeta mensyaratkannya untuk tetap di satu tempat untuk melayani jemaat lokal, sehingga ia tak dapat memenuhi panggilan sebagai penginjil yang harus sering bepergian.

Walaupun diberikan karunia-karunia berbeda dengan tujuan-tujuan berbeda, semua lima jabatan itu telah diberikan kepada gereja untuk satu tujuan umum, yakni “memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan” (Efesus 4:12).

[1]

Tujuan setiap pelayan haruslah memperlengkapi orang-orang suci (yang merupakan arti dari kata “saints”) untuk pekerjaan pelayanan. Namun, sangat sering para pelayan bertindak seolah-olah mereka dipanggil, bukan untuk memperlengkapi orang-orang kudus untuk pelayanan, tetapi untuk menyenangkan orang-orang duniawi yang ikut beribadah di gereja. Setiap orang yang terpanggil untuk salah satu jabatan itu harus terus mengevaluasi kontribusinya kepada “tindakan memperlengkapi orang-orang kudus untuk pekerjaan pelayanan.” Jika setiap pelayan melakukannya, banyak orang akan meninggalkan banyak kegiatan yang secara keliru dianggap sebagai “pelayanan.”

Apakah Beberapa Karunia Pelayanan Hanya untuk Gereja Mula-Mula? (Were Some Ministry Gifts Only for the Early Church?)

Berapa lama karunia-karunia pelayanan itu akan diberikan kepada gereja? Yesus akan memberikan karunia-karunia itu selama orang-orangNya yang suci perlu diperlengkapi untuk pelayanan, sampai Ia kembali. Gereja terus-menerus menerima orang-orang Kristen lahir baru yang memerlukan pertumbuhan, dan kita selalu punya kesempatan untuk menjadi dewasa secara rohani.

Tetapi, sebagian orang berkesimpulan hanya ada dua jenis pelayanan kini —pendeta dan penginjil— seolah-olah Allah telah mengubah rencanaNya. Tidak, kita masih butuh pelayanan rasul, nabi dan guru seperti yang dilakukan oleh gereja mula-mula. Kita tidak menyaksikan contoh-contoh karunia itu di gereja-gereja di seluruh dunia hanya karena Yesus memberikan karunia-karunia itu kepada gerejaNya, bukan kepada gereja yang sesat, yang tidak suci dan yang injilnya sesat. Dalam gereja sesat, hanya dapat ditemukan orang-orang yang tak sanggup memenuhi peranan beberapa karunia pelayan (sebagian besar pendeta dan mungkin beberapa penginjil), tetapi mereka hampir tak menunjukkan karunia-karunia pelayanan menurut panggilan dan urapan Tuhan yang Yesus berikan kepada gerejaNya. Mereka tentu tak memperlengkapi orang-orang kudus untuk kegiatan pelayanan, karena injil yang mereka beritakan tidak menghasilkan kesucian; injil itu hanya menipu orang-orang yang menganggap diri mereka sudah diampuni. Dan orang-orang itu tak ingin diperlengkapi untuk pelayanan. Mereka tak mau menyangkali diri mereka sendiri dan tak mau memikul salibnya masing-masing.

Bagaimana Anda Tahu jika Anda Dipanggil? (How do You Know that You are Called?)

Bagaimana mengetahui apakah seseorang dipanggil untuk salah satu jabatan di gereja? Yang terutama, ia akan merasakan panggilan ilahi dari Allah. Ia akan merasa diri terbeban untuk memenuhi tugas tertentu, yang jauh lebih dari sekedar memahami adanya kebutuhan yang perlu dipenuhi. Sebaliknya, rasa lapar yang Tuhan berikan di dalam diri memaksa seseorang untuk melakukan pelayanan tertentu. Jika ia benar-benar dipanggil Allah, ia tak merasa puas sampai ia mulai memenuhi panggilannya. Hal itu tak terkait dengan penunjukan satu atau beberapa orang. Tuhanlah yang melakukan panggilan itu.

Kedua, orang yang benar-benar dipanggil akan merasa Allah memperlengkapinya untuk memenuhi tugas Allah. Setiap jabatan dari lima jabatan itu memerlukan urapan adikodrati bagi orang yang memungkinkan dia mewujudkan panggilan Allah. Dengan panggilan itu, urapan akan datang. Bila tak ada urapan, maka tak ada panggilan. Seseorang bisa berharap melakukan tugas pelayanan tertentu, masuk Sekolah Alkitab empat tahun untuk mendidik dan menyiapkannya bagi pelayanan itu; namun tanpa urapan Allah, ia tak punya kesempatan untuk berhasil.

Ketiga, ia akan tahu bahwa Allah telah membuka pintu kesempatan baginya untuk mengerjakan karunia-karunia khusus yang dimilikinya. Sehingga, ia dapat membuktikan bahwa dirinya setia, dan akhirnya ia akan dipercayakan untuk mendapat kesempatan, tanggung-jawab dan karunia-karunia yang lebih besar.

Jika seseorang belum merasakan desakan dan panggilan ilahi di dalam dirinya untuk salah satu dari lima karunia pelayanan, atau jika ia tak menyadari akan urapan khusus untuk memenuhi tugas pemberian Allah, atau jika tak ada kesempatan untuk melakukan karunia-karunia yang dianggap sebagai miliknya, maka orang itu tak perlu menjadi sesuatu yang Allah belum kehendaki baginya. Sebaliknya, ia harus bekerja untuk menjadi berkat di antara jemaat lokal, tetangganya, dan di tempat kerjanya. Meskipun tak dipanggil untuk pelayanan “lima kali lipat”, ia dipanggil untuk melayani dengan memakai karunia-karunia yang telah diberikanNya, dan ia harus tetap membuktikan kesetiaan dirinya.

Walaupun Alkitab menyebutkan lima karunia pelayanan, tidak berarti setiap orang yang memegang jabatan tertentu akan punya pelayanan yang persis sama. Paulus menulis bahwa ”ada rupa-rupa pelayanan” (1 Korintus 12:5), yang memungkinkan adanya variasi di antara para pelayan yang menjabat. Lagipula, tampak ada berbagai tingkat urapan pada orang-orang yang memegang jabatan tersebut, sehingga kita dapat membagi setiap jabatan menurut tingkat urapan. Misalnya, dibandingkan guru-guru lain, ada beberapa guru yang lebih diurapi dalam beberapa cara. Hal yang sama berlaku juga pada karunia-karunia pelayanan lainnya. Saya pribadi percaya bahwa setiap pelayan dapat melakukan hal-hal untuk meningkatkan urapan pada pelayanannya, seperti membuktikan dirinya tetap setia selama satu periode waktu dan sungguh-sungguh menyucikan dirinya untuk Allah.

Perhatian yang Lebih Dalam pada Jabatan Rasul (A Closer Look at the Office of Apostle)

Kata bahasa Gerika yang diterjemahkan sebagai rasul adalah apostolos, yang berarti “orang yang diutus.” Rasul sejati Perjanjian Baru adalah orang percaya yang diutus secara ilahi ke satu atau lebih tempat untuk mendirikan gereja. Ia meletidak akan dasar rohani dari “bangunan“ Allah dan mirip seperti “kontraktor umum,” seperti rasul Paulus tuliskan:

Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah. Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletidak akan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. (1 Korintus 3:9-10a, tambahkan penekanan).

“Ahli bangunan” atau kontraktor umum mengawasi keseluruhan proses pembangunan —ia mendapatkan gambaran tentang hasil akhir. Ia bukan ahli seperti tukang kayu atau penyusun bata. Ia bisa saja melakukan pekerjaan tukang kayu atau penyusun bata, tetapi mungkin tidak sebaik yang dilakukan oleh tukang kayu atau penyusun bata yang ahli. Demikian juga, rasul memiliki kemampuan bertugas sebagai seorang penginjil atau pendeta, tetapi hanya selama waktu yang terbatas ketika ia mendirikan gereja. (Rasul Paulus biasanya tinggal di satu tempat selama enam bulan sampai tiga tahun).

Rasul adalah ahli pembangun jemaat dan kemudian mengawasi jemaat agar tetap mengikuti jalur Allah. Rasul bertanggung-jawab menunjuk penatua/pendeta/penilik untuk menggembalakan sidang jemaat yang dibentuk oleh rasul itu (lihat Kisah Para Rasul 14:21-23; Titus 1:5).

Rasul yang Benar dan Rasul yang Sesat (True dan False Apostles)

Beberapa pelayan kini, yang ingin menguasai gereja-gereja, tampak tergesa-gesa menyatakan panggilan mereka untuk menjadi rasul-rasul, tetapi banyak yang menemui masalah. Karena mereka tidak mendirikan gereja-gereja (atau mungkin hanya satu atau dua gereja) dan tak memiliki karunia-karunia dan urapan seorang rasul yang Alkitabiah, mereka harus mencari pendeta yang tulus-hati yang akan memungkinkan mereka untuk memiliki kuasa atas gereja-gereja mereka. Jika anda seorang pendeta, jangan tersesat oleh rasul-rasul yang hanya memuliakan dirinya dan haus akan kekuasaan. Mereka biasanya ialah serigala berbulu domba yang, sering mengejar uang. Alkitab mengingatkan kita untuk melawan rasul-rasul sesat (lihat 2 Korintus 11:13; Wahyu 2:2). Jika mereka berkata bahwa mereka adalah rasul-rasul, mungkin itu indikasinya mereka bukanlah rasul-rasul. Buah-buah mereka menunjukkan siapa diri mereka.

Pendeta, yang mendirikan jemaatnya sendiri dan melayani selama bertahun-tahun, bukanlah seorang rasul. Pendeta itu, mungkin, disebut “pendeta apostolik/kerasulan” karena ia merintis jemaatnya sendiri. Namun, ia tak memegang jabatan rasul karena seorang rasul terus-menerus merintis jemaat-jemaat.

Seorang “misionaris” menduduki jabatan rasul; ia diutus dan diurapi Tuhan sesuai sebutannya kini, dan panggilan utamanya adalah mendirikan jemaat-jemaat. Di lain pihak, misionaris yang bekerja untuk mendirikan Sekolah-Sekolah Alkitab atau melatih pendeta-pendeta bukan disebut rasul, namun guru.

Pelayanan seorang rasul sejati ditandai dengan berbagai mujizat adikodrati, yang merupakan instrumen dalam membantunya membangun gereja-gereja. Paulus menulis:

Karena meskipun aku tidak berarti sedikitpun, namun di dalam segala hal aku tidak kalah terhadap rasul-rasul yang luar biasa itu. Segala sesuatu yang membuktikan, bahwa aku adalah seorang rasul, telah dilakukan di tengah-tengah kamu dengan segala kesabaran oleh tanda-tanda, mujizat-mujizat dan kuasa-kuasa. (2 Korintus 12:11b-12).

Jika seseorang tidak mendapat tanda-tanda mujizat yang menyertai pelayanannya, maka ia bukanlah rasul. Jelas, rasul yang benar jarang ada, dan tidak ada rasul di dalam gereja yang sesat, yang tidak suci dan yang injilnya sesat. Saya bertemu mereka terutama di tempat-tempat di dunia yang wilayahnya masih belum terjangkau oleh Injil.

Tingkatan Tinggi Rasul (The High Rank of Apostle)

Dalam kedua daftar Perjanjian Baru dari karunia-karunia pelayan, jabatan rasul ada di urutan pertama, sehingga itulah panggilan tertinggi (lihat Efesus 4:11; 1 Korintus 12:28).

Tak seorangpun memulai pelayanannya sebagai rasul. Seseorang dapat saja dipanggil menjadi rasul secara bertahap, tetapi ia tidak akan memulai dalam jabatan itu. Ia harus mula-mula membuktikan diri sebagai orang yang setia berkhotbah dan mengajar selama bertahun-tahun, lalu akhirnya menduduki jabatan yang Allah telah siapkan untuknya. Paulus dipanggil sebagai rasul sejak masih dalam rahim ibunya, tetapi ia melayani sepenuh-waktu selama bertahun-tahun sebelum akhirnya menjabat rasul (lihat Galatia 1:15-2:1). Sebenarnya ia mulai menjabat guru dan nabi (lihat Kisah Para Rasul 13:1-2), lalu naik menjadi rasul ketika ia diutus oleh Roh Kudus (lihat Kisah Para Rasul 14:14).

Kita temukan sebutan rasul-rasul lainnya di samping Paulus dan duabelas rasul awal dalam Kisah Para Rasul 1:15-26;14:14; Roma 16:7; 2 Korintus 8:23; Galatia 1:17-19; Filipi 2:25 dan 1 Tesalonika 1:1 dengan 2:6. (Kata yang diterjemahkan temanku yang bekerja bersama-sama dalam 2 Korintus 8:23 dan teman sekerja serta teman seperjuanganku dalam Filipi 2:25 adalah kata dalam bahasa Gerika apostolos). Ini mengenyahkan teori bahwa jabatan rasul terbatas hanya kepada duabelas orang.

Tetapi, hanya duabelas rasul yang diklasifikasikan sebagai “Rasul-Rasul Domba Allah”, yang akan mendapat tempat khusus dalam pemerintahan seribu tahun Kristus (lihat Matius 19:28; Wahyu 21:14). Kita tidak lagi perlu rasul-rasul seperti Petrus, Yakobus dan Yohanes yang mendapat ilham khusus untuk menulis Alkitab, karena pewahyuan Alkitab sudah lengkap. Tetapi, kita masih butuh rasul-rasul yang mendirikan jemaat-jemaat oleh kuasa Roh Kudus, sebagaimana yang dilakukan oleh Paulus dan rasul-rasul lain, seperti diuraikan dalam Kisah Para Rasul.

Jabatan Nabi (The Office of Prophet)

Nabi adalah orang yang menerima pewahyuan adikodrati dan berbicara melalui ilham ilahi. Secara alami, ia sering dipakai dalam karunia roh nubuatan juga karunia-karunia pewahyuan: kata-kata hikmat, kata-kata pengetahuan, dan pengenalan akan roh-roh.

Setiap orang percaya dapat dipakai oleh Allah dalam karunia nubuatan sesuai kehendak Roh, tetapi hal itu tak menjadikannya sebagai nabi. Mulanya, seorang nabi adalah pendeta yang dapat berkhotbah atau mengajar dengan urapan. Karena, nabi adalah panggilan tertinggi kedua (lihat urutan dalam 1 Korintus 12:28), bahkan seorang pelayan penuh-waktu tidak memegang jabatan nabi sampai ia sudah melayani beberapa tahun. Jika ia benar-benar memegang jabatan itu, ia akan memiliki kelengkapan adikodrati yang mengikuti jabatan tersebut.

Yudas dan Silas adalah dua orang yang disebut nabi dalam Perjanjian Baru. Pada Kisah Para Rasul 15:32, keduanya menyampaikan nubuatan panjang kepada jemaat Antiokhia:

Yudas dan Silas, yang adalah juga nabi, lama menasihati saudara-saudara itu dan menguatkan hati mereka.

Contoh lain seorang nabi dalam Perjanjian Baru adalah Agabus. Kisah Para Rasul 11:27-28 menyebutkan:

Pada waktu itu datanglah beberapa nabi dari Yerusalem ke Antiokhia. Seorang dari mereka yang bernama Agabus bangkit dan oleh kuasa Roh ia mengatakan, bahwa seluruh dunia akan ditimpa bahaya kelaparan yang besar. Hal itu terjadi juga pada zaman Klaudius.

Perhatikan, Agabus diberi perkataan hikmat —satu hal tentang masa-depan diungkapkan kepadanya. Agabus tentu saja tidak tahu setiap hal yang akan terjadi di masa depan; ia hanya tahu apa yang Roh Kudus ingin ungkapkan kepadanya.

Dalam Kisah Para Rasul 21:10-11, ada contoh lain mengenai ucapan hikmat yang terjadi melalui pelayanan Agabus. Kali ini, atas nama satu orang, Paulus:

Setelah beberapa hari kami tinggal di situ, datanglah dari Yudea seorang nabi bernama Agabus. Ia datang pada kami, lalu mengambil ikat pinggang Paulus. Sambil mengikat kaki dan tangannya sendiri ia berkata: “Demikianlah kata Roh Kudus: Beginilah orang yang empunya ikat pinggang ini akan diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain.”

Sesuai perjanjian baru, apakah mencari bimbingan pribadi dari nabi adalah tindakan yang Alkitabiah? Tidak. Karena tiap orang percaya memiliki Roh Kudus di dalam dirinya untuk membimbing mereka. Seorang nabi hanya menegaskan kepada orang percaya bahwa apa yang sudah diketahuinya adalah petunjuk Allah dalam rohnya sendiri. Misalnya, ketika Agabus menubuatkan kepada Paulus, ia tidak memberinya petunjuk tentang hal yang harus dilakukan oleh Paulus; ia hanya menegaskan apa yang sudah Paulus ketahui.

Seperti disebutkan sebelumnnya, Paulus memegang jabatan nabi (dan guru) sebelum ia dipanggil kepada pelayanan rasul (lihat Kisah Para Rasul 13:1). Kita tahu bahwa Paulus menerima pewahyuan dari Tuhan menurut Galatia 1:11-12, dan ia juga mengalami banyak penglihatan (lihat Kisah Para Rasul 9:19; 18:9-10; 22:17-21; 23:11; 2 Korintus 12:1-4).

Rasul-rasul sejati tidak ditemukan di dalam jemaat yang sesat. Jemaat yang sesat akan (dan benar-benar) menolak nabi-nabi sejati seperti Silas, Yudas atau Agabus. Nabi-nabi sejati akan membawa pewahyuan tentang ketidaksenangan Allah terhadap ketidaktaatan mereka (seperti yang dilakukan Yohanes kepada sebagian besar jemaat di Asia Kecil pada dua pasal awal Kitab Wahyu). Jemaat yang sesat tidak terbuka akan hal tersebut.

Jabatan Guru (The Office of Teacher)

Menurut urutan dalam 1 Korintus 12:28, jabatan guru adalah panggilan tertinggi ketiga. Guru adalah orang yang diurapi secara adikodrati untuk mengajar Firman Tuhan. Hanya karena seseorang mengajarkan Alkitab tidak berarti ia adalah guru Perjanjian Baru. Banyak orang mengajar hanya karena mereka ingin atau merasa wajib, tetapi seseorang yang menjabat guru diberikan karunia adikodrati untuk mengajar. Guru sering diberikan pewahyuan adikodrati mengenai Firman Tuhan dan ia dapat menjelaskan Alkitab dalam cara yang mudah dipahami dan dapat diterapkan.

Dalam Perjanjian Baru, Apolos adalah teladan orang yang menjabat guru. Paulus membandingkan pelayanan apostoliknya dengan pelayanan pengajaran Apolos dalam 1 Korintus, dengan berkata:

Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. …… Aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletidak akan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. (1 Korintus 3:6, 10b, tambahkan penekanan).

Apolos tidak melakukan perintisan awal atau peletakan dasar. Malahan, ia menyirami tunas-tunas baru dengan Firman Tuhan dan membangun tembok pada fondasi yang ada.

Apolos disebutkan juga dalam Kisah Para Rasul 18:27-28:

Karena Apolos ingin menyeberang ke Akhaya, saudara-saudara di Efesus mengirim surat kepada murid-murid di situ, supaya mereka menyambut dia. Setibanya di Akhaya maka ia, oleh kasih karunia Allah, menjadi seorang yang sangat berguna bagi orang-orang yang percaya. Sebab dengan tak jemu-jemunya ia membantah orang-orang Yahudi di muka umum dan membuktikan dari Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias.

Perhatikan, Apolos “banyak membantu” orang-orang yang telah menjadi Kristen dan pengajarannya “memiliki kuasa.” Pengajaran yang diurapi selalu memiliki kuasa.

Bagi jemaat, pelayanan pengajaran bahkan lebih pentung daripada pekerjaan mujizat-mujizat atau karunia-karunia kesembuhan. Itu sebabnya, pelayanan pengajaran dicantumkan sebelum karunia-karunia dalam 1 Korintus 12:28:

Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. (tambahkan penekanan).

Sayangnya, orang-orang percaya kadang-kadang lebih tertarik melihat kesembuhan bukannya mendengarkan pengajaran Firman yang mudah dipahami yang akan menghasilkan pertumbuhan rohani dan kesucian bagi kehidupan mereka.

Alkitab berbicara tentang khotbah dan pengajaran. Pengajaran lebih logis dan memberi arahan, sedangkan khotbah lebih memberikan ilham dan dorongan. Penginjil umumnya berkhotbah. Guru dan pendeta umumnya mengajar. Rasul berkhotbah dan mengajar. Patut disesalkan, beberapa orang percaya tidak mengakui nilai pengajaran. Sebagian bahkan menganggap bahwa waktu urapan turun kepada pembicara adalah saat ia berkhotbah dengan keras dan cepat! Tidaklah demikian.

Yesus adalah teladan terbaik dari guru yang diurapi. PengajaranNya adalah bagian dominan dalam pelayananNya di mana banyak orang menunjukNya sebagai “Guru” (Matius 8:19; Markus 5:35; Yohanes 11:28).

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang guru dan pengajaran, lihat Kisah Para Rasul 2:42; 5:21, 25, 28, 42; 11:22-26;13:1; 15:35; 18:11; 20:18-20; 28:30-31; Roma 12:6-7; 1 Korintus 4:17; Galatia 6:6; Kolose 1:28; 1 Timotius 4:11-16; 5:17; 6:2; 2 Timotius 1:11; 2:2 dan Yakobus 3:1. Ayat terakhir menyatakan bahwa guru-guru akan mendapatkan hukuman lebih berat, sehingga mereka harus lebih hati-hati dengan pengajaran mereka. Mereka hanya boleh mengajarkan Firman.

Jabatan Penginjil (The Office of Evangelist)

Penginjil adalah orang yang diurapi untuk memberitakan Injil. Pesan-pesannya didesain untuk memimpin setiap orang kepada pertobatan dan iman dalam Tuhan Yesus Kristus. Dia disertai dengan mujizat-mujizat yang menarik perhatian orang yang tidak percaya, dan dia dituntut akan kebenaran dari pesan yang disampaikannya.

Pasti ada banyak penginjil di jemaat mula-mula, tetapi hanya satu orang penginjil dalam Kisah Para Rasul. Namanya Filipus: “Pada keesokan harinya kami berangkat dari situ dan tiba di Kaisarea. Kami masuk ke rumah Filipus, pemberita Injil itu, yaitu satu dari ketujuh orang yang dipilih di Yerusalem, dan kami tinggal di rumahnya.” (Kisah Para Rasul 21:8, tambahkan penekanan).

Filipus memulai pelayanannya sebagai hamba (atau mungkin “diaken”) yang menunggu di meja (lihat Kisah Para Rasul 6:1-6). Jabatannya naik menjadi penginjil sekitar masa penganiayaan gereja yang terkait dengan peristiwa mati sahidnya Stefanus. Penyampaian khotbah Injil pertamanya dialkukan di Samaria:

Dan Filipus pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Mesias kepada orang-orang di situ. Ketika orang banyak itu mendengar pemberitaan Filipus dan melihat tanda-tanda yang diadakannya, mereka semua dengan bulat hati menerima apa yang diberitakannya itu. Sebab dari banyak orang yang kerasukan roh jahat keluarlah roh-roh itu sambil berseru dengan suara keras, dan banyak juga orang lumpuh dan orang timpang yang disembuhkan. Maka sangatlah besar sukacita dalam kota itu. (Kisah Para Rasul 8:5-8).

Perhatikanlah, Filipus punya satu pesan —Kristus. Ia bertujuan untuk memuridkan orang-orang, yakni menjadi pengikut yang taat kepada Kristus. Ia menyatakan Kristus sebagai pembuat mujizat, Anak Allah, Tuhan, Juruselamat dan Hakim yang segera datang. Ia mendesak orang-orang untuk bertobat dan mengikuti Tuhannya.

Perhatikan juga, Filipus dibekali dengan berbagai mujizat adikodrati yang menegaskan pesannya. Orang yang memegang jabatan penginjil akan diurapi dengan karunia-karunia kesembuhan dan karunia-karunia lain dari roh. Gereja yang sesat hanya punya penginjil sesat yang menyampaikan injil sesat. Dunia kini penuh dengan penginjil seperti itu, dan jelaslah Allah tidak meneguhkan pesan mereka dengan mujizat-mujizat dan kesembuhan. Itu karena mereka tidak memberitakan InjilNya. Dan mereka tidak sungguh-sungguh memberitakan tentang Kristus, dan biasanya berkhotbah tentang kebutuhan manusia dan bagaimana Kristus dapat memberikan hidup berkelimpahan, atau berkhotbah tentang rumusan keselamatan yang tidak membahas tentang pertobatan. Juga, mereka memimpin orang kepada pertobatan sesat yang meredakan rasa bersalah mereka namun tidak menyelamatkan mereka. Hasil-hasil penyampaian khotbah mereka adalah orang-orang hanya punya sedikit kesempatan untuk dilahirkan kembali, karena kini mereka tak perlu menerima apa yang mereka anggap sudah dimiliki. Para penginjil itu sebenarnya membantu membangun kerajaan Setan.

Jabatan penginjil tidak disebutkan dengan karunia-karunia pelayanan lainnya dalam 1 Korintus 12:28 juga dalam Efesus 4:11. Tetapi, saya anggap bahwa acuan kepada “berbagai mujizat dan karunia kesembuhan” berlaku pada jabatan penginjil karena berbagai mujizat dan karunia kesembuhan memberikan karakter kepada pelayanan Filipus sang penginjil, dan berbagai mujizat dan karunia kesembuhan itu biasanya memberikan penegasan adikodrati kepada pelayanan seorang penginjil.

Banyak orang, yang pergi dari gereja ke gereja yang menyebut diri mereka penginjil, benar-benar bukan penginjil karena mereka hanya berkhotbah di gedung-gedung gereja kepada orang-orang Kristen, dan mereka tak dibekali dengan karunia-karunia kesembuhan atau mujizat. (Sebagian orang pura-pura memiliki karunia-karunia itu, tetapi mereka hanya membodohi orang-orang yang naif. Mujizat-mujizat mereka membuat orang-orang tersandung sesaat, ketika ketika mereka menyesatkan orang-orang itu). Para pelayan keliling itu bisa saja menjadi pengkhotbah atau penasehat (lihat Roma 12:8), tetapi mereka tidak menduduki jabatan penginjil. Allah bisa saja memulai pelayanan seseorang sebagai penasehat atau pengkhotbah, lalu menaikkan posisinya ke jabatan penginjil.

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang jabatan penginjil, baca Kisah Para Rasul 8:4-40, catatan pelayanan Filipus. Perhatikan juga pentingnya saling-ketergantungan karunia-karunia pelayan (lihat ayat-ayat 14-25) dan bagaimana Filipus menginjili orang banyak dan dipimpin Allah untuk melayani setiap orang juga (lihat Kisah Para Rasul 8:25-39).

Tampaknya, penginjil ditugaskan untuk membaptiskan para petobat, tetapi ia tak secara langsung ditugaskan melayani baptisan Roh Kudus kepada orang-orang percaya baru. Tugas itu menjadi tanggung-jawab rasul-rasul atau pendeta/penatua/penilik.

Jabatan Pendeta (The Office of Pastor)

Pada dua bab terdahulu, saya bandingkan peranan pendeta menurut Alkitab dengan peranan pendeta-pendeta gereja lembaga. Tetapi, masih ada orang yang mengatakan tentang pelayanan pendeta.

Untuk mengerti sepenuhnya pengajaran Alkitab tentang jabatan pendeta, kita perlu mengerti tiga kata bahasa Gerika, yakni (1) poimen, (2) presbuteros dan (3) episkopos. Ketiga kata itu diterjemahkan sebagai (1) shepherd atau gembala/pendeta, (2) penatua, dan (3) penilik atau bishop.

Kata poimen disebutkan delapan-belas kali dalam Perjanjian Baru dan diterjemahkan shepherd/gembala tujuh-belas kali dan pendeta satu kali. Bentuk kata kerja poimaino disebutkan sebelas kali dan paling sering diterjemahkan menjadi shepherd/gembala.

Dalam Perjanjian Baru, kata dalam bahasa Gerika presbuteros disebutkan enam-puluh enam kali, yang diterjemahkan sebagai penatua atau tua-tua.

Kata bahasa Gerika episkopos disebutkan lima kali dalam Perjanjian Baru, dan empat kali diterjemahkan sebagai penilik. Terjemahan dalam Alkitab King James adalah bishop.

Ketiga kata di atas menunjuk pada jabatan di gereja, dan digunakan secara bergantian. Kapanpun rasul Paulus membentuk jemaat, ia mengangkat penatua-penatua (presbuteros) yang ia tinggalkan untuk menjaga jemaat-jemaat lokal (lihat Kisah Para Rasul 14:23, Titus 1:5). Mereka bertanggung-jawab menjadi penilik (episkopos) dan menggembalakan (poimaino) domba-dombanya. Misalnya, dalam Kisah Para Rasul 20:17 kita baca:

Karena itu ia menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua [presbuteros] jemaat datang ke Miletus. (tambahkan penekanan).

Dan, apa yang Paulus katakan kepada penatua-penatua gereja?

Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik [episkopos], untuk menggembalakan [poimaino] jemaat Allah yang diperolehNya dengan darah AnakNya sendiri. (Kisah Para Rasul 20:28, tambahkan penekanan).

Perhatikan pemakaian tiga kata yang sama artinya dalam bahasa Gerika. Ketiganya bukanlah jabatan berbeda. Paulus berkata kepada penatua-penatua bahwa mereka adalah penilik yang bertindak seperti gembala.

Petrus menuliskan dalam suratnya yang pertama:

Aku menasihatkan para penatua [presbuteros] di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah [poimaino] kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. (1 Petrus 5:1-4, tambahkan penekanan).

Petrus meminta para penatua untuk menggembalakan domba-domba mereka. Kata kerja yang diterjemahkan di sini shepherd diterjemahkan (dalam bentuk kata benda) sebagai gembala dalam Efesus 4:11:

Dan Ialah [Yesus] yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar. (tambahkan penekanan).

Maka, kita percaya bahwa penatua dan pendeta adalah sama. Paulus juga memakai kata penatua (presbuteros) dan kata penilik (episkopos) secara bergantian dalam Titus 1:5-7:

Aku telah meninggalkan engkau di Kreta dengan maksud ini, supaya engkau mengatur apa yang masih perlu diatur dan supaya engkau menetapkan penatua-penatua di setiap kota, seperti yang telah kupesankan kepadamu. ….Seorang penilik jemaat harus tidak bercacat. (tambahkan penekanan).

Jadi, memang jabatan pendeta, penatua, dan penilik sama sekali bukan jabatan sama. Karena itu, apapun tulisan tentang penilik dan penatua dalam suratan-suratan Perjanjian Baru berlaku bagi pendeta.

Pengaturan Gereja (Church Governance)

Dari kutipan ayat-ayat Alkitab di atas, jelas bahwa penatua/pendeta/penilik diberikan tugas untuk mengawasi gereja secara rohani, dan juga mereka diberi kuasa untuk mengatur. Sederhananya, setiap penatua/pendeta/penilik bertanggung-jawab, dan para anggota jemaat harus tunduk kepada mereka:

Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan Firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka. (Ibrani 13:17).

Sudah tentu, tak ada orang Kristen yang tunduk pada pendeta yang tidak tunduk pada Allah, namun memang tidak ada pendeta yang sempurna. Setiap pendeta/penatua/penilik memiliki kuasa atas gereja sebagaimana seorang ayah memiliki kuasa atas keluarganya:

Karena itu penilik [pendeta/penatua] jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, …. seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya (jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?) (1 Timotius 3:2-5, tambahkan penekanan).

Paulus selanjutnya berkata,

Penatua-penatua [pendeta-pendeta /penilik] yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar. (1 Timotius 5:17, tambahkan penekanan).

Jelaslah, penatua mendapat bagian sebagai pimpinan di gereja.

Penatua yang tidak Alkitabiah (Unscriptural Elders)

Banyak gereja percaya bahwa struktur pimpinannya sesuai Alkitab karena ada beberapa penatua yang mengatur dalam gereja. Masalahnya adalah mereka memiliki konsep keliru tentang penatua. Penatua dipilih secara reguler dan digilir di dalam jemaat. Mereka sering disebut sebagai “Dewan Penatua.” Tetapi, mereka bukanlah para penatua menurut definisi Alkitab. Jika kita perhatikan syarat yang diuraikan oleh Paulus untuk orang yang akan menjadi penatua, hal itu cukup jelas. Paulus menulis bahwa penatua menjabat penuh-waktu, sehingga harus digaji, dan mengajar/berkhotbah dan mengatur jabatan di dalam gereja (lihat 1 Timotius 3:4-5; 5:17-18; Titus 1:9). Hanya sedikit sekali, jika ada, orang yang duduk di “badan penatua” gereja yang memenuhi syarat-syarat itu. Mereka tak dibayar; mereka tidak berkhotbah atau mengajar; mereka tidak bekerja penuh-waktu di gereja; dan mereka jarang tahu cara mengelola satu gereja.

Tata kelola gereja yang tidak Alkitabiah dapat menimbulkan lebih banyak masalah di dalam gereja-gereja lokal dibandingkan hal-hal lain. Ketika orang-orang yang keliru mengelola gereja, maka akan muncul kesulitan. Tata kelola itu dapat menimbulkan konflik, kompromi dan kehancuran total gereja. Struktur pengaturan gereja yang tidak Alkitabiah bagaikan mengundang masuk si Iblis.

Saya tersadar karena saya tengah menulis bagi pendeta-pendeta di gereja-gereja lembaga dan juga di gereja-gereja rumah. Beberapa pendeta gereja lembaga dapat melayani atau menggembalakan gereja-gereja yang telah memiliki struktur pengaturan gereja yang tidak Alkitabiah di mana penatua dipilih dari jemaat. Struktur pengaturan itu biasanya tak dapat diubah tanpa muncul perselisihan.

Saya sarankan kepada pendeta-pendeta itu, dengan pertolongan Allah, untuk sebaik-baiknya merubah struktur penataan gereja dan menghadapi kemungkinan munculnya konflik sesaat, karena konflik nanti tak dapat dihindari jika ia tak berbuat sesuatu. Jika ia berhasil menghadapi kesulitan sesaat, ia akan terhindar dari kesulitan kelak. Jika ia gagal, ia dapat memulai gereja baru dan melakukannya dari awal lagi menurut Alkitab.

Walaupun menyakitkan, akhirnya ia akan menghasilkan buah lebih banyak untuk Kerajaan Allah. Jika mereka yang kini mengatur gerejanya adalah murid-murid sejati Kristus, ia benar-benar punya kesempatan untuk dapat meyakinkan mereka untuk mengubah struktur jika ia dapat meyakinkan para pendeta untuk membuat perubahan yang diperlukan menurut Alkitab.

Pluralitas Penatua? (The Plurality of Elders?)

Sebagian orang menyatakan bahwa penatua selalu disebut dalam Alkitab dalam bentuk jamak, maka tidaklah Alkitabiah bila kita hanya memiliki seorang penatua/pendeta/ penilik yang memimpin kawanan domba. Tetapi, menurut saya, itu bukan bukti kesimpulan. Alkitab memang menyebutkan hal itu di kota-kota tertentu lebih dari yang dilakukan oleh seorang penatua untuk mengawasi jemaat, tetapi it tidak berkata bahwa penatua-penatua itu sama kedudukannya atas satu sidang jemaat. Misalnya, ketika Paulus mengumpulkan para penatua dari Efesus (lihat Kisah Para Rasul 20:17), jelas mereka itu berasal dari satu kota di mana keseluruhan tubuh Kristus terdiri dari ribuan dan mungkin puluhan ribu orang (lihat Kisah Para Rasul 19:19). Jadi, pasti ada banyak jemaat/kawanan domba di Efesus, dan mungkin saja tiap penatua mengawasi satu gereja rumah.

Alkitab tidak menyebut contoh di mana Allah memanggil satu komite untuk melakukan satu tugas. Ketika Ia hendak membebaskan Israel dari Mesir, Ia memanggil hanya satu orang pemimpin, yakni Musa. Orang-orang lain dipanggil untuk membantu Musa, tetapi kedudukan semuanya ada di bawah Musa, dan seperti Musa, masing-masing memiliki tanggung-jawab perorangan atas sub-kelompok tertentu. Pola ini berkali-kali muncul dalam Alkitab. Ketika Allah memiliki tugas, Ia memanggil seseorang untuk bertanggung-jawab, dan Ia memanggil orang-orang lain untuk membantu orang itu.

Jadi, tidak mungkin Allah memanggil sekumpulan penatua yang memiliki kuasa sama untuk mengawasi setiap gereja rumah yang berangotakan duapuluh orang. Tampaknya ini hanya mengundang masalah.

Bukan berarti, setiap gereja rumah harus diawasi oleh hanya satu penatua. Dengan kata lain, jika ada lebih dari satu penatua di sebuah gereja, (para) penatua yang lebih muda dan kurang dewasa rohani harus tunduk kepada penatua tertua dan paling dewasa rohani. Menurut Alkitab, gereja-gereja, bukan sekolah-sekolah Alkitab, yang harus menjadi tempat pelatihan bagi para pendeta/penatua/penilik muda, sehingga mungkin dan bahkan menyenangkan karena ada beberapa penatua/pendeta/penilik di satu gereja rumah, di mana orang yang lebih muda rohani didisiplinkan oleh orang yang lebih tua rohani.

Saya perhatikan gejala ini bahkan di gereja-gereja yang diawasi oleh para penatua “yang sederajat”. Selalu ada seseorang yang dihormati oleh penatua-penatua lain. Atau ada seorang yang dominan selagi orang-orang lain lebih pasif. Jika tidak, akhirnya akan timbul masalah. Nyata, badan/komite selalu memilih seorang ketua. Ketika kelompok orang yang sederajat memulai satu tugas, mereka harus punya satu pemimpin. Maka, itu ada di gereja.

Lagipula, Paulus berkata bahwa tanggung-jawab penatua setara dengan tanggung-jawab kepala keluarga dalam 1 Timotius 3:4-5. Penatua harus menata rumah-tangganya, jika ia hendak memenuhi syarat untuk menata gereja. Tetapi seberapa baik penataan satu keluarga dengan dua bapak? Saya ragu, nanti akan timbul masalah.

Para penatua/pendeta/penilik harus punya satu jaringan dalam organisasi lokal yang lebih besar sehingga ada saling tanggung-jawab antar sesama penatua yang dapat membantu jika timbul masalah yang perlu bantuan mereka. Paulus menulis tentang “sidang penatua” (lihat 1 Timotius 4:14), yang harus melakukan pertemuan presbuteros (para penatua) dan mungkin orang-orang lain yang memiliki karunia-karunia pelayan. Jika ada seorang rasul pendiri, ia dapat juga membantu jika timbul masalah dalam satu gereja lokal akibat kesalahan penatua. Ketika pendeta gereja lembaga melanggar aturan, maka timbullah masalah besar oleh karena struktur gereja. Sebuah gedung dan program-program harus dipertahankan. Tetapi, gereja-gereja rumah seketika dapat dibubarkan ketika pendeta melanggar aturan. Para anggota hanya dapat bergabung dengan gereja lain.

Kuasa untuk Melayani (Authority to Serve)

Karena Allah memberikan otoritas rohani dan pemerintahan kepada pendeta di dalam jemaat, hal ini tak memberikannya hak untuk mendominasi umatnya. Ia bukanlah Tuhan mereka —Yesus adalah Tuhan mereka. Mereka bukanlah kawanan dombanya —mereka adalah kawanan domba Allah.

Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. (1 Petrus 5:2-4, tambahkan penekanan).

Ingatlah, suatu hari di hadapan tahta penghakiman Kristus, setiap pendeta harus memberikan laporan pelayanannya.

Selain itu, dalam urusan keuangan, pendeta/penatua/penilik tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Jika ada uang yang dikumpulkan secara teratur atau dari mana saja asalnya dengan alasan apapun, orang-orang lain dalam tubuh Kristus harus bertanggung-jawab agar tidak timbul kecurigaan tentang pengelolaan dana (lihat 2 Korintus 8: 18-23). Pengelolaan itu bisa saja dilakukan oleh satu kelompok yang dipilih atau ditunjuk.

Menggaji Penatua (Paying Elders)

Alkitab jelas menyatakan bahwa penatua/penilik/pendeta harus diberi upah, karena mereka bekerja sepenuh waktu di gereja. Paulus menulis,

Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar. Bukankah Kitab Suci berkata: “Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik,” dan lagi “seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (1 Timotius 5:17-18).

Masalahnya jelas —Paulus bahkan memakai kata upah. Bila diperhatikan konteksnya, maka kita paham frasenya yang kurang jelas bahwa para penatua yang memimpin layak mendapat kehormatan dua kali lipat. Di ayat-ayat sebelumnya, Paulus jelas menulis tentang tanggung-jawab gereja untuk memberi bantuan dana bagi para janda, dan ia memulainya dengan memakai ungkapan yang sama: “Hormatilah janda-janda yang benar-benar janda.” (lihat 1Timotius 5:3-16). Sehingga dalam konteks ini, menghormati berarti memberi bantuan dana. Para penatua yang memimpin dengan baik dianggap layak dihormati dua kali lipat, dengan menerima sedikitnya dua kali jumlah dari yang diberikan kepada para janda dan lebih banyak lagi jika mereka punya anak-anak yang perlu dibantu.

Gereja lembaga di seluruh dunia mendukung pendeta-pendetanya (dan bahkan di negara-negara miskin), tetapi sepertinya banyak gereja rumah di seluruh dunia, terutama di negara-negara Barat, tidak mendukung para pendetanya. Saya yakin, ada banyak motif orang-orang di Barat untuk bergabung dengan gereja-gereja rumah karena mereka benar-benar berontak di dalam hatinya, dan mereka mencari dan menemukan bentuk Kekristenan yang paling sedikit menuntut pengorbanan mereka di atas bumi. Mereka berkata bahwa mengikuti gereja rumah karena ingin lari dari ikatan gereja lembaga, tetapi mereka benar-benar ingin lari dari komitmen mereka kepada Kristus. Mereka temukan gereja-gereja yang tidak meminta komitmen keuangan, gereja-gereja yang menentang apa yang Kristus harapkan dari murid-muridNya. Orang yang ilahnya adalah uang dan yang terbukti demikian adanya dengan menumpuk harta di bumi bukannya di sorga bukanlah murid sejati Kristus (lihat Matius 6:19-24; Lukas 14:33). Jika Kekristenan seseorang tidak mempengaruhi perilakunya terhadap uangnya, maka ia sama sekali bukan orang Kristen.

Gereja-gereja rumah yang menyatakan Alkitab sebagai dasarnya harus mendukung para pendeta mereka, juga memelihara kaum miskin dan mendukung misi. Dalam hal memberi dan keuangan, gereja-gereja rumah pasti lebih unggul dibandingkan gereja-gereja lembaga, karena mereka tak perlu membiayai gedung dan tak perlu menggaji staf. Hanya diperlukan sepuluh orang untuk memberi perpuluhan demi mendukung seorang pendeta. Sepuluh orang yang memberi 20% dari pendapatannya dapat mendukung sepenuhnya seorang pendeta dan misionaris lain yang standar hidupnya sama dengan pendeta mereka.

Apa tugas Pelayan? (What do Ministers do?)

Andaikan kita bertanya kepada rata-rata jemaat yang hadir di gereja, “Hal-hal berikut ini menjadi tugas siapa?”

Siapa yang harus menginjili orang yang belum selamat? Siapa yang harus hidup suci? Siapa yang harus berdoa? Siapa yang harus memberi peringatan, memberi dorongan dan membantu orang-orang percaya lainnya? Siapa yang harus mengunjungi orang-orang sakit? Siapa yang harus menumpangkan tangan dan menyembuhkan orang-orang sakit? Siapa yang harus menanggung beban orang lain? Siapa yang harus mengerjakan karunia-karunianya atas nama tubuh Kristrus? Siapa yang harus menyangkal dirinya, berkorban demi Kerajaan Allah? Siapa yang harus melakukan pemuridan dan membaptiskan murid-murid, sambil mengajar mereka untuk menaati perintah-perintah Kristus?

Bisanya banyak jemaat gereja menjawab dengan yakin, “semua itu tanggung-jawab pendeta.” Benarkah demikian?

Menurut Alkitab, setiap orang percaya harus memberitakan Injil kepada orang yang belum selamat:

Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat. (1 Petrus 3:15).

Setiap orang percaya harus hidup suci:

Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. (1 Petrus 1:15-16)

Setiap orang percaya harus berdoa:

Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. 1 Tesalonika 5:16-17).

Setiap orang percaya harus menasehati, menegur dan membela sesama orang percaya:

Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara, tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang. (1 Tesalonika 5:14, tambahkan penekanan).

Setiap orang percaya harus mengunjungi orang sakit:

Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. (Matius 25:36).

Lebih Lagi Tanggung-jawab (More Responsibilities)

Tidak cukup. Setiap orang percaya harus menumpangkan tangan untuk kesembuhan orang-orang sakit:

“Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi namaKu, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletidak akan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.” (Markus 16:17-18, tambahkan penekanan).

Setiap orang percaya harus saling menanggung beban orang-orang percaya lain:

Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. (Galatia 6:2).

Setiap orang percaya harus memfungsikan karunia-karunianya atas nama orang lain:

Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita. (Roma 12:6-8).

Setiap orang percaya harus menyangkali dirinya, berkorban demi pemberitaan Injil:

“Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-muridNya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal diri nya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya”. (Markus 8:34-35, tambahkan penekanan).

Dan, setiap orang percaya harus melakukan pemuridan dan membaptiskan murid-murid, mengajari mereka untuk menaati perintah-perintah Kristus:

Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. (Matius 5:19, tambahkan penekanan).

Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. (Ibrani 5:12, tambahkan penekanan).

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:19-20, tambahkan penekanan).

[2]

 

Semua tanggung-jawab itu diberikan kepada setiap orang percaya, namun sebagian anggota gereja menganggap tugas-tugas itu hanya diberikan kepada pendeta! Alasannya mungkin karena pendeta sendiri sering menganggap tugas-tugas itu sebagai tanggung-jawabnya.

Jadi, Apa yang Harus Dilakukan oleh Seorang Pendeta? (So What are Pastors Supposed to do?)

Bila semua tanggung-jawab diberikan kepada setiap orang percaya, lalu apa yang harus dilakukan oleh pendeta? Sederhana saja, pendeta dipanggil untuk memperlengkapi orang-orang percaya yang kudus untuk melakukan pekerjaan pelayanan tersebut (lihat Efesus 4:11-12). Pendeta dipanggil untuk mengajar orang-orang percaya yang kudus untuk menaati semua perintah Kristus (lihat Matius 28:19-20) melalui pengajaran dan teladan (lihat 1 Timotius 3:2; 4:12-13; 5:17; 2 Timotius 2:2; 3:16-4:4; 1 Petrus 5:1-4).

Alkitab tak dapat memperjelas hal itu. Peran pendeta menurut Alkitab bukanlah untuk mengumpulkan sebanyak mungkin orang pada ibadah pagi hari Minggu. Perannya adalah ”memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus”. (Kolose 1:28). Pendeta yang Alkitabiah tidak memuaskan keinginan telinga orang-orang (lihat 2 Timotius 4:3); mereka mengajar, mendidik orang dalam kebenaran, memberi nasehat, menegur, memperbaiki, mengecam dan menghardik, yang semuanya berdasarkan Firman Tuhan (lihat 2 Timotius 3:16-4:4).

Paulus membuat persyaratan bagi seseorang untuk menjabat pendeta dalam surat pertamanya kepada Timotius. Empatbelas dari limabelas suratnya terkait dengan karakter pendeta, yang menunjukkan bahwa yang terpenting adalah teladan gaya hidupnya:

Benarlah perkataan ini: “Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.” Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. (Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah?) Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis. (1 Timotius 3:1-7).

Membandingkan semua syarat tersebut dengan syarat-syarat yang terdapat dalam daftar gereja-gereja lembaga yang mencari pendeta baru menjadi tanda adanya masalah di banyak gereja. Mereka mencari manager karyawan/ penyelenggara hiburan/ narasumber/ administrator/ psikolog/ direktur kegiatan dan program/ pengumpul dana/ sahabat semua orang/ pekerja. Mereka ingin orang untuk “melakukan pelayanan gereja.” Tetapi, penilik menurut Alkitab haruslah orang yang berkarakter unggul dan berkomitmen kepada Kristus, hamba yang sejati, karena tujuannya adalah mencari orang yang akan mengikutinya. Ia harus berkata kepada pengikutnya, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” (1 Korintus 11:1).

Untuk penelitian lanjutan tentang jabatan pendeta, lihat juga Kisah Para Rasul 20:28-31; 1 Timotius 5:17-20; dan Titus 1:5-9.

Jabatan Diaken (The Office of Deacon)

Pada akhirnya, saya ingin sebutkan tentang diaken. Jabatan diaken adalah satu-satunya jabatan dalam gereja lokal, dan jabatan itu ada di antara lima karunia pelayan. Diaken tak punya kuasa memerintah dalam gereja seperti halnya penatua. Bahasa Gerika yang diterjemahkan sebagai diaken adalah diakonos, yang arti sebenarnya adalah “hamba.”

Tujuh orang yang ditunjuk untuk tugas harian memberi makan para janda di jemaat Yerusalem biasanya dianggap sebagai diaken-diaken pertama (lihat Kisah Para Rasul 6:1-6). Mereka dipilih oleh jemaat dan ditugaskan oleh rasul-rasul. Dua dari mereka, Filipus dan Stefanus, kemudian diangkat oleh Allah menjadi penginjil yang kuat.

Diaken juga dibicarakan dalam 1 Timotius 3:8-13 dan Filipi 1:1. Tampaknya jabatan ini dapat diisi oleh seorang pria atau wanita (lihat 1 Timotius 3:11).

 


[1]

Ungkapan ini hanyalah cara lain untuk mengatakan, “Untuk melakukan pemuridan of Yesus Kristus.”

[2]

Jika murid-murid Yesus diharapkan mengajar murid-murid mereka untuk menaati segala sesuatu yang telah Ia perintahkan, maka mereka selanjutnya akan mengajar murid-murid mereka untuk melakukan pemuridan sendiri, dengan membaptis dan mengajar mereka untuk menaati semua yang Kristus perintahkan. Sehingga, pemuridan, pembaptisan dan pengajaran bagi murid-murid menjadi perintah berkelanjutan yang mengikat setiap murid berikutnya.