Bab Tigapuluh (Chapter Thirty)

Mitos Modern tentang Peperangan Rohani, Bagian 1 (Modern Myths about Spiritual Warfare, Part 1)

 

Pada tahun-tahun terakhir ini, peperangan rohani menjadi pokok bahasan yang makin populer di kalangan gereja-gereja. Tetapi, banyak pengajaran bertentangan dengan Alkitab. Sehingga, banyak pelayan di seluruh dunia mengajarkan dan mempraktekkan peperangan rohani yang tak pernah Alkitab sebutkan. Tentu ada peperangan rohani yang Alkitabiah, dan harus dipraktekkan dan diajarkan oleh setiap pelayan pemuridan.

Pada bab ini dan bab berikut, saya akan bahas sebagian kesalahpahaman yang paling lazim tentang Setan dan peperangan rohani. Inilah ringkasan dari keseluruhan buku saya berjudul, Modern Myths about Satan and Spiritual Warfare (Mitos-Mitos Modern tentang Satan dan Peperangan Rohani). Buku itu dapat dibaca seluruhnya dalam Bahasa Inggris pada situs kami www.shepherdserve.org.

Mitos #1: “Dalam kekekalan masa lalu, Allah dan Setan terlibat dalam peperangan besar. Di masa kini, peperangan di alam semesta masih berlangsung antara Allah dan Setan.”

Mitos unik ini bertentangan dengan satu kebenaran yang paling teguh dan mendasar tentang Allah yang terungkap dalam Alkitab —bahwa Ia maha-kuasa, atau serba-bisa.

Yesus berkata bahwa segala sesuatu adalah mungkin bersama Allah (lihat Matius 19:26). Yeremia menegaskan bahwa tak ada hal yang terlalu sulit bagiNya (lihat Yeremia 32:17). Tak seorangpun atau kekuatan apapun dapat menghentikanNya dalam memenuhi rencana-rencanaNya (lihat 2 Tawarikh 20:6; Ayub 41:10; 42:2). Melalui Yeremia Allah bertanya, “Sebab siapakah yang seperti Aku? … Siapakah gerangan gembala yang tahan menghadapi Aku?” (Yeremia 50:44). Jawabannya adalah tak seorangpun, Setanpun tidak.

Jika Allah benar-benar maha-kuasa seperti penegasan ayat-ayat Alkitab di atas, maka untuk berkata bahwa Allah dan Setan berseteru dulu dan sekarang, berarti Ia tidak maha-kuasa. Jika Allah kalah satu ronde, disudutkan oleh Setan atau harus melawannya dalam waktu singkat, maka Ia tidaklah maha-kuasa sesuai pernyataanNya tentang siapa diriNya.

Komentar Yesus mengenai Kuasa Setan (Kristus’s Commentary on Setan’s Power)

Yesus pernah berkata tentang kejatuhan Setan dari sorga. Hal ini membuat kita memahami berapa kekuatan Setan dibandingkan kekuatan Allah yang maha-kuasa:

Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata: “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit”. (Lukas 10:17-18).

Ketika Allah maha-kuasa memerintahkan pengusiran Setan dari sorga, Setan tak sanggup melawan. Yesus memilih metafora seperti kilat untuk menggambarkan kecepatan jatuhnya Setan. Ia jatuh bukan seperti tetesan, tetapi seperti kilat. Setan pernah ada di sorga satu detik, dan detik berikutnya —BOOM!— ia lenyap!

Jika, Allah dapat mengusir Setan dengan cepat dan mudah, tidaklah mengejutkan bahwa hamba-hambaNya yang ditugaskan juga dapat mengusir roh-roh jahat dengan cepat dan mudah. Seperti halnya murid-murid pertama Kristus, banyak orang Kristen kini menghormati kuasa Iblis dan belum paham bahwa kuasa Allah sangat jauh lebih besar. Allah adalah Pencipta, dan Setan hanyalah ciptaan. Setan bukan tandingan Allah.

Perang Yang Tak Pernah Ada (The War That Never Was )

Walaupun tampak aneh, kita perlu pahami bahwa Allah dan Setan tidak berseteru, tak pernah berseteru, dan tidak akan pernah berseteru. Ya, Allah dan Setan memiliki agenda-agenda berbeda, dan dapat dikatakan bahwa keduanya berseteru. Tetapi ketika keduanya saling berseteru, dan Allah jauh lebih berkuasa dibandingkan Setan, maka konflik-konflik di antara keduanya dianggap sebagai peperangan. Bisakah cacing tanah berseteru dengan gajah? Seperti halnya cacing, Setan yang lemah berupaya melawan Pribadi yang sangat jauh lebih berkuasa. Perlawanannya cepat dikalahkan, dan ia diusir dari sorga “secepat kilat.” Tak ada peperangan —hanya ada pengusiran.

Jika Allah maha-kuasa, maka Setan tidak sedikitpun sanggup menghalangi Allah untuk melakukan kehendakNya. Dan jika Allah izinkan Setan untuk berbuat sesuatu, akhirnya tindakan itu hanya untuk menggenapi kehendak ilahiNya. Kebenaran itu akan menjadi sangat jelas ketika kita selidiki ayat-ayat Alkitab tentang pokok bahasan di atas.

Yang menarik adalah kuasa tertinggi Allah atas Setan yang tidak hanya ditunjukkan di masa lalu tetapi akan juga ditunjukkan di masa depan. Kita baca dalam kitab Wahyu bahwa seorang malaikat akan mengikat Setan dan memenjarakannya selama seribu tahun (lihat Wahyu 20:1-3). Kejadian nanti itu tidak dianggap sebagai peperangan antara Allah dan Setan, lebih dari pengusiran Setan dari sorga yang dianggap sebagai peperangan. Perlu dicatat bahwa Setan tak berkuasa menghancurkan penjaranya dan hanya akan dilepaskan ketika maksud Allah dipenuhi (lihat Wahyu 20:7-9).

Bagaimana Dengan “Perang di Sorga” di Masa Depan? (What About the Future “War in Heaven”?)

Jika benar Allah dan Setan tidak berperang, tak pernah berperang, dan tak akan pernah berperang, lalu mengapa kitab Wahyu bercerita tentang perang nanti di sorga yang melibatkan Setan (lihat Wahyu 12:7-9)? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah.

Perhatikan, perang itu akan berlangsung antara Mikhael dengan para malaikatnya dan Setan dengan para malaikatnya. Dalam perang itu, tak disebutkan keterlibatan Allah. Jika Ia terlibat, konflik tidak dapat disebut sebagai perang, karena Allah maha-kuasa, yang dengan mudah dapat memadamkan perlawanan di suatu saat seperti yang telah Ia buktikan.

Para malaikat, termasuk Mikhael, tidaklah maha-kuasa, sehingga konflik mereka dengan Setan dan para malaikatnya dapat digambarkan sebagai perang karena akan ada konflik nyata selama waktu tertentu. Namun, dalam keadaan lebih kuat, para malaikatNya akan mengalahkan Setan dan gerombolannya.

Mengapa Allah tidak terlibat secara pribadi dalam peperangan itu, dengan membiarkan para malaikatNya? Saya tak tahu. Tentu, Allah maha-tahu sadar bahwa para malaikatNya dapat memenangkan perang, sehingga mungkin Allah tak perlu terlibat secara pribadi.

Saya yakin, Allah dengan mudah dan cepat sanggup mengenyahkan bangsa Kanaan yang jahat di zaman Yosua, tetapi Ia memilih menugaskan bangsa Israel. Yang Allah dapat lakukan dalam beberapa detik, Ia mau bangsa Israel melakukannya dengan susah payah selama berbulan-bulan. Mungkin Allah lebih senang dengan cara itu karena peperangan itu memerlukan iman bangsa Israel. Mungkin itu sebabnya Ia secara pribadi takkan terlibat dalam peperangan di sorga nanti. Tetapi, Alkitab tidak mengatakan hal itu.

Hanya karena akan ada perang di sorga nanti antara Mikhael dibantu para malaikatnya dan Setan dibantu para malaikatnya, tak ada alasan untuk kita berpikir bahwa Allah tidak maha-kuasa —dan peperangan Israel di Kanaan bukan alasan pemikiran kita bahwa Allah tidak maha-kuasa.

Apakah Setan tidak Dikalahkan oleh Yesus di Kayu Salib (Was Not Satan Defeated by Jesus on the Cross?)

Akhirnya, berkenaan dengan mitos pertama tentang peperangan Allah dan Setan, saya simpulkan dengan memahami pernyataan: Yesus mengalahkan Setan di kayu salib. Alkitab sebenarnya tak pernah berkata bahwa Yesus mengalahkan Setan di kayu salib.

Saat kita berkata bahwa Yesus mengalahkan Setan, seolah Yesus dan Setan berperang, yang berarti Allah tidak maha-kuasa dan Setan di bawah kuasa penuh Allah. Ada cara menurut Alkitab dalam menggambarkan kejadian terhadap Setan ketika Yesus menyerahkan hidupNya di Kalvari. Misalnya, Alkitab bercerita bahwa melalui kematian- Nya, Ia membuat “dia tak berdaya yang memiliki kuasa atas maut” (lihat Ibrani 2:14-15).

Sejauh mana Yesus membuat Setan tak berdaya? Jelas, Setan sama sekali bukan tanpa kekuatan, atau jika tidak rasul Yohanes tak pernah menuliskan, “Seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat.” (1 Yohanes 5:19, tambahkan penekanan). Menurut Ibrani 2:14-15, Setan dibuat tak berdaya dalam hal “kuasa atas maut.” Apa artinya?

Alkitab mengacu pada tiga jenis kematian: kematian rohani, kematian tubuh, dan kematian kedua.

Seperti kita pelajari pada bab sebelumnya, kematian kedua (atau kematian kekal) disebutkan dalam Wahyu 2:22; 20:6, 14; 21:8, dan saat itu orang-orang tidak percaya akan dilemparkan ke dalam lautan api.

Kematian tubuh terjadi ketika roh meninggalkan tubuh, lalu tubuh jadi tak berfungsi.

Kematian rohani menggambarkan kondisi roh manusia yang belum dilahirkan kembali melalui Roh Kudus. Orang yang mati rohani memiliki roh yang jauh dari Allah, roh yang memiliki perangai dosa, roh yang sebagian menyatu dengan Setan. Efesus 2:1-3 membuat gambaran tantang orang yang mati rohani:

Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalam nya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.

Paulus menulis bahwa orang-orang Kristen di Efesus sudah mati dalam segala pelanggaran dan dosa. Jelas ia tak menyebutkan kematian tubuh karena ia menyurati orang-orang yang tubuhnya masih hidup. Karena itu, pastilah ia berkata bahwa mereka sudah mati, secara rohani.

Apa yang membuat mereka mati rohani? “Berbagai pelanggaran dan dosa mereka”. Mengingat Allah berkata kepada Adam bahwa pada hari ia tidak taat, ia akan mati (lihat Kejadian 2:17). Allah tidak berbicara tentang kematian tubuh, tetapi kematian rohani, karena Adam tidak mati tubuh pada hari ia memakan buah terlarang. Sebaliknya, ia mati rohani pada hari itu, dan ia tidak mati tubuh sampai ratusan tahun kemudian.

Selanjutnya Paulus berkata bahwa jemaat Efesus, sebagai orang-orang mati rohani, telah berjalan dalam (atau melakukan) berbagai pelanggaran dan dosa, dengan mengikuti “arus dunia” (melakukan hal yang orang lain lakukan) dan mengikuti “penguasa di udara.”

Siapakah “penguasa di udara”? Ialah Setan, yang memerintah wilayah kegelapan sebagai penguasa utama atas roh-roh jahat lainnya yang menghuni udara. Roh-roh jahat itu disebutkan dengan berbagai kedudukan dalam satu pasal kitab Efesus (Efesus 6:12).

Paulus berkata bahwa raja kegelapan ialah “roh yang kini bekerja pada anak-anak yang tidak taat.” Ungkapan “anak-anak yang tidak taat” hanyalah gambaran lain bagi semua orang tidak percaya, yang menekankan perangai berdosa mereka. Paulus lalu berkata bahwa mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang harus dimurkai” (Efesus 2:3, tambahkan penekanan). Dan ia berkata bahwa Setan sedang bekerja di dalam diri mereka.

Iblis Menjadi Bapa (The Devil for a Dad)

Disadari atau tidak, orang yang belum selamat sedang mengikuti Setan dan menjadi warga kerajaan kegelapan. Mereka memiliki sifat jahat dan egois di dalam roh-roh mereka yang mati rohani. Setan adalah tuhan dan bapa rohani mereka. Karena itu Yesus pernah berkata kepada beberapa pemimpin agama yang belum selamat: “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu” (Yohanes 8:44).

Itulah gambaran tak menyenangkan dari orang yang belum dilahirkan kembali! Ia hidup dalam keadaan mati rohani, penuh dengan perangai Setan, yang menuju pada kematian fisik yang pasti datang yang sangat ditakutinya; dan apakah disadari atau tidak, kelak ia akan mengalami kematian terburuk, kematian kekal, karena ia akan dilemparkan ke dalam lautan api.

Yang sangat penting dipahami adalah bahwa kematian rohani, kematian fisik dan kematian kekal adalah wujud murka Allah atas manusia yang berdosa, dan Setan ikutserta dalam semuanya itu. Allah izinkan Setan memerintah atas kerajaan kegelapan dan atas semua orang yang “menyukai kegelapan” (Yohanes 3:19). Sehingga, Allah berkata kepada Setan, “Melalui kuasamu, engkau dapat menawan mereka yang tidak berserah kepadaKu.” Setan menjadi alat murka Allah terhadap pemberontakan manusia. Karena semua telah berdosa, semuanya ada di bawah kekuasaan Setan, yang dikuasai oleh perangainya dalam roh-roh mereka dan tertawan untuk melakukan kehendaknya (lihat 2 Timotius 2:26).

Tebusan untuk Keadaan Kita yang Tertawan (The Ransom for Our Captivity)

Syukur kepada Allah bahwa Ia berbelas-kasihan kepada umat manusia, dan karena belas-kasihNya itu, tak seorangpun harus hidup tanpa belas-kasihan. Karena kematian Yesus sebagai tebusan memenuhi tuntutan keadilan ilahi, semua yang percaya pada Kristus dapat terhindar darii kematian rohani dan tawanan Setan karena Allah tak lagi memurkai mereka. Ketika kita percaya pada Tuhan Yesus, Roh Kudus memasuki roh kita dan melenyapkan perangai Setan, maka roh kita akan dilahirkan kembali (lihat Yohanes 3:1-16) dan memungkinkan kita untuk berperangai ilahi dari Allah (lihat 2 Petrus 1:4).

Kembali kepada pertanyaan awal kita. Ketika penulis kitab Ibrani menyatakan bahwa melalui kematianNya, Yesus menyebabkan “tak berdaya dia yang memiliki kuasa atas kematian, yakni Iblis”; maksud penulis kitab Ibrani adalah bahwa kuasa kematian rohani, yang Setan miliki atas setiap orang yang belum selamat, telah dipatahkan bagi semua mereka yang “di dalam Kristus.” Kita dijadikan hidup secara rohani oleh karena Kristus telah membayar hutang atas dosa-dosa kita.

Lagipula, karena kita tak lagi mati rohani dan tidak dalam kuasa Setan, tak perlu takut akan kematian tubuh, karena kita tahu bahwa warisan yang mulia dan kekal menanti kita.

Akhirnya, oleh karena Yesus, kita telah dibebaskan dari penderitaan atas kematian kedua, yakni terbebas dari pembuangan ke dalam lautan api.

Apakah Yesus mengalahkan Iblis di kayu salib? Tidak, karena tak ada peperangan antara Yesus dan Setan. Tetapi Yesus membuat Setan tak berkuasa atas kematian rohani, oleh mana Setan menawan orang yang belum selamat dalam dosa. Setan masih memegang kuasa kematian rohani atas orang yang belum selamat, tetapi Setan tak berdaya atas orang-orang yang ada di dalam Kristus.

Perlucutan terhadap Para Penguasa (The Disarming of the Powers)

Hal itu juga membantu kita untuk memahami pernyataan Paulus tentang “perlucutan pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa” yang terdapat dalam Kolose 2:13-15:

Kamu juga, meskipun dahulu mati [secara rohani] oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama denganNya, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakanNya dengan memakukannya pada kayu salib: Ia telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenanganNya atas mereka. (tambahkan penekanan).

Paulus memakai metafora dalam perikop ini. Pertama, ia bandingkan perasaan bersalah kita dengan “surat hutang”. Kristus sudah melunasi hutang yang tak sanggup kita bayar; Ia menebus hutang-dosa kita di kayu salib.

Kedua, seperti raja-raja zaman dulu melucuti persenjataan dari musuh-musuh yang kalah dan dengan penuh kemenangan mengarak mereka di jalan-jalan kota, sehingga kematian Kristus adalah kemenangan atas ”pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa”, yakni roh-roh jahat kelas bawah yang memerintah manusia-manusia yang memberontak, dengan menjadikan mereka sebagai tawanan.

Berdasarkan perikop itu, tak dapatkah kita katakan bahwa Kristus mengalahkan Setan? Mungkin, namun ada syaratnya. Kita harus ingat bahwa pada perikop itu, Paulus menulis dengan memakai metafora. Dan setiap metafora punya maksud, di mana kemiripan menjadi ketidakmiripan, seperti yang kita pelajari pada bab Penafsiran Alkitab.

Kita harus hati-hati menafsirkan metafora Paulus pada Kolose 2:13-15. Jelas, tak ada “surat hutang” nyata yang mencantumkan semua dosa kita yang tertulis dalam surat yang terpaku di salib. Namun, surat itu adalah simbol perbuatan Yesus.

Demikian juga, dalam arti sebenarnya, Yesus tidak melucuti pedang dan perisai dari roh-roh jahat yang menguasai umat manusia yang belum selamat, dan tidak mengarak mereka di depan banyak orang di jalan-jalan. Bahasa yang Paulus pakai adalah simbol perbuatan Yesus bagi kita. Kita ditawan oleh roh-roh jahat. Tetapi, dengan kematianNya untuk dosa-dosa kita, Yesus membebaskan kita dari tawanan. Dalam arti sebenarnya, Yesus tidak berperang melawan roh-roh jahat dan roh-roh itu tidak berperang melawanNya. Dengan persetujuan Allah, roh-roh jahat itu menguasai seluruh kehidupan kita. ”Peralatan perang” roh-roh itu diarahkan ke kita, bukan kepada Kristus. Tetapi, Yesus “melucuti” roh-roh itu. Roh-roh itu tak dapat menawan kita lebih lama lagi.

Janganlah pikir bahwa ada peperangan selama berabad-abad lamnya antara Yesus dan roh-roh jahat dari Setan, dan akhirnya Yesus memenangkan peperangan di atas salib. Jika kita berkata bahwa Yesus mengalahkan Iblis, yakinlah bahwa kita mengerti bahwa Ia mengalahkan Iblis untuk kita, dan bukan untuk diriNya.

Saya pernah mengejar seekor anjing yang menakuti bayi perempuan saya di halaman rumah. Dapat dikatakan, saya mengalahkan anjing itu, tetapi harap anda pahami bahwa anjing itu bukan ancaman bagi saya, tetapi bagi anak saya. Sama halnya dengan Yesus dan Setan. Yesus mengusir Setan, yang tak menghiraukan Dia, agar menjauhi kita.

Bagaimana Ia mengusir Setan? Ia melakukannya dengan menanggung hukuman atas dosa-dosa kita, sehingga kita terbebas dari perasaan bersalah di hadapan Allah, dan kita terbebas dari murka Allah; dan roh-roh jahat, yang Allah izinkan untuk memperbudak manusia yang suka berontak, tak lagi berhak memperbudak kita. Puji Tuhan untuk itu!

Dengan demikian kita menuju ke tempat yang tepat untuk menguji mitos kedua.

Mitos #2: “Ada peperangan yang terus-menerus dalam alam roh antara para malaikat Tuhan dan para malaikat Setan. Hasil peperangan itu ditentukan oleh peperangan rohani.”

Kita sudah belajar dari kitab Wahyu bahwa suatu hari akan ada perang di sorga antara Mikhael yang dibantu para malaikatnya dan Setan yang dibantu para malaikatnya. Juga, hanya ada satu perang malaikat yang Alkitab sebutkan, yakni dalam Daniel pasal 10.

[1]

 

Daniel berkata bahwa ia sedang berduka selama tiga minggu di tahun ketiga pemerintahan raja Sirus dari Persia, ketika muncul seorang malaikat kepadanya di pinggir Sungai Tigris. Kunjungan malaikat itu hendak memberi pemahaman kepada Daniel tentang masa depan Israel, dan kita sudah pelajari perkataan kepada Daniel pada bab sebelumnya tentang Pengangkatan dan Akhir Zaman. Selama percakapan antara Daniel dan malaikat tanpa nama itu, malaikat itu berkata kepada Daniel:

Lalu katanya kepadaku: “Janganlah takut, Daniel, sebab telah didengarkan perkataanmu sejak hari pertama engkau berniat untuk mendapat pengertian dan untuk merendahkan dirimu di hadapan Allahmu, dan aku datang oleh karena perkataanmu itu. Pemimpin kerajaan orang Persia berdiri dua puluh satu hari lamanya menentang aku; tetapi kemudian Mikhael, salah seorang dari pemimpin-pemimpin terkemuka, datang menolong aku, dan aku meninggalkan dia di sana berhadapan dengan raja-raja orang Persia. (Daniel 10:12-13, tambahkan penekanan).

Daniel paham bahwa doanya telah didengar tiga minggu sebelum pertemuannya dengan malaikat itu, tetapi malaikat itu membutuhkan waktu tiga minggu untuk menemui Daniel. Penundaan kedatangan malaikat itu disebabkan oleh perlawanan “pemimpin kerajaan orang Persia”. Tetapi, malaikat itu sanggup melewatinya ketika Mikhael, “salah seorang penghulu malaikat”, datang membantunya.

Ketika malaikat hampir saja meninggalkan Daniel, malaikat itu berkata kepadanya,

Lalu katanya: “Tahukah engkau, mengapa aku datang kepadamu? Sebentar lagi aku kembali untuk berperang dengan pemimpin orang Persia, dan sesudah aku selesai dengan dia, maka pemimpin orang Yunani akan datang. Namun demikian, aku akan memberitahukan kepadamu apa yang tercantum dalam Kitab Kebenaran. Tidak ada satupun yang berdiri di pihakku dengan tetap hati melawan mereka, kecuali Mikhael, pemimpinmu itu (Daniel 10:20-21).

Beberapa fakta menarik dapat dipelajari dari perikop Alkitab di atas. Kita bisa pahami lagi bahwa para malaikat Allah tidak maha-kuasa, dan mereka bisa ikut memerangi para malaikat jahat.

Kedua, kita pahami bahwa beberapa malaikat (seperti Mikhael) lebih kuat dibandingkan malaikat-malaikat lain (seperti malaikat yang berbicara kepada Daniel).

Pertanyaan yang Tak Sanggup Dijawab (Questions for Which We Have No Answers)

Kita bisa bertanya “Mengapa Allah tidak mengutus Mikhael dengan pesan untuk Daniel pertama-tama sehingga tak terjadi penundaan tiga minggu?” Faktanya, Alkitab tidak menyatakan penyebab Allah mengutus malaikat yang Ia tahu pasti tak akan sanggup mengalahkan “pemimpin orang Persia” tanpa bantuan Mikhael. Nyatanya, kita tak tahu mengapa Allah memakai siapapun malaikat untuk membawa pesan kepada seseorang! Mengapa tidak Ia pergi secara pribadi, atau berbicara langsung kepada Daniel, atau membawa sementara Daniel ke sorga untuk berkata kepadanya? Entahlah.

Tetapi apakah perikop itu membuktikan bahwa ada peperangan yang berkelanjutan dalam alam roh antara para malaikat Allah dan para malaikat Setan? Tidak, terbukti bahwa, ribuan tahun lalu terjadi satu kali peperangan selama tiga minggu antara salah satu malaikat lemah dari Allah dan salah satu malaikat Setan yang bernama “pemimpin kerajaan orang Persia”; peperangan itu, jika Allah kehendaki, tak akan mungkin pernah terjadi. Satu-satunya peperangan malaikat yang disebutkan dalam seluruh Alkitab adalah peperangan nanti di sorga, yang terdapat dalam kitab Wahyu. Hanya itu. Mungkin sudah ada peperangan lain antar malaikat, tetapi kita hanya bisa menduga begitu.

Mitos Berdasarkan Mitos (A Myth Based Upon a Myth)

Apakah kisah Daniel dan pemimpin kerajaan orang Persia membuktikan bahwa peperangan rohani kita dapat menentukan hasil peperangan malaikat? Lagi-lagi, ide itu berasumsi (berdasarkan beberapa ayat Alkitab) bahwa ada peperangan malaikat yang rutin terjadi. Kita menduga bahwa, ya, sering terjadi peperangan malaikat. Apakah kisah Daniel itu membuktikan bahwa peperangan rohani kita dapat menentukan hasil peperangan malaikat yang mungkin benar-benar terjadi?

Pertanyaan yang sering diajukan oleh mereka yang menyampaikan mitos itu adalah, “Bagaimana bila Daniel berhenti mencari Tuhan setelah sehari?” Tentu, jawaban atas pertanyaan itu tak seorangpun tahu, karena faktanya Daniel tidak berhenti mencari Allah dalam doa sampai tibanya malaikat yang tak bernama itu. Implikasi pertanyaan itu adalah memberikan keyakinan kepada kita bahwa melalui peperangan rohani yang terus berlanjut, Daniel adalah kunci kepada terobosan dari malaikat yang tak bernama di surga. Jika Daniel berhenti berperang secara rohani, tampaknya malaikat itu tak pernah berhasil mengalahkan pemimpin kerajaan orang Persia itu. Mereka yang menyampaikan mitos ingin agar kita percaya bahwa kita, seperti Daniel, harus terus melakukan peperangan rohani, atau jika tidak malaikat jahat dapat mengalahkan salah satu malaikat Allah.

Pertama, saya tekankan bahwa Daniel tidak “melakukan peperangan rohani”—ia sedang berdoa kepada Allah. Tak ada sebutan tentang Daniel yang berkata sesuatu kepada para malaikat setan, atau mengikat mereka, atau “berperang” melawan mereka. Nyatanya, Daniel tak tahu bahwa ada peperangan malaikat yang terus-menerus sampai tiga minggu berlalu dan malaikat yang tak bernama itu muncul kepadanya. Selama tiga minggu, Ia berpuasa dan mencari Allah.

Jadi, kita ungkapkan kembali pertanyaan itu: Jika Daniel berhenti berdoa dan mencari Allah setelah satu atau dua hari, apakah malaikat tak bernama itu gagal membawa pesan Allah kepadanya? Entahlah. Tetapi, saya tekankan bahwa malaikat tak bernama itu tak pernah berkata kepada Daniel, “Adalah baik anda terus berdoa, jika tidak anda tidak akan pernah berhasil.” Malaikat itu berterima kasih kepada Mikhael atas terobosannya. Jelaslah, Allah mengutus malaikat tak bernama itu dan Mikhael, dan Ia mengutus mereka untuk menjawab doa Daniel untuk memahami apa yang akan terjadi nanti bagi Israel.

Kita asumsikan bahwa jika Daniel berhenti berpuasa atau mencari Allah, Allah akan berkata, “O.K. kalian berdua malaikat, Daniel telah berhenti berpuasa dan berdoa, jadi meskipun saya utus salah satu dari kalian untuk membawa pesan kepadanya pada hari pertama ia mulai berdoa, lupakan penyampaian pesan itu kepada Daniel. Tampaknya tak akan pernah ada pasal 11 atau pasal 12 dalam kitab Daniel.”

Daniel bertekun dalam doa (bukan “peperangan rohani”), dan Allah menjawab doanya dan mengutus para malaikat. Kita juga harus tekun berdoa kepadaNya, dan jika Allah menghendakinya, jawaban bisa tiba-tiba muncul dengan bantuan malaikat. Tetapi jangan lupa, ada banyak contoh malaikat yang membawa pesan-pesan penting kepada orang-orang dalam Alkitab di mana tak disebutkan ada orang yang berdoa, yang tak sebanding dengan doa tiga minggu.

[2]

Kita perlu tetap seimbang. Lagipula, ada bagian-bagian contoh malaikat yang menyampaikan pesan kepada orang-orang dalam Alkitab yang tidak menyebutkan malaikat dalam perjalanan dari sorga yang harus berperang melawan malaikat Setan. Para malaikat Tuhan itu bisa saja memerangi para malaikat jahat untuk menyampaikan pesan-pesan, tetapi jika mereka melakukannya, kita tak tahu tentang itu, karena Alkitab tidak mengatakannya.

Jadi kita lanjutkan ke mitos ketiga yang diyakini banyak orang.

Mitos #3: “Ketika Adam Jatuh, Setan Mengambil Hak Adam untuk Mengendalikan Dunia.”

Apa sebenarnya yang terjadi pada Setan saat manusia jatuh dalam dosa? Sebagian orang menganggap bahwa Setan mendapat promosi besar ketika Adam jatuh. Kata mereka, Adam adalah “allah asli dunia ini”, tetapi ketika Adam jatuh dalam dosa, Setan menduduki posisi itu, sehingga memberinya hak untuk melakukan semaunya di bumi. Bahkan Allah konon tak kuasa untuk menghentikannya sejak itu, karena Adam memiliki “hak legal” untuk memberikan posisinya kepada Setan, dan Allah harus menghormati perjanjianNya dengan Adam yang kini menjadi milik Setan. Setan konon memiliki “hak Adam”, dan Allah tak sanggup menghentikan Setan sampai “hak Adam habis.”

Benarkah teori itu? Apakah Setan mendapatkan “hak Adam” ketika manusia jatuh dalam dosa?

Tentu tidak. Setan tak mendapatkan apa-apa ketika manusia jatuh dalam dosa kecuali kutukan dari Allah dan janji ilahi penghancuran total.

Faktanya, Alkitab tak pernah berkata bahwa Adam adalah “allah asli dunia ini.” Kedua, Alkitab tak pernah berkata bahwa Adam mempunyai hak legal untuk memberikan kuasa kepada siapapun. Ketiga, Alkitab tak pernah berkata bahwa Adam memiliki hak yang kelak akan berakhir. Semua ide itu tidak Alkitabiah.

Apa kuasa yang dimiliki oleh Adam dari awal? Dalam kitab Kejadian, Allah berkata kepada Adam dan Hawa untuk “beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:28, tambahkan penekanan).

Allah tak berkata apapun kepada Adam tentang menjadi seorang “allah” atas bumi, atau ia dapat mengendalikan segala sesuatu, seperti cuaca, dan semua orang nanti yang akan dilahirkan, dan seterusnya. Allah memberikan kuasa kepada dua manusia pertama –Adam dan Hawa– atas ikan-ikan, burung-burung dan hewan-hewan dan memerintahkan semuanya untuk memenuhi dan menaklukkan bumi.

Ketika Allah berbicara tentang penghukuman atas manusia, Ia tak berkata apapun tentang Adam yang kehilangan posisinya sebagai “allah dunia ini.” Dan, Ia tak berkata apapun kepada Adam atau Hawa tentang kehilangan kuasa atas ikan-ikan, burung-burung dan hewan-hewan. Kenyataannya, saya anggap bahwa umat manusia jelas masih memiliki kuasa atas ikan-ikan dan burung-burung dan “setiap mahluk yang merayap.” Manusia masih memenuhi bumi dan menaklukkannya. Ketika jatuh dalam dosa, Adam tidak kehilangan kuasa aslinya yang diberikan oleh Allah.

Apakah Setan bukan “Allah Dunia Ini”? (Isn’t Satan “God of This World”?)

Tidakkah Paulus menyebut Setan sebagai “allah dunia ini”, dan Yesus menyebutnya sebagai “penguasa dunia ini”? Ya, betul, tetapi baik Paulus maupun Yesus tak membuat isyarat bahwa Adam dulunya adalah “allah dunia ini” atau bahwa Setan mendapatkan sebutan itu dari Adam ketika ia jatuh.

Tambahan pula, sebutan Setan sebagai “allah dunia ini” tak membuktikan bahwa Setan dapat melakukan sesuatu yang ia mau di bumi atau tak membuktikan bahwa Allah tak berdaya menghentikannya. Yesus berkata, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (Matius 28:18, tambahkan penekanan). Jika Yesus memiliki segala kuasa di bumi, maka Setan dapat bekerja hanya atas izinNya.

Siapa yang memberikan semua kuasa di sorga dan di bumi kepada Yesus? Allah Bapa Sendiri yang memilikinya untuk diberikan pada Yesus. Itu sebabnya Yesus berbicara tentang Bapanya sebagai “Tuhan langit dan bumi” (Matt 11:25; Lukas 10:21, tambahkan penekanan). Allah sudah memiliki semua kuasa atas bumi sejak Ia menciptakannya. Awalnya Ia memberikan sedikit kuasa kepada manusia, dan umat manusia tak pernah kehilangan apa yang telah Allah berikan sejak awal.

Ketika Alkitab berbicara tentang Setan, allah atau penguasa dunia ini, itu berarti orang-orang dunia (yang belum lahir kembali) sedang mengikuti Setan. Setan adalah oknum yang dilayani oleh orang-orang dunia, apakah mereka sadari atau tidak. Ia adalah allah mereka.

Tawaran Harta Milik dari Setan (Setan’s Real-Estate Offer?)

Teori Setan-Menang didasarkan pada kisah pencobaan Setan terhadap Yesus di padang gurun, yang dicatat oleh Matius dan Lukas. Kita perhatikan kisahnya dalam kitab Lukas, untuk memahami apa yang dapat kita pelajari:

Kemudian ia [Setan] membawa Yesus ke suatu tempat yang tinggi dan dalam sekejap mata ia memperlihatkan kepadaNya semua kerajaan dunia. Kata Iblis kepada-Nya: “Segala kuasa itu serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu, sebab semuanya itu telah diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang kukehendaki. Jadi jikalau Engkau menyembah aku, seluruhnya itu akan menjadi milik-Mu.” Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Lukas 4:5-8).

Apakah kejadian itu membuktikan bahwa Setan mengendalikan segala sesuatu di dunia, ataukah Adam menyerahkan kuasa itu kepadanya, atau Allah tak berdaya menghentikan Iblis? Tidak, demi berbagai alasan.

Pertama, kita harus hati-hati mendasarkan teologi kita pada pernyataan seseorang yang Yesus sebut sebagai “bapa segala dusta” (Yohanes 8:44). Setan terkadang mengatakan kebenaran, tetapi dalam hal ini, kita harus hati-hati, karena perkataan Setan tampak bertentangan dengan apa yang Allah sudah katakan.

Pasal keempat kitab Daniel mengisahkan penghinaan Nebukadnezar, raja yang sangat menyombongkan posisi dan prestasinya, yang diberitahu oleh nabi Daniel bahwa ia akan diberikan pikiran hewan sampai ia mengakui bahwa “Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Daniel 4:25, tambahkan penekanan). Empat kali pernyataan yang sama itu dibuat terkait dengan kisah tersebut, dengan menekankan arti pentingnya (lihat Daniel 4:17, 25, 32; 5:21).

Perhatikan bahwa Daniel berkata, “Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia.” Bukankah itu menunjukkan bahwa Allah mengendalikan bumi?

Perhatikan, klaim Daniel tampak bertentangan langsung dari perkataan Setan kepada Yesus. Daniel berkata bahwa Allah “memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya”, dan Setan berkata, “aku memberikannya kepada siapa saja yang kukehendaki” (Lukas 4:6).

Jadi siapa yang akan anda percaya? Secara pribadi, saya mempercayai Daniel.

Tetapi, mungkin saja Setan berkata benar —jika diperhatikan apa yang dikatakannya dari sudut yang berbeda.

Setan adalah “ilah dunia ini”, yang berarti Setan memerintah atas kerajaan kegelapan, yang termasuk orang-orang di setiap bangsa yang memberontak melawan Allah. Alkitab menyatakan bahwa “seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat.” (1 Yohanes 5:19). Ketika Setan mengklaim bahwa ia sanggup memberikan kuasa atas kerajaan-kerajaan di bumi kepada siapapun yang ia inginkan, ia bisa saja berbicara tentang wilayahnya sendiri, kerajaan kegelapan, yang terdiri dari sub-sub kerajaan yang sama dengan kerajaan-kerajaan geopolitik. Kita tahu dari Alkitab bahwa Setan memiliki beberapa tingkatan roh-roh jahat yang olehnya ia memerintah kerajaannya (lihat Efesus 6:12), dan kita dapat berasumsi bahwa Setan meninggikan atau merendahkan roh-roh itu di dalam tingkatannya, karena Setanlah yang memimpin. Dalam hal itu, Setan menawarkan kepada Yesus jabatan roh jahat nomor dua —setelah dirinya—untuk membantunya memerintah dalam kerajaan kegelapan. Yang Yesus harus lakukan adalah tunduk kepada Setan dan menyembahnya. Puji Tuhan, Yesus lolos dari kesempatan itu demi mendapatkan “kemajuan.”

Siapa Pemberi Kuasa kepada Setan? (Who Gave Setan His Authority?)

Lalu, bagaimana dengan klaim Setan bahwa kuasa kerajaan-kerajaan telah “diserahkan” kepadanya?

Kemungkinan besar Setan berdusta. Misalkan kita anggap Setan berkata benar.

Perhatikan, Setan tidak berkata bahwa Adam telah menyerahkan kuasa itu kepadanya. Seperti sudah kita lihat, Adam tak mungkin menyerahkan kuasa itu kepada Setan karena Adam tak pernah memiliki kuasa untuk diberikan. Adam memerintah ikan-ikan, burung-burung dan hewan-hewan, bukan kerajaan-kerajaan. (Nyatanya, tak ada kerajaan orang-orang yang memerintah ketika Adam jatuh dalam dosa). Lagipula, jika Setan menawarkan kekuasaan kepada Yesus atas kerajaan kegelapan, yang terdiri dari semua roh jahat dan orang yang belum selamat, jadi Adam tak mungkin menyerahkan kekuasaan itu kepada Setan. Setan menguasai para malaikat yang jatuh sebelum Adam diciptakan.

Setan mungkin ingin agar semua orang di dunia menyerahkan kekuasaan mereka kepadanya, ketika mereka tidak berserah kepada Allah sehingga, sadar atau tak sadar, mereka tunduk kepadanya.

Kemungkinan lain adalah Allah menyerahkan kekuasaan kepadanya. Menurut Alkitab, besar kemungkinan Allah berkata kepada Setan, “Aku izinkan engkau dan roh-roh jahatmu untuk menguasai setiap orang yang tidak berserah kepadaKu.” Tampaknya sulit dipahami sekarang, tetapi nanti akan terlihat bahwa mungkin itulah penjelasan terbaik mengenai klaim Setan. Jika Allah benar-benar adalah “penguasa atas kerajaan manusia” (Daniel 4:25), maka setiap kuasa yang Setan miliki atas manusia pasti telah diberikan oleh Allah.

Setan hanya memerintah kerajaan kegelapan atau juga “kerajaan pemberontakan.” Setan memerintah kerajaan itu sejak ia diusir dari sorga, sebelum Adam jatuh dalam dosa. Sampai Adam jatuh dalam dosa, kerajaan kegelapan berisikan para malaikat pemberontak. Tetapi ketika Adam berdosa, ia bergabung dengan kerajaan pemberontakan, dan Kerajaan Setan sejak itu melibatkan para malaikat pemberontak dan para manusia pemberontak.

Setan berkuasa atas wilayah kegelapan sebelum Adam diciptakan, dan jangan pikir bahwa ketika Adam jatuh dalam dosa, Setan mendapatkan sesuatu yang Adam miliki sebelumnya. Ketika Adam berbuat dosa, ia tergabung dalam kerajaan pemberontakan yang sudah ada, yakni kerajaan yang diperintah oleh Setan.

Apakah Allah Terkejut oleh Kejatuhan Manusia? (Was God Surprised by the Fall?)

Kesalahan lain dari teori “Setan Menang” ialah teori itu menjadikan Allah tampak agak bodoh, seolah-olah Ia tak siap dengan kejatuhan manusia dalam dosa dan akibatnya Ia dalam ketidakpastian. Apakah Allah tak tahu bahwa Setan akan mencobai Adam dan Hawa sehingga mereka jatuh dalam dosa? Jika Allah maha-tahu, dan memang Ia mahatahu, pastilah Ia tahu apa yang akan terjadi. Itu sebabnya Alkitab nyatakan bahwa Ia berencana untuk menebus umat manusia bahkan sebelum Ia menciptakan umat manusia (lihat Matius 25:34; Kisah Para Rasul 2:2-23; 4:2728; 1 Korintus 2:7-8; Efesus 3:8-11; 2 Timotius 1:8-10; Wahyu 13:8).

Allah menciptakan Iblis dan tahu bahwa ia akan jatuh, dan Ia ciptakan Adam dan Hawa, dan Ia tahu bahwa mereka akan jatuh. Tentunya tak ada cara Setan dapat menipu Allah dan mendapatkan sesuatu yang Allah tidak mau dimiliki oleh Setan.

Apakah dapat dikatakan Allah ingin Setan menjadi “allah dunia ini?” Ya, selama sesuai dengan tujuan ilahiNya. Jika Allah tak ingin Setan bekerja, Ia akan menghentikannya. Seperti dalam Wahyu 20:1-2, suatu hari Ia akan menghentikan pekerjaan Setan.

Tetapi saya tak bermaksud bahwa Allah ingin siapapun tetap dalam penguasaan Setan. Allah ingin setiap orang diselamatkan dan menghindari wilayah Setan (Kisah Para Rasul 26:18; Kolose 1:13; 1 Tim.2:3-4; 2 Petrus 3:9). Namun Allah izinkan Setan memerintah setiap orang yang mencintai kegelapan (lihat Yohanes. 3:19), yakni orang-orang yang terus memberontak melawanNya.

Tetapi tidakkah ada sesuatu yang dapat kita lakukan untuk membantu orang-orang agar mengindari kerajaan kegelapan Setan? Ya, kita dapat berdoa bagi mereka dan menyerukan mereka untuk bertobat dan mempercayai Injil (seperti perintah Yesus kepada kita). Jika mereka melakukan hal itu, mereka akan dilepaskan dari kuasa Setan. Tetapi kita keliru bila berpikir bahwa kita dapat “menarik” roh-roh jahat yang mencengkeram orang-orang. Jika orang-orang ingin tinggal dalam kegelapan, Allah akan membiarkan mereka. Yesus berkata kepada murid-muridNya bahwa jika orang-orang di kota-kota tertentu tidak menerima pesan mereka, mereka harus mengebaskan debu dari kaki mereka dan pergi ke kota lain (Matt 10:14). Ia tidak berkata agar mereka tetap tinggal dan menarik belenggu-belenggu di atas kota itu sehingga orang-orang akan lebih mudah menerima pemberitaan Injil. Allah izinkan roh-roh jahat membelenggu orang-orang yang menolak bertobat dan berbalik kepadaNya.

Bukti Lain tentang Kekuasaan Tertinggi Allah atas Setan (Further Proof of God’s Supreme Authority Over Satan)

Ada banyak ayat lain dalam Alkitab yang membuktikan bahwa Allah tak kehilangan kendali atas Setan ketika manusia jatuh dalam dosa. Alkitab berkali-kali menegaskan bahwa Allah selalu dan akan selalu mengendalikan Setan. Iblis hanya dapat melakukan hal yang Allah izinkan. Perhatikanlah beberapa ilustrasi Perjanjian Lama tentang fakta itu.

Dua pasal pertama kitab Ayub membahas contoh klasik kuasa Allah atas Setan. Dalam dua pasal itu, kita baca tentang Setan yang menuduh Ayub, di hadapan tahta Allah. Ayub tetap menaati Allah lebih dari siapapun di atas bumi pada saat itu dan, karena itu, Setan membidiknya. Allah tahu Setan telah “memperhatikan” Ayub (Ayub 1:8, lihat catatan pinggir dalam Alkitab versi NASB), dan Ia mendengarkan ketika Setan menuduh Ayub melayaniNya hanya karena semua berkat yang dinikmatinya (lihat Ayub 1:9-12).

Setan berkata bahwa Allah telah menaruh pagar di sekeliling Ayub dan meminta agar Ia menjauhkan berkat-berkat Ayub. Sehingga, Allah izinkan Setan untuk membuat Ayub menderita sampai batas tertentu. Awalnya, Setan tak dapat menyentuh tubuh Ayub. Kemudian, Allah izinkan Setan membuat badan Ayub menderita, namun Ia melarang Setan untuk membunuhnya (Ayub 2:5-6).

Perikop itu dalam Alkitab jelas membuktikan bahwa Setan tak dapat berbuat apapun yang ia inginkan. Ia tak dapat menyentuh harta-milik Ayub sampai Allah izinkan. Ia tak dapat mencuri kesehatan Ayub sampai Allah mengizinkannya. Dan ia tak dapat membunuh Ayub karena Allah tidak akan izinkan.

[3]

Allah mengendalikan Setan, bahkan sejak zaman kejatuhan Adam.

Roh Jahat Saul “Dari Allah” (Saul’s Evil Spirit “From God”)

Ada beberapa contoh dalam Perjanjian Lama di mana Allah memakai roh-roh jahat dari Setan sebagai agen-agen kemarahanNya. Bacalah 1 Samuel 16:14: “Tetapi Roh TUHAN telah mundur dari pada Saul, dan sekarang ia diganggu oleh roh jahat yang dari pada TUHAN.” Situasi ini terjadi karena pendisiplinan dari Allah atas Raja Saul yang tidak taat.

Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan frase “roh jahat dari Allah”? Apakah artinya bahwa Allah mengutus roh jahat yang hidup denganNya di sorga, atau apakah artinnya bahwa Allah secara berdaulat mengizinkan salah satu roh jahat Setan untuk membuat raja Saul menderita? Menurut saya, sebagian besar orang Kristen cenderung menerima kemungkinan kedua dengan dukungan bagian lain dalam Alkitab. Alasan Alkitab berkata bahwa roh jahat berasal “dari Allah ” adalah karena gangguan roh jahat merupakan hasil langsung dari tindakan pendisiplinan Allah terhadap Saul. Jadi, kita mengerti bahwa roh-roh jahat ada di bawah kendali Allah yang berdaulat.

Kita baca Hakim-Hakim 9:23, “maka Allah membangkitkan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem”, agar penghukuman Allah menimpa mereka karena segala perbuatan jahat mereka. Semangat jahat ini bukan dari sorga Allah, tetapi dari wilayah Setan, dan roh jahat itu diizinkan mengerjakan rencana-rencana jahat melawan orang-orang tertentu yang layak mendapatkannya. Roh-roh jahat tak sanggup mengerjakan rencana-rencana jahat melawan siapapun tanpa persetujuan Allah. Jika tidak demikian, maka Allah tidaklah maha-kuasa. Jadi, sekali lagi dapat disimpulkan bahwa ketika Adam jatuh dalm dosa, Setan tidak mendapatkan kuasa di luar kendali Allah.

Contoh Kuasa Allah atas Setan dalam Perjanjian Baru (New Testament Examples of God’s Power Over Satan)

Perjanjian Baru memberi bukti tambahan yang menyangkal teori Setan-Menang. Misalnya, Lukas 9:1, “Maka Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu memberikan “tenaga dan kuasa kepada mereka untuk menguasai setan-setan.…”. Dan juga dalam Lukas 10:19, kata Yesus kepada mereka, “Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu.” (tambahkan penekanan).

Jika Yesus memberikan mereka kuasa atas semua kuasa Setan, Ia Sendiri mula-mula pasti telah memiliki kuasa itu. Setan ada di bawah kuasa Allah.

Kemudian dalam Injil Lukas, Yesus yang berkata kepada Petrus, “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum” (Lukas 22:31).

[4]

Teks ini menunjukkan bahwa Setan tak sanggup menampi Petrus tanpa mendapat persetujuan lebih dulu dari Allah. Lagi-lagi Setan ada di bawah kendali Allah.

[5]

 

Masa Penahanan Setan selama Seribu Tahun (Satan’s Thousand-Year Prison Term)

Ketika kita baca tentang Setan yang dirantai oleh seorang malaikat dalam Wahyu 20, tak ada sebutan habisnya hak Adam. Alasan perantaian Setan adalah “supaya ia jangan lagi menyesatkan bangsa-bangsa” (Wahyu 20:3).

Hal yang menarik, setelah Setan dirantai selama 1000 tahun, ia akan dilepaskan dan “dan ia akan pergi menyesatkan bangsa-bangsa pada keempat penjuru bumi” (Wahyu 20:8). Bangsa-bangsa yang tertipu kemudian akan mengumpulkan tantara-tentaranya untuk menyerang Yerusalem, di mana Yesus akan memerintah. Ketika mereka telah mengepung kota itu, api akan turun dari sorga dan “menghanguskan mereka” (Wahyu 20:9).

Apakah ada orang yang begitu bodoh berkata bahwa hak Adam termasuk satu periode waktu akhir singkat setelah 1000 tahun, sehingga Allah harus melepaskan Setan demi alasan tersebut? Ide tersebut aneh.

Pelajaran dari bagian Alkitab itu adalah bahwa Allah memegang kendali penuh atas Iblis dan mengizinkannya untuk menipu demi menggenapi maksud-maksud ilahiNya.

Selama pemerintahan Yesus seribu tahun nanti, Setan tidak akan bekerja, tak sanggup menipu siapapun. Tetapi, akan ada orang-orang di bumi yang hanya taat dari segi luar pada masa pemerintahan Kristus, tetapi di dalam diri mereka akan senang menyaksikan kejatuhan Dia. Namun, mereka tidak akan coba memberontak karena mereka tak punya kesempatan untuk menjatuhkan Dia yang akan “menggembalakan dengan gada besi” (Wahyu 19:15).

Tetapi ketika Setan dibebaskan, ia akan sanggup menipu orang-orang mereka yang membenci Kristus dalam hati mereka, dan mereka dengan bodoh akan berupaya berbuat hal yang mustahil. Ketika Setan diizinkan untuk menipu calon pemberontak, kondisi hati orang-orang akan terungkap, dan kemudian Allah akan menghakimi mereka yang tidak layak untuk hidup dalam kerajaanNya.

Tentu saja, hal itu menjadi salah-satu sebab mengapa Allah izinkan Setan untuk menipu orang-orang kini. Kita nanti selidiki maksud-maksud Allah terhadap Setan, tetapi cukup dikatakan bahwa Allah tak ingin siapapun untuk tetap tertipu. Tetapi, Ia benar-benar ingin tahu yang di dalam hati setiap orang. Setan tak sanggup menipu orang yang tahu dan percaya kebenaran. Tetapi Allah izinkan Iblis untuk menipu orang yang menolak kebenaran, oleh karena hati mereka yang degil.

Tentang waktu anti-Kristus, Paulus menulis:

Pada waktu itulah si pendurhaka baru akan menyatakan diri nya, tetapi Tuhan Yesus akan membunuhnya dengan nafas mulutNya dan akan memusnahkannya, kalau Ia datang kembali. Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, dan akan disertai rupa-rupa perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mujizat-mujizat palsu, dengan rupa-rupa tipu daya jahat terhadap orang-orang yang harus binasa karena mereka tidak menerima dan mengasihi kebenaran yang dapat menyelamatkan mereka. Dan itulah sebabnya Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan mereka percaya akan dusta, supaya dihukum semua orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan. (2 Tesalonika 2:8-12, tambahkan penekanan).

Perhatikan bahwa Allah mendapatkan pujian karena Ia mengirimkan “pengaruh yang menyesatkan agar mereka dapat mempercayai yang sesat.” Tetapi perhatikan juga bahwa orang-orang yang akan ditipu adalah mereka yang “tak percaya kebenaran”; ini menunjukkan bahwa mereka punya kesempatan, tetapi masih menolak Injil. Allah akan izinkan Setan untuk memakai anti-Kristus dengan tanda-tanda mujizat palsu sehingga para penolak Kristus akan tertipu, dan tujuan akhir Allah adalah agar “mereka semua dapat diadili.” Karena itulah, Allah izinkan Setan menipu orang-orang sekarang ini.

Jika Allah tak punya alasan untuk mengizinkan Setan bekerja di bumi, Ia dapat saja mengusirnya ke tempat lain di alam semesta ketika ia jatuh. Dalam 2 Petrus 2:4, ada malaikat-malaikat tertentu yang berdosa yang Allah sudah buang ke neraka dan sudah pasti mesuk ke “lubang-lubang kegelapan, yang disediakan untuk penghukuman.” Allah yang Mahakuasa bisa saja melakukan hal yang sama kepada Setan dan malaikatnya jika itu sesuai dengan maksud ilahiNya. Tetapi, untuk sejenak, Allah punya alasan baik untuk mengizinkan Setan dan para malaikatnya untuk bekerja di bumi.

Ketakutan Roh-Roh Jahat akan Penyiksaan (The Demons’ Fear of Torment)

Ketika kita selesai menyelidiki mitos di atas, contoh akhir dalam Alkitab adalah kisah orang-orang yang kerasukan di Gadara:

SetibaNya [Yesus] di seberang, yaitu di daerah orang Gadara, datanglah dari pekuburan dua orang yang kerasukan setan menemui Yesus. Mereka sangat berbahaya, sehingga tidak seorangpun yang berani melalui jalan itu. Dan mereka itupun berteriak, katanya: “Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?” (Matius 8:28-29, tambahkan penekanan).

Para pendukung teori Setan-Menang sering memakai kisah di atas untuk mendukung ide-ide mereka. Kata mereka, “roh-roh jahat itu muncul di hadapan penghakiman Yesus. Mereka tahu Ia tak berhak menyiksa mereka sebelum hak Adam habis masa, ketika mereka dan Setan akan dilempar ke lautan api untuk disiksa siang dan malam selamanya.”

Tetapi yang benar adalah sebaliknya. Roh-roh jahat itu tahu Yesus punya kuasa dan hak untuk menyiksa mereka kapanpun Ia mau, sebagai alasan mereka memohon kepadaNya agar berbelas-kasihan. Mereka sangat takut karena Anak Allah dapat mengirim mereka untuk segera disiksa. Lukas menyatakan bahwa mereka sangat memohon kepadaNya “untuk tidak memerintahkan mereka masuk ke dalam jurang maut” (Lukas 8:31). Jika Yesus tak punya hak karena mungkin ada hak Iblis, mereka tidak akan peduli sama sekali.

Roh-roh jahat itu tahu bahwa mereka memerlukan belas-kasihan Yesus, sesuai gambaran melalui permohonan roh-roh itu agar tidak diusir keluar dari daerah itu (Markus 5:10), permohonan roh-roh itu untuk dibiarkan memasuki kawanan babi (Markus 5:12), permohonan roh-roh itu untuk tidak dilempar ke “jurang maut” (Lukas 8:31), dan permohonan roh-roh itu agar Kristus tidak menyiksa mereka sebelum “waktunya.”

Mitos #4: “Setan, sebagai ‘allah dunia ini’ mengendalikan segala sesuatu di bumi, termasuk pemerintahan manusia, bencana alam, dan cuaca.”

Setan disebutkan dalam Alkitab sebagai “ilah dunia ini” oleh rasul Paulus (2 Korintus 4:4) dan “penghulu dunia ini” oleh Yesus (Yohanes 12:31; 14:30; 16:11). Sesuai sebutan-sebutan itu untuk Setan, banyak orang menganggap bahwa Setan memegang kendali total atas bumi. Walaupun kita perhatikan ayat-ayat Alkitab yang menyatakan kesalahan mitos di atas, kita dapat menyelidi lebih lanjut sehingga bisa sepenuhnya mengetahui tentang keterbatasan kuasa Setan. Kita harus teliti agar seluruh pemahaman kita akan Setan tidak berdasar hanya pada empat ayat Alkitab yang menyebutnya sebagai ilah/penghulu dunia.

Di dalam Alkitab, Yesus menyebut Setan sebagai “penguasa dunia ini” dan Ia juga menyebut BapaNya di sorga sebagai “Tuhan langit dan bumi” (Matius 11:25; Lukas 10:21, tambahkan penekanan). Dan juga, rasul Paulus menyebut Setan sebagai “ilah dunia ini” dan juga ia, seperti Yesus, menyebut Allah sebagai “Tuhan langit dan bumi” (Kisah Para Rasul 17:24, tambahkan penekanan). Terbukti, Yesus dan Paulus tidak ingin kita menganggap bahwa Setan memegang kendali penuh atas bumi. Kuasa Setan terbatas.

Perbedaan yang sangat penting antara ayat-ayat Alkitab yang bertentangan itu terdapat dalam kata-kata dunia dan bumi. Walaupun kita sering memakai kedua kata itu yang memiliki arti sama, dalam bahasa Gerika kedua kata itu tak sama. Ketika mengerti perbedaan keduanya, kita akan makin memahami Allah dan kuasa Setan di bumi.

Yesus menyebut Allah Bapa sebagai Tuhan atas bumi. Kata bahasa Gerika yang diterjemahkan menjadi bumi adalah ge. Kata itu mengacu pada planet secara fisik tempat manusia hidup, dan dari kata itu muncul kata Bahasa Inggris geography.

[6]

 

Yang berbeda adalah Yesus berkata bahwa Setan adalah penguasa dunia ini. Kata bahasa Gerika untuk dunia adalah kosmos, dan kata itu mengacu pada susunan atau pengaturan. Ini berbicara tentang orang-orang bukannya planet fisik itu. Itu sebabnya orang-orang Kristen sering berbicara tentang Setan sebagai “ilah sistem dunia ini”.

Kini, Allah tidak punya kendali penuh atas dunia, karena Ia tidak punya kendali penuh atas seluruh orang di dunia. Alasannya adalah Ia telah memilih semua orang mengenai siapa yang akan menjadi tuannya, dan banyak orang telah memilih setia kepada Setan. Sudah tentu, kehendak bebas umat manusia adalah bagian dari rencana Allah.

Paulus memakai kata yang berbeda untuk dunia, kata bahasa Gerika aion, ketika ia menulis tentang allah dunia ini. Aion dapat dan sering diterjemahkan sebagai age, yakni periode waktu tertentu. Setan adalah ilah zaman ini.

Apa artinya? Bumi adalah planet fisik di mana kita hidup. Dunia berbicara tentang orang-orang yang tinggal di bumi, dan lebih khususnya mereka yang tidak melayani Yesus. Mereka melayani Setan, dan terperangkap dalam sistemnya yang sesat dan penuh dosa. Sebagai orang-orang Kristen, kita konon berada “di dalam dunia” tetapi bukan “dari dunia” (Yohanes 17:11, 14). Kita hidup di tengah-tengah para warga kerajaan kegelapan, tetapi kita sebenarnya ada dalam kerajaan terang, Kerajaan Allah.

Kini kita punya jawaban. Sederhananya: Allah secara berdaulat mengendalikan seluruh bumi. Oleh persetujuan Allah, Setan hanya memiliki kendali atas “sistem dunia”, yakni kendali atas mereka yang adalah warga kerajaan gelap. Karena itu, rasul Yohanes menulis bahwa “seluruh dunia (bukan seluruh bumi) berada di bawah kuasa si jahat “ (1 Yohanes 5:19).

Bukan berarti Allah tak berkuasa atas dunia, atau sistem dunia, atau orang-orang dunia. Sesuai perkataan Daniel, Ia adalah “Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Daniel 4:25). Ia masih sanggup meninggikan dan merendahkan siapapun yang Ia inginkan. Tetapi, sebagai ”Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia”, Ia secara berdaulat telah mengizinkan Setan untuk memerintah sebagian umat manusia yang memberontak melawanNya.

Tawaran Setan Dipertimbangkan (Satan’s Offer Considered)

Perbedaan antara bumi dan dunia juga membantu kita memahami cobaan Yesus di padang gurun. Di sana, Setan menunjukkan kepada “seluruh kerajaan di dunia dalam waktu sekejap.” Setan tak mungkin menawarkan jabatan politik atas pemerintahan manusia di bumi, seperti jabatan presiden atau perdana menteri. Setan bukanlah oknum yang memuliakan dan merendahkan penguasa-penguasa manusia di bumi — tetapi Allah adalah Oknum itu.

Sebaliknya, Setan pasti menunjukkan kepada Yesus semua sub-kerajaan di seluruh dunia kerajaan kegelapannya. Ia menunjukkan kepada Yesus hirarki roh-roh jahat yang memerintah atas kerajaan kegelapan dalam wilayahnya masing-masing, dan atas manusia-manusia pemberontak yang menjadi warga di sub-sub kerajaan. Setan menawarkan kendali atas wilayahnya kepada Yesus —bila Yesus ikut memberontak bersama Setan melawan Allah. Yesus kemudian menjadi komandan kedua atas kerajaan kegelapan.

Kendali Allah Atas Pemerintahan Manusia di Bumi (God’s Control Over Earthly, Human Governments)

Kita secara khusus tetapkan batas-batas kuasa Setan dengan menyelidiki ayat-ayat Alkitab yang menegaskan kuasa Allah atas pemerintahan manusia di bumi. Setan memiliki sebagian kuasa dalam pemerintahan manusia hanya karena ia berkuasa atas orang-orang yang belum selamat, dan pemerintahan sering dikendalikan oleh orang yang belum selamat. Tetapi, Allah berdaulat atas pemerintahan umat manusia, dan Setan hanya dapat memanipulasi mereka sejauh Allah izinkan.

Kita sudah selidiki ucapan Daniel kepada Raja Nebukadnzar, tetapi karena ucapan itu sangat memberi pencerahan, perhatikan hal itu sekali lagi.

Raja Nebukadnezar Agung menjadi angkuh oleh karena kuasa dan prestasinya, sehingga Allah memerintahkan agar ia direndahkan agar ia dapat belajar bahwa “Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, bahkan orang yang paling kecil sekalipun dapat diangkatNya untuk kedudukan itu.” (Daniel 4:17). Jelaslah Allah layak dipuji atas kebesaran Nebukadnezar yang mencapai kebesaran politik. Hal ini berlaku juga bagi setiap pemimpin dunia. Rasul Paulus, yang berbicara tentang penguasa di bumi, menyatakan bahwa “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.” (Roma 13:1).

Allah adalah otoritas awal dan tertinggi dari seluruh alam semesta. Siapapun yang punya kuasa itu hanya oleh karena Allah yang memberikan sebagian karuniaNya atau Ia izinkan seseorang untuk memiliki sebagian karunia itu.

Tetapi bagaimana dengan penguasa-penguasa jahat? Apakah maksud Paulus bahwa para penguasa itu dipilih oleh Allah? Betul kata Paulus. Di surat yang sama, Paulus menuliskan, “Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: “Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya namaKu dimasyhurkan di seluruh bumi.” (Roma 9:17). Allah meninggikan Firaun yang keras-hati demi memuliakan diriNya. Allah akan menunjukkan kuasaNya yang besar melalui mujizat-mujizatNya yang membebaskan, ini adalah kesempatan yang diupayakan oleh seorang yang keras-kepala yang Ia tinggikan.

Apakah fakta itu tidak juga muncul pada percakapan Yesus dengan Pilatus? Merasa terkejut bahwa Yesus tidak akan menjawab pertanyaannya, “Maka kata Pilatus kepadaNya: “Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?” (Yohanes 19:10).

Yesus menjawab: “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas.” (Yohanes 19:11, tambahkan penekanan). Mengetahui karakter Pilatus yang pengecut, Allah meninggikannya demi terwujudnya rencanaNya semula agar Yesus mati di kayu salib.

Dengan membaca singkat kitab-kitab sejarah dalam Perjanjian Lama, terungkap bahwa Allah terkadang memakai penguasa manusia yang jahat sebagai agen murka Allah bagi orang-orang yang layak dimurkai. Allah memakai Nebukadnezar untuk membawa penghakimanNya atas banyak bangsa dalam Perjanjian Lama.

Dalam Alkitab, ada banyak contoh penguasa yang Allah tinggikan atau turunkan dari tahta. Misalnya, dalam Perjanjian Baru, Herodes gagal memuliakan Allah ketika rakyatnya bersorak membalasnya: “Ini suara allah dan bukan suara manusia!” (Kisah Para Rasul 12:22).

Akibatnya? “Dan seketika itu juga ia ditampar malaikat Tuhan…..; ia mati dimakan cacing-cacing.” (Kisah Para Rasul 12:23).

Ingatlah, Herodes adalah warga kerajaan Setan, tetapi ia tidak berada di luar wilayah kekuasaan Allah. Jelas, Allah sanggup merendahkan pemimpin bumi kini jika Ia mau.

[7]

 

Kesaksian Pribadi Allah (God’s Personal Testimony)

Akhirnya, bacalah hal yang Allah Sendiri pernah katakan melalui nabi Yeremia berkenaan dengan kedaulatanNya atas kerajaan manusia di bumi.

“Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel! Ada kalanya Aku berkata tentang suatu bangsa dan tentang suatu kerajaan bahwa Aku akan mencabut, merobohkan dan membinasakannya. Tetapi apabila bangsa yang terhadap siapa Aku berkata demikian telah bertobat dari kejahatannya, maka menyes Allah Aku, bahwa Aku hendak menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka. Ada kalanya Aku berkata tentang suatu bangsa dan tentang suatu kerajaan bahwa Aku akan membangun dan menanam mereka. Tetapi apabila mereka melakukan apa yang jahat di depan mata-Ku dan tidak mendengarkan suara-Ku, maka menyes Allah Aku, bahwa Aku hendak mendatangkan keberuntungan yang Kujanjikan itu kepada mereka. (Yeremia 18:6-10).

Bisakah anda pahami, ketika Setan mencobai Yesus di padang gurun, ia tak punya cara untuk sanggup membujuk Yesus agar memerintah kerajaan-kerajaan politik dari manusia di atas bumi? Jika ia berkata benar (terkadang Setan berkata benar), maka yang dapat ia tawarkan kepada Yesus adalah kendali atas kerajaan kegelapannya.

Tetapi apakah Setan mempengaruhi pemerintahan manusia? Ya, tetapi hanya karena ia adalah ilah bagi orang-orang yang belum selamat, dan orang-orang ini ikut dalam pemerintahan manusia. Namun ia hanya memiliki pengaruh sesuai kehendak Allah, dan Allah dapat menghalangi rencana-rencana Setan kapanpun Ia mau. Rasul Yohanes menulis tentang Yesus sebagai “yang berkuasa atas raja-raja bumi ini” (Wahyu 1:5).

Apakah Setan Menyebabkan Bencana Alam dan Cuaca Buruk (Does Satan Cause Natural Disasters and Adverse Weather?)

Karena Setan adalah “allah dunia ini”, banyak orang berasumsi bahwa Setan mengendalikan cuaca dan ia penyebab semua bencana alam, seperti kekeringan, banjir, angin ribut, gempa bumi dan lain-lain. Tetapi apakh ini yang Alkitab ajarkan? Lagi-lagi, kita harus hati-hati untuk tidak mendasarkan seluruh teologi kita tentang Setan kepada satu ayat Alkitab yang berkata bahwa, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan” (Yohanes 10:10). Saya sering dengar orang-orang yang mengutip ayat itu sebagai bukti bahwa apapun yang mencuri, membunuh atau membinasakan adalah dari Setan. Tetapi, bila kita selidiki Alkitab, ternyata Allah Sendiri kadang-kadang membunuh dan membinasakan. Perhatikan tiga ayat berikut:

Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. (Yakobus 4:12, tambahkan penekanan).

Aku akan menunjukkan kepada kamu siapakah yang harus kamu takuti. Takutilah Dia, yang setelah membunuh, mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam neraka. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, takutilah Dia! (Lukas 12:5, tambahkan penekanan).

Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. (Matius 10:28, tambahkan penekanan).

Adalah keliru bila kita berkata bahwa setiap hal yang menimbulkan pembunuhan atau penghancuran adalah pekerjaan Setan. Ada contoh-contoh dalam Alkitab di mana Allah melakukan pembunuhan dan penghancuran.

Kita harus bertanya pada diri sendiri, Ketika Yesus berbicara tentang pencuri yang datang untuk membunuh, mencuri, dan membinasakan, apakah Ia sebenarnya berbicara tentang Iblis? Maka, kita perlu membaca pernyataanNya secara kontekstual. Satu ayat sebelum pernyataanNya tentang pencuri yang datang untuk membunuh, mencuri, dan membinasakan, Yesus berkata, “Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka.” (Yohanes 10:8). Bila kita baca seluruh perkataan Yesus dalam Yohanes 10:1-15 yang berkata bahwa Ia adalah Gembala yang baik, bahkan menjadi lebih jelas bahwa istilah-istilah dariNya, pencuri dan pencuri-pencuri, mengacu kepada guru-guru dan pemimpin-pemimpin agama yang palsu.

Berbagai Pandangan tentang Cuaca Buruk dan Bencana Alam (Various Views of Adverse Weather dan Natural Disasters)

Ketika angin ribut atau gempa bumi melanda, orang-orang percaya kepada Allah bertanya secara teologis: “Siapakah penyebabnya?” Ada dua kemungkinan jawaban bagi orang-orang Kristen yang percaya Alkitab: Allah atau Setan penyebabnya.

Sebagian orang keberatan: “Oh tidak! Allah tidak bersalah! Orang-orang harus disalahkan. Allah menghukum mereka karena dosa-dosanya.”

Jika Allah penyebab angin ribut dan gempa bumi karena hukumanNya atas dosa, tentu kita dapat tunjuk kesalahan pada manusia yang memberontak, bukan Allah, tetapi Allah memikul tanggung-jawab, karena bencana alam tak akan terjadi tanpa keputusanNya.

Atau, jika benar Allah izinkan Setan mengirim angin ribut dan gempa bumi demi memberikan hukuman bagi orang-orang berdosa, maka dapat dikatakan Setanlah penyebab bencana, tetapi Allah bertanggung-jawab, karena Ia izinkan Setan untuk menimbulkan kehancuran dan karena bencana-bencana itu terjadi akibat reaksiNya terhadap dosa.

Sebagian orang berkata bahwa bukan Allah atau Setan yang bertanggung-jawab atas angin ribut dan gempa bumi, tetapi angin ribut dan gempa bumi hanyalah “gejala alam dalam dunia kita yang penuh dosa.” Tak jelas, orang-orang itu coba menyalahkan umat manusia atas bencana alam, namun masih belum sampai pada pokok masalahnya. Penjelasan ini tidak menafikan peran Allah. Jika, angin ribut hanya “gejala alam dalam dunia kita yang penuh dosa”, siapakah yang memutuskan pemunculan angin ribut? Jelas itu bukan buatan manusia. Angin ribut tidak terjadi setiap kali beberapa kebohongan diucapkan ke udara. Gempa bumi tak terjadi ketika sejumlah orang melakukan perzinahan.

Jika ada hubungan antara angin ribut dan dosa, maka Allah terlibat, karena angin ribut adalah wujud penghukumanNya atas dosa. Meskipun angin ribut terjadi di mana-mana, pasti Allah yang memerintahkan terjadinya angin ribut itu, sehingga Ia terlibat.

Meskipun tak ada hubungan antara dosa dan bencana alam, dan Allah keliru ketika Ia merancang dunia, sehingga ada kesalahan di lapisan kulit bumi yang bisa terangkat dan sistem cuaca yang kadang mengamuk, namun Allah bertanggung-jawab atas gempa bumi dan angin ribut karena Ialah Pencipta, dan kesalahanNya membahayakan orang-orang.

Allah Berkuasa “Mengendalikan Alam Semesta CiptaanNya” (There is No “Mother Nature”)

Jadi, kita punya dua kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tentang bencana alam, “Apakah Allah atau Setan yang bertanggung-jawab? Sebelum kita perhatikan ayat-ayat tertentu dalam Alkitab untuk menentukan jawaban mana yang benar, kita pikirkan lebih lanjut tentang kedua jawaban itu.

Jika Setan adalah oknum penyebab bencana alam, lalu Allah dapat atau tak dapat menghentikannya. Jika Allah sanggup menghentikan Setan agar ia tidak menimbulkan bencana alam tetapi Allah tak menghentikannya, lalu Ia lagi bertanggung-jawab. Bencana tidak akan terjadi tanpa kehendakNya.

Kini di lain pihak. Sejenak kita asumsikan bahwa Allah tak sanggup menghentikan Setan, namun Ia ingin menghentikannya. Apakah itu benar-benar kemungkinan?

Jika Allah sanggup menghentikan Setan agar tidak membuat bencana alam, maka Setan lebih berkuasa atau lebih unggul daripada Allah. Akibatnya, hal itulah perkataan orang-orang yang bertumpu kepada teori “Setan memenangkan kendali atas dunia pada saat kejatuhan Adam”. Mereka mengklaim bahwa Setan memiliki hak sah untuk melakukan apapun yang diinginkannya di bumi karena ia mencuri kontrak Adam. Kini, andaikan, Allah akan menghentikan Setan tetapi tak sanggup karena Ia harus menghormati kontrak Adam yang kini dimiliki oleh Setan. Dengan kata lain, Allah terlalu bodoh untuk meramalkan apa yang akan terjadi ketika Adam jatuh dalam dosa, tetapi Setan, yang lebih pintar dari Allah, kini telah mendapatkan kuasa yang Allah tak inginkan dimilikinya. Secara pribadi, saya tidak akan berkata bahwa Setan lebih bijak daripada Allah.

Jika teori “Setan-Menang” itu benar, kita ingin tahu mengapa Setan tidak menimbulkan lebih banyak gempa bumi dan angin ribut dibandingkan yang dia lakukan sekarang ini, dan mengapa ia tidak menargetkan kumpulan besar orang-orang Kristen. (Jika anda berkata “karena Allah tidak akan membiarkan sasaran kumpulan orang-orang Kristen”, maka anda akui bahwa Setan tak dapat bekerja tanpa persetujuan Allah).

Bila kita persempit, kemungkinan dua jawaban atas pertanyaan adalah: Apakah (1) Allah menyebabkan gempa bumi dan angin ribut, atau (2) Setan menyebabkan gempa bumi dan angin ribut dengan persetujuan Allah.

Bisakah anda pahami bahwa tak peduli apakah jawabannya benar, Allah adalah oknum yang akhirnya bertanggung-jawab? Ketika orang-orang berkata, “Allah tidak menimbulkan angin ribut —Setan melakukannya atas persetujuan Allah”, mereka tak sepenuhnya membiarkan Allah “dalam masalah.” Jika Allah sanggup menghentikan Setan agar ia tak menimbulkan angin ribut, tak peduli apakah Ia mau atau tidak, maka Allah bertanggung-jawab. Manusia-manusia pemberontak dapat saja disalahkan oleh karena dosa mereka (jika angin ribut dikirim oleh Allah atau diizinkan olehNya sebagai hukuman), tetapi, adalah bodoh bila kita berkata bahwa bagaimanapun juga Allah tak terlibat atau bertanggung-jawab.

Kesaksian Alkitab (Scriputre’s Testimony)

Apa kata Alkitab tentang “bencana alam”? Apakah Alkitab berkata bahwa Allah atau Iblis penyebabnya? Mula-mula kita perhatikan gempa bumi karena Alkitab berbicara tentang itu.

Menurut Alkitab, gempa bumi dapat terjadi karena hukuman Allah atas orang-orang berdosa yang layak mendapat hukuman itu. Kita baca dalam Yeremia: “Bumi goncang karena murkaNya [Allah], dan bangsa-bangsa tidak tahan akan geram-Nya.” (Yeremia 10:10, tambahkan penekanan).

Yesaya mengingatkan,

Engkau akan melihat kedatangan TUHAN semesta alam dalam guntur, gempa dan suara hebat, dalam puting beliung dan badai dan dalam nyala api yang memakan habis. (Yesaya 29:6, tambahkan penekanan).

Anda bisa ingat kembali bahwa selama periode Musa, bumi membuka dan menelan Korah dan para pengikutnya yang memberontak (lihat Bilangan 16:23-34). Itulah hukuman Allah. Contoh lain hukuman Allah melalui gempa bumi terdapat dalam Yehezkiel 38:19; Mazmur 18:7; 77:18; Hagai 2:6; Lukas 21:11; Wahyu 6:12; 8:5; 11:13; 16:18.

Beberapa kali gempa-bumi yang disebutkan dalam Alkitab tidak secara langsung merupakan hukuman Allah, tetapi disebabkan oleh Allah. Misalnya, menurut Injil Matius, ada gempa-bumi ketika Yesus mati (Matius 27:51, 54), dan satu gempa-bumi ketika Ia dibangkitkan kembali (Matius 28:2). Apakah Setan menjadi penyebab semua gempa itu?

Ketika Paulus dan Silas memuji Allah di tengah malam dalam penjara di Filipi, “Akan tetapi terjadilah gempa bumi yang hebat, sehingga sendi-sendi penjara itu goyah; dan seketika itu juga terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua.” (Kisah Para Rasul 16:26, tambahkan penekanan). Apakah Setan penyebab gempa-bumi itu? Entahlah! Bahkan kepala penjara diselamatkan setelah ia menyaksikan kuasa Allah. Dan gempa-bumi itu bukan satu-satunya Allah munculkan dalam Kisah Para Rasul (lihat Kisah Para Rasul 4:31).

Saya baru-baru ini membaca tentang orang-orang Kristen yang bermaksud baik dan, saat mendengar ramalan gempa-bumi di suatu daerah, saya pergi ke lokasi itu untuk melakukan “peperangan rohani” melawan Iblis. Adakah kesalahan asumsi mereka? Bisa saja mereka bertindak berdasarkan Alkitab dengan berdoa kepada Allah untuk memohon belas-kasihanNya bagi orang-orang yang bermukim di daerah itu. Dan jika mereka lakukan itu, maka tak perlu buang waktu dan uang untuk pergi ke lokasi yang akan tejadi gempa-bumi —para penduduk mungkin sudah berdoa kepada Allah tepat di tempat tinggal mereka. Tetapi, memerangi Iblis agar gempa-bumi berhenti bukanlah tindakan yang sesuai Alkitab.

Bagaimana dengan Badai Angin Kencang? (How About Hurricanes?)

Kata hurricane (Bahasa Indonesia, angin badai kencang) tidak terdapat dalam Alkitab, tetapi kita pasti dapat temukan beberapa contoh angin badai di dalam Alkitab. Misalnya:

Ada orang-orang yang mengarungi laut dengan kapal-kapal, yang melakukan perdagangan di lautan luas; mereka melihat pekerjaan-pekerjaan TUHAN, dan perbuatan-perbuatanNya yang ajaib di tempat yang dalam. Ia berfirman, maka dibangkitkanNya angin badai yang meninggikan gelombang-gelombangnya. (Mazmur 107:23-25, tambahkan penekanan).

Tetapi TUHAN menurunkan angin ribut ke laut, lalu terjadilah badai besar, sehingga kapal itu hampir-hampir terpukul hancur. (Yunus 1:4, tambahkan penekanan).

Kemudian dari pada itu aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut atau di pohon-pohon. (Wahyu 7:1).

Jelaslah, Allah sanggup memulai angin dan menghentikannya.

[8]

 

Dalam seluruh Alkitab, hanya satu ayat menunjuk pada Setan yang mengakibatkan angin. Dalam berbagai cobaan yang dialami Ayub, ketika seorang utusan melapor padanya: “Maka tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati. ” (Ayub 1:19).

Dari pasal pertama kitab Ayub, kita tahu Setan yang menyebabkan segala kemalangan Ayub. Tetapi, jangan lupa bahwa Setan tak dapat berbuat apapun untuk membahayakan Ayub atau anak-anaknya tanpa persetujuan Allah. Jadi, Allah berdaulat atas angin.

Angin Ribut di Danau Galilea

Bagaimana dengan “angin ribut” yang menghadang Yesus dan murid-muridNya ketika mereka menaiki perahu melintasi Danau Galilea? Tentu, Setanlah penyebab badai itu, karena Allah tak pernah mengirimkan angin yang membalikkan perahu yang ditumpangi AnakNya. “Sebuah kerajaan yang terpisah-pisah di dalam dirinya akan jatuh”, sehingga mengapa Allah mengirim angin yang dapat membahayakan Yesus dan duabelas murid?

Argumen-argumen di atas adalah baik, tetapi coba kita berpikir sejenak. Jika Allah tidak mengirimkan badai dan Setan mengirimkan, maka kita harus akui bahwa Allah izinkan Setan untuk mengirimkan badai itu. Sehingga, pertanyaan yang sama harus dijawab: mengapa Allah izinkan Setan mengirimkan badai yang mungkin saja membahayakan Yesus dan duabelas murid?

Adakah jawaban? Mungkin Allah mengajar murid-murid itu sesuatu tentang iman. Mungkin Ia menguji mereka. Mungkin Ia menguji Yesus, yang harus “sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa (Ibrani 4:15). Dengan pencobaan sepenuhnya, Yesus harus punya kesempatan untuk dicobai dengan rasa takut. Mungkin Allah ingin memuliakan Yesus. Mungkin Ia ingin melakukan semua hal itu.

Allah memimpin bangsa Israel ke tepi Laut Merah, dan Ia tahu benar bahwa mereka terkepung oleh pasukan Firaun yang tengah mengejar. Tetapi, tidakkah Allah akan menyerahkan bangsa Israel? Tidakkah Ia bertindak melawan diriNya karena memimpin mereka ke tempat di mana mereka akan dibunuh? Bukankah ini contoh “kerajaan yang terbagi melawan dirinya sendiri”?

Tidak, karena Allah tak berniat membiarkan bangsa Israel dibunuh. Dan, saat mengutus atau mengizinkan Setan untuk memunculkan angin ribut di Danau Galilea, Allah tak bermaksud membiarkan Yesus dan duabelas murid tenggelam.

Walau demikian, Alkitab tidak berkata bahwa Setan menimbulkan angin ribut ke atas Danau Galilea, dan juga Alkitab tidak berkata bahwa Allah menimbulkan angin ribut itu. Sebagian orang berkata bahwa Setan menimbulkan angin ribut karena Yesus menghardik angin ribut itu. Mungkin saja begitu, tetapi argumen itu bukan penjelasan yang tegas. Yesus tidak menghardik Allah —Ia menghardik angin. Allah Bapa bisa saja melakukan hal yang sama. Yakni, Ia bisa saja menyuruh angin dengan satu kata, lalu menenangkannya dengan hardikan. Hardikan Yesus atas angin bukan menjadi bukti bahwa Setanlah penyebab angin itu.

Jadi, kita tak boleh mendasarkan teologi kita pada satu ayat yang ternyata tiada apa-apanya. Saya mengacu pada ayat-ayat Alkitab yang membuktikan bahwa Allah berkuasa mengendalikan angin, dan Ia sering mendapat pujian karena mengirimkan angin. Maksud saya, meskipun Setan adalah “allah dunia ini”, ia pasti tak punya kendali bebas atas angin atau hak untuk memunculkan angin ribut kapanpun atau di manapun ia mau.

Karena itu, ketika terjadi angin ribut, kita tak boleh menganggapnya sebagai di luar kendali Allah, tetapi Ia ingin meredakannya. Hardikan Yesus terhadap angin di Danau Galilea menjadi bukti bahwa Allah dapat menghentikan angin ribut jika Ia mau.

Dan jika Allah mengirimkan (atau mengizinkan terjadinya) angin ribut, pastilah Ia punya alasan, dan jawaban tepat mengapa Ia memuncukan atau mengizinkan terjadinya badai yang menimbulkan kerusakan yang mengerikan adalah bahwa Ia mengingatkan dan menghukum orang-orang yang tidak taat.

“Tetapi Angin Ribut Terkadang Melanda Orang-Orang Kristen” (“But Hurricanes Sometimes Harm Christians”)

Bagaimana dengan orang-orang Kristen yang mengalami bencana alam? Ketika angin ribut melanda, tak hanya rumah orang bukan-Kristen yang hancur. Apakah orang Kristen tidak terbebas dari murka Allah karena pengorbanan kematian Yesus? Lalu, bagaimana dapat dikatakan bahwa Allah adalah Oknum di balik setiap bencana yang melanda anak-anakNya?

Memang tiap pertanyaan itu sulit. Tetapi, harus disadari bahwa tak mudah menjawab tiap pertanyaan jika kita mendasarkannya pada prinsip keliru bahwa Setan menyebabkan bencana alam. Jika Setan penyebab semua bencana alam, lalu mengapa Allah izinkan Setan menimbulkan hal-hal yang membahayakan anak-anakNya? Kita masih hadapi masalah yang sama.

Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa mereka yang di dalam Kristus ”tidak ditimpa murka” (1 Tesalonika 5:9). Pada saat yang sama, Alkitab berkata bahwa “barangsiapa tidak taat kepada Anak [Yesus], ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.” (Yohanes 3:36). Namun, bagaimana murka Allah mengena kepada orang yang belum selamat tanpa mempengaruhi orang yang sudah selamat, ketika orang yang sudah selamat hidup bersama dengan orang-orang yang belum selamat? Jawaban: kadang-kadang murka Allah tidak pada orang yang belum selamat, dan kita harus hadapi fakta itu.

Di zaman keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir, semua orang Israel hidup bersama di satu tempat, dan wabah penyakit yang Allah kirimkan sebagai hukuman atas orang-orang Mesir tidak membahayakan bangsa Israel (lihat Keluaran 8:22-23; 9:3-7; 24-26; 12:23). Tetapi bersama kita, kita hidup dan bekerja bersama-sama dengan “orang-orang Mesir.” Jika Allah hendak menghukum mereka melalui bencana alam, lalu bagaimana kita akan menghindarinya?

Kata kunci dalam memahami jawaban atas pertanyaan itu ialah menghindar. Walaupun Nuh menghindari murka Allah ketika Allah menenggelamkan bumi, ia masih merasakan hal yang tak ia inginkan, karena ia harus membuat bahtera dan menunggu satu tahun di dalam bahtera dengan banyak hewan yang bau. (Dan juga, dalam hal banjir di zaman Nuh, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memberi kemuliaan bagi Allah, bukan bagi Setan; lihat Kejadian 6:17; 2 Petrus 2:5).

Lot menyelamatkan diri ketika hukuman Allah melanda Sodom dan Gomorah, namun ia kehilangan semua yang ia miliki melalui penghancuran api dan belerang. Hukuman Allah atas orang jahat mempengaruhi orang benar.

Bertahun-tahun sebelumnya, Yesus telah mengingatkan orang-orang percaya di Yerusalem untuk melarikan diri ketika mereka melihat kota mereka dikepung tentara, karena hari-hari itu akan menjadi “masa pembalasan” (Lukas 21:22-23). Hal ini jelas menunjukkan maksud Allah yang penuh murka sehingga terjadi penaklukan Yerusalem pada tahun 70 Masehi oleh tentara Romawi. Pujilah Tuhan bahwa orang-orang Kristen yang memperhatikan peringatan Kristus melarikan diri, tetapi mereka masih kehilangan hal-hal yang harus ditinggalkan di Yerusalem.

Dalam ketiga contoh di atas, kita lihat bahwa umat Allah bisa saja menderita ketika hukuman Allah menimpa orang-orang jahat. Karena itu, kita tak dapat berkesimpulan bahwa Allah tak bertanggung-jawab atas bencana alam karena kadang-kadang bencana itu melanda orang-orang Kristen.

Lalu, Apa Yang Harus Kita Lakukan? (What then Shall We Do?)

Kita hidup di dunia yang dikutuk Allah, dunia yang menderita karena murka Allah sepanjang waktu. Paulus menulis, “Sebab murka Allah nyata [tidak “akan dinyatakan”] dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” (Roma 1:18). Sebagai orang-orang yang hidup di tengah dunia yang jahat dan dikutuk oleh Allah, kita tak dapat menghindari akibat murka Allah terhadap dunia, meskipun murka itu tidak ditujukan khusus kepada kita.

Dengan mengetahui hal ini, lalu apa yang harus dilakukan? Pertama, kita harus percaya kepada Allah. Yeremia menulis:

Dalam pada itu ada juga burung rajawali besar yang lain dengan sayapnya yang besar dan bulu yang lebat. Dan sungguh, pohon anggur ini mengarahkan akar-akarnya ke burung itu dan cabang-cabangnya dijulurkannya kepadanya, supaya burung itu mengairi dia lebih baik dari bedeng di mana ia ditanam. Namun ia ditanam di ladang yang baik, dekat air yang berlimpah-limpah, supaya ia bercabang-cabang dan berbuah dan supaya menjadi pohon anggur yang bagus. (Yeremia 17:7-8).

Perhatikan, Yeremia tidak berkata bahwa orang yang percaya kepada Tuhan tidak akan pernah menghadapi kemarau. Tidak, ketika panas dan kelaparan melanda, orang percaya bagaikan pohon yang menyebarkan akar-akarnya ke aliran air. Ia punya sumber lain makanan, bahkan selagi dunia di sekitarnya menderita. Contohnya, kisah Elisa yang diberi makan oleh burung gagak selama kelaparan di Israel (lihat 1 Raja-Raja 17:1-6). Daud menulis tentang orang-orang benar, “mereka akan menjadi kenyang pada hari-hari kelaparan” (Mazmur 37:19).

Tetapi, tidakkah kelaparan disebabkan oleh Iblis? Tidak, menurut Alkitab. Allah selalu bertanggung-jawab, dan kelaparan dianggap sebagai konsekwensi murkaNya atas orang-orang yang layak mengalaminya. Misalnya:

Sebab itu beginilah firman TUHAN semesta alam: “Sesungguhnya, Aku akan menghukum mereka: pemuda-pemuda mereka akan mati oleh pedang, anak-anak mereka yang laki-laki dan perempuan akan habis mati kelaparan” (Yeremia 11:22, tambahkan penekanan).

Beginilah firman TUHAN semesta alam: Sesungguhnya, Aku akan mengirim pedang, kelaparan dan penyakit sampar ke antara mereka, dan Aku akan membuat mereka seperti buah ara yang busuk dan demikian jeleknya, sehingga tidak dapat dimakan. (Yeremia 29:17).

“Hai anak manusia, kalau sesuatu negeri berdosa kepada-Ku dengan berobah setia dan Aku mengacungkan tangan-Ku melawannya dengan memusnahkan persediaan makanannya dan mendatangkan kelaparan atasnya dan melenyapkan dari negeri itu manusia dan binatang,…” (Yehezkiel 14:13, tambahkan penekanan).

Kamu mengharapkan banyak, tetapi hasilnya sedikit, dan ketika kamu membawanya ke rumah, Aku menghembuskannya. Oleh karena apa? demikianlah firman TUHAN semesta alam. Oleh karena rumah-Ku yang tetap menjadi reruntuhan, sedang kamu masing-masing sibuk dengan urusan rumahnya sendiri. Itulah sebabnya langit menahan embunnya dan bumi menahan hasilnya, dan Aku memanggil kekeringan datang ke atas negeri, ke atas gunung-gunung, ke atas gandum, ke atas anggur, ke atas minyak, ke atas segala yang dihasilkan tanah, ke atas manusia dan hewan dan ke atas segala hasil usaha.” (Hagai 1:9-11, tambahkan penekanan).

Pada contoh keempat di atas, orang-orang Israel disalahkan karena kemarau oleh karena dosa mereka, tetapi Allah bertanggung-jawab atas munculnya kemarau itu.

[9]

 

Jika Allah menimbulkan kelaparan pada orang-orang jahat, dan kita hidup di antara orang-orang jahat itu, lalu kita percaya bahwa Ia akan menyediakan kebutuhan kita. Paulus tegaskan bahwa kelaparan tak dapat memisahkan kita dari kasih Kristus!: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Roma 8:35, tambahkan penekanan). Perhatikan, Paulus tidak berkata bahwa orang-orang Kristen tak akan pernah mengalami kelaparan, tetapi sebaliknya bermakna bahwa mereka bisa saja mengalami kelaparan; meskipun Paulus masih belajar ayat-ayat Alkitab, ia tahu bahwa Allah dapat memunculkan kelaparan untuk menghukum orang-orang jahat.

Ketaatan dan Hikmat (Obedience and Wisdom)

Kedua, kita harus taat dan menggunakan hikmat ilahi untuk menghindari perangkap murka Allah yang ditujukan pada dunia. Nuh harus membuat bahteranya, Lot harus menuju ke perbukitan, orang-orang Kristen di Yerusalem harus meninggalkan kota mereka; mereka semua harus menaati Allah untuk menghindari perangkap hukumanNya atas orang-orang jahat.

Jika saya hidup di wilayah angin ribut, saya akan bangun rumah yang kuat yang tidak dapat dirobohkan angin atau rumah murah yang mudah dipindahkan! Dan saya berdoa. Setiap orang Kristen harus berdoa dan tetap peka kepada Pribadi yang Yesus janjikan akan “memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang” (Yohanes 16:13) sehingga ia dapat menghindari murka Allah atas dunia.

Kita baca dalam Kisah Para Rasul 11 tentang nabi Agabus yang mengingatkan datangnya kelaparan yang bisa menimbulkan bencana bagi orang-orang Kristen di Yudea. Sehingga, Paulus dan Barnabas menerima sumbangan untuk menolong orang-orang Kristen itu (lihat Kisah Para Rasul 11:28-30).

Bisakah hal-hal itu terjadi kini? Tentu saja, karena Roh Kudus tidak berubah, kasih Allah juga tidak habis. Tetapi, sayangnya sebagian orang dalam tubuh Kristus tidak terbuka bagi berbagai karunia dan manifestasi Roh Kudus, sehingga mereka tak menikmati sebagian hal terbaik dari Allah, karena mereka “memadamkan Roh ” (1 Tesalonika 5:19).

Dalam otobiografinya, mantan presiden dan pendiri Persekutuan Usahawan Injil Sepenuh (the Full Gospel Businessmen), Demos Shakarian mengingat bagaimana Allah berbicara melalui seorang nabi-anak yang buta huruf kepada orang-orang Kristen yang hidup di Armenia pada penghujung tahun 1800an. Ia ingatkan mereka akan terjadinya pembantaian besar-besaran, sehingga ribuan orang-orang Kristen Pentakosta yang percaya kepada manifestasi adikodrati meninggalkan negara itu, termasuk kakek dan nenek Shakarian. Segera setelah itu, invasi Turki ke Armenia membantai lebih dari satu juta orang Armenia, termasuk orang-orang Kristen yang tidak menghiraukan peringatan Allah.

Kita harus bijak untuk terbuka kepada Roh Kudus dan taat kepada Allah, jika tidak, sangat mungkin kita mengalami murka Allah yang sebenanya Ia tak ingin kita alami. Elisa pernah memerintahkan seorang wanita: “Berkemaslah dan pergilah bersama-sama dengan keluargamu, dan tinggallah di mana saja engkau dapat menetap sebagai pendatang, sebab TUHAN telah mendatangkan kelaparan, yang pasti menimpa negeri ini tujuh tahun lamanya.” (2 Raja-Raja 8:1). Bagaimana seandainya wanita itu tak mendengarkan nabi itu?

Dalam kitab Wahyu kita baca peringatan bagi umat Allah untuk keluar dari “Babilon” jika tidak mereka akan terperangkap dalam hukuman Allah atasnya:

Lalu aku mendengar suara lain dari sorga berkata: “Pergilah kamu, hai umat-Ku, pergilah dari padanya [Babylon] supaya kamu jangan mengambil bagian dalam dosa-dosanya, dan supaya kamu jangan turut ditimpa malapetaka-malapetakanya. Sebab dosa-dosanya telah bertimbun-timbun sampai ke langit, dan Allah telah mengingat segala kejahatannya. …. Sebab itu segala malapetakanya akan datang dalam satu hari, yaitu sampar dan perkabungan dan kelaparan; dan ia akan dibakar dengan api, karena Tuhan Allah, yang menghakimi dia, adalah kuat.” (Wahyu 18:4-5, 8, tambahkan penekanan).

Kesimpulannya, Allah berdaulat atas cuaca dan bencana alam. Dalam Alkitab, Allah berkali-kali membuktikan diriNya sebagai Tuhan atas alam, Dia yang membuat empat puluh hari hujan di zaman Nuh, Dia yang menurunkan hujan batu dan mengirimkan wabah penyakit lainnya kepada musuh-musuh Israel, Dia yang menimbulkan angin yang menghantam kapal yang ditumpangi Yunus, Dia yang menghardik badai di Danau Galilea. Menurut perkataan Yesus, Dia adalah “Tuhan langit dan bumi” (Matius 11:25). Untuk tambahan bukti Alkitabiah mengenai kekuasaan Allah atas alam, lihat Yosua 10:11; Ayub 38:22-38; Yeremia 5:24; 10:13; 31:35; Mazmur 78:45-49; 105:16; 107:33-37; 135:6-7; 147:7-8, 15-18; Matius 5:45; Kisah Para Rasul 14:17.

Jawaban atas Beberapa Pertanyaan (A Few Questions Answered)

Jika Allah menghukum orang-orang melalui kelaparan, banjir, dan gempa bumi, maka, sebagai wakil-wakil Allah, apakah keliru bila kita membantu dan memulihkan penderitaan mereka yang sedang dihukum oleh Allah?

Sama-sekali tidak. Kita harus sadari bahwa Allah mengasihi setiap orang, termasuk orang-orang yang Dia hukum. Walau tampak aneh, hukumanNya melalui bencana alam sebenarnya adalah indikasi kasihNya. Bagaimana bisa begitu? Melalui kesulitan dan penderitaan yang diakibatkan oleh bencana alam, Allah mengingatkan orang-orang yang Ia kasihi bahwa Ia adalah suci dan mendatangkan hukuman, dan ada konsekwensi atas dosa. Allah izinkan penderitaan sementara untuk membantu orang-orang agar menyadari bahwa ia butuh seorang Juruselamat —agar mereka menghindari lautan api. Itulah kasih!

Selama orang masih bernafas, Allah masih menunjukkan belas-kasihan yang tak layak didapatkannya dan ada waktu baginya untuk bertobat. Dengan belas-kasihan dan pertolongan, kita dapat tunjukkan kasih Allah bagi orang-orang yang mengalami murka sementara dariNya, tetapi dapat diselamatkan dari murkaNya yang kekal. Bencana alam adalah kesempatan untuk menjangkau dunia yang olehnya Yesus sudah mati.

Bukankah menjangkau orang-orang dengan Injil adalah hal terpenting dalam kehidupan ini? Ketika kita memperoleh perspektif kekal, penderitaan orang-orang yang terjebak dalam bencana alam bukan apa-apa dibandingkan penderitaan mereka yang akan dilempar masuk ke lautan api.

Nyatanya, orang-orang umumnya menjadi lebih menerima Injil ketika mereka menderita. Ada banyak contoh dalam Alkitab tentang gejala tersebut, seperti pertobatan bangsa Israel selama ditekan oleh bangsa-bangsa tetangganya, dan kisah yang Yesus ceritakan tentang anak yang hilang. Orang-orang Kristen harus memandang bencana alam sebagai saat-saat ketika ladang sudah menguning dan siap dituai.

Marilah Kita Beritakan Kebenaran (Let’s Tell the Truth)

Tetapi, apa pesan kita kepada mereka yang memunguti sisa-sisa kehidupan setelah angin ribut atau gempa-bumi? Bagaimana kita harus menjawab jika mereka meminta jawaban teologis atas situasi sulit yang mereka hadapi? Jujurlah dengan ajaran Alkitab, dan katakan kepada orang-orang bahwa Allah adalah suci dan dosa mereka membawa akibat. Katakan kepada mereka bahwa deru angin ribut yang menakutkan adalah contoh kecil kuasa Tuhan yang Mahakuasa, dan ketakutan yang mereka rasakan ketika rumah bergoncang bukan apa-apa dibandingkan ketakutan yang akan melanda ketika mereka dibuang ke dalam neraka. Dan katakan kepada mereka bahwa meskipun kita semua layak masuk neraka, Allah dengan penuh kasih memberi waktu bagi kita untuk bertobat dan percaya kepada Yesus, yang olehNya kita dapat diselamatkan dari murka Allah.

Sebagian orang bertanya “Tetapi, bukankah kita tidak boleh menakuti orang-orang tentang Allah?” Jawaban Alkitab: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” (Amsal 1:7). Sebelum orang-orang takut akan Tuhan, mereka sebenarnya tak tahu apa-apa.

Bagaimana bila Orang Marah Kepada Allah (What if People Become Angry With God?)

Mungkinkah orang-orang tidak marah kepada Allah oleh karena penderitaan mereka? Mungkin mereka marah, tetapi dengan kelembutan kita, bantulah mereka untuk melihat kebanggan mereka. Tak seorangpun berhak mengeluh kepada Allah atas perlakuanNya kepadanya, karena kita semua layak dibuang ke neraka sejak dulu kala. Bukannya mengutuki Allah karena bencana, tiap orang haruslah memuji Tuhan karena Ia tetap mengasihinya dengan mengingatkannya. Allah berhak mengabaikan setiap orang, dengan membiarkannya mengikuti jalan-jalannya sendiri menuju neraka. Tetapi, setiap hari Allah mengasihinya dan memanggilnya. Dengan lembut, Ia memanggil setiap orang melalui bunga-bunga, pohon apel, kicauan merdu burung, kemuliaan gunung-gunung, dan kerlipan puluhan ribu bintang di langit. Ia memanggil tiap orang melalui kata-hatinya, gerejaNya, dan Roh KudusNya. Tetapi, orang-orang sering mengabaikan panggilanNya.

Tentu saja, Tuhan tak mengendaki orang-orang mengalami penderitaan, tetapi ketika mereka terus mengabaikanNya, Ia mengasihi mereka dengan melakukan langkah-langkah lebih drastis demi menarik perhatian mereka. Angin ribut, gempa bumi, banjir dan kelaparan adalah beberapa langkah lebih drastis itu. Tuhan berharap agar bencana-bencana itu dapat merendahkan kesombongan orang-orang dan membuat mereka sadar.

Apakah Allah Tidak Adil dalam HukumanNya (Is God Unfair in His Judgment?)

Ketika kita perhatikan Allah dan dunia kita dari sudut-pandang Alkitab, maka kita berpikir dengan benar. Alkitab memandang bahwa setiap orang layak mendapat murka Allah, namun Allah penuh kasih karunia. Ketika orang yang menderita mengatakan ia layak mendapat perlakuan lebih baik dari Allah, tentu saja Ia mengeluh. Setiap orang akan menerima lebih banyak belas-kasihan daripada yang layak diterimanya.

Selaras dengan tema itu, Yesus pernah berkomentar tentang dua bencana yang terjadi untuk sementara. Kita baca dalam Injil Lukas:

Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Yesus menjawab mereka: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (Lukas 13:1-5).

Orang-orang Galilea yang mati di tangan Pilatus tak dapat berkata, “Allah tidak adil memperlakukan kita karena tidak menyelamatkan kita dari Pilatus!” Tidak, mereka orang-orang berdosa yang layak mati. Dan, menurut Yesus, kelirulah orang-orang Galilea yang tetap bertahan bila mereka simpulkan bahwa dosa mereka lebih sedikit dibandingkan dosa sesama mereka yang dibunuh. Mereka tak mendapatkan kebaikan yang lebih besar dari Allah —mereka telah diberi kasih karunia yang lebih besar.

Pesan Kristus jelas: “Kalian semua orang berdosa. Dosa memiliki akibat. Kini, kalian hidup oleh karena belas-kasihan Allah. Jadi bertobatlah sebelum kalian terlambat.”

Yesus menyimpulkan komentar-komentarNya mengenai tragedi-tragedi dengan perumpamaan tentang belas-kasihan Allah:

Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!” (Lukas 13:6-9).

Itulah gambaran keadilan dan belas-kasihan Allah. Keadilan Allah berseru, “Tebanglah pohon yang tak berguna!” Tetapi belas-kasihanNya memohon, “Tidak, berikan tambahan waktu untuk berbuah.” Tiap orang yang tak memiliki Kristus bagaikan pohon itu.

Dapatkan Kita Menghardik Angin Ribut dan Banjir? (Can We Rebuke Hurricanes and Floods?)

Satu pertanyaan akhir tentang bencana alam: Jika kita punya cukup iman, apakah tidak benar bila kita dapat menghardik dan mencegah terjadinya bencana alam?

Beriman berarti mempercayai kehendak tersembunyi dari Allah. Karena itu, iman harus didasarkan pada perkataan Allah atau iman itu bukanlah iman sama sekali, tetapi hanya harapan atau praduga. Dalam Alkitab Allah tak pernah berjanji bahwa kita dapat menghardik dan menenangkan angin ribut, sehingga tiada jalan bagi orang untuk beriman demi melakukan hal itu (di luar kedaulatan Allah yang memberikan iman padanya).

Saya jelaskan lebih lanjut. Cara memiliki iman untuk menghardik angin ribut adalah bila ia yakin bahwa Allah tidak ingin angin ribut itu menghantam daerah tertentu. Seperti kita pelajari dari Alkitab, Allah adalah Pengendali angin dan bertanggung-jawab atas angin ribut. Karena itu, tak mungkin seseorang beriman sehingga ia dapat menghentikan angin ribut ketika Allah Sendiri telah tetapkan munculnya angin itu! Kecuali bila Allah mengubah pikiranNya tentang angin ribut, yang mungkin Ia lakukan untuk menjawab doa seseorang agar Ia menunjukkan belas-kasihan, atau menanggapi pertobatan orang yang nyaris Dia hukum (misalnya, ingatlah kisah Ninewe di zaman nabi Yunus). Tetapi, meskipun Allah mengubah pikiranNya, tak seorangpun dapat beriman untuk menghardik dan menenangkan angin ribut bila ia tak tahu bahwa Allah telah mengubah pikiranNya dan juga tahu bahwa Allah menghendakinya untuk menghardik dan menenangkan angin ribut .

Yesuslah satu-satunya orang yang pernah menghardik dan menenangkan angin ribut. Cara kita untuk dapat melakukannya adalah bila Allah memberi “karunia iman” (juga disebut karunia “iman khusus”) sebagai salah satu dari sembilan karunia Roh dalam 1 Korintus12:7-11. Seperti karunia-karunia Roh, karunia iman bekerja sesuai kemauan kita, namun hanya oleh kehendak Roh (lihat 1 Korintus 12:11). Karena itu, bila Allah tidak memberikan karunia khusus untuk menghardik angin ribut, janganlah tetap tinggal dalam jalur angin itu, melalui tindakan iman. Jauhilah jalur angin itu! Saya sarankan anda untuk berdoa demi mendapat perlindungan Allah, dan memohon belas-kasihan dariNya untuk orang-orang yang tengah dihukumNya, sambil memohon padaNya untuk menyelamatkan kehidupan mereka sehingga mereka dapat memiliki waktu lebih banyak untuk bertobat.

Perhatikan bahwa ketika Paulus sedang menuju ke Roma dengan kapal yang didorong oleh angin kencang selama dua minggu, ia tidak menenangkannya dengan hardikan (lihat Kisah Para Rasul 27:14-44). Ia tak menghardik angin kencang itu karena ia tak sanggup. Perhatikan juga bahwa Allah benar-benar berbelas-kasihan kepada setiap orang di perahu itu, karena semua 276 orang selamat dari kapal yang karam (lihat Kisah Para Rasul 27:24, 34, 44). Saya berpendapat bahwa Allah berbelas-kasihan pada mereka karena Paulus berdoa agar Allah memberikan belas-kasihan kepada mereka.

 


[1]

Ada dua kemungkinan keberatan yang dijawab: (1) Yudas menyebutkan perselisihan antara Mikhael dan Setan tentang mayat Musa, namun tak ada sebutan peperangan sebenarnya. Kenyataannya, Yudas menyatakan kepada kita bahwa Mikhael “tidak berani menghakimi Iblis itu dengan kata-kata hujatan, tetapi berkata: “Kiranya Tuhan menghardik engkau!” (Yudas 1:9). (2) Ketika Elisa dan hambanya dikepung oleh tantara Siria di kota Dotan, Elisa berdoa kepada Allah untuk membukakan mata hamba itu (2 Raja-Raja 6:15-17). Dengan demikian, hambanya melihat “kuda-kuda dan kereta-kereta yang berhiaskan api” yang kita asumsikan dinaikkan dan ditaklukkan dan diduduki oleh pasukan para malaikat di dalam alam roh. Tetapi, itu bukanlah indikasi pasti bahwa para malaikat sudah atau hampir saja terlibat peperangan dengan para malaikat Setan. Malaikat-malaikat kadang-kadang dipakai oleh Allah untuk melaksanakan murkaNya melawan orang-orang jahat, sebuah contih adalah pembunuhan 185,000 tentara Asyur oleh seorang malaikat, yang dicatat dalam 2 Raja-Raja 19:35.

[2]

Lihat, misalnya, Matius 1:20; 2:13, 19; 4:11; Lukas 1:11-20, 26-38.

[3]

Seluruh perikop ini juga menjadi bukti bahwa Ayub tidak “membuka pintu kepada Setan melalui rasa takutnya”, sebuah mitos yang diyakini oleh beberapa orang. Allah Sendiri berkata kepada Setan mengenai Ayub dalam Ayub 2:3: “Ia [Ayub] tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan.” (tambahkan penekanan). Saya bahas hal ini secara rinci dalam buku saya berjudul, God’s Tests, halaman 175-181, yang juga dapat dibaca dalam Bahasa Inggris pada situs kami www.shepherdserve.org.

[4]

Lebih jelas, kita lihat dalam Alkitab versi New American Standard Bible/NASB, Lukas 22:31 ini berbunyi “Simon, Simon, behold, Satan has demanded {permission} to sift you like wheat, yang terjemahannya menjadi “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut [izin] untuk menampi kamu seperti gandum”

[5]

Lihat juga 1 Korintus 10:13, yang menunjukkan bahwa Allah membatasi pencobaan kita, yang menunjukkan bahwa Ia membatasi si pencoba.

[6]

Dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi geografi.

[7]

Apakah ini berarti bahwa kita tak boleh berdoa untuk para pemimpin pemerintah, atau ikut memberikan suara dalam pemilihan pemimpin, karena tahu bahwa Allah meninggikan siapapun yang Ia inginkan atas kita? Tidak, dalam sebuah demokrasi, murka Allah praktis timbul. Kita mendapatkan orang yang kita pilih, dan orang-orang jahat biasanya memilih orang-orang jahat lainnya. Karena itu, orang-orang benar harus memberikan suaranya. Tambahan pula, dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kita diperintahkan untuk mendoakan para pemimpin pemerintahan (Yeremia 29:7; 1 Timotius 2:1-4), yang menunjukkan bahwa kita dapat mempengaruhi Allah ketika Ia menentukan orang yang akan memegang jabatan. Karena hukuman Allah kadang-kadang muncul dalam bentuk pemimpin pemerintahan yang jahat, dan karena sebagian besar bangsa-bangsa di dunia layak dihukum, kita dapat memohon dan mendapatkan belas-kasihan dariNya, sehingga negara kita tidak mendapatkan segala sesuatu yang layak didapatkan.

[8]

Ayat-ayat Alkitab yang membuktikan bahwa Allah mengendalikan angin adalah: Kejadian 8:11; Keluaran 10:13, 19; 14:21; 15:10; Bilangan 11:31; Mazmur 48:7; 78:76; 135:7; 147:18; 148:8; Yesaya 11:15; 27:8; Yeremia 10:13; 51:16; Yehezkiel 13:11, 13; Amos 4:9, 13; Yunus 4:8; Hagai 2:17. dalam banyak contoh ini, Allah menggunakan angin sebagai cara menghukum.

[9]

Untuk acuan tambahan terhadap Allah sebagai penyebab kelaparan, lihat Ulangan 32:23-24; 2 Samuel 21:1; 24:12-13; 2 Raja-Raja 8:1; Mazmur 105:16; Yesaya 14:30;Yeremia 14:12, 15-16; 16:3-4; 24:10; 27:8; 34:17; 42:17; 44:12-13; Yehezkiel 5:12, 16-17; 6:12; 12:16; 14:21; 36:29; Wahyu 6:8; 18:8). Yesus Sendiri berkata bahwa Allah “menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Matius 5:45). Allah mengendalikan hujan.

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Tigapuluh (Chapter Thirty)

Bab Duapuluh-Tujuh (Chapter Twenty Seven)

Kehidupan Setelah Kematian (The Afterlife)

 

Sebagian besar orang Kristen tahu bahwa ketika seorang manusia mati, ia bisa saja ke neraka atau ke sorga. Namun tak semua orang menyadari bahwa sorga bukanlah tempat akhir bagi orang benar, dan bahwa Hades bukanlah tempat akhir bagi orang tidak benar.

Ketika para pengikut Yesus Kristus meninggal, roh-roh/jiwa-jiwa mereka segera pergi ke sorga di mana Allah tinggal (lihat 2 Korintus 5:6-8; Filipi 1:21-23; 1 Tesalonika 4:14). Namun sekali kelak nanti, Allah akan menciptakan sorga baru dan bumi baru, dan Yerusalem Baru akan turun dari sorga ke bumi (lihat 2 Petrus 3:13; Wahyu 21:1-2). Di Yerusalem Baru, orang-orang benar akan hidup selamanya.

Ketika orang tidak benar meninggal, ia pergi ke Hades, yakni tempat sementara di mana ia akan menunggu tubuhnya untuk dibangkitkan kembali. Ketika harinya tiba, ia akan berdiri di hadapan takhta penghakiman Allah, lalu dilempar ke dalam lautan yang menyala-nyala dengan api dan belerang, dan di dalam Alkitab, tempat itu disebut Gehenna. Kita akan bahas semua itu secara lebih rinci dari Alkitab.

Ketika Orang Tidak Benar Mati (When the Unrighteous Die)

Untuk memahami dengan benar apa yang terjadi kepada orang yang tidak benar setelah ia mati, kita harus pelajari satu kata bahasa Ibrani dalam Perjanjian Lama dan tiga kata bahasa Gerika dalam Perjanjian Baru. Walaupun satu kata bahasa Ibrani dan tiga kata bahasa Gerika menggambarkan tiga tempat berbeda, semua kata itu sering diterjemahkan menjadi neraka dalam terjemahan Alkitab, yang bisa saja membingungkan para pembaca.

Pertama, perhatikan kata Sheol dalam bahasa Ibrani dalam Perjanjian Lama.

Kata Sheol disebutkan lebih dari 60 kali dalam Perjanjian Lama. Kata itu mengacu pada tempat tinggal setelah-mati bagi orang-orang tidak benar. Misalnya, ketika Korah dan para pengikutNya memberontak melawan Musa di padang gurun, Allah menghukum mereka dengan cara membuka tanah, sehingga mereka dan semua harta miliknya terperosok. Alkitab berkata bahwa mereka jatuh ke dalam Sheol:

Demikianlah mereka dengan semua orang yang ada pada mereka turun hidup-hidup ke dunia orang mati [Sheol]; dan bumi menutupi mereka, sehingga mereka binasa dari tengah-tengah jemaah itu. (Bilangan 16:33, tambahkan penekanan).

Lalu dalam sejarah Israel, Allah ingatkan mereka bahwa murka Allah memperkuat nyala api yang membakar Sheol:

Sebab api telah dinyalakan oleh murka-Ku, dan bernyala-nyala sampai ke bagian dunia orang mati yang paling bawah; api itu memakan bumi dengan hasilnya, dan menghanguskan dasar gunung-gunung. (Ulangan 32:22, tambahkan penekanan).

Raja Daud menyatakan bahwa,

Orang-orang fasik akan kembali ke dunia orang mati [Sheol], ya, segala bangsa yang melupakan Allah. (Mazmur 9:17, tambahkan penekanan).

Dan ia berdoa untuk menghadapi orang-orang yang tidak benar dengan memohon,

Biarlah maut menyergap mereka, biarlah mereka turun hidup-hidup ke dalam dunia orang mati [Sheol]! Sebab kejahatan ada di kediaman mereka, ya dalam batin mereka. (Mazmur 55:16, tambahkan penekanan).

Untuk mengingatkan orang muda akan tipuan wanita sundal, Salomo menuliskan,

Rumahnya adalah jalan ke dunia orang mati [Sheol], yang menurun ke ruangan-ruangan maut. …. Tetapi orang itu tidak tahu, bahwa di sana ada arwah-arwah dan bahwa orang-orang yang diundangnya ada di dalam dunia orang mati [Sheol]. (Amsal 7:27; 9:18, tambahkan penekanan).

Salomo menuliskan amsal lainnya yang membuat kita percaya bahwa bukanlah orang-orang benar yang berakhir di Sheol:

Jalan kehidupan orang berakal budi menuju ke atas, supaya ia menjauhi dunia orang mati [Sheol] di bawah. (Amsal 15:24, tambahkan penekanan).

Engkau memukulnya [anakmu] dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati [Sheol]. (Amsal 23:14, tambahkan penekanan)

Akhirnya, dengan memperkirakan gambaran Yesus tentang neraka, dengan nubuatan Yesaya berbicara kepada raja Babilonia, yang meninggikan dirinya tetapi yang nanti dilemparkan ke dalam Sheol:

Dunia orang mati [Sheol] yang di bawah gemetar untuk menyongsong kedatanganmu, dijagakannya arwah-arwah bagimu, yaitu semua bekas pemimpin di bumi; semua bekas raja bangsa-bangsa dibangunkannya dari takhta mereka. Sekaliannya mereka mulai berbicara dan berkata kepadamu: ‘Engkau juga telah menjadi lemah seperti kami, sudah menjadi sama seperti kami!’ Ke dunia orang mati sudah diturunkan kemegahanmu dan bunyi gambus-gambusmu; ulat-ulat dibentangkan sebagai lapik tidurmu, dan cacing-cacing sebagai selimutmu.” “Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di Bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi! Sebaliknya, ke dalam dunia orang mati [Sheol] engkau diturunkan, ke tempat yang paling dalam di liang kubur. Orang-orang yang melihat engkau akan memperhatikan dan mengamat-amati engkau, katanya: Inikah dia yang telah membuat bumi gemetar, dan yang telah membuat kerajaan-kerajaan bergoncang, yang telah membuat dunia seperti padang gurun, dan menghancurkan kota-kotanya, yang tidak melepaskan orang-orangnya yang terkurung pulang ke rumah? (Yesaya 14:9-17, tambahkan penekanan).

Ayat-ayat Alkitab di atas dan ayat-ayat lain seperti itu meyakinkan kita bahwa Sheol sudah menjadi dan masih menjadi tempat siksaan di mana orang-orang tidak benar dikurung setelah mereka mati. Dan masih ada bukti lagi.

Hades (Hades)

Hades, kata bahasa Gerika dalam Perjanjian Baru, mengacu pada tempat yang sama dengan kata bahasa Ibrani dalam Perjanjian Lama, Sheol. Untuk bukti hal ini, kita bandingkan Mazmur 16:10 dengan Kisah Para Rasul 2:27, berikut ini:

Sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati [Sheol], dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. (Mazmur 16:10, tambahkan penekanan).

Sebab Engkau tidak menyerahkan aku kepada dunia orang mati [Hades], dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. (Kisah Para Rasul 2:27, tambahkan penekanan).

Dengan demikian, dalam sepuluh contoh di mana kata Hades disebutkan dalam Perjanjian Baru, kata itu selalu dibicarakan dalam arti negatif dan sering disebut sebagai tempat penyiksaan orang-orang jahat yang dikurung setelah mati (lihat Matius 11:23; 16:18; Lukas 10:15; 16:23; Kisah Para Rasul 2:27; 2:31; Wahyu 1:18; 6:8; 20:13-14). Semua hal di atas menunjukkan bahwa Sheol/Hades dulu dan sekarang adalah tempat bagi orang-orang tidak benar setelah mereka mati, satu tempat penyikasaan.

[1]

 

Apakah Yesus Pergi ke Sheol/Hades? (Did Jesus Go to Sheol/Hades?)

Selanjutnya perhatikan Mazmur 16:10 dan kutipan Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:27, dua ayat yang menunjukkan bahwa Sheol dan Hades adalah tempat yang sama. Menurut khotbah Petrus di hari Pentakosta, Daud tidak berbicara tentang dirinya dalam Mazmur 16:10, tetapi secara profetik ia berbicara tentang Kristus, karena tubuh Daud, tidak seperti tubuh Kristus, mengalami kehancuran (lihat Act 2:29-31). Maka, kita sadari bahwa sebenarnya Yesus sedang berbicara kepada Bapanya dalam Mazmur16:10, yang menyatakan keyakinanNya bahwa Bapanya tidak akan meninggalkan jiwaNya menuju Sheol atau mengizinkan tubuhNya mengalami kehancuran.

Sebagian orang menafsirkan pernyataan Yesus itu sebagai bukti bahwa jiwaNya menuju ke Sheol/Hades selama tiga hari antara kematianNya dan kebangkitanNya. Tetapi, bukan itu yang dimaksudkan. Pastikan apa yang Yesus katakan kepada BapaNya:

Sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati [Sheol], dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan. (Mazmur 16:10).

Yesus tidak berkata kepada BapaNya, “Saya tahu bahwa jiwaku akan pergi beberapa hari di Sheol/Hades, tetapi saya percaya Engkau tidak akan meninggalkanKu di sana.” Sebaliknya Ia berkata, “Saya percaya bahwa ketika saya mati saya tidak akan diperlakukan seperti orang tidak benar, jiwaku ditinggalkan di Sheol/Hades. Saya tidak akan berada di Sheol semenitpun. Tidak, saya percaya Engkau berencana membangkitkanKu tiga hari lagi, dan Engkau tidak akan izinkan tubuhKu membusuk.”

Penafsiran itu tentu mendapat dukungan. Ketika Yesus berkata, “Engkau tidak … membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan”, kita tidak tafsirkan bahwa tubuh Yesus berangsur-angsur membusuk selama tiga hari sampai dipulihkan di saat Ia bangkit. Sebaliknya, kita tafsirkan dengan arti bahwa tubuhNya tak pernah membusuk sedikitpun dalam cara apapun sejak kematianNya sampai kebangkitanNya.

Demikian juga, pernyataanNya bahwa jiwaNya tidak akan diserahkan ke Sheol/Hades tak perlu ditafsirkan bahwa Ia ditinggalkan di Sheol/Hades selama beberapa hari tetapi akhirnya tidak ditinggalkan di tempat itu.

[2]

Sebaliknya, kita tafsirkan bahwa jiwaNya tidak diperlakukan seperti jiwa orang tidak benar yang akan ditinggalkan di Sheol/Hades. JiwaNya tak pernah ada semenitpun di Sheol/Hades. Perhatikan juga, Yesus berkata, “Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati [Sheol]”, bukan, “Engkau tidak menyerahkan aku di dalam dunia orang mati [Sheol].”

Di Mana Jiwa Yesus Selama Tiga Hari? (Where Was Yesus’ Soul During the Three Days?)

Ingatlah, Yesus berkata kepada murid-muridNya bahwa Ia berada tiga hari tiga malam di dalam perut bumi (lihat Matius 12:40). Tampaknya hal tersebut menjadi acuan kepada keberadaan tubuhNya dalam kuburan selama tiga hari, karena kuburan hampir tidak dianggap berada di “tengah-tengah bumi.” Sebaliknya, Yesus pasti sedang berbicara tentang roh/jiwaNya yang ada di dalam bumi. Karena itu dapat disimpulkan bahwa roh/jiwaNya tidak berada di sorga antara kematian dan kebangkitanNya. Yesus menegaskan hal itu saat Ia bangkit ketika Ia berkata kepada Maria bahwa Ia belum naik kepada BapaNya (lihat Yohanes 20:17).

Mengingat bahwa Yesus juga berkata kepada pencuri yang bertobat saat tergantung di salib bahwa ia akan bersama denganNya pada hari itu juga di dalam Firdaus (lihat Lukas 23:43). Dengan semua faktor itu, kita tahu bahwa roh/jiwa Yesus berada tiga hari dan tiga malam di dalam perut bumi. Sedikitnya sebagian waktu Ia ada di tempat yang Ia sebut “Firdaus”, yang bukan kata sinonim dengan tempat siksaan yang disebut Sheol/Hades!

Dengan begitu, saya pikir harus ada tempat di dalam perut bumi selain Sheol/Hades, yakni tempat yang disebut Firdaus. Ide tersebut tentu didukung oleh kisah yang pernah Yesus ceritakan mengenai dua orang yang mati, satu orang tidak benar dan satu orang benar, yakni orang kaya dan Lazarus. Kita baca kisahnya berikut:

“Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut [Hades] ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini. Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang. (Lukas 16:19-26, tambahkan penekanan).

Tentu saja, Lazarus dan orang kaya tidak dalam tubuh mereka yang sebenarnya ketika mereka mati, tetapi keduanya pergi ke tempat masing-masing dalam wujud roh/jiwa.

Di mana Lazarus? (Where Was Lazarus?)

Perhatikan bahwa orang kaya berada di alam maut [Hades], tetapi ia dapat melihat Lazarus di tempat lain bersama Abraham. Ternyata, Lazarus disebutkan berada di atas “pangkuan Abraham”, bukan nama tempat tetapi mungkin acuan kepada kesenangan yang Lazarus dapatkan dari Abraham ketika ia tiba di tempat itu.

Berapa jarak antara orang kaya dan Lazarus setelah mereka mati?

Alkitab berkata bahwa orang kaya itu melihat Lazarus “berada jauh”, dan kita tahu bahwa ada “jarak pemisah yang ditetapkan” di antara mereka. Sehingga jarak antara mereka menjadi satu spekulasi. Tetapi, wajar saja bila kita simpulkan bahwa jarak antara mereka tak begitu jauh, seperti jarak antara bagian dalam bumi dan sorga. Jika tidak, mustahillah bagi orang kaya untuk sanggup melihat Lazarus (di luar bantuan ilahi), dan hampir tak perlu ada sebutan atau bahkan ada “jarak pemisah yang ditetapkan” di antara dua tempat khusus agar tak seorangpun dapat menyeberang dari satu tempat ke tempat lain. Lagipula, orang kaya “berseru-seru” kepada Abraham dan Abraham menyahuti seruan orang itu. Sehingga, kita jadi berpikir, mereka agak saling dekat ketika mereka berbicara melintasi “jarak pemisah” itu.

Semua itu memberi keyakinan bahwa Lazarus tak berada di sorga, tetapi sebaliknya di bagian terpisah di dalam bumi.

[3]

Pasti tempat itu adalah Firdaus, sesuai sebutan Yesus kepada pencuri yang bertobat di kayu salib. Tentu, setelah kematian orang-orang benar di zaman Perjanjian Lama mereka menuju Firdaus itu yang di dalam bumi. Itulah tempatnya Lazarus, Yesus dan pencuri yang disalib di saat mereka mati.

Tampaknya, itu juga tempat di mana nabi Samuel pergi setelah ia mati. Kita baca dalam 1 Samuel 28 bahwa ketika Allah izinkan roh nabi Samuel yang sudah mati muncul dan berbicara secara profetik kepada Saul, medium En-dor menggambarkan Samuel sebagai “sesuatu yang ilahi muncul dari dalam bumi (1 Samuel 28:13, tambahkan penekanan). Samuel sendiri berkata kepada Saul, “Mengapa engkau mengganggu aku dengan memanggil aku muncul?” (1 Samuel 28:15, tambahkan penekanan). Tampaknya, roh/jiwa Samuel telah berada di Firdaus dalam bumi.

Alkitab tampak mendukung fakta bahwa ketika Kristus bangkit, Firdaus dikosongkan, dan orang-orang benar yang mati selama masa Perjanjian Lama dibawa ke sorga bersama Yesus. Alkitab berkata bahwa ketika Yesus naik ke sorga dari bagian bawah bumi, “Ia membawa tawanan-tawanan” (Efesus 4:8-9; Mazmur 68:18). Saya berpendapat bahwa tawanan-tawanan itu sebagai orang-orang di dalam Firdaus. Yesus tentu tidak membebaskan orang-orang dari Sheol/Hades!

[4]

 

Yesus Berkhotbah kepada Roh-Roh yang Terpenjara (Jesus Preached to Spirits in Prison)

Alkitab juga berkata bahwa Yesus menginjili roh-roh manusia yang terlepas dari tubuh mereka, di satu waktu antara saat kematian dan saat kebangkitanNya. Kita baca 1 Petrus 3:

Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaanNya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu. (1 Petrus 3:18-20).

Perikop dalam Alkitab itu tentu menimbulkan pertanyaan yang tak dapat saya jawab. Mengapa Yesus secara khusus menginjili sejumlah orang yang tidak taat yang mati waktu air bah Nuh? Apakah yang dikatakanNya kepada mereka? Bagaimanapun juga, ayat Alkitab itu mendukung fakta bahwa Yesus tidak seluruhnya berada selama tiga hari dan tiga malam sejak kematianNya sampai kebangkitanNya di dalam Firdaus.

Gehenna (Gehenna)

Kini, ketika tubuh-tubuh orang yang benar mati, roh-roh/jiwa-jiwa mereka segera pergi ke sorga (lihat 2 Korintus 5:6-8; Filipi 1:21-23; 1 Tesalonika 4:14).

Orang-orang yang tidak benar menuju ke Sheol/Hades di mana mereka disiksa dan menantikan kebangkitan tubuh mereka, penghakiman terakhir mereka, dan pembuangan mereka ke dalam “lautan api,” suatu tempat yang berbeda dan terpisah dari Sheol/Hades.

Lautan api digambarkan dengan kata ketiga yang kadang diterjemahkan sebagai neraka, kata bahasa Gerika Gehenna. Kata itu berasal dari nama tempat pembuangan sampah di luar kota Yerusalem di lembah Hinnom, setumpuk sampah busuk yang dikerumuni cacing-cacing dan ulat-ulat, dan bagian yang terus-menerus berasap dan terbakar api.

Ketika berbicara tentang Gehenna, Yesus mengacu pada tempat di mana orang-orang akan dilemparkan dalam bentuk tubuh. Misalnya, Ia berkata dalam Injil Matius:

Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka [Gehenna]….. Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka [Gehenna]. (Matius 5:30, 10:28, tambahkan penekanan).

Gehenna dan Hades bukanlah tempat yang sama karena Alkitab berkata bahwa orang-orang tidak benar dikirim ke Hades dalam wujud roh-roh/jiwa-jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh. Setelah pemerintahan seribu tahun oleh Kristus ketika tubuh-tubuh orang-orang yang tidak benar akan dibangkitkan kembali dan menghadapi penghakiman di hadapan Allah, mereka kelak akan dilempar ke dalam lautan api atau Gehenna (lihat Wahyu 20:5, 11-15). Dan lagi, suatu hari Hades sendiri akan dilempar masuk ke lautan api itu (lihat Wahyu 20:14), jadi Hades pastilah tempat yang berbeda dari lautan api.

Tartaros (Tartaros)

Kata keempat yang sering diterjemahkan sebagai neraka dalam Alkitab adalah kata bahasa Gerika tartaros. Kata ini hanya sekali disebut dalam Perjanjian Baru:

Sebab jikalau Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka [tartaros] sehingga menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman. (2 Petrus 2:4).

Tartaros dianggap sebagai penjara khusus bagi malaikat tertentu yang berdosa; maka, tempat itu bukanlah Sheol/Hades atau Gehenna. Yudas juga menulis tentang para malaikat yang tengah ditahan di tempat itu:

Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar (Yudas 1:6).

Kengerian Neraka (The Horrors of Hell)

Ketika orang yang tidak bertobat mati, ia tidak diberi kesempatan lagi untuk bertobat. Nasibnya sudah disegel. Alkitab berkata, “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibrani 9:27).

Neraka adalah tempat kekal, dan orang-orang yang terkurung di sana tak punya harapan untuk bebas. Sambil berbicara tentang hukuman kelak bagi orang-orang yang tidak benar, Yesus berkata, “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” (Matius 25:46, tambahkan penekanan). Hukuman bagi orang-orang tidak benar di neraka adalah sama kekalnya dengan kehidupan kekal bagi orang-orang benar.

Demikian juga, Paulus menuliskan:

Sebab memang adil bagi Allah untuk membalaskan penindasan kepada mereka yang menindas kamu …., pada waktu Tuhan Yesus dari dalam sorga menyatakan diriNya bersama-sama dengan malaikat-malaikatNya, dalam kuasaNya, di dalam api yang bernyala-nyala, dan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang tidak mau mengenal Allah dan tidak mentaati Injil Yesus, Tuhan kita. Mereka ini akan menjalani hukuman kebinasaan selama-lamanya, dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya, (2 Tesalonika 1:6-9, tambahkan penekanan).

Neraka adalah tempat penderitaan yang tak terperikan karena hukumannya tidak akan pernah berakhir. Dengan terkurung di sana selamanya, orang-orang tidak benar akan menanggung kesalahan dan penderitaan kekal sebagai amarah Allah di dalam lautan api yang tak kunjung padam.

Yesus menggambarkan neraka sebagai tempat “kegelapan yang paling gelap”, di sanalah akan terdapat “ratap dan kertak gigi”, ”dan suatu tempat“ di mana ulat-ulat tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam” (Matius 22:13; Markus 9:44). Oh, betapa kita perlu ingatkan orang-orang akan tempat itu dan berkata kepada mereka tentang keselamatan yang diberikan hanya di dalam Kristus!

Satu denominasi tertentu mengajarkan konsep tempat penyucian, tempat di mana orang-orang percaya akan menderita selama waktu untuk penyucian atas dosa-dosa mereka, sehingga dijadikan layak untuk masuk sorga. Tetapi ide itu tidak diajarkan dalam Alkitab.

Orang Benar Setelah Mati (The Righteous After Death)

Ketika orang percaya meninggal, rohnya segera pergi ke sorga untuk bersama dengan Tuhan. Paulus memperjelas fakta ini ketika ia menulis tentang kematiannya sendiri:

Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik; (Filipi 1:21-23, tambahkan penekanan).

Perhatikan perkataan Paulus bahwa ia ingin pergi dan jika ia pergi, ia akan bersama-sama dengan Kristus. Rohnya tidak pergi dalam keadaan tidak sadar, sambil menunggu kebangkitan (seperti anggapan beberapa orang).

Perhatikan juga perkataan Paulus bahwa baginya, mati adalah keuntungan. Hal itu hanya nyata jika ia pergi ke sorga ketika ia mati. Paulus juga menyatakan dalam surat keduanya kepada jemaat di Korintus bahwa bila roh orang percaya meninggalkan tubuhnya, ia kemudian “tinggal menetap bersama Tuhan”:

Maka oleh karena itu hati kami senantiasa tabah, meskipun kami sadar, bahwa selama kami mendiami tubuh ini, kami masih jauh dari Tuhan, —- dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan. (2 Korintus 5:6-8).

Dengan tambahan dukungan, Paulus juga menuliskan:

Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama denganNya. (1 Tesalonika 4:13-14).

Jika pada saat Yesus kembali dari sorga bersama Allah, Ia akan membawa “orang-orang yang telah meninggal”, maka mereka pasti berada di sorga bersamaNya sekarang.

Sorga yang Terlihat Sebelumnya (Heaven Foreseen)

Bagaimana rupa sorga itu? Dalam benak kita yang terbatas, kita tak pernah dapat memahami sepenuhnya semua kemuliaan yang menunggu kita di dorga dan Alkitab hanya memberi satu kilasan. Fakta yang paling menyenangkan tentang sorga untuk orang-orang percaya adalah kita akan bertemu berhadap-hadapan dengan Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita, dan Allah Bapa kita. Kita akan tinggal di “rumah Bapa”:

Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. (Yohanes 14:2-3).

Ketika sampai ke sorga, kita akan mengerti banyak misteri yang kini tak dapat dipahami oleh pikiran kita. Paulus menulis,

Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. (1 Korintus 13:12).

Kitab Wahyu memberi gambaran terbaik mengenai rupa sorga itu. Dengan gambaran sebagai tempat kegiatan yang besar, keindahan tiada tara, berbagai hal yang tak terbatas, dan sukacita yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, sorga tidak akan menjadi tempat bagi orang-orang yang hanya duduk di awan dan memetik harpa sepanjang hari!

Yohanes, yang pernah diberi penglihatan tentang sorga, pertama-tama memperhatikan takhta Allah, pusat dari alam semesta:

Segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang. Dan Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis; dan suatu pelangi melingkungi takhta itu gilang-gemilang bagaikan zamrud rupanya. Dan sekeliling takhta itu ada dua puluh empat takhta, dan di takhta-takhta itu duduk dua puluh empat tua-tua, yang memakai pakaian putih dan mahkota emas di kepala mereka. Dan dari takhta itu keluar kilat dan bunyi guruh yang menderu, dan tujuh obor menyala-nyala di hadapan takhta itu: itulah ketujuh Roh Allah. Dan di hadapan takhta itu ada lautan kaca bagaikan kristal; di tengah-tengah takhta itu dan di sekelilingnya ada empat makhluk penuh dengan mata, di sebelah muka dan di sebelah belakang. Adapun makhluk yang pertama sama seperti singa, dan makhluk yang kedua sama seperti anak lembu, dan makhluk yang ketiga mempunyai muka seperti muka manusia, dan makhluk yang keempat sama seperti burung nasar yang sedang terbang. Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.” Dan setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Dia, yang duduk di atas takhta itu dan yang hidup sampai selama-lamanya, maka tersungkurlah kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata: “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.” (Wahyu 4:2-11).

Yohanes secara umum benar-benar menggambarkan sebaik mungkin hal-hal yang tak dapat dibandingkan dengan apapun yang ada di bumi. Jelas, tak ada cara kita memahami segala sesuatu yang dilihatnya sampai kita melihatnya sendiri. Tentunya gambaran itu memberi bacaan yang memberikan ilham.

Perikop-perikop yang paling memberikan ilham tentang sorga ada dalam Wahyu pasal 21 dan pasal 22, di mana Yohanes menggambarkan Yerusalem Baru, yang kini ada di sorga namun tidak akan turun ke bumi setelah seribu tahun pemerintahan Kristus:

Lalu, di dalam roh ia membawa aku ke atas sebuah gunung yang besar lagi tinggi dan ia menunjukkan kepadaku kota yang kudus itu, Yerusalem, turun dari sorga, dari Allah. Kota itu penuh dengan kemuliaan Allah dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal. Dan temboknya besar lagi tinggi dan pintu gerbangnya dua belas buah; dan di atas pintu-pintu gerbang itu ada dua belas malaikat dan di atasnya tertulis nama kedua belas suku Israel. Di sebelah timur terdapat tiga pintu gerbang dan di sebelah utara tiga pintu gerbang dan di sebelah selatan tiga pintu gerbang dan di sebelah barat tiga pintu gerbang. Dan tembok kota itu mempunyai dua belas batu dasar dan di atasnya tertulis kedua belas nama kedua belas rasul Anak Domba itu. Dan ia, yang berkata-kata dengan aku, mempunyai suatu tongkat pengukur dari emas untuk mengukur kota itu serta pintu-pintu gerbangnya dan temboknya. Kota itu bentuknya empat persegi, panjangnya sama dengan lebarnya. Dan ia mengukur kota itu dengan tongkat itu: dua belas ribu stadia; panjangnya dan lebarnya dan tingginya sama. Lalu ia mengukur temboknya: seratus empat puluh empat hasta, menurut ukuran manusia, yang adalah juga ukuran malaikat. Tembok itu terbuat dari permata yaspis; dan kota itu sendiri dari emas tulen, bagaikan kaca murni. Dan dasar-dasar tembok kota itu dihiasi dengan segala jenis permata. Dasar yang pertama batu yaspis, dasar yang kedua batu nilam, dasar yang ketiga batu mirah, dasar yang keempat batu zamrud, dasar yang kelima batu unam, dasar yang keenam batu sardis, dasar yang ketujuh batu ratna cempaka, yang kedelapan batu beril, yang kesembilan batu krisolit, yang kesepuluh batu krisopras, yang kesebelas batu lazuardi dan yang kedua belas batu kecubung. Dan kedua belas pintu gerbang itu adalah dua belas mutiara: setiap pintu gerbang ter diri dari satu mutiara dan jalan-jalan kota itu dari emas murni bagaikan kaca bening. Dan aku tidak melihat Bait Suci di dalam nya; sebab Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, adalah Bait Sucinya, demikian juga Anak Domba itu. Dan kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya. Dan bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup pada siang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya. Tetapi tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu. …… Lalu ia menunjukkan kepadaku sungai air kehidupan, yang jernih bagaikan kristal, dan mengalir ke luar dari takhta Allah dan takhta Anak Domba itu. Di tengah-tengah jalan kota itu, yaitu di seberang-menyeberang sungai itu, ada pohon-pohon kehidupan yang berbuah dua belas kali, tiap-tiap bulan sekali; dan daun pohon-pohon itu dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa. Maka tidak akan ada lagi laknat. Takhta Allah dan takhta Anak Domba akan ada di dalamnya dan hamba-hambaNya akan beribadah kepada-Nya, dan mereka akan melihat wajah-Nya, dan namaNya akan tertulis di dahi mereka. Dan malam tidak akan ada lagi di sana, dan mereka tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka, dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya.” (Wahyu 21:10-22:5).

Setiap pengikut Yesus bisa menantikan semua peristiwa ajaib itu, selama imannya tetap teguh. Tak heran, selama beberapa hari pertama di sorga, kita akan terus berucap, “Oh!

Jadi, itulah peristiwa yang hendak digambarkan oleh Yohanes dalam kitab Wahyu!”

 


[1]

Beberapa orang mencoba menunukkan kejadian melalui beberapa ayat seperti Kejadian 37:35, Ayub 14:13, Mazmur 89:48, Pengkhotbah 9:10 dan Yesaya 38:9-10, bahwa Sheol adalah tempat di mana orang-orang benar juga berada setelah mereka mati. Bukti Alkitab untuk ide itu tidak sangat meyakinkan. Jika Sheol adalah tempat di mana orang-orang benar dan tidak benar berada setalh mereka mati, maka Sheol terdiri dari dua bagian terpisah, satu bagian neraka dan satu bagian firdaus, yang biasanya diperdebatkan oleh para pendukung ide tersebut.

[2]

Mereka yang sepakat dengan penafsiran tertentu harus sependapat dengan satu dari dua teori lains. Satu teori adalah bahwa Sheol/Hades adalah nama untuk tempat setelah matinya orang-orang yang tidak benar dan yang benar yang dibagi menjadi dua bagian, tempat penyiksaan dan tempat firdaus di mana Yesus pergi. Teori lain adalah bahwa Yesus menahan siksaan jahanam selama tiga hari dan tiga malam dalam api Sheol/Hades ketika Ia menanggung derita sepenuhnya hukuman dosa sebagai ganti kita. Kedua teori itu sulit dibuktikan dari Alkitab, dan tak satupun diperlukan jika Yesus tak pernah melewatkan waktu di Sheol/Hades. Itulah arti sebenarnya pernyataanNya. Mengenai teori kedua, Yesus tidak menderita siksaan jahanam selama tiga hari tiga malam antara kematian dan kebangkitanNya, karena penebusan kita telah lunas dibayar melalui penderitaanNya di kayu salib (lihat Kolose 1:22), bukan melalui dugaan penderitaan di Sheol/Hades.

[3]

Perhatikan juga bahwa walapun tubuh Lazarus dan tubuh si orang kaya saling terpisah, keduanya dalam keadaan sadar dan memiliki semua kemampuan seperti melihat, menyentuh dan mendengar. Keduanya dapat merasakan sakit dan senang dan mengingat pengalaman masa lalu. Hal itu tidak mendukung teori “jiwa tidur”, yakni ide bahwa orang-orang memasuki keadaan tak sadar ketika mereka mati, sambil menunggu waktu untuk mendapatkan kesadaran pada saat kebangkitan tubuh mereka.

[4]

Sebagian orang menganggap, dan mungkin benar, bahwa tawanan-tawanan yang disebutkan dalam Efesus 4:8-9 adalah kita semua di mana yang adalah tawanan-tawanan dosa, yang kini dibebaskan melalui kebangkitan Kristus.

Bab Duapuluh-Delapan (Chapter Twenty-Eight)

Rencana Kekal Allah (God’s Eternal Plan)

Mengapa Allah menciptakan kita? Apakah Ia ingat tujuan yang sama sejak awal? Tidak Ia tahu bahwa setiap orang akan memberontak melawan Dia? Apakah Ia tak meramalkan akibat dari pemberontakan kita, semua penderitaan dan kesedihan yang telah dihadapi umat manusia? Lalu mengapa Alah menciptakan manusia pada mulanya?

Alkitab menjawab setiap pertanyaan di atas. Alkitab menyatakan bahwa sebelum Allah menciptakan Adam dan Hawa, Ia tahu bahwa mereka dan tiap orang setelah mereka akan berbuat dosa. Mengherankan, Ia sudah merancangkan untuk menebus umat manusia yang jatuh dalam dosa melalui Yesus. Dari rencana Allah sebelum penciptaan, Paulus menulis,

Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karuniaNya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman (2 Timotius 1:8b-9, tambahkan penekanan).

Kasih karunia Allah diberikan kepada kita dalam Kristus sebelum permulaan zaman, tidak hanya sampai semua kekekalan. Itu menunjukkan bahwa pengorbanan kematian Yesus adalah sesuatu yang Allah telah rencanakan sejak berabad-abad lalu. Demikian juga, Paulus menulis dalam suratnya kepada jemaat Efesus:

Sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakanNya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Efesus 3:11, tambahkan penekanan).

Kematian Yesus di kayu salib bukanlah perenungan, yakni rencana yang cepat dibuat untuk menetapkan hal yang belum Allah rencanakan.

Allah memiliki tujuan kekal dalam memberi kasih-karuniaNya kepada kita dari semua kekekalan, juga Ia sudah tahu dari kekekalan siapa yang akan memilih untuk menerima kasih-karuniaNya, dan bahkan Ia menuliskan nama-nama mereka dalam satu buku:

Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya [binatang dalam kitab Wahyu], yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih [Yesus]. (Wahyu 13:8, tambahkan penekanan).

Allah tidak terkejut ketika Adam jatuh dalam dosa. Demikian juga, Allah tidak tekejut ketika anda atau saya jatuh dalam dosa. Allah tahu bahwa kita akan berbuat dosa, dan Ia juga tahu orang yang akan bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus.

Pertanyaan Berikut (The Next Question)

Jika Allah telah tahu sebelumnya bahwa sebagian orang akan percaya kepada Yesus dan sebagian lainnya akan menolakNya, mengapa Ia menciptakan orang-orang yang Ia tahu akan menolakNya? Mengapa Ia tidak menciptakan orang-orang yang Ia tahu akan bertobat dan percaya kepada Yesus?

Jawaban atas pertanyaan itu agak sulit dipahami, namun bukan mustahil untuk dijawab.

Pertama, kita harus mengerti bahwa Allah menciptakan kita dengan kehendak bebas. Yakni, kita semua punya hak istimewa untuk memutuskan sendiri apakah kita akan melayaniNya atau tidak. Allah tak menentukan sebelumnya keputusan kita untuk menaati atau tidak menaati, bertobat atau tidak bertobat. Tiap keputusan itu adalah pilihan kita.

Sehingga, setiap kita harus diuji. Allah pasti tahu sebelumnya apa yang akan kita lakukan, tetapi kita harus lakukan sesuatu pada satu waktu agar Dia tahu hal tersebut sebelumnya.

Contohnya, Allah tahu hasil pertandingan sepakbola sebelum dimainkan, tetapi pertandingan harus dimainkan untuk mendapatkan hasil. Allah tidak (dan tidak dapat) tahu sebelumnya hasil pertandingan yang tak pernah dimainkan karena tidak ada hasil untuk mengetahui sebelumnya.

Demikian juga, Allah hanya dapat tahu sebelumnya setiap keputusan dari pelaku moral bebas jika pelaku itu diberi kesempatan untuk membuat keputusan dan melakukannya. Pelaku itu harus diuji. Karena itu Allah tak (dan tak dapat) menciptakan hanya orang-orang yang Ia sudah tahu sebelumnya akan bertobat dan percaya pada Yesus.

Pertanyaan Lain (Another Question)

Dapat juga ditanyakan, “Jika yang Allah inginkan adalah orang-orang yang taat, mengapa Ia menciptakan kita dengan kehendak bebas? Mengapa tidak Ia ciptakan kelompok robot yang taat selamanya?”

Jawabnya, karena Allah adalah Bapa. Ia ingin memiliki hubungan Bapak-anak dengan kita, dan tak mungkin ada hubungan Bapak-anak dengan robot. Allah ingin memiliki keluarga kekal dari anak-anak yang telah dipilih, oleh kehendak bebas mereka, untuk mengasihiNya. Menurut Alkitab, itulah rencanaNya yang telah ditentukan sebelumnya:

Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya. (Efesus 1:4b-5, tambahkan penekanan).

Jika anda ingin berpikir seberapa senang Allah menciptakan robot-robot, taruhlah boneka di tangan anda dan suruh boneka itu berkata bahwa ia mengasihi anda. Mungkin, anda tak akan merasakan perasaan hangat dalam hati anda! Boneka itu hanya mengatakan apa yang anda mau dia katakan. Ia tak benar-benar mengasihi anda.

Yang membuat kasih itu sangat istimewa adalah bahwa kasih didasarkan pada pilihan seseorang dengan kehendak bebas. Boneka dan robot tidak tahu apa-apa tentang kasih karena keduanya tak dapat memutuskan apapun bagi mereka sendiri.

Karena Allah mau sebuah keluarga anak-anak yang akan memilih untuk mengasihi dan melayaniNya yang terdorong dari dalam hati mereka, Ia harus menciptakan pelaku moral bebas. Dengan keputusan itu, Allah menghadapi resiko bahwa beberapa pelaku moral bebas akan memilih untuk tidak mengasihi dan melayaniNya. Dan, setelah seumur hidup mereka melawan Allah yang mengungkapkan diriNya dan menarik semua orang melalui ciptaanNya, kata-hati mereka dan panggilan Injil, maka para pelaku moral bebas harus menerima hukuman setimpal, setelah terbukti mereka layak mendapatkan murka Allah.

Tak seorangpun di neraka dapat menuduh Allah karena Ia memberikan cara sehingga setiap orang dapat menghindari hukuman atas dosa-dosanya. Allah mau setiap orang selamat (lihat 1 Timotius 2:4; 2 Petrus 3:9), tetapi ia harus memutuskan sendiri.

Predestinasi menurut Alkitab (Biblical Predestination)

Bagaimana dengan ayat-ayat Alkitab dalam Perjanjian Baru yang berbicara tentang Allah yang membuat predestinasi bagi kita, dengan memilih kita sebelum dunia dijadikan?

Sebagian orang menganggap bahwa Allah khusus memilih orang-orang tertentu untuk diselamatkan dan memilih orang-orang lain untuk dihukum, berdasarkan keputusanNya pada hal-hal yang tidak dilakukan oleh orang-orang itu. Yakni, Allah seperti memilih siapa yang akan diselamatkan atau dihukum. Ide itu jelas mengenyahkan konsep kehendak bebas dan itu tentu tidak diajarkan dalam Alkitab. Perhatikan ajaran Alkitab tentang predestinasi.

Memang, Alkitab mengajarkan bahwa Allah telah memilih kita, tetapi fakta itu harus diselidiki dengan cermat. Allah telah memilih sejak dijadikannya dunia untuk menebus orang-orang yang Ia sudah pilih sebelumnya untuk bertobat dan mempercayai Injil dengan pengaruh tarikan Allah, namun melalui pilihan mereka sendiri. Bacalah perkataan rasul Paulus tentang orang-orang pilihan Allah:

Allah tidak menolak umatNya yang dipilih-Nya. Ataukah kamu tidak tahu, apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Elia, waktu ia mengadukan Israel kepada Allah: “Tuhan, nabi-nabi-Mu telah mereka bunuh, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan; hanya aku seorang diri lah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku.” Tetapi bagaimanakah Firman Allah kepadanya? “Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal.” Demikian juga pada waktu ini ada tinggal suatu sisa, menurut pilihan kasih karunia. (Roma 11:2-5, tambahkan penekanan).

Perhatikan, Allah berkata kepada Elia bahwa Ia telah “menyediakan bagi diriNya tujuh ribu orang”, tetapi tujuh ribu orang itu telah mula-mula memilih untuk tidak “sujud menyembah Baal.” Paulus berkata bahwa dengan cara yang sama, ada juga sisa orang-orang Yahudi yang percaya menurut pilihan Allah. Sehingga kita dapat berkata ya, Allah telah memilih kita, tetapi Allah telah memilih mereka yang telah pertama-tama membuat pilihan benar bagi mereka sendiri. Allah memilih untuk menyelamatkan semua orang yang percaya kepada Yesus, dan itulah rencanaNya bahkan sebelum penciptaan.

Allah Sudah Tahu Sebelumnya (God’s Foreknowledge)

Alkitab juga mengajarkan bahwa Allah juga mengetahui sebelumnya semua mereka yang akan memilih untuk membuat pilihan yang benar. Misalnya, Petrus menuliskan:

Kepada orang-orang pendatang, …… yaitu orang-orang yang dipilih,sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita. (1 Petrus 1:1-2a, tambahkan penekanan).

Kita dipilih menurut pengetahuan terdahulu dari Allah. Paulus juga menulis tentang orang-orang percaya yang sudah diketahui sebelumnya:

Sebab semua orang [kita] yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia [Yesus], AnakNya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya. (Roma 8:29-30).

Allah sudah tahu sebelumnya kita yang akan memilih percaya kepada Yesus, dan Ia menentukan sebelumnya bahwa kita akan menjadi serupa dengan gambar AnakNya, menjadi anak-anak yang dilahirkan kembali dari Allah dalam keluarga besarNya. Selaras dengan rencana kekal itu, Ia memanggil kita melalui Injil, membenarkan kita dan akhirnya akan memuliakan kita di dalam KerajaanNya nanti.

Paulus menulis dalam surat lainnya:

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karuniaNya yang mulia, yang dikaruniakanNya kepada kita di dalam Dia, yang di kasihi-Nya. (Efesus 1:3-6, tambahkan penekanan).

Kebenaran yang sama muncul —sebelum dunia dijadikan, Allah sudah menentukan sebelumnya kita (yang akan bertobat dan percaya yang Ia sudah tahu sebelumnya) untuk menjadi anak-anakNya yang suci melalui Yesus Kristus.

Seperti sudah disebutkan, sebagian orang membelokkan pengertian ayat-ayat Alkitab tersebut dengan tak mempedulikan segala ajaran Alkitab, dan menyatakan bahwa kita tak punya pilihan dalam keselamatan kita —pilihan yang tampak berasal dari Allah. Mereka menyebutnya doktrin “pilihan tanpa syarat”. Tetapi siapapun yang pernah mendengar hal itu sebagai “pilihan tanpa syarat”, yakni pilihan yang tidak dibuat berdasarkan syarat tertentu yang dipenuhi? Di negara-negara bebas, dalam benak kita, kita memilih kandidat-kandidat politik berdasarkan persyaratan yang mereka penuhi. Orang memilih pasangan hidupnya berdasarkan syarat yang ia penuhi, karakternya yang menjadikannya disukai. Namun sebagian ahli teologi ingin agar kita percaya bahwa konon pilihan Allah mengenai siapa yang diselamatkan dan yang tak diselamatkan adalah “pilihan tanpa syarat”, bukan berdasarkan syarat yang dipenuhi orang-orang! Jadi keselamatan orang adalah oleh kesempatan murni, desakan-desakan dari seorang monster yang jahat, tidak benar, hipokrit dan bodoh yang bernama Allah! Frase “pilihan tanpa syarat” itu sendiri menimbulkan kontradiksi, karena kata pilihan mengandung arti syarat. Jika pilihan itu adalah “pilihan tanpa syarat”, maka pilihan itu sama sekali bukanlah pilihan, tetapi kesempatan.

Gambar Besar (The Big Picture)

Kini kita lihat gambar besar. Allah tahu bahwa kita semua akan berbuat dosa, tetapi Ia merencanakan untuk menebus kita sebelum kita lahir. Rencana itu mengungkapkan kasih dan keadilanNya yang mengagumkan, karena mensyaratkan AnakNya yang tak berdosa untuk mati karena dosa-dosa kita sebagai ganti kita. Dan Allah menentukan sebelumnya bahwa kita, yang bertobat dan percaya, diampuni; dan juga kita menjadi seperti AnakNya Yesus, seperti kata Paulus, “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Galatia 2:20).

Kita adalah anak-anak yang dilahirkan kembali dari Allah, yang kelak nanti akan diberikan tubuh yang tak dapat binasa, dan kita akan hidup dalam masyarakat sempurna, melayani, mengasihi dan bersekutu dengan Bapa kita yang ajaib di sorga! Kita akan hidup di bumi baru dan di Yerusalem Baru. Semua ini hanya boleh jadi melalui pengorbanan kematian Yesus! Puji Tuhan atas rencana yang telah Ia tentukan sebelumnya!

Kehidupan Sekarang (This Present Life)

Ketika mengerti rencana kekal dari Allah, kita sepenuhnya dapat pahami sebenarnya apa kehidupan sekarang. Terutama, kehidupan ini adalah ujian bagi tiap orang. Pilihan tiap orang menentukan apakah ia akan menikmati berkat hak istimewa menjadi salah seorang anak Allah yang akan hidup bersamaNya sampai kekal. Orang yang merendahkan dirinya dengan menyerah pada tarikan Allah, lalu bertobat dan percaya, akan ditinggikan (lihat Lukas 18:14). Kehidupan ini pada dasarnya adalah ujian bagi kehidupan kekal nanti.

Dengan itu, kita memahami beberapa misteri yang melingkupi kehidupan kita. Misalnya, banyak orang heran, “Mengapa Setan dan roh-roh jahatnya diizinkan untuk mencobai orang-orang?” atau “Ketika Setan diusir dari sorga, mengapa ia mendapatkan akses ke bumi?”

Kini kita paham bahwa bahkan Setan melayani tujuan ilahi dalam Rencana Allah. Terutama, Setan menjadi pilihan lain bagi umat manusia. Jika satu-satunya pilihan adalah melayani Yesus, maka setiap orang akan melayani Yesus apakah ia bersedia atau tidak bersedia melakukannya.

Hal itu mirip dengan pilihan di mana setiap orang harus memilih, tetapi hanya ada satu calon. Calon itu dipilih secara mutlak, tetapi ia tak pernah percaya diri bahwa ia dicintai atau bahkan disukai oleh setiap orang yang memberikan pilihannya! Mereka hanya punya pilihan untuk memberikan suara kepadanya! Allah berada dalam situasi serupa jika sudah tak ada orang yang bersaing denganNya untuk memenangkan hati orang-orang.

Perhatikan hal itu dari sudut ini: Bagaimana bila Allah menempatkan Adam dan Hawa di taman yang tanpa larangan? Maka, Adam dan Hawa menjadi dua robot karena lingkungan mereka. Mereka tak mungkin berkata, “Kami memilih untuk menaati Allah”, karena mereka mungkin saja tak punya kesempatan untuk tidak menaatiNya.

Yang lebih penting adalah Allah tak mungkin berkata, “Aku tahu Adam dan Hawa mengasihiKu”, karena Adam dan Hawa tak punya kesempatan untuk menaati dan membuktikan kasih mereka bagi Allah. Allah harus memberi kesempatan kepada pelaku moral bebas untuk tidak menaati agar Dia menentukan apakah mereka ingin menaatiNya. Allah tidak mencobai siapapun (lihat Yakobus 1:13), tetapi Ia menguji setiap orang (lihat Mazmur 11:5; Amsal 17:3). Cara Ia menguji seseorang ialah membiarkan orang itu dicobai oleh Setan, yang menjadi tujuan ilahi dalam rencana kekal dariNya.

Teladan Sempurna (A Perfect Example)

Kita baca dalam Ulangan 13:1-3:

Apabila di tengah-tengahmu muncul seorang nabi atau seorang pemimpi, dan ia memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mujizat, dan apabila tanda atau mujizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti Allah lain, yang tidak kaukenal, dan mari kita berbakti kepadanya, maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu; sebab TUHAN, Allahmu, mencoba kamu untuk mengetahui, apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. (tambahkan penekanan).

Wajarlah bila disimpulkan bahwa bukan Allah yang memberi kemampuan adikodrati kepada nabi palsu itu untuk mengerjakan tanda atau mujizat —pasti itu perbuatan Setan. Namun Allah izinkan dan memakai cobaan dari Setan sebagai ujianNya untuk mencari tahu apa yang ada di dalam hati umatNya.

Prinsip yang sama itu digambarkan dalam Hakim-Hakim 2:21-3:8 ketika Allah izinkan bangsa Israel untuk dicobai oleh bangsa-bangsa sekitarnya untuk menentukan apakah mereka menaatiNya atau tidak. Yesus juga dipimpin oleh Roh menuju padang gurun untuk dicobai oleh Iblis (lihat Matius 4:1) dan dengan semikian diuji oleh Allah. Ia harus terbukti tak berdosa, dan cara pembuktian bahwa ia tak berbuat dosa ialah ujian melalui pencobaan.

Setan Tidak Selalu Harus Disalahkan (Satan Does Not Deserve All the Blame)

Setan sudah banyak menipu banyak orang di dunia dengan cara membutakan pikiran-pikiran mereka terhadap kebenaran Injil, tetapi kita harus sadar bahwa Setan tak sanggup membutakan seseorang. Ia hanya dapat menipu mereka yang membiarkan dirinya mereka ditipu, yakni orang-orang yang menolak kebenaran.

Paulus berkata bahwa orang-orang tidak percaya “digelapkan pengertiannya” (Efesus 4:18) dan tidak peduli, dan juga ia ungkapkan alasan gelapnya pengertian dan hati mereka:

Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran. (Efesus 4:17b-19, tambahkan penekanan).

Orang-orang yang belum diselamatkan adalah mereka yang tak beruntung dan telah ditipu oleh Setan. Sebaliknya, merekalah orang-orang berdosa yang memberontak yang sengaja tak peduli dan yang ingin tetap ditipu karena hati mereka sangat keras.

Tak seorangpun mau terus ditipu, seperti bukti dalam kehidupan anda! Ketika anda lembutkan hati anda kepada Allah, Setan tak dapat terus menipu anda.

Pada akhirnya, Setan akan diikat selama seribu tahun pemerintahan Kristus, dan ia tidak akan mempengaruhi siapapun:

Ia [seorang malaikat] menangkap naga, si ular tua itu, yaitu Iblis dan Satan. Dan ia mengikatnya seribu tahun lamanya, lalu melemparkannya ke dalam jurang maut, dan menutup jurang maut itu dan memeteraikannya di atasnya, supaya ia jangan lagi menyesatkan bangsa-bangsa, sebelum berakhir masa seribu tahun itu; kemudian dari pada itu ia akan dilepaskan untuk sedikit waktu lamanya. (Wahyu 20:2-3).

Sebelum Setan dirantai, ia “menipu bangsa-bangsa”, namun ketika ia dirantai ia takkan lagi menipu bangsa-bangsa. Namun, saat dibebaskan, ia akan menipu bangsa-bangsa lagi:

Dan setelah masa seribu tahun itu berakhir, Iblis akan dilepaskan dari penjaranya, dan ia akan pergi menyesatkan bangsa-bangsa pada keempat penjuru bumi, ….. dan mengumpulkan mereka untuk berperang …… Maka naiklah mereka ke seluruh dataran bumi, lalu mengepung perkemahan tentara orang-orang kudus dan kota yang dikasihi itu. Tetapi dari langit turunlah api menghanguskan mereka, (Wahyu 20:7-9, tambahkan penekanan).

Mengapa Allah akan membebaskan Setan selama waktu yang singkat? Agar mereka semua akan dimanifestasikan, yakni mereka yang membenci Kristus di dalam hati mereka tetapi berpura-pura taat kepadaNya selama pemerintahanNya. Lalu mereka dapat dihakimi dengan benar. Hal itu akan menjadi ujian terakhir.

Dengan alasan sama, Setan diizinkan bekerja di atas bumi sekarang ini —agar orang-orang yang membenci Kristus di hati mereka dapat dimanifestasikan dan akhirnya dihakimi. Saat Allah tidak memakai Setan untuk memenuhi tujuan ilahiNya, si penipu akan dilempar ke lautan api untuk disiksa di sana selamanya (lihat Wahyu 20:10).

Siap-siap Menyongsong Bumi Baru (Preparing For the Future World)

Jika anda sudah bertobat dan percaya Injil, anda sudah melewati ujian awal dan terpenting dalam hidup ini. Tetapi, jangan pikir anda tidak akan terus diuji agar Allah dapat menentukan kesungguhan hati dan kesetiaan anda yang seterusnya kepadaNya. Hanya mereka yang “tetap setia dalam iman” akan tampil di hadapan Allah sebagai “yang suci dan tak bercacat-cela” (Kolose 1:22-23).

Di luar itu, sudah jelas dalam Alkitab bahwa kita semua satu hari akan berdiri di takhta penghakiman Allah, di mana setiap kita akan diberi upah menurut ketaatan kita di bumi. Jadi, kita masih diuji untuk menentukan kelayakan kita untuk mendapatkan upah itu di dalam Kerajaan Allah. Paulus menuliskan,

Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. Karena ada tertulis: “Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah.” Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah. (Roma 14:10-12, tambahkan penekanan).

Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat. (2 Korintus 5:10).

Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah. (1 Korintus 4:5, tambahkan penekanan).

Apakah Upah Yang Akan Kita Dapat? (What Will be the Rewards?)

Apa sebenarnya upah yang akan diberikan kepada orang yang membuktikan kasih dan kesungguhan hati kepada Yesus?

Alkitab berbicara tentang dua macam upah —pujian dari Allah, dan kesempatan lebih untuk melayaniNya. Keduanya terungkap dalam perumpamaan Yesus tentang bangsawan:

Maka Ia berkata: “Ada seorang bangsawan berangkat ke sebuah negeri yang jauh untuk dinobatkan menjadi raja di situ dan setelah itu baru kembali. Ia memanggil sepuluh orang hambanya dan memberikan sepuluh mina kepada mereka, katanya: Pakailah ini untuk berdagang sampai aku datang kembali. Akan tetapi orang-orang sebangsanya membenci dia, lalu mengirimkan utusan menyusul dia untuk mengatakan: Kami tidak mau orang ini menjadi raja atas kami. Dan terjadilah, ketika ia kembali, setelah ia dinobatkan menjadi raja, ia menyuruh memanggil hamba-hambanya, yang telah diberinya uang itu, untuk mengetahui berapa hasil dagang mereka masing-masing. Orang yang pertama datang dan berkata: Tuan, mina tuan yang satu itu telah menghasilkan sepuluh mina. Katanya kepada orang itu: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang baik; engkau telah setia dalam perkara kecil, karena itu terimalah kekuasaan atas sepuluh kota. Datanglah yang kedua dan berkata: Tuan, mina tuan telah menghasilkan lima mina. Katanya kepada orang itu: Dan engkau, kuasailah lima kota. Dan hamba yang ketiga datang dan berkata: Tuan, inilah mina tuan, aku telah menyimpannya dalam sapu tangan. Sebab aku takut akan tuan, karena tuan adalah manusia yang keras; tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan tuan menuai apa yang tidak tuan tabur. Katanya kepada orang itu: Hai hamba yang jahat, aku akan menghakimi engkau menurut perkataanmu sendiri. Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang keras, yang mengambil apa yang tidak pernah aku taruh dan menuai apa yang tidak aku tabur. Jika demikian, mengapa uangku itu tidak kauberikan kepada orang yang menjalankan uang? Maka sekembaliku aku dapat mengambilnya serta dengan bunganya. Lalu katanya kepada orang-orang yang berdiri di situ: Ambillah mina yang satu itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh mina itu. Kata mereka kepadanya: Tuan, ia sudah mempunyai sepuluh mina. Jawabnya: Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ada padanya. Akan tetapi semua seteruku ini, yang tidak suka aku menjadi rajanya, bawalah mereka ke mari dan bunuhlah mereka di depan mataku.” (Lukas 19:12-27).

Jelas, Yesus digambarkan sebagai bangsawan yang tidak hadir tetapi akhirnya kembali. Ketika Yesus kembali, kita harus bertanggung-jawab atas perbuatan kita dengan karunia-karunia, keahlian, pelayanan, dan kesempatan yang Ia berikan kepada kita, yang digambarkan sebagai satu mina yang diberikan kepada setiap hamba dalam perumpamaan itu. Jika kita setia, kita akan mendapat upah dengan pujian dariNya dan diberikan kuasa untuk membantuNya mengatur dan memerintah di atas bumi (lihat 2 Timotius 2:12; Wahyu 2:26 27; 5:10; 20:6), yang, dalam perumpamaan itu, digambarkan dengan pemberian kuasa kepada setiap hamba yang setia untuk menguasai kota-kota.

Keadilan bagi Penghakiman Kita Nanti (The Fairness of Our Future Judgment)

Perumpamaan lain yang Yesus ceritakan menggambarkan keadilan sempurna untuk penghakiman kita nanti:

“Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan merekapun pergi. Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku. Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga. Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.” (Matius 20:1-16).

Yesus tidak mengajar dalam perumpamaan itu bahwa semua hamba Tuhan akan menerima upah sama kelak nanti, karena itu tidak adil dan bertentangan dengan banyak ayat lain dalam Alkitab (lihat, misalnya, Lukas 19:12-27; 1 Korintus 3:8).

Sebaliknya, Yesus ajarkan bahwa setiap hamba Tuhan akan mendapat upah, sesuai dengan apa yang mereka lakukan bagiNya dan berapa banyak kesempatan yang Ia berikan kepada mereka. Para pekerja yang bekerja satu jam dalam perumpamaan Kristus itu mau bekerja sepanjang hari, seandainya sang tuan tanah memberi kesempatan kepada mereka. Sehingga orang yang memaksimalkan kesempatan satu jam akan diberi upah sama dengan orang yang diberi kesempatan bekerja seharian penuh.

Dan juga, Allah memberi kesempatan lain kepada tiap hambaNya. Bagi beberapa orang, Ia memberi kesempatan besar untuk melayani dan memberkati ribuan orang dengan memakai karunia-karunia ajaib yang Ia berikan pada mereka. Ia memberi lebih sedikit kesempatan dan karunia kepada orang-orang lain, namun akhirnya mereka dapat menerima upah sama jika mereka sama setianya dengan apa yang Allah berikan kepada mereka.

[1]

 

Kesimpulan (The Conclusion)

Tiada hal lebih penting dibandingkan menaati Allah, dan suatu hari setiap orang akan tahu hal itu. Orang bijak tahu hal itu, dan karena itu mereka bertindak!

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat. (Pengkhotbah 12:13-14).

Tiap pelayan pemuridan menaati Allah dengan sepenuh hati dan akan melakukan segala yang dapat dilakukannya agar murid-muridnya terdorong untuk melakukan hal itu juga!

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang topik penghakiman di takhta Allah, lihat Matius 6:1-6, 16-18; 10:41-42; 12:36-37; 19:28-29; 25:14-30; Lukas 12:2-3; 14:12-14; 16:10-13; 1 Korintus 3:5-15; 2 Timotius 2:12; 1 Petrus 1:17; Wahyu 2:26-27; 5:10; 20:6.

 


[1]

Perumpamaan ini juga tidak mengajarkan bahwa orang yang bertobat pada usia muda dan setia bekerja selama bertahun-tahun akan mendapat upah yang sama dengan orang yang bertobat pada tahun terakhir kehidupannya dan yang setia melayani Allah hanya satu tahun. Ini tidak adil, dan tidak berdasarkan kesempatan yang Allah berikan kepada setiap orang, karena Allah memberi kesempatan untuk bertobat selama hidupnya. Jadi, orang yang bekerja lebih lama akan menerima upah lebih dibandingkan orang yang bekerja dengan waktu yang lebih singkat.

Bab Duapuluh-Lima (Chapter Twenty-Five)

Didikan dari Tuhan (The Discipline of the Lord)

 

Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diriNya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah. Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang di kasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh. (Ibrani 12:3-13).

Menurut penulis kitab Ibrani yang diilhami, Bapa kita di sorga mendisiplikan semua anakNya. Jika kita tak pernah didisiplinkan olehNya, maka kita bukanlah anak-anakNya. Karena itu kita perlu sadar dan peka terhadap didikan Tuhan. Sebagian orang yang mengaku Kristen, yang hany fokus kepada berkat-berkat dan kebaikan Allah, menafsirkan setiap keadaan negatif sebagai serangan Iblis. Itu bisa jadi kesalahan besar jika Allah coba membimbing mereka kepada pertobatan melalui didikanNya atau pendisiplinanNya.

Setiap orang-tua yang baik di dunia ini mendisiplinkan anak-anaknya agar mereka mau belajar, menjadi dewasa, dan siap menghadapi kehidupan dewasa yang bertanggung-jawab. Allah juga medidik/mendisiplinkan kita agar kita tumbuh secara rohani, menjadi lebih berguna dalam pelayananNya, dan siap berdiri di hadapan tahta penghakimanNya. Ia mendisiplinkan karena Ia mengasihi kita dan Ia ingin kita meniru kesucianNya. Bapa sorgawi yang penuh kasih memberi pertumbuhan rohani kita. Alkitab berkata, “….Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” (Filipi 1:6).

Tak seorang anakpun mau pantatnya dipukul oleh orang-tuanya, dan ketika Allah mendisiplinkan kita, pengalaman itu tak “menyenangkan, namun menyedihkan”, seperti yang kita baca. Tetapi, akhirnya, kita lebih baik demikian karena disiplin menghasilkan “buah-buah kebenaran yang membawa kedamaian.”

Bilamana dan Bagaimana Allah Mendisiplinkan Kita (When and How Does God Discipline Us?)

Seperti seorang ayah, Allah hanya mendisiplinkan anakNya ketika ia bandel. Kapanpun tidak menaatiNya, kita beresiko untuk didisiplinkan olehNya. Tetapi, Tuhan sangat penuh kasih, dan biasanya Ia memberikan kita banyak waktu untuk bertobat. Pendisiplinan Tuhan terjadi setelah kita berkali-kali tidak taat dan setelah Allah berkali-kali memberi peringatan.

Bagaimana Allah mendisiplinkan kita? Seperti kita pelajari pada bab sebelumnya, didikan Tuhan bisa berupa kelemahan, penyakit atau bahkan kematian sebelum waktunya:

Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal. Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia. (1 Korintus 11:30-32).

Kita tidak langsung berkesimpulan bahwa semua penyakit adalah akibat pendisiplinan dari Allah (ingat saat Ayub sakit). Tetapi, jika penyakit tidak menyerang, kita sebaiknya mengecek rohani kita untuk mengetahui apakah kita sudah membuka pintu bagi pendisiplinan dari Allah melalui ketidaktaatan.

Kita dapat menghindari hukuman Allah jika kita menilai diri kita sendiri —yakni, mengakui dosa dan meminta ampun. Wajarlah bila kita simpulkan bahwa kita nanti disembuhkan saat kita bertobat jika penyakit kita merupakan hasil pendisiplinan Allah.

Dengan hukuman dari Allah, Paulus berkata bahwa kita sebenarnya menghindari hukuman bersama dengan dunia. Apa artinya? Paulus bisa saja bermaksud berkata bahwa pendisiplinan dari Allah membawa kita kepada pertobatan sehingga akhirnya kita tak mendapat hukuman neraka bersama dengan dunia. Hal itu sulit diterima oleh orang yang menganggap kesucian sebagai hal yang tidak wajib bagi orang yang sedang menuju ke sorga. Tetapi bagi orang yang telah membaca Khotbah di Bukit oleh Yesus, ia tahu bahwa hanya orang yang menaati Allah akan masuk KerajaanNya (lihat Matius 7:21). Dengan demikian jika kita terus berbuat dosa dan tidak bertobat, kita beresiko kehilangan kehidupan kekal. Pujilah Tuhan atas pendisiplinanNya yang membawa kita kepada pertobatan dan menyelamatkan kita dari neraka!

Setan sebagai Alat Hukuman Allah (Satan as a Tool of God’s Judgment)

Dari beberapa perikop Alkitab, Allah jelas dapat memakai Setan untuk maksud pendisiplinan dari Tuhan. Misalnya, dalam perumpamaan hamba yang tidak mengampuni dalam Matius 18, Yesus berkata bahwa tuan sang hamba “marah” ketika ia tahu bahwa hambanya yang telah diampuni tak mengampuni sesama hamba. “Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.” (Matius 18:34). Yesus mengakhiri perumpamaan itu dengan kata-kata tegas:

Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Matius 18:35).

Siapakah “algojo-algojo” itu? Mungkin sekali, merekalah Iblis dan roh-roh jahat. Allah dapat menyerahkan seorang anakNya yang bandel kepada Iblis agar ia bertobat. Kesulitan hidup dan bencana menjadi cara untuk membuat orang bertobat —seperti yang dipelajari oleh anak yang hilang (lihat Lukas 15:14-19).

Dalam Perjanjian Lama, kita temukan contoh-contoh Allah yang memakai Setan atau roh-roh jahat demi pendisiplinanNya atau hukumanNya bagi kehidupan orang yang layak mendapatkan amarahNya. Contoh dalam Hakim-Hakim 9 adalah “Allah membangkitkan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem” (Hakim-Hakim 9:23) untuk menghukum mereka atas perbuatan jahat mereka terhadap anak-anak Gideon.

Alkitab juga berkata bahwa “suatu roh jahat dari Tuhan” menyiksa Raja Saul untuk membawanya kepada pertobatan (1 Samuel 16:14). Tetapi, Saul tak pernah bertobat, dan akhirnya ia mati dalam pertempuran oleh karena pemberontakannya.

Pada kedua contoh Perjanjian Lama, Alkitab berkata bahwa roh-roh jahat ”dikirimkan dari Allah.” Bukan berarti bahwa Allah memiliki roh-roh jahat di sorga yang tengah menunggu untuk melayaniNya. Mungkin, Allah hanya izinkan roh-roh jahat dari Setan untuk bekerja tanpa batas agar orang-orang berdosa mau bertobat karena menderita.

Cara-Cara Lain Disiplin Allah (Other Means of God’s Discipline)

Dalam perjanjian lama, Allah juga sering mendidik umatNya dengan mengizinkan berbagai kesulitan seperti kelaparan atau musuh-musuh yang tak dikenal menguasai mereka. Akhirnya, mereka bertobat dan Ia membebaskan mereka dari musuh-musuhnya. Ketika mereka menolak bertobat setelah melewati masa-masa tekanan dan mendapat peringatan, Allah akhirnya izinkan kuasa asing untuk mengatasi mereka dan mengusir mereka dari negerinya, lalu mereka menjadi pengungsi.

Berdasarkan perjanjian baru, mungkin saja Allah mendisiplinkan anak-anakNya yang bandel dengan mengizinkan kesulitan dalam hidup mereka, atau Ia izinkan musuh-musuh menindas mereka. Misalnya, ayat Alkitab yang dikutip pada awal pasal tersebut tentang didikan Tuhan (Ibrani 12:3-13) ditemukan di dalam konteks orang-orang percaya Ibrani yang sedang dianiaya karena iman mereka. Tetapi, tidak semua penganiayaan diizinkan terjadi oleh karena ketidaktaatan. Setiap kejadian harus dinilai secara terpisah.

Reaksi yang Benar terhadap Pendisiplinan/Didikan dari Tuhan (Rightly Reacting to God’s Discipline)

Menurut peringatan yang dikutip di awal bab ini, kita dapat bereaksi salah terhadap pendisiplinan/didikan dari Tuhan dalam salah satu dari dua cara yang ada. Kita bisa saja “menganggap enteng didikan Tuhan, atau berputus asa apabila [kita] diperingatkan-Nya” (Ibrani 12:5). “Menganggap enteng” didikan Tuhan berarti tidak mengakui didikanNya, atau mengabaikan peringatan didikan itu. Putus asa kepada Tuhan berarti tidak membuat hatiNya senang karena kita pikir didikanNya terlalu keras. Kedua tindakan itu keliru. Akuilah bahwa Allah mengasihi kita, dan Ia mendidik kita untuk kebaikan kita. Ketika kita menerima uluran tanganNya yang penuh kasih dalam mendidik kita, kita harus bertobat dan menerima pengampunanNya.

Ketika kita bertobat, kita mengharapkan pemulihan dari didikan Tuhan. Tetapi. kita tak boleh langsung mengharapkan pemulihan dari akibat dosa kita yang tak terhindarkan, walaupun kita dapat meminta belas-kasihan dan pertolongan Tuhan. Allah menanggapi orang yang rendah hati dan penuh penyesalan (lihat Yesaya 66:2). Alkitab berjanji, “Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.” (Mazmur 30:6).

Setelah HukumanNya menimpa bangsa Israel, Allah berjanji:

Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajah-Ku terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihani engkau, firman TUHAN, Penebusmu. (Yesaya 54:7-8).

Allah itu baik dan penuh kasih karunia!

Untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai didikan Tuhan, lihat 2 Tawarikh 6:24-31, 36-39; 7:13-14; Mazmur 73:14; 94:12-13; 106:40-46; 118:18; 119:67, 71; Yeremia 2:29-30; 5:23-25; 14:12; 30:11; Hagai 1:2-13;2:17; Kisah Para Rasul 5:1-11; Wahyu 3:19.

Bab Duapuluh-Enam (Chapter Twenty-Six)

Berpuasa (Fasting)

Berpuasa adalah tindakan sukarela untuk tidak makan dan/atau minum selama satu periode waktu.

Alkitab mencatat banyak contoh orang berpuasa. Sebagian orang tidak makan semua jenis makanan, dan sebagian lainnya tidak makan jenis-jenis makanan tertentu selama puasa mereka. Contoh puasa yang tidak makan jenis-jenis makanan tertentu adalah puasa tiga minggu Daniel, ketika ia tidak makan “makanan yang sedap …daging atau anggur” (Daniel 10:3).

Ada juga beberapa contoh dalam Alkitab orang-orang yang berpuasa tidak makan dan tidak minum, tetapi berpuasa total seperti ini jarang dilakukan dan dianggap adikodrati, jika puasa itu berlangsung selama lebih dari tiga hari. Misalnya, ketika Musa pergi selama empat puluh hari tanpa makan atau minum apapun, ia berada dalam hadirat Allah Sendiri, selama wajahnya bersinar-sinar (lihat Keluaran34:28-29). Ia mengulangi puasa kedua selama 40 hari segera setelah puasa pertama (lihat Ulangan 9:9, 18). Kedua puasanya itu sangat adikodrati, dan dalam hal itu tak seorangpun mencoba meniru Musa. Selain pertolongan adikodrati dari Allah, orang tak mungkin bertahan lebih dari beberapa hari tanpa air. Dehidrasi menyebabkan kematian. Namun, sebagian besar orang sehat dapat bertahan selama beberapa minggu, hanya dengan makan, tanpa minum.

Mengapa Berpuasa (Why Fast?)

Tujuan utama puasa adalah mendapatkan manfaat-manfaat yang disediakan dengan mengambil waktu dalam doa dan mencari Tuhan. Dalam Alkitab, hampir tak ada acuan pada berpuasa, dan tak juga ada acuan kepada doa; sehingga, tak ada gunanya berpuasa tanpa berdoa.

[1]

Misalnya, dua acuan berpuasa dalam Kisah Para Rasul menyebut hal berdoa. Acuan pertama (lihat Kisah Para Rasul 13:1-3), para nabi dan guru di Antiokhia hanya “melayani Tuhan dan berpuasa.” Ketika melakukannya, mereka menerima pewahyuan profetik, lalu mengutus Paulus dan Barnabas pada perjalanan misi mereka yang pertama. Acuan kedua, Paulus dan Barnabas menunjuk para penatua untuk memimpin jemaat-jemaat baru di Galatia. Kita baca,

Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang adalah sumber kepercayaan mereka. (Kisah Para Rasul 14:23).

Mungkin pada acuan kedua, Paulus dan Barnabas mengikuti teladan Yesus, ketika Ia berdoa sepanjang malam, lama sebelum Ia memilih dua-belas murid (lihat Lukas 6:12). Keputusan-keputusan penting, seperti mengangkat pemimpin rohani, perlu didoakan sampai seseorang yakin bahwa ia mendapat bimbingan dari Tuhan, dan berpuasa dapat memberi lebih banyak waktu untuk berdoa. Jika Perjanjian Baru menghargai tindakan puasa sementara untuk tak berhubungan seks antara pasangan nikah demi meningkatkan kesungguhan dalam doa (lihat 1 Korintus 7:5), maka kita dapat lebih memahami bagaimana berpuasa sementara untuk tidak makan dapat menjadi tujuan yang sama.

[2]

 

Jadi, bila kita perlu berdoa meminta petunjuk Allah untuk mendapatkan keputusan rohani penting, berpuasa menjadi sesuai untuk maksud itu. Doa-doa untuk mendapatkan banyak kebutuhan lain dapat dilakukan dengan singkat. Misalnya, kita tak perlu berpuasa untuk menaikkan Doa Bapa Kami. Doa-doa untuk mendapatkan bimbingan perlu waktu lebih lama oleh karena kesulitan kita dalam “mengenali suara Allah dalam hati kita”, ketika suara Allah sering tumpang-tindih dengan berbagai keinginan atau dorongan keliru, atau tiadanya kesetiaan di dalam kita. Bila kita dapat jaminan dalam bimbingan, maka perlu tambahan waktu doa, dan itulah contoh di mana puasa ternyata menguntungkan.

Sudah tentu, meluangkan waktu untuk berdoa demi tujuan yang baik hampir tak ada apa-apanya selain keuntungan rohani. Karena itu, kita harus menganggap berpuasa sebagai cara yang menguntungkan untuk mendapatkan kekuatan dan efektifitas rohani —selama puasa kita dibarengi dengan doa. Kita baca dalam Kisah Para Rasul bahwa rasul-rasul zaman dulu bersungguh-sungguh “dalam doa dan pelayanan Firman” (Kisah Para Rasul 6:4). Tentu, hal tersebut mengungkapkan sebagian rahasia kepada kita untuk mendapatkan kekuatan dan efektifitas rohani.

Alasan Keliru Berpuasa (Wrong Reasons to Fast)

Karena kita telah menetapkan alasan berpuasa yang Alkitabiah berdasarkan Perjanjian Baru, kita harus juga perhatikan beberapa alasan berpuasa yang tidak Alkitabiah.

Sebagian orang berpuasa dengan harapan bahwa puasa akan menambah kesempatan bagi Allah untuk menjawab permohonan doa mereka. Tetapi, Yesus berkata bahwa cara utama agar doa dijawab adalah iman, bukan puasa (lihat Matius 21:22). Puasa bukanlah cara untuk “memelintir lengan Allah”, atau cara mengatakan kepadaNya, “Engkau lebih baik menjawab doaku atau saya akan kelaparan sampai mati!” Itu bukan puasa yang Alkitabiah —yakni mogok makan! Ingatlah, Daud berpuasa dan berdoa selama beberapa hari agar bayinya yang sakit dari istrinya Bethsheba tetap hidup, tetapi bayi meninggal karena Allah mendisiplinkan Daud. Berpuasa tak mengubah situasinya. Daud tidak berdoa dengan iman karena ia tidak berjanji untuk tetap bertahan. Nyatanya, ia berdoa dan berpuasa yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, terbukti oleh akibat yang terjadi.

Berpuasa bukanlah prasyarat untuk melakukan kebangunan rohani. Dalam Perjanjian Baru, tak ada contoh siapapun yang berpuasa untuk kebangunan rohani. Sebaliknya, rasul-rasul hanya menaati Yesus dengan memberitakan Injil. Jika sebuah kota tak menanggapi, mereka menaati Yesus lagi, dengan mengebaskan debu dari kaki mereka dan melakukan perjalanan ke kota berikutnya (lihat Lukas 9:5; Kisah Para Rasul 13:49-51). Mereka tak menunggu dan berpuasa, dengan mencoba “menghancurkan penghalang-penghalang rohani”, dan menunggu kebangunan rohani. Namun, dengan perkataan tersebut, saya harus tambahkan bahwa berpuasa yang dibarengi dengan doa tentu dapat menguntungkan bagi pemberita Injil, sehingga menjadikan mereka sebagai pelaku-pelaku kebangunan rohani. Banyak orang besar secara rohani yang dapat kita baca dalam sejarah gereja adalah orang-orang yang biasa melakukan doa dan puasa.

Berpuasa bukanlah cara “merendahkan keinginan daging”, seperti keinginan untuk makan merupakan keinginan yang wajar dan bukan dosa, tidak seperti “keinginan-keinginan daging” yang disebutkan dalam Galatia 5:19-21. Di lain pihak, berpuasa adalah tindakan pengendalian-diri, dan kebajikan yang sama diperlukan untuk mengejar hal-hal dari Roh dan bukan mengejar hal-hal kedagingan.

Berpuasa untuk membuktikan spiritualitas atau untuk memamerkan kesetiaan kepada Allah hanyalah buang-buang waktu dan menjadi tanda kemunafikan. Itulah alasan orang-orang Farisi berpuasa, dan Yesus mengecam mereka karena itu (lihat Matius 6:16; 23:5).

Sebagian orang berpuasa untuk mendapatkan kemenangan atas Setan. Tetapi puasa seperti itu tidak Alkitabiah. Alkitab berjanji bahwa bila kita menghadapi Setan dengan iman dalam Firman Allah, maka Setan akan lari dari kita (lihat Yakobus 4:7; 1 Pet.5:8-9). Berpuasa tidak perlu.

Tetapi tidakkah Yesus berkata bahwa beberapa roh jahat hanya dapat diusir dengan cara “berdoa dan berpuasa”?

Pernyataan itu dibuat dengan mengacu pada pembebasan seseorang dari roh jahat jenis tertentu yang merasukinya, bukan mengacu pada orang percaya yang perlu mendapatkan kemenangan atas serangan Setan terhadapnya; di mana dengan hal tersebut orang percaya menjadi sasaran serangan Setan.

Tetapi tidakkah pernyataan Yesus menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh kuasa yang lebih besar atas roh-roh jahat melaui puasa?

Ingatlah, ketika Yesus mendengar laporan di mana murid-muridNya gagal mengusir roh jahat dari seorang anak, yang pertama Ia lakukan adalah meratapi mereka yang tak punya iman (lihat Matius 17:17). Ketika murid-muridNya bertanya kepadaNya mengapa mereka gagal, Ia menjawab bahwa penyebabnya adalah kurangnya iman mereka (lihat Matius 17:20). Ia mungkin juga telah menambahkan sebagai catatan kaki, “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa” (Matius 17:21). Saya berkata bahwa Ia bisa saja telah menambahkan kata-kata itu sebagai catatan kaki karena ada bukti bahwa pernyataan itu mungkin tidak dimasukkan dalam Injil asli dari Matius. Sebuah catatan dalam catatan pinggir Alkitab (Alkitab versi New American Standard, versi Alkitab Bahasa Inggris yang sangat istimewa) menunjukkan bahwa banyak naskah asli Injil Matius tidak berisikan pernyataan khusus itu, yang berarti bisa saja Yesus tak pernah berkata, “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.” Pengguna Bahasa Inggris mendapatkan manfaat dengan memiliki bagian-bagian dari beberapa terjemahan Alkitab yang berbeda dalam bahasa itu, sedangkan banyak Alkitab dalam bahasa-bahasa lain diterjemahkan, bukan dari naskah-naskah asli bahasa Ibrani dan Gerika, tetapi dari versi Alkitab King James, terjemahan yang kini telah berusia lebih dari 400 tahun.

Dalam paparan Injil Markus dengan kejadian yang sama, Yesus berkata, “ Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa.” (Markus 9:29), dan dicatat dalam catatan pinggir Alkitab versi New American Standard yang banyak naskah menambahkan frase “dan berpuasa” pada akhir ayat itu.

Jika Yesus benar-benar mengucapkan kata-kata itu, kesimpulan kita keliru bahwa puasa diperlukan bagi orang untuk mengusir roh-roh jahat. Jika Yesus memberi seseorang kuasa atas roh-roh jahat, seperti yang Ia lakukan kepada duabelas muridNya (lihat Matius 10:1), maka orang itu telah memiliki kuasa itu, dan puasa tak dapat menambah kuasanya. Tentu, puasa dapat memberikan banyak waktu untuk berdoa, sehingga meningkatkan kepekaan rohani dan mungkin imannya dalam kuasa yang Allah berikan kepadanya.

Juga ingatlah, jika Yesus benar-benar membuat pernyataan, pernyataan itu hanyalah acuan kepada satu jenis roh jahat. Walaupun murid-murid Yesus pernah gagal mengusir satu jenis roh jahat, mereka berhasil mengusir banyak roh jahat lainnya (lihat Luke10:17).

Dengan kata lain, kita tak perlu berpuasa untuk mendapatkan kemenangan pribadi atas serangan Setan terhadap kita.

Penekanan Berlebihan mengenai Berpuasa (Overemphasis Regarding Fasting)

Beberapa orang Kristen menyimpulkam satu agama dari tindakan puasa, dengan memberi tempat dominan kepada hal berpuasa dalam kehidupan Kristen. Tetapi tiada satupun acuan kepada berpuasa dalam suratan-suratan Perjanjian Baru.

[3]

Tiada petunjuk yang diberikan kepada orang percaya mengenai bagaimana atau kapan harus berpuasa. Tak ada dorongan untuk melakukan puasa. Hal itu menunjukkan bahwa berpuasa bukanlah aspek penting dalam mengikut Yesus.

Dalam Perjanjian Lama, berpuasa disebutkan lebih sering. Berpuasa paling sering dikaitkan dengan saat-saat duka, seperti dalam hubungan dengan kematian seseorang atau saat bertobat, atau dengan doa yang khusuk selama masa-masa krisis nasional atau pribadi (lihat Hakim-Hakim 20:24-28; 1 Samuel 1:7-8; 7:1-6; 31:11-13; 2 Samuel 1:12; 12:15-23; 1 Raja-Raja 21:20-29; 2 Tawarikh 20:1-3; Ezra 8:21-23; 10:1-6; Nehemia 1:1-4; 9:1-2; Ester 4:1-3, 15-17; Mazmur 35:13-14; 69:10; Yesaya 58:1-7; Daniel 6:16-18; 9:1-3; Yoel 1:13-14; 2:12-17; Yunus 3:4-10; Zakharia 7:4-5). Saya percaya semua ayat itu tetap menjadi alasan sah untuk melakukan puasa di masa kini.

Perjanjian Lama juga mengajarkan bahwa tidaklah seimbang bila kita hanya serius berpuasa tanpa peduli pada penaatan perintah-perintah yang kedudukannya lebih penting, seperti kepedulian kepada kaum miskin (lihat Yesaya 58:1-12; Zakharia 7:1-14).

Tentu, kita tak dapat menuduh Yesus telah menyuruh kita untuk berpuasa secara berlebihan. Orang-orang Farisi menuduh Yesus tidak melakukan puasa (lihat Matius 9:14-15). Ia menghardik mereka karena menempatkan hal berpuasa di atas masalah-masalah rohani yang lebih penting (lihat Matius 23:23; Lukas 18:9-12).

Di lain pihak, Yesus berbicara tentang berpuasa kepada para pengikutNya selama KhotbahNya di Bukit. Ia mengajarkan kepada mereka untuk berpuasa dengan alasan yang benar, yang menunjukkan bahwa Ia mengharapkan agar para pengikutNya sewaktu-waktu berpuasa. Yesus juga berjanji bahwa Allah memberikan upah bagi mereka yang berpuasa. Ia Sendiri juga berpuasa (lihat Matius 17:21). Dan Ia berkata bahwa saatnya akan tiba ketika murid-muridNya berpuasa, ketika Ia diambil dari antara mereka (lihat Lukas 5:34-35).

Berapa Lama Seseorang Harus Berpuasa? (How Long Should One Fast?)

Seperti sudah dikatakan sebelumnnya, semua puasa selama empat-puluh hari yang terdapat dalam Alkitab dapat digolongkan sebagai peristiwa adikodrati. Kita telah simak Musa yang dua kali berpuasa, masing-masing selama empat-puluh hari dalam hadirat Allah. Elia juga berpuasa selama empat-puluh hari, tetapi sebelumnya ia diberi makan oleh malaikat (lihat 1 Raja-Raja 19:5-8). Sudah ada juga beberapa unsur yang sangat adikodrati pada puasa empat-puluh hari yang Yesus lakukan. Ia secara adikodrati dipimpin oleh Roh Kudus menuju padang gurun. Ia mengalami cobaan adikodrati dari Setan pada saat-saat akhir puasaNya. Ia juga dilawati oleh para malaikat pada saat akhir puasaNya (lihat Matius 4:1-11). Puasa empat-puluh hari bukanlah norma Alkitab.

Jika seseorang rela berpantang makan sekali saja demi meluangkan waktu untuk mencari Tuhan, ia telah berpuasa. Kita keliru bila berpendapat bahwa puasa hanya dapat diukur dalam beberapa hari.

Puasa disebutkan dua kali dalam Kisah Para Rasul (lihat Kisah Para Rasul 13:1-3; 14:23), tampaknya keduanya bukan puasa yang berlangsung lama. Mungkin hanya puasa untuk tidak makan sekali saja.

Karena puasa bertujuan untuk mencari Tuhan, saya sarankan anda berpuasa selama anda perlu, sampai anda dapatkan apa yang anda perlukan dari Allah.

Ingat, berpuasa tidak memaksa Allah untuk berbicara pada anda. Berpuasa hanya dapat memperkuat kepekaan anda terhadap Roh Kudus. Allah tengah berbicara apakah anda berpuasa atau tidak. Dari keinginan-keinginan kita, kita sulit mengetahui pimpinanNya.

Saran Praktis (Some Practical Advice)

Berpuasa biasanya mempengaruhi tubuh fisik dalam berbagai cara. Orang bisa menjadi lemah, lelah, sakit kepala, muntah-muntah, pusing, kram perut, dan lain-lain. Jika ia biasa minum kopi, teh, atau minuman lain berkafein, sebagian dari gejala-gejala itu dapat diakibatkan oleh kafein. Dalam hal itu, sebaiknya orang yang akan berpuasa tidak meminum minuman berkafein dari menu makanan beberapa hari sebelum puasa dimulai. Jika ia berpuasa secara teratur atau setengah-teratur, puasanya akan semakin mudah, walaupun biasanya ia jadi lemah selama satu minggu atau dua minggu pertama.

Selama puasanya, ia harus banyak minum air agar tidak mengalami dehidrasi.

Puasa harus dihentikan secara hati-hati dan pelan-pelan, dan makin lama puasa, makin hati-hati berhenti puasa. Jika perut tak mencerna makanan padat selama tiga hari, tidaklah bijak untuk berhenti puasa dengan memakan makanan yang sulit dicerna. Makanlah makanan yang mudah dicerna dan minum jus buah. Puasa yang lebih lama memerlukan lebih banyak waktu bagi sistem pencernaan untuk menyesuaikan lagi dengan makanan, tetapi tidak makan sekali atau dua kali tak perlu periode khusus untuk berhenti puasa.

Sebagian orang yakin bahwa puasa yang cermat dan tak berlebihan adalah langkah untuk meningkatkan kesehatan tubuh, dan saya melakukannya, setelah mendengar kesaksian dari orang-orang sakit yang disembuhkan selagi berpuasa. Menurut anggapan, berpuasa adalah cara untuk mengistirahatkan dan membersihkan tubuh. Ini bisa jadi alasan mengapa puasa pertama kita biasanya paling sulit dilakukan. Orang yang tak pernah puasa memiliki kemungkinan besar untuk melakukan pembersihan fisik di dalam dirinya.

Rasa lapar selama puasa biasanya akan berhenti sejak dua atau tiga hari dalam puasanya. Ketika rasa lapar kembali muncul (biasanya setelah beberapa minggu), pertanda kita untuk mengakhiri puasa dengan hati-hati, karena itulah awal rasa lapar, ketika tubuh telah memakai cadangan lemak dan kini menggunakan sel-sel esensial. Alkitab berkata bahwa Yesus menjadi lapar setelah empat-puluh hari berpuasa, dan itulah saatnya Ia mengakhiri puasaNya (lihat Matius 4:2).

 


[1]

Saya telah berpuasa selama tujuh hari tanpa manfaat rohani apapun, demi alasan sederhana bahwa saya mempunya tujuan tidak rohani dan tidak meluangkan waktu lebih dalam doa.

[2]

Alkitab versi King James dalam 1 Korintus 7:5 menyebutkan kesepakatan bersama antara suami dan istri untuk tak melakukan hubungan seks agar mereka dapat berkonsentrasi pada “puasa dan doa.” Sebagian besar terjemahan Bahasa Inggris modern untuk ayat ini tak menyebutkan puasa, namun menyebutkan doa.

[3]

Pengecualian adalah penyebutan oleh Paulus tentang berpuasa oleh pasangan suami-istri dalam 1 Korintus 7:5, namun di antara berbagi terjemahan Alkitab dalam Bahasa Inggris, berpuasa hanya disebutkan dalam Alkitab versi King James. Berpuasa sukarela disebutkan Kisah Para Rasul 27:21, 33-34, 1 Korintus 4:11 dan 2 Korintus 6:5; 11:27. Namun, puasa-puasa itu dilakukan tidak untuk maksud-maksud rohani, namun hanya oleh karena keadaan-keadaan yang sulit atau karena tak ada makanan untuk dimakan.

Bab Duapuluh-Tiga (Chapter Twenty-Three)

Bab Duapuluh-Tiga (Chapter Twenty-Three) Sakramen (The Sacraments)

 

Yesus memberikan kepada gereja hanya dua sakramen: baptisan air (lihat Matius 28:19) dan Perjamuan Tuhan (lihat 1 Korintus 11:23-26). Pertama-tama, kita pelajari baptisan air. Berdasarkan perjanjian baru, setiap orang percaya harus mengalami tiga baptisan, yakni baptisan ke dalam tubuh Kristus, baptisan air, dan baptisan Roh Kudus. Ketika seseorang dilahirkan kembali, ia otomatis dibaptiskan ke dalam tubuh Kristus, yakni ia menjadi anggota gereja, tubuh Kristus:

Sebab dalam satu Roh kita semua… telah dibaptis menjadi satu tubuh. (1 Korintus 12:13; lihat juga Roma 6:3; Efesus 1:22-23; Kolose 1:18, 24).

Yang dibaptis dalam Roh Kudus adalah pengalaman yang mengikuti keselamatan, dan baptisan ini dapat dan harus diterima oleh setiap orang percaya.

Setiap orang percaya harus dibaptis dalam air segera setelah ia bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus. Baptisan harus jadi tindakan awal bagi ketaatan orang percaya baru:

Lalu Ia [Yesus] berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. (Markus 16:15-16, tambahkan penekanan).

Gereja mula-mula menganggap penting perintah Yesus untuk membaptis. Hampir tanpa kecuali, setiap petobat baru dibaptis segera setelah pertobatannya (lihat Kisah Para Rasul 2:37-41; 8:12-16, 36-39; 9:17-19; 10:44-48; 16:31-33; 18:5-8; 19:1-5).

Beberapa Ide yang Tidak Alkitabiah mengenai Baptisan (Some Unscriptural Ideas about Baptism)

Sebagian orang mempraktekkan baptisan dengan memercikan beberapa tetes air kepada petobat baru. Apakah itu benar? Kata kerja yang diterjemahkan membaptiskan dalam Perjanjian Baru adalah bahasa Gerika baptizo, yang berarti “menenggelamkan.” Karena itu, orang yang dibaptis ke dalam air harus diselamkan di bawah air dan tidak dipercik dengan beberapa tetes saja. Simbol baptisan orang Kristen, yang kita akan pelajari, juga mendukung ide baptisan selam.

Sebagian orang mempraktekkan baptisan bayi, namun tak ada contoh baptisan bayi dalam Alkitab. Praktek tersebut berasal dari doktrin sesat “kelahiran kembali dengan baptisan”, yakni ide bahwa seseorang dilahirkan kembali saat ia dibaptis. Alkitab jelas mengajarkan bahwa setiap orang harus pertama-tama percaya kepada Yesus sebelum ia dibaptis. Jadi, anak yang sudah cukup usia untuk bertobat dan mengikuti Yesus memenuhi syarat untuk dibaptis, tetapi bukan bayi dan anak kecil.

Sebagian orang mengajarkan bahwa, walaupun seseorang bisa percaya kepada Yesus, ia tidak diselamatkan sebelum dibaptiskan dalam air. Itu tak benar menurut Alkitab. Dalam Kisah Para Rasul 10:44-48 dan 11:17, seisi rumah Kornelius diselamatkan dan dibaptis dalam Roh Kudus sebelum salah satu dari mereka dibaptis dalam air. Mustahil seseorang dibaptis dalam Roh Kudus jika ia tak diselamatkan lebih dulu (lihat Yohanes 14:17).

Sebagian orang mengajarkan bahwa jika seseorang tidak dibaptis menurut rumusan tertentu, ia benar-benar tidak selamat. Alkitab tidak memberikan ritual khusus yang harus diikuti untuk baptisan yang benar. Misalnya, sebagian orang berkata bahwa orang percaya tidak selamat jika ia sudah dibaptis “dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus” (Matius 28:19) bukannya “dalam nama Yesus ” (Kisah Para Rasul 8:16). Orang-orang menunjukkan roh yang sama yang mendominasi orang-orang Farisi, yang menyaring seekor lalat dan menelan unta. Mengerikan bila kita saksikan orang-orang Kristen berdebat tentang penggunaan kata-kata yang tepat selama pembaptisan selagi dunia menunggu untuk mendengarkan Injil.

Simbol Baptisan menurut Alkitab (The Scriptural Symbolism of Baptism)

Baptisan air melambangkan beberapa hal yang telah terjadi dalam kehidupan orang percaya baru. Paling sederhana, baptisan melambangkan bahwa dosa-dosa kita telah disucikan, dan kini kita berdiri suci di hadapan Allah. Ketika Ananias dikirim kepada Saulus (Paulus) segera setelah pertobatan Paulus, ia berkata kepada Paulus:

Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan! (Kisah Para Rasul 22:16, tambahkan penekanan).

Kedua, baptisan air melambangkan identifikasi kita dengan Kristus dalam kematian, penguburan dan kebangkitanNya. Saat kita dilahirkan kembali dan disatukan dalam tubuh Kristus, sejak itu Allah menganggap kita sebagai ada “di dalam Kristus”. Karena Yesus adalah pengganti kita, Allah memberikan semua yang dilakukan Yesus kepada kita. Jadi “berada dalam Kristus”, kita telah mati, dikuburkan, dan dibangkitkan kembali dari kematian untuk hidup sebagai manusia baru:

Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama denganNya oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. (Roma 6:3-4).

Karena denganNya kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. (Kolose 2:12).

Kebenaran-kebenaran tersebut harus diajarkan kepada setiap orang percaya baru ketika ia dibaptis dalam air, dan ia harus dibaptis segera setelah ia percaya kepada Yesus.

Perjamuan Tuhan (The Lord’s Supper)

Perjamuan Tuhan berasal dari Perayaan Paskah dalam Perjanjian Lama. Pada malam ketika Allah membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir, Ia memerintahkan semua keluarga untuk masing-masing mengorbankan seekor domba berumur setahun dan memercikkan darahnya pada palang dan tiang pintu rumah mereka. Saat “malaikat maut” berlalu melalui bangsa itu pada malam itu, dan membunuh anak-anak yang baru lahir di Mesir, malaikat itu akan melihat darah di rumah-rumah orang Israel dan “melewatkannya.”

Lagipula, orang-orang Israel harus merayakan hari raya dengan memakan daging domba Paskah dan juga memakan roti tak beragi selama tujuh hari. Perayaan ini menjadi peraturan permanen bagi Israel, yang dirayakan pada saat yang sama setiap tahun (lihat Keluaran 12:1-28). Jelaslah, anak domba Paskah adalah gambaran Kristus, yang disebut “anak domba Paskah” dalam 1 Korintus 5:7.

Ketika Yesus melembagakan Perjamuan Tuhan, Ia dan murid-muridNya merayakan Pesta Paskah. Yesus disalibkan selama perayaan Paskah, yang sebenarnya memenuhi panggilanNya sebagai “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29).

Roti yang kita makan melambangkan tubuh Yesus yang dipecah-pecahkan untuk kita, dan anggur yang kita minum melambangkan darahNya yang ditumpahkan untuk menghapus dosa-dosa kita:

Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa. Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku.” (Matius 26:26-29).

Rasul Paulus mengisahkan dengan cara berikut:

Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. (1 Korintus 11:23-26).

Kapan dan Bagaimana (When and How)

Alkitab tidak menyatakan berapa kali kita melakukan Perjamuan Tuhan, tetapi jelas pada masa awal gereja, Perjamuan Tuhan dilakukan secara teratur dalam pertemuan-pertemuan gereja rumah sebagai acara jamuan makan penuh (lihat 1 Korintus 11:20-34). Karena memiliki asal-usul dari Jamuan Makan Paskah, maka Perjamuan Tuhan merupakan jamuan makan ketika dilembagakan oleh Yesus, dan dilakukan sebagai jamuan makan oleh gereja mula-mula, seperti yang dipraktekkan kini. Namun banyak gereja masih mengikuti “tradisi-tradisi manusia.”

Kita harus mendekati Perjamuan Tuhan dengan penuh rasa hormat. Rasul Paulus mengajarkan bahwa melakukan Perjamuan Tuhan secara tidak layak adalah tindakan mendatangkan hukuman yang serius:

Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal. Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia. (1 Korintus 11:27-32).

Kita diingatkan untuk menguji dan menilai diri sendiri sebelum ambil bagian dalam Perjamuan Tuhan, dan jika kita menemukan ada dosa, kita perlu bertobat dan mengakuinya. Jika tidak, kita dapat saja “bersalah atas tubuh dan darah Tuhan.”

Karena Yesus mati dan menumpahkan darahNya untuk membebaskan kita dari dosa, kita tentu tidak ingin ambil bagian dalam unsur-unsur Perjamuan Tuhan –sebagai tubuh dan darahNya—bila dosa-dosa tidak diakui. Jika kita ambil bagian dalam unsur-unsur Perjamuan Tuhan, kita dapat makan dan minum penghakiman atas diri kita dalam wujud penyakit dan kematian yang lebih cepat, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di Korintus. Cara menghindari disiplin Allah adalah “menghakimi diri kita sendiri”, yakni mengakui dan bertobat dari dosa-dosa kita.

Dosa utama orang-orang Kristen di Korintus adalah ketiadaan kasih; mereka saling cekcok dan berseteru. Kenyataannya, ketiadaan pertimbangan pikiran oleh orang-orang Kristen di Korintus itu bahkan terwujud selama Perjamuan Tuhan ketika sebagian orang makan, selagi yang lain dalam keadaan lapar, dan sebagian lain bahkan mabuk (lihat 1 Korintus 11:20-22).

Roti yang kita makan melambangkan tubuh Kristus, yang kini adalah gereja. Kita ambil sepotong roti, yang adalah kesatuan kita sebagai satu tubuh (lihat 1 Korintus 10:17). Adalah jahat bila kita ambil bagian dalam hal perlambangan satu tubuh Kristus selagi kita masih bermusuhan dan tidak berdamai dengan anggota-anggota lain dalam tubuh Kristus! Sebelum kita mengikuti Perjamuan Tuhan, kita perlu yakin bahwa kita memiliki hubungan baik dengan saudara-saudara kita dalam Kristus..

Bab Duapuluh-Empat (Chapter Twenty-Four)

Konfrontasi, Pengampunan dan Pendamaian Kembali (Confrontation, Forgiveness and Reconciliation)

 

Ketika mempelajari Khotbah di Bukit oleh Yesus pada bab sebelumnya, kita pelajari betapa penting mengampuni mereka yang berdosa kepada kita. Bila kita tak mengampuni mereka, Yesus berjanji bahwa Allah tidak akan mengampuni kita (lihat Matius 6:14-15).

Apa artinya mengampuni seseorang? Perhatikanlah apa yang Alkitab ajarkan.

Yesus membandingkan pengampunan dengan penghapusan utang seseorang (lihat Matius 18:23-35). Misalkan seseorang berhutang uang kepada anda, lalu anda membebaskannya untuk mengembalikan uang itu. Anda hancurkan dokumen catatan hutangnya. Anda tak lagi berharap kembalinya uang, dan anda tak lagi marah kepada si peminjam. Kini, lihatlah dia secara berbeda dibandingkan saat anda berhutang kepadanya.

Kita dapat juga memahami apa artinya mengampuni jika kita perhatikan apa artinya diampuni oleh Allah. Ketika Ia mengampuni dosa kita, Ia tak lagi menganggap kita bertanggung-jawab atas apa yang sudah kita lakukan yang tidak berkenan bagiNya. Ia tak lagi marah kepada kita oleh karena dosa tadi. Ia tidak akan mendisiplinkan atau menghukum kita atas perlakuan kita. Kita diperdamaikan denganNya.

Demikian juga, jika saya benar-benar mengampuni seseorang, saya bebaskan orang itu di dalam hati saya, dengan mengatasi keinginan untuk mendapatkan keadilan atau balas dendam dengan menunjukkan belas-kasihan. Saya tak lagi marah kepada orang yang berdosa kepada saya. Kita telah berdamai. Jika saya marah atau dendam kepada seseorang, maka saya belum mengampuninya.

Dalam hal ini, orang Kristen sering membodohi diri sendiri. Menurutnya, ia telah mengampuni seseorang, dan tahu bahwa itulah yang harus ia lakukan, tetapi di dalam hatinya ia masih dendam kepada orang yang bersalah kepadanya. Ia menghindari bertemu dengan orang itu karena dapat menimbulkan bahaya lagi. Saya tahu apa yang saya sedang katakan, karena saya baru saja melakukannya. Jangan bodohi diri kita. Ingatlah, bahkan Yesus tidak ingin kita marah kepada sesama orang percaya (lihat Matius 5:22).

Saya ingin bertanya: Siapakah yang lebih mudah mengampuni, orang bersalah yang memohon ampun atau orang bersalah yang tak memohon ampun? Sudah tentu, jauh lebih mudah mengampuni orang bersalah yang mengaku kesalahannya dan memohon ampun. Ternyata, lebih mudah mengampuni orang yang meminta ampun dibandingkan orang yang tidak meminta ampun. Mengampuni orang yang tak meminta ampun tampaknya mustahil.

Perhatikanlah hal itu dari sudut lain. Jika menolak mengampuni orang bersalah yang memohon ampun dan menolak mengampuni orang yang tidak bertobat, keduanya salah, manakah dosa yang lebih besar? Saya kira kita sepakat, jika keduanya salah, menolak mengampuni orang bersalah yang meminta ampun adalah dosa yang lebih besar.

Kejutan dari Alkitab (A Surprise from Scripture)

Semua itu memunculkan pertanyaan: Apakah Allah mau kita mengampuni setiap orang yang berdosa kepada kita, bahkan orang yang tak merendahkan dirinya sendiri, mengakui dosanya, dan memohon ampun?

Saat mempelajari Alkitab dengan teliti, kita temukan jawabannya, yakni ”Tidak.” Terhadap kekejutan banyak orang Kristen, Alkitab jelas berkata bahwa, walaupun kita diperintahkan untuk mengasihi setiap orang, termasuk bahkan musuh-musuh kita, kita tak perlu mengampuni setiap orang.

Misalnya, apakah Yesus mengharapkan kita untuk mengampuni sesama orang percaya yang berdosa kepada kita? Tidak. Jika tidak, Ia tak akan berkata agar kita mengikuti empat langkah kepada pendamaian kembali sesuai uraian Matius 18:15-17, sebagai langkah-langkah yang berakhir dengan pengucilan jika orang yang berdosa pada kita tidak bertobat:

Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.

Jelaslah, jika langkah keempat dicapai (pengucilan), pengampunan tidak diberikan kepada orang yang berdosa pada kita, karena pengampunan dan pengucilan adalah tindakan yang tak dapat didamaikan. Aneh bila kita dengar seseorang berkata, “Kami mengampuninya, lalu kita mengucilkannya,” karena pengampunan menghasilkan pendamaian kembali, bukan pengucilan. (Apa pendapat anda jika Allah berkata, “Aku mengampunimu, tetapi Aku tidak akan berurusan denganmu mulai sekarang”?). Yesus meminta kita untuk memperlakukan orang yang dikucilkan “sebagai orang bukan Yahudi dan pemungut cukai”, dua jenis orang yang tak mau dihubungi dan benar-benar dibenci oleh orang-orang Yahudi.

Pada empat langkah yang Yesus tekankan, pengampunan tidak diberikan setelah langkah pertama, langkah kedua atau langkah ketiga jika orang berdosa tidak bertobat. Jika ia tidak bertobat setelah satu langkah, ia dibawa ke langkah berikut, masih diperlakukan sebagai orang berdosa yang tak bertobat. Ketika orang berdosa “mendengarkan anda” (yakni bertobat), maka anda “telah memenangkan saudara anda” (yakni diperdamaikan).

Tujuan melakukan pertemuan adalah memberikan pengampunan. Tetapi, pengampunan dijadikan dasar ketika orang yang berdosa kepada kita bertobat. Sehingga kita (1) berhadap-hadapan agar orang yang berdosa kepada kita akan (2) bertobat sehingga kita dapat (3) mengampuninya.

Jadi, dapat dikatakan bahwa Allah tak mau kita hanya mengampuni sesama orang percaya yang telah berdosa kepada kita dan yang tidak bertobat setelah bertemu. Tentu, hal itu tak memberikan kita hak untuk membenci orang percaya yang membenci kita. Sebaliknya, kita adakan pertemuan karena kita mengasihi orang percaya itu dan ingin mengampuninya dan berdamai.

Namun ketika diadakan pendamaian kembali melalui tiga langkah yang diuraikan oleh Yesus, langkah keempat mengakhiri hubungan tersebut dalam ketaatan pada Kristus.

[1]

Karena kita tak boleh bersekutu dengan orang yang menyebut dirinya Kristen yang adalah pezinah, pemabuk, homoseks, dan lain-lain (lihat 1 Korintus 5:11), kita tak boleh bersekutu dengan orang yang menyebut dirinya Kristen yang menolak bertobat dalam kesepakatan seluruh tubuh Kristus. Orang itu terbukti bukanlah pengikut sejati Kristus, dan ia menimbulkan cela terhadap gerejaNya.

Teladan Allah (God’s Example)

Ketika memperhatikan tanggung-jawab untuk mengampuni orang lain, kita mungkin heran mengapa Allah mengharapkan kita untuk melakukan sesuatu yang Ia Sendiri tidak lakukan. Allah tentu mengasihi orang-orang yang bersalah dan mengulurkan tanganNya yang berbelas kasihan demi mengampuni mereka. Ia menahan amarahNya dan memberi mereka waktu untuk bertobat. Tetapi pengampunan yang diberikan kepada mereka tergantung pada pertobatan mereka. Allah tidak mengampuni orang-orang bersalah jika mereka tidak bertobat. Jadi mengapa kita pikir bahwa Ia berharap lebih banyak dari kita?

Jika demikian, apakah tidak mungkin bahwa dosa yang tak diampuni yang Allah benci adalah dosa tidak mengampuni orang yang memohon pengampunan kita? Adalah menarik, setelah Yesus menggarisbawahi empat langkah disiplin gereja, Petrus bertanya,

“Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Matius 18:21-22).

Apakah Petrus menganggap bahwa Yesus berharap untuk mengampuni saudara yang tidak bertobat ratusan kali untuk ratusan dosa ketika Yesus baru saja berkata kepadanya sebelumnya untuk memperlakukannya sebagai saudara yang tidak bertobat seperti orang bukan Yahudi dan pemungut cukai oleh karena satu dosa? Tampaknya sangat tidak mungkin. Lagi-lagi, anda tidak memperlakukan seseorang sebagai orang yang dibenci jika anda sudah mengampuninya.

Pertanyaan lain yang menggelitik pemikiran kita adalah: Jika Yesus mengharapkan kita untuk mengampuni orang percaya ratusan kali untuk ratusan dosa yang tak pernah ia mintakan ampunan, sehingga hubungan kita tetap bertahan, mengapa Ia izinkan kita untuk memutuskan hubungan pernikahan hanya untuk satu dosa yang dilakukan terhadap kita, dosa perzinahan, jika pasangan kita tidak bertobat (lihat Matius 5:32)?

[2]

Tampaknya hal itu agak tidak konsisten.

Penjelasan (An Elaboration)

Segera setelah Yesus berkata kepada Petrus untuk mengampuni saudara empat ratus sembilan puluh kali, Ia menceritakan satu perumpamaan agar Petrus dapat memahami:

Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. [Di zaman Yesus, jumlah ini sama dengan lebih dari 5,000 tahun gaji untuk pekerja rata-rata]. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar [setara dengan gaji seratus hari] kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Matius 18:23-35).

Perhatikan, hamba pertama diampuni karena ia memohon ampunan kepada tuannya. Lalu, hamba kedua juga dengan rendah hati memohon pengampunan kepada hamba pertama. Hamba pertama tak memberikan apa yang telah didapatkannya kepada hamba kedua, dan itulah yang membuat tuannya marah. Dengan demikian, apakah Petrus berpikir bahwa Yesus mengharapkannya untuk mengampuni saudara yang tidak bertobat yang tak pernah memohon pengampunan, sesuatu yang tidak digambarkan sama sekali melalui perumpamaan Yesus? Tampaknya mustahil, dan bahkan lebih lagi karena Yesus baru saja berkata kepadanya untuk memperhatikan saudara yang tidak bertobat, setelah ia bertemu muka dengannya, bagaikan orang bukan Yahudi dan pemungut cukai.

Tampaknya tidak mungkin Petrus menganggap dirinya harus mengampuni seorang saudara yang tidak bertobat dengan melihat hukuman yang Yesus janjikan jika kita tidak mengampuni saudara kita dari dalam hati kita. Yesus berjanji memulihkan semua hutang yang telah diampuni sebelumnya dan menyerahkan kita kepada penindas sampai kita mengembalikan apa yang tidak pernah kita kembalikan. Apakah itu hukuman adil bagi seorang Kristen yang tak mengampuni saudaranya, saudara yang Allah tidak ampuni juga? Jika seorang saudara berdosa terhadap saya, ia berdosa terhadap Allah, dan Allah tak mengampuninya jika tak ia bertobat. Dapatkah Allah menghukum saya karena saya tidak mengampuni seseorang yang Ia tidak ampuni?

Sinopsis (A Synopsis)

Harapan Yesus untuk kita mengampuni sesama orang percaya dinyatakan melalui FirmanNya dalam Lukas 17:3-4:

Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” (tambahkan penekanan).

Seberapa jelaskah itu? Yesus berharap kita untuk mengampuni sesama orang percaya ketika mereka meminta ampun. Ketika kita berdoa, “Ampuni dosa-dosa kami seperti kami juga telah mengampuni orang-orang yang bersalah kepada kami”, kita memohon Allah untuk melakukan bagi kita apa yang telah kita lakukan kepada orang-orang lain. Kita tak pernah mengharapkan Dia mengampuni kita jika kita tidak memohon. Jadi, mengapa kita anggap bahwa Ia mau kita mengampuni orang yang tidak memohon ampun?

Lagi-lagi, semua itu tak memberikan kita hak untuk menaruh dendam kepada saudara dalam Kristus yang telah berdosa kepada kita. Kita diperintahkan untuk saling mengasihi. Itu sebabnya kita diperintahkan untuk menghadapi sesama orang percaya yang berdosa terhadap kita, sehingga ada pendamaian kembali dengannya, dan ia dapat diperdamaikan dengan Allah yang kepadaNya ia telah berdosa. Itulah cara kerja kasih. Namun seringkali, orang-orang Kristen berkata mereka mengampuni sesama orang percaya yang menyakiti mereka, tetapi itu hanya alasan untuk menghindari pertemuan. Mereka sebenarnya tak mengampuni, dan itu tampak melalui perbuatan mereka. Bagaimanapun juga, mereka menghindari orang yang bersalah dan sering berbicara tentang sakit-hati mereka. Tak ada pendamaian kembali.

Ketika kita berdosa, Allah memperhadapkan kita dengan Roh KudusNya di dalam kita karena Ia mengasihi dan ingin mengampuni kita. Kita harus meneladaniNya, yang dengan penuh kasih mempertemukan sesama orang percaya yang berdosa kepada kita sehingga terjadi pertobatan, pengampunan dan pendamaian kembali.

Allah selalu berharap seluruh umatNya saling mengasihi dengan kasih yang tulus, kasih yang perlu teguran, tetapi kasih tanpa dendam. Hukum Taurat Musa mengandung perintah:

Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN. (Imamat 19:17-18, tambahkan penekanan).

Keberatan (An Objection)

Tetapi bagaimana dengan Perkataan Yesus dalam Markus 11:25-26? Apakah perkataan itu tidak menunjukkan bahwa kita harus mengampuni setiap orang dari setiap segi, tak peduli apakah mereka memohon pengampunan atau tidak?

Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.

Ayat itu tidak menggantikan ayat-ayat lain yang telah dibahas, terkait dengan pokok bahasan. Kita tahu bahwa yang tak berkenan kepada Allah adalah penolakan mengampuni orang yang memohon ampun dari kita. Sehingga kita dapat tafsirkan ayat ini dengan fakta sangat kuat. Di ini, Yesus hanya tekankan bahwa kita harus mengampuni orang lain jika kita inginkan pengampunan dari Allah. Ia tidak mengatakan prosedur pengampunan yang lebih khusus dan hal yang orang harus lakukan untuk saling menerimanya.

Di sini, Yesus juga tidak berkata bahwa kita harus meminta ampun kepada Allah untuk menerima ampun dariNya. Lalu, apakah kita abaikan hal lain yang Alkitab ajarkan tentang pengampunan Allah yang ditegaskan pada permohonan ampun kita (lihat Matius 6:12; 1 Yohanes 1:9)? Apakah kita berasumsi bahwa kita tak perlu minta ampun dari Allah ketika kita berdosa karena Yesus tidak menyebutkannya? Itu jadi asumsi yang tidak bijak bila melihat perkataan Alkitab kepada kita. Sama tidak bijaknya bila kita abaikan semua yang Alkitab ajarkan tentang pengampunan kita bagi orang lain berdasarkan permohonan pengampunan dari orang itu.

Keberatan Lainnya (Another Objection)

Apakah Yesus tidak berdoa untuk para prajurit yang membagi-bagikan jubahNya, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34)? Apakah ini tidak menunjukkan bahwa Allah mengampuni orang-orang tanpa mereka memintanya?

Memang demikian, tetapi hanya pada keadaan tertentu. Itu menunjukkan bahwa Allah menunjukkan belas-kasihan kepada orang yang tak peduli, sebagai langkah pengampunan. Karena Allah sangat adil, Ia meminta orang-orang untuk bertanggung-jawab ketika mereka tahu mereka sedang berbuat dosa.

Doa Yesus untuk para prajurit tidak menjamin mereka untuk mendapatkan tempat di sorga —doa itu hanya menjamin bahwa mereka tidak dimintakan pertanggungjawaban karena membagi-bagikan jubah Anak Allah, dan hanya oleh karena ketidakpedulian mereka terhadap siapa Dia. Mereka menganggapNya sebagai seorang penjahat yang harus dihukum mati. Sehingga Allah memberi belas-kasihan atas perbuatan yang sepatutnya mendapatkan hukuman, andaikan mereka tahu apa yang sedang mereka lakukan.

Apakah Yesus berdoa agar Allah mengampuni setiap orang lain yang bertanggung-jawab atas penderitaanNya? Tidak, Ia tidak berdoa demikian. Misalnya Yudas, kata Yesus, adalah lebih baik jika ia tak pernah dilahirkan (lihat Matius 26:24). Yesus tentu tidak berdoa agar BapaNya mengampuni Yudas. Justru sebaliknya —bila diperhatikan Mazmur 69 dan Mazmur 109 sebagai doa nubuatan dari Yesus, seperti yang Petrus lakukan (lihat Kisah Para Rasul 1:15-20). Yesus berdoa agar hukuman tidak menimpa Yudas.

Sebagai orang-orang yang berupaya meniru Kristus, kita harus tunjukkan belas-kasihan kepada mereka yang tak peduli pada apa yang telah mereka lakukan kepada kita, seperti orang-orang yang tak percaya, layaknya para prajurit yang tak peduli membagi-bagikan jubah Yesus. Yesus berharap agar kita menunjukkan belas-kasihan yang luar-biasa kepada orang tak percaya, mengasihi musuh kita, berbuat baik kepada orang yang membenci kita, memberkati orang yang mengutuk kita dan mendoakan orang yang mencaci kita (lihat Lukas 6:27-28 ). Kita harus cairkan kebencian mereka dengan kasih kita, dengan membalas kejahatan dengan kebaikan. Konsep ini bahkan ditetapkan dalam Hukum Taurat Musa:

Apabila engkau melihat lembu musuhmu atau keledainya yang sesat, maka segeralah kau kembalikan binatang itu. Apabila engkau melihat rebah keledai musuhmu karena berat bebannya, maka janganlah engkau enggan menolongnya. Haruslah engkau rela menolong dia dengan membongkar muatan keledainya”. (Keluaran 23:4-5)

Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu. (Amsal 25:21-22).

Walaupun Yesus memerintahkan untuk mengasihi musuh kita, adalah menarik bahwa berbuat baik kepada orang yang membenci kita, memberkati orang yang mengutuk kita dan mendoakan orang yang mencaci kita (lihat Luke 6:27-28), Ia tak pernah berkata untuk mengampuni mereka. Kita sebenarnya dapat mengasihi orang-orang tanpa mengampuni mereka —layaknya Allah mengasihi orang tanpa mengampuninya. Kita tidak hanya dapat mengasihi mereka, tetapi kita harus mengasihi mereka, seperti perintah Allah untuk melakukan hal demikian. Dan kasih bagi mereka harus diwujudkan melalui perbuatan kita.

Hanya karena Yesus berdoa kepada BapaNya untuk mengampuni para prajurit yang membagi-bagi jubahNya tidak membuktikan bahwa Allah mau kita untuk mengabaikan segala sesuatu yang telah kita pelajari dari Alkitab berkenaan dengan hal itu dan mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kita. Maka, kita diajari untuk harus segera mengampuni orang yang tak peduli akan dosanya terhadap kita dan menunjukkan belas-kasihan yang luar biasa kepada orang tak percaya.

Bagaimana dengan Yusuf? (What About Joseph?)

Yusuf, dengan kerendahan hati mengampuni saudara-saudaranya yang telah menjualnya menjadi budak, kadang-kadang dijadikan teladan bagaimana kita harus mengampuni siapapun dan setiap orang yang berdosa terhadap kita, tak peduli apakah pengampunan diminta atau tidak. Tetapi itukah yang diajarkan dari kisah Yusuf?

Tidak.

Yusuf membuat saudara-saudaranya melewati pencobaan dan ujian berulang-ulang selama setahun untuk membawa mereka ke tempat pertobatan. Ia bahkan menyuruh menahan seorang saudaranya selama berbulan-bulan di Mesir (lihat Kejadian 42:24). Ketika saudara-saudaranya akhirnya mengakui kesalahan mereka (lihat Kejadian 42:21; 44:16), dan ketika salah seorang dari mereka menawarkan diri sebagai tebusan untuk anak yang dikasihi bapa mereka (lihat Kejadian 44:33), Yusuf tahu mereka bukanlah orang-orang sama yang cemburu dan egois yang telah menjualnya sebagai budak. Kemudian Yusuf mengungkapkan identitasnya dan mengucapkan kata-kata yang penuh kasih kepada mereka yang telah berdosa kepadanya. Andaikan Yusuf segera “mengampuni” mereka, mereka tak akan pernah bertobat. Dan itulah salah-satu kesalahan dari pesan “pengampunan instan kepada setiap orang” yang kadang-kadang diajarkan kini. Mengampuni saudara kita yang telah berdosa kepada kita tanpa menghadapinya mengakibatkan dua hal: (1) Pengampunan palsu yang tidak menghasilkan pendamaian kembali, dan (2) orang yang bersalah yang tidak bertobat dan bertumbuh secara rohani.

Praktek dalam Matius 18:15-17 (The Practice of Matthew 18:15-17)

Walaupun empat langkah pendamaian kembali yang disebutkan Yesus agak mudah dipahami, keempat langkah itu sebenarnya bisa lebih rumit dipraktekkan. Ketika Yesus menekankan langkah-langkah itu, Ia melakukannya dari perspektif ketika saudara A yakin bahwa saudara B telah berdosa terhadapnya. Tetapi, nyatanya saudara A bisa saja keliru. Jadi kita bayangkan situasi di mana kita mempertimbangkan setiap kemungkinan skenario yang mungkin terjadi.

Jika saudara A yakin bahwa saudara B telah berdosa terhadapnya, ia harus pastikan bahwa ia tidak dalam keadaan kritis, dengan mengeluarkan selumbar di mata saudara B. Acuhkan banyak tindakan menyakitkan dan berikanlah belas-kasihan (lihat Matius 7:3-5). Tetapi, jika saudara A merasakan kebencian terhadap saudara B karena tindakan tak menyenangkan, ia harus menemui saudara B.

Ia harus melakukannya diam-diam, dengan menaati perintah Yesus, sehingga ia menunjukkan kasih kepada saudara B. Motifnya adalah kasih dan tujuannya untuk pendamaian kembali. Ia tak boleh berkata kepada orang lain tentang perbuatan tak menyenangkan itu. “Kasih menutup banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:8). Jika kita mengasihi seseorang, kita tak akan menceritakan dosa-dosanya kepada orang lain; kita akan tutupi dosa-dosa itu.

Pertemuan untuk pendamaian harus dilakukan dengan lemah-lembut, sehingga tampak kasih. Ia harus berkata, “Saudara B, saya sangat hargai hubungan kita. Tetapi sesuatu telah terjadi sehingga muncul halangan di hati saya terhadapmu. Saya tak ingin halangan itu ada di hati saya, sehingga saya harus katakan kepadamu mengapa saya merasa engkau telah bersalah terhadapku sehingga kita dapat berdamai kembali. Dan jika saya telah berbuat sesuatu yang menambah masalah, saya ingin engkau katakan padaku.” Lalu ia harus pelan-pelan berkata kepada saudara B apa salahnya.

Dalam banyak kejadian, saudara B tak sadar bahwa ia bersalah kepada saudara A, dan segera setelah tahu bahwa ia telah bersalah, ia akan minta ampun. Jika hal itu terjadi, saudara A harus segera mengampuni saudara B. Pendamaian kembali terjadi.

Kemungkinan skenario lain adalah saudara B akan coba membenarkan dosanya terhadap saudara A dengan berkata kepadanya bahwa ia hanya bereaksi terhadap kesalahan yang telah dilakukan saudara A terhadapnya. Jika itu masalahnya, saudara B seharusnya mendatangi saudara A. Tetapi kini akhirnya ada dialog dan harapan pendamaian kembali.

Dalam kejadian tersebut, pihak yang disalahkan harus membahas apa yang terjadi, mengakui kesalahan yang terkait dengan kesalahan bersama, lalu saling memberi dan menerima pengampunan. Pendamaian kembali tercapai.

Skenario ketiga: A dan B tak mampu berdamai kembali. Mereka perlu bantuan, dan sekarang kita ke langkah kedua.

Langkah Dua (Step Two)

Sebaiknya saudara A dan saudara B menyepakati siapa yang harus mendampingi untuk membantu dalam pendamaian kembali. Idealnya, saudara C dan saudara D tahu dan mengasihi saudara A dan saudara B, sehingga saudara C dan saudara D dijamin tidak akan memihak. Dan hanya saudara C dan saudara D yang diberitahu tentang perseturuan dengan dibarengi kasih dan hormat kepada A dan B.

Dengan demikian, jika saudara B tidak kooperatif, terserah kepada saudara A untuk mencarikan satu atau dua orang lain yang dapat membantu.

Jika saudara C dan saudara D bersikap bijak, mereka tidak akan memberi penilaian sampai mereka telah mendengar sudut-pandang si A dan si B. Ketika C dan D telah memberi penilaian, A dan B harus tunduk pada keputusan mereka, meminta maaf dan memberi ganti-rugi yang disampaikan kepada satu pihak atau pihak lain atau kedua pihak.

Saudara C dan saudara D jangan bersikap lebih memihak dan mengambil resiko dengan merekomendasikan agar saudara A dan saudara B perlu bertobat ketika ternyata hanya satu pihak yang sebenarnya harus bertobat. Mereka harus tahu, jika A atau B menolak keputusan mereka, perkara tersebut akan disidangkan di depan seluruh jemaat, dan keputusan mereka akan menjadi bukti bagi setiap orang. Cobaan yang dihadapi oleh C dan D untuk menjaga persahabatan mereka dengan A dan B dengan mengkompromikan kebenaran menjadi alasan mengapa 2 hakim lebih baik daripada 1 hakim, karena 2 hakim dapat saling menguatkan kebenaran. Dan, keputusan C dan D menjadi beban bagi A dan B.

Langkah Tiga (Step Three)

Jika A atau B menolak keputusan C dan D, masalahnya akan dipikul oleh seluruh jemaat gereja. Langkah ketiga ini tak pernah dilakukan di gereja-gereja lembaga —dan karena alasan yang baik— hal tersebut tentu mengakibatkan pemisahan jemaat ketika orang-orang berpihak. Yesus tak pernah bermaksud agar ukuran gereja lokal lebih besar daripada sebuah rumah. Keluarga jemaat di mana setiap orang tahu dan peduli kepada A dan B adalah tempat untuk langkah tiga. Di gereja lembaga, langkah tiga harus dilakukan dalam konteks kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang tahu dan mengasihi A dan B. Jika A dan B adalah anggota dari gereja-gereja berbeda, anggota-anggota yang paling layak dari kedua gereja dapat menjadi badan pembuat keputusan.

Pada saat gereja menyampaikan keputusan, saudara A dan saudara B harus tunduk pada keputusan itu, dan tahu konsekwensi dari pelanggaran keputusan itu. Harus ada permintaan maaf, pengampunan dan pendamaian kembali.

Jika A atau B menolak minta maaf sesuai yang disarankan, ia harus dikeluarkan dari gereja dan tak satupun anggota gereja bersekutu dengannya lagi. Seringkali, sebelum dikeluarkan dari gereja, orang yang tak bertobat akan rela memisahkan dirinya, dan ia bisa saja telah memisahkan diri sebelumnya jika keinginannya tidak terkabul dalam proses itu. Sehingga, ia tak berkomitmen serius untuk mengasihi keluarga rohaninya.

Masalah yang Lazim Terjadi (A Common Problem)

Di gereja lembaga, orang biasanya menuntaskan perselisihan dengan meninggalkan satu gereja dan pindah ke gereja lain di mana pendetanya ingin membangun kerajaannya berapapun harganya dan pendeta itu tak punya hubungan dengan pendeta-pendeta lain; si pendeta itu menyambut orang itu dan membelanya karena ia menceritakan kesedihannya. Pola itu bertentangan dengan langkah-langkah pendamaian kembali yang Kristus perintahkan. Biasanya, beberapa bulan atau tahun kemudian, orang yang bersalah itu, yang disambut oleh pendeta tadi ke gerejanya, meninggalkan gerejanya dan mencari gereja lain, karena melakukan kesalahan lagi.

Yesus berharap jumlah jemaat tak perlu besar agar dapat beribadah di dalam rumah, dan pendeta/penatua/penilik lokal bekerja sama dalam satu kesatuan gereja. Maka, pengucilan seorang anggota gereja secara efektif akan menjadi pengucilan oleh semua anggota gereja. Setiap pendeta/penatua/penilik bertanggung-jawab bertanya kepada setiap orang Kristen yang baru masuk, terkait latar-belakang gerejanya yang dulu, lalu menghubungi pimpinan gereja itu untuk menentukan apakah orang itu perlu disambut.

Maksud Tuhan bagi Gereja yang Suci (God’s Intention for a Holy Church)

Masalah lazim lainnya di gereja lembaga adalah seringkali jemaat terdiri dari banyak orang yang datang untuk pamer, dan tiap orang hanya mau sedikit bertanggung-jawab karena hubungan dalam jemaat murni bersifat sosial. Jadi tak seorangpun, dan terutama pendeta, punya ide bagaimana harus hidup, dan orang-orang yang tidak suci selalu menodai gereja yang mereka datangi. Lalu, orang luar menilai orang yang mereka anggap orang Kristen sebagai tak berbeda dengan orang yang tidak percaya.

Terbukti bahwa struktur gereja lembaga bukanlah struktur yang Allah kehendaki bagi gerejaNya yang kudus. Orang-orang yang tidak suci dan munafik selalu bersembunyi di gereja-gereja lembaga, dengan membuat kritikan kepada Kristus. Namun dari bacaan dalam Matius 18:15-17, Yesus jelas ingin agar gerejaNya terdiri dari orang-orang kudus, yakni para anggota yang sungguh-sungguh dalam satu kumpulan yang selalu menyucikan diri. Dunia memperhatikan gereja dan melihat mempelai Kristus yang murni. Tetapi, kini, mereka melihat wanita sundal, yakni orang yang tak setia pada Mempelainya.

Terbukti ada aspek yang bersifat ilahi dan yang menyucikan diri di dalam gereja ketika Paulus memperhatikan situasi penting dalam jemaat Korintus. Seorang anggota yang diterima dalam jemaat sebenarnya hidup dalam perzinahan dengan ibu tirinya:

Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya. Sekalipun demikian kamu sombong. Tidakkah lebih patut kamu berdukacita dan menjauhkan orang yang melakukan hal itu dari tengah-tengah kamu? Sebab aku, sekalipun secara badani tidak hadir, tetapi secara rohani hadir, aku –sama seperti aku hadir– telah menjatuhkan hukuman atas dia, yang telah melakukan hal yang semacam itu. Bilamana kita berkumpul dalam roh, kamu bersama-sama dengan aku, dengan kuasa Yesus, Tuhan kita, orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan…. dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini. Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat? Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah. Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu. (1 Korintus 5:1-5, 9-13).

Orang yang disebutkan di atas tak perlu melalui langkah-langkah pendamaian kembali karena jelas ia bukan orang percaya sejati. Paulus menyebutnya “seakan-akan saudara” dan “seorang yang jahat”. Lagipula, dalam beberapa ayat kemudian, Paulus menulis,

Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Korintus 6:9-10).

Jelaslah, Paulus percaya bahwa orang tak bermoral, seperti orang dalam jemaat Korintus itu, mengkhianati iman para jemaat. Orang tersebut tak boleh dianggap sebagai saudara dan ia diperlakukan melalui empat langkah pendamaian kembali. Orang itu harus dikucilkan, “diserahkan kepada Setan”, sehingga gereja tak menambah penipuan dari orang itu, agar orang itu mendapat harapan pertobatan agar “diselamatkan pada hari Tuhan Yesus” (1 Korintus 5:5).

Di gereja-gereja besar di seluruh dunia kini, kadang-kadang ada ratusan orang yang menunjukkan diri sebagai orang Kristen yang, menurut standar Alkitab, adalah orang-orang tak percaya dan harus dikucilkan. Alkitab jelas menunjukkan bahwa gereja bertanggung-jawab mengeluarkan orang-orang tak percaya itu dari dalam gereja di mana mereka adalah orang-orang tak bertobat seperti orang cabul, pezinah, homoseks, pemabuk, dan sebagainya. Namun orang-orang itu, melalui “kasih karunia”, kini sering ada dalam kelompok pendukung gereja di mana mereka dapat diberi dorongan oleh “orang-orang percaya” lain yang memiliki masalah serupa. Hal itu jadi penghinaan bagi kuasa yang mengubahkan hidup dari Injil Yesus Kristus.

Pemimpin yang Jatuh (Fallen Leaders)

Akhirnya, jika seorang pemimpin yang bertobat jatuh dalam dosa serius (seperti perzinahan), haruskah ia segera dipulihkan ke jabatannya? Walaupun Tuhan mengampuni pemimpin yang bertobat itu (demikian juga sidang jemaat mengampuninya), pemimpin itu telah kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang dia layani. Kepercayaan adalah sesuatu yang harus didapatkan. Karena itu, pemimpin yang jatuh harus rela memisahkan dirinya dari jabatan pimpinan dan menyerahkannya kepada bimbingan roh sampai ia dapat membuktikan kelayakan dirinya. Ia harus mulai lagi. Barangsiapa yang tak bersedia melayani dengan rendah hati dalam hal-hal kecil, demi mendapatkan kembali kepercayaan, tak boleh dijadikan pemimpin di dalam jemaat.

Kesimpulan (In Summary)

Sebagai pelayan pemuridan yang dipanggil untuk “menyatakan kesalahan, menegor, menasihati dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2), marilah kita tak segan-segan melakukan panggilan kita. Ajari murid-murid kita untuk saling mengasihi dengan menunjukkan kesabaran yang penuh kasih, bila perlu berdamai dengan sikap lembut, berdamai lagi dengan bantuan orang lain bila perlu, dan mengampuni kapanpun diminta. Betapa lebih baik hal itu dibandingkan pengampunan yang palsu yang tak membawa pemulihan sejati bagi hubungan yang rusak. Dan usahakan taati Tuhan dalam setiap aspek untuk menjaga kemurnian dan kesucian gerejaNya, terpuji namaNya!

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang berdamai dengan orang yang bersalah kepada kita dan tentang disiplin gereja, lihat Roma 16:17-18; 2 Korintus 13:1-3; Galatia 2:11-14; 2 Tesalonika 3:6, 14-15; 1 Timotius 1:19-20, 5:19-20; Titus 3:10-11; Yakobus 5:19-20; 2 Yohanes 10-11.

 


[1]

Wajarlah bila orang yang dikucilkan kemudian meminta ampun, maka Yesus berharap agar dia diberikan pengampunan.

[2]

Bila pasangan yang berselingkuh adalah seorang Kristen, kita harus meminta dia untuk melalui tiga tahap yang disebutkan Yesus untuk diperdamaikan kembali sebelum melewati perceraian. Bila pasangan yang berselingkuh itu meminta ampun, kita harus mengampuninya menurut perintah Yesus.

Bab Duapuluh-Dua (Chapter Twenty-Two)

Bagaimana Dipimpin oleh Roh (How to Be Led by the Spirit)

Injil Yohanes mencatat beberapa janji Yesus mengenai peranan Roh Kudus dalam kehidupan orang-orang percaya. Kita baca beberapa janji itu berikut ini:

Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. (Yohanes 14:16-17).

Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu. (Yohanes 14:26).

Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu. …… Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” (Yohanes 16:7, 12-15).

Yesus berjanji kepada murid-muridNya bahwa Roh Kudus akan tinggal di dalam diri mereka. Kepada mereka, Roh Kudus juga akan menolong, mengajar, membimbing dan menunjukkan hal-hal yang akan terjadi nanti. Sebagai murid-murid Kristus kini, tak ada alasan bagi kita berpikir bahwa Roh Kudus akan melakukan sedikit untuk kita.

Ajaibnya, Yesus berkata kepada murid-muridNya bahwa mereka beruntung bila Ia pergi, jika tidak Roh Kudus tidak akan datang! Hal itu menunjukkan bahwa persekutuan mereka dengan Roh Kudus bisa akrab, seolah Yesus selalu hadir secara fisik bersama mereka. Jika tidak, mereka tak beruntung memiliki Roh Kudus bersama mereka, sebagai ganti kehadiran Yesus. Melalui Roh Kudus, Yesus selalu bersama dan berada dalam kita.

Dalam cara apa kita mengharapkan Roh Kudus untuk memimpin kita?

Namanya, Roh Kudus, menunjukkan bahwa peranan utamaNya dalam memimpin kita adalah membimbing kita untuk tetap kudus dan taat kepada Allah. Sehingga segala sesuatu yang rerkait dengan kesucian dan penggenapan kehendak Tuhan di bumi ada dalam pimpinan Roh Kudus. Ia akan membimbing kita untuk menaati semua perintah umum Kristus dan semua perintah khusus Kristus yang menyangkut pelayanan unik di mana Allah telah memanggil kita untuk melakukannya. Jadi bila anda ingin dipimpin oleh Roh dalam pelayanan khusus, anda harus juga dipimpin oleh Roh dalam kesucian. Anda tak dapat memiliki satu perintah tanpa perintah lain. Terlalu banyak pelayan ingin Roh Kudus untuk memimpin mereka kepada segala perbuatan dan mujizat dalam pelayanan yang luar biasa, tetapi tak mau peduli kepada aspek-aspek ”lebih kecil” tentang kesucian. Itu kesalahan besar. Bagaimana Yesus memimpin murid-muridNya? Utamanya dengan memberikan perintah umum dalam kesucian. Jarang ada bimbingan khusus oleh Yesus untuk tanggung-jawab pelayanan dari para pelayan. Jadi, Ia membimbing kita dengan Roh Kudus yang berdiam di dalam kita. Jadi jika ingin dipimpin oleh Roh, anda harus pertama-tama mengikuti pimpinanNya untuk menjadi suci.

Rasul Paulus menulis, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” (Roma 8:14). Pimpinan Roh inilah yang menandai kita sebagai bagian dari anak-anak Allah. Jadi semua anak Allah dipimpin oleh Roh. Tentu, tergantung kepada kita, sebagai pelaku moral yang bebas, untuk menaati bimbingan Roh.

Dengan demikian, maka tak ada orang Kristen perlu diajarkan bagaimana dipimpin oleh Roh Kudus, karena Roh Kudus sedang memimpin setiap orang Kristen. Sebaliknya, Setan mencoba menyesatkan anak-anak Allah, dan di dalam diri kita masih ada sifat daging lama, sifat yang mencoba memimpin kita, yang berbeda dengan kehendak Tuhan. Sehingga orang-orang percaya perlu belajar membedakan pimpinan Roh dari pimpinan-pimpinan lain. Itulah proses yang sedang menuju pada kedewasaan. Fakta mendasar adalah: Roh akan selalu memimpin kita sejalan dengan Firman Allah tertulis, dan Ia akan selalu memimpin kita untuk melakukan apa yang benar dan menyenangkan Allah, yang akan membawa kemuliaan bagiNya (lihat Yohanes 16:14).

Suara Roh Kudus (The Voice of the Holy Spirit)

Walaupun Alkitab menyatakan bahwa Roh Kudus kadang-kadang memimpin kita secara spektakuler melalui visi, nubuatan, atau suara Allah yang dapat didengar. Cara yang lebih lazim bahwa Roh Kudus berkomunikasi adalah dalam roh kita melalui “perasaan.” Yakni, jika Roh ingin kita berbuat sesuatu, Ia akan “menarik” kita —dalam roh— dan kita akan merasakan “pimpinan” untuk mengikuti arah tertentu.

Kita dapat menyebut suara roh kita sebagai “kata-hati” kita. Setiap orang Kristen mengetahui seperti apa kata-hatinya. Jika kita dicobai untuk berbuat dosa, kita tidak mendengar suara yang dapat didengar di dalam kita dengan berkata, “Jangan menyerah kepada pencobaan.” Sebaliknya, kita hanya merasakan sesuatu di dalam diri dengan melawan cobaan itu. Dan jika kita menyerah kepada pencobaan, setelah dosa dilakukan, kita tak mendengar suara yang dapat didengar dengan berkata, “Engkau berdosa! Engkau berdosa!” kita hanya merasa tertuduh dalam diri kita, yang kini memimpin kita untuk bertobat dan mengaku dosa kita.

Dengan cara yang sama, Roh akan mengajar dan memimpin kita kepada kebenaran dan pemahaman umum. Ia akan memimpin kita dengan mengimpartasi pewahyuan yang tiba-tiba (selalu sesuai dengan Alkitab) dalam diri kita. Pewahyuan itu bisa berlangsung sepuluh menit untuk diuraikan kepada orang lain, tetapi pewahyuan itu bisa datang melalui Roh Kudus dalam waktu beberapa detik.

Dengan cara yang sama, Roh Kudus akan memimpin kita dalam urusan pelayanan. Kita harus berupaya secara sadar untuk peka kepada pimpinan dan perasaan, dan kita perlahan-lahan akan belajar (melalui cara pemecahan masalah sehingga tiada lagi kesalahan) untuk mengikuti Roh dalam hal-hal yang terkait dengan pelayanan. Ketika kita izinkan otak kita (cara berpikir rasional atau tidak rasional) untuk masuk di hati kita (di mana Roh memimpin kita), kita berbuat salah terkait dengan kehendak Tuhan.

Cara Roh Memimpin Yesus (How the Spirit Led Jesus)

Yesus dipimpin oleh Roh Kudus melalui perasaan batin. Misalnya, Injil Markus menggambarkan hal yang terjadi secara langung setelah Yesus dibaptis dalam Roh Kudus setelah Yohanes membaptisNya:

Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun.” (Markus 1:12, tambahkan penekanan).

Yesus tak mendengar suara yang dapat didengar atau melihat visi yang memimpinNya ke padang gurun —Ia hanya dipimpin untuk pergi. Itulah cara Roh Kudus memimpin kita. Kita akan rasakan tarikan, pimpinan, kepastian, di dalam kita untuk melakukan suatu hal.

Ketika Yesus berkata kepada orang yang lumpuh yang diturunkan lewat atap bahwa dosa-dosanya telah diampuni, Yesus tahu bahwa para ahli Taurat yang ada di situ menganggap bahwa Ia tengah mengutuk. Bagaimana Ia tahu apa yang sedang mereka pikirkan ? Kita baca dalam Injil Markus :

Tetapi Yesus segera mengetahui dalam hati-Nya, bahwa mereka berpikir demikian, lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu?” (Markus 2:8, tambahkan penekanan).

Di dalam rohNya, Yesus tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Jika kita peka kepada roh kita, kita juga bisa tahu cara menjawab mereka yang menentang pekerjaan Allah.

Pimpinan Roh dalam Pelayanan Paulus (The Spirit’s Leading in the Ministry of Paul)

Setelah melayani duapuluh tahun, rasul Paulus menjadi tahu dengan baik bagaimana mengikuti pimpinan Roh Kudus. Agaknya, Roh menunjukkan padanya “hal-hal yang akan datang” terkait dengan pelayanannya nanti. Misalnya, ketika Paulus mengakhiri pelayanannya di Efesus, Ia mendapat pemahaman tentang bagaimana nantinya jalan hidup dan pelayanannya selama tiga tahun berikut:

Kemudian dari pada semuanya itu Paulus bermaksud pergi ke Yerusalem melalui Makedonia dan Akhaya. Katanya: “Sesudah berkunjung ke situ aku harus melihat Roma juga.” (Kisah Para Rasul 19:21).

Perhatikan bahwa Paulus tidak menginginkan arah yang ditunjukkan dalam pikirannya tetapi dalam rohnya. Hal itu menunjukkan bahwa Roh Kudus sedang memimpinnya dalam rohnya untuk pergi ke Makedonia dan Akhaya (sekarang ini kedua kota itu ada di Yunani), lalu kembali ke Yerusalem, dan akhirnya kembali ke Roma. Dan itulah persis perjalanan yang ia ikuti. Jika anda punya peta dalam Alkitab yang menunjukkan perjalanan misi ketiga dari Paulus dan perjalanannya ke Roma, anda dapat mengikuti jejaknya dari Efesus (di mana ia mengusulkan rutenya di dalam rohnya) melalui Makedonia dan Akhaya, menuju Yerusalem, dan beberapa tahun kemudian, ke Roma.

Lebih tepatnya, Paulus bepergian melalui Makedonia dan Akhaya, lalu ia kembali menapaki melalui Makedonia sekali lagi, mengitari pesisir pantai di Laut Aegea, dan kemudian ia menuju pantai Aegea di Asia Kecil. Selama perjalanan itu, ia berhenti di kota Miletus, memanggil para penatua gereja di dekat Efesus, dan menyampaikan ucapan perpisahan kepada mereka di mana ia berkata:

Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. (Kisah Para Rasul 20:22-23, tambahkan penekanan).

Paulus berkata ia “sebagai tawanan Roh”, yang berarti ia mendapat desakan dalam rohnya yang memimpinnya ke Yerusalem. Ia tak punya gambaran lengkap tentangi apa yang akan terjadi ketika tiba di Yerusalem, tetapi ia nyatakan bahwa, di setiap kota perhentiannya pada perjalanannya, Roh Kudus bersaksi tentang berbagai ikatan dan penderitaan yang menantinya di sana. Bagaimana Roh Kudus “bersaksi” tentang berbagai ikatan dan penderitaan yang menantinya di Yerusalem?

Dua Contoh (Two Examples)

Dalam pasal 21 dalam Kisah Para Rasul, ada dua kejadian yang menjawab pertanyaan itu. Pertama, ketika Paulus mendarat di kota pelabuhan di Mediteranea, yakni Tirus:

Di situ kami mengunjungi murid-murid dan tinggal di situ tujuh hari lamanya. Oleh bisikan Roh murid-murid itu menasihati Paulus, supaya ia jangan pergi ke Yerusalem. (Kisah Para Rasul 21:4).

Oleh karena ayat itu, beberapa komentator berkesimpulan bahwa Paulus tidak menaati Allah dengan cara melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem. Tetapi, sesuai informasi lain dalam Kisah Para Rasul, kita tak dapat buat kesimpulan itu dengan benar. Sehingga menjadi jelas saat kita lanjutkan dalam kisah itu.

Tampaknya, murid-murid di Tirus benar-benar peka dan jelas memahami bahwa kesulitan menunggu Paulus di Yerusalem. Mereka selanjutnya coba meyakinkannya untuk tidak pergi. Terjemahan William tentang Perjanjian Baru menegaskan hal itu, karena menerjemahkan Kisah Para Rasul 21:4, yang terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia adalah: “Oleh karena pesan yang dibuat oleh Roh, mereka terus memperingatkan Paulus untuk tidak menginjakkan kaki di Yerusalem.”

[1]

 

Namun, murid-murid di Tirus gagal karena Paulus tetap melakukan perjalanannya ke Yerusalem meskipun mereka sudah memperingatkannya.

Maka kita belajar bahwa kita harus hati-hati agar kita tidak menambah penafsiran kepada pewahyuan yang kita terima dalam roh kita. Paulus tahu bahwa kesulitan menunggunya di Yerusalem, tetapi ia juga tahu bahwa Tuhan menghendakinya untuk pergi ke sana apapun jadinya. Jika Allah mengungkapkan sesuatu bagi kita melalui Roh Kudus, tak berarti kita harus langsung pergi dan mengatakannya, dan kita juga harus berhati-hati untuk tak menambah penafsiran kepada hal yang telah diungkapkan oleh Roh.

Persinggahan Di Kaesarea (Caesarea Stop Over)

Persinggahan berikut perjalanan Paulus ke Yerusalem adalah kota pelabuhan Kaesarea:

Setelah beberapa hari kami tinggal di situ, datanglah dari Yudea seorang nabi bernama Agabus. Ia datang pada kami, lalu mengambil ikat pinggang Paulus. Sambil mengikat kaki dan tangannya sendiri ia berkata: “Demikianlah kata Roh Kudus: Beginilah orang yang empunya ikat pinggang ini akan diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain.” (Kisah Para Rasul 21:10-11).

Itu contoh lain tentang Roh Kudus yang bersaksi kepada Paulus bahwa “ikatan-ikatan dan penderitaan” menunggunya di Yerusalem. Tetapi perhatikan, Agabus tidak berkata, “Karena itu, Tuhan berkata, ‘Jangan pergi ke Yerusalem!” Allah memimpin Paulus ke Yerusalem dan menyiapkannya melalui nubutan nabi Agabus akan kesulitan-kesulitan yang menunggunya. Juga, nubutan nabi Agabus hanya menegaskan apa yang Paulus ketahui dalam rohnya beberapa bulan sebelumnya. Kita tak boleh dipimpin oleh nubuatan. Jika nubuatan tak menegaskan hal yang sudah kita tahu, kita tak boleh mengikutinya.

Nubutan nabi Agabus adalah hal yang dianggap “bimbingan spektakuler”, karena nubuatan itu melampaui kesan batin di dalam roh Paulus. Ketika Allah memberi “bimbingan spektakuler”, seperti visi atau mendengarkan suara yang dapat didengar, hal itu biasanya karena Allah mengetahui jalan kita tak akan mudah. Kita perlu jaminan yang dibawa melalui bimbingan spektakuler. Paulus hampir terbunuh oleh satu huru-hara dan dipenjara selama beberapa tahun sebelum perjalanannya ke Roma sebagai tawanan. Tetapi, karena bimbingan spektakuler yang ia terima, ia dapat memelihara kedamaian sempurna melewati semua itu, dan ia tahu bahwa hasil akhir nanti akan membawa keuntungan.

Jika anda tidak menerima bimbingan spektakuler, anda tak akan peduli karena jika anda memerlukannya, Allah akan mengerti bahwa anda mendapatkannya. Tetapi, kita harus selalu peka terhadap kesaksian di dalam diri dan dipimpin oleh kesaksian itu.

Dibelenggu dan dalam Kehendak Tuhan (In Chains and in God’s Will)

Ketika Paulus tiba di Yerusalem, ia ditangkap dan dipenjarkan. Sekali lagi ia menerima bimbingan spektakuler dalam bentuk visi dari Yesus:

Pada malam berikutnya Tuhan datang berdiri di sisinya [ Paulus] dan berkata kepadanya: “Kuatkanlah hatimu, sebab sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian jugalah hendaknya engkau pergi bersaksi di Roma.” (Kisah Para Rasul 23:11).

Perhatikan bahwa Yesus tidak berkata, “Nah Paulus, apa yang kamu lakukan di sini? Saya coba ingatkan kamu untuk tidak datang ke Yerusalem!” Tidak, Yesus sebenarnya menegaskan pimpinan Paulus rasakan dalam rohnya berbulan-bulan sebelumnya. Paulus menjadi pusat maksud Allah di Yerusalem untuk bersaksi demi nama Yesus. Ia akhirnya mempopulerkan nama Kristus di Roma juga.

Kita harus ingat, sebagian panggilan awal Paulus adalah bersaksi di depan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi, juga di depan raja-raja (lihat Kisah Para Rasul 9:15). Selama Paulus dipenjara di Yerusalem dan kemudian di Kaesarea, ia diberi kesempatan untuk bersaksi di depan Gubernur Felix, Porcius Festus, dan Raja Agripa, yang “hampir diyakinkan” (Kisah Para Rasul 26:28) untuk percaya kepada Yesus. Akhirnya, Paulus dikirim ke Roma untuk bersaksi di depan Kaisar Roma sendiri, yakni Nero.

Dalam Perjalanan Menemui Nero (On the Way to See Nero)

Selagi dalam perjalanan kapal yang membawanya ke Italia, Paulus sekali lagi menerima bimbingan Allah dengan kepekaan rohnya. Ketika kapten kapal dan awaknya mencoba menentukan di pelabuhan mana mereka akan lewatkan musim dingin di pulau Kreta, Paulus menerima pewahyuan:

Sementara itu sudah banyak waktu yang hilang. Waktu puasa sudah lampau dan sudah berbahaya untuk melanjutkan pelayaran. Sebab itu Paulus memperingatkan mereka, katanya: “Saudara-saudara, aku lihat, bahwa pelayaran kita akan mendatangkan kesukaran-kesukaran dan kerugian besar, bukan saja bagi muatan dan kapal, tetapi juga bagi nyawa kita.” (Kisah Para Rasul 27:9-10, tambahkan penekanan).

Paulus menyadari apa yang akan terjadi. Jelas, persepsinya menjadi pesan yang Roh berikan.

Sayangnya, kapten tak mendengarkan Paulus dan mencoba mencapai pelabuhan lain. Akibatnya, kapal terperangkap badai dahsyat selama dua minggu. Situasinya sangat membahayakan sehingga para awak kapal membuang barang-barang dari kapal pada hari kedua, dan pada hari ketiga bahkan melemparkan takal ke laut. Sejurus kemudian, Paulus menerima bimbingan lanjutan:

Setelah beberapa hari lamanya baik matahari maupun bintang-bintang tidak kelihatan, dan angin badai yang dahsyat terus-menerus mengancam kami, akhirnya putuslah segala harapan kami untuk dapat menyelamatkan diri kami. Dan karena mereka beberapa lamanya tidak makan, berdirilah Paulus di tengah-tengah mereka dan berkata: “Saudara-saudara, jika sekiranya nasihatku dituruti, supaya kita jangan berlayar dari Kreta, kita pasti terpelihara dari kesukaran dan kerugian ini! Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap bertabah hati, sebab tidak seorangpun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini. Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari Allah yang aku sembah sebagai milik-Nya, berdiri di sisiku, dan ia berkata: Jangan takut, Paulus! Engkau harus menghadap Kaisar; dan sesungguhnya oleh karunia Allah, maka semua orang yang ada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat karena engkau. Sebab itu tabahkanlah hatimu, saudara-saudara! Karena aku percaya kepada Allah, bahwa semuanya pasti terjadi sama seperti yang dinyatakan kepadaku. Namun kita harus mendamparkan kapal ini di salah satu pulau.” (Kisah Para Rasul 27:20-26).

Menurut saya, jelaslah mengapa Allah memberikan Paulus “bimbingan spektakuler“ lagi dengan terjadinya keadaan sulit waktu itu. Melewati penderitaan itu, Paulus segera menghadapi karam kapal. Segera setelah itu, ia digigit ular yang mematikan (lihat Act 27:41-28:5). Betapa senang melihat malaikat sorga yang memberitahukan kepada anda sebelumnya bahwa segala sesuatu baik-baik saja!

Nasehat Praktis (Some Practical Advice)

Mulailah perhatikan roh anda untuk mengetahui setiap persepsi dan pesan yang merupakan pimpinan Roh Kudus. Awalnya anda mungkin keliru berpikir bahwa Roh Kudus tengah memimpin anda ketika Ia tidak ada, tetapi hal itu biasa terjadi. Jangan putus asa, tetaplah bertahan.

Hal itu juga membantu kita untuk dapat melewatkan waktu di tempat tenang, sambil berdoa dalam bahasa lidah dan membaca Alkitab. Saat berdoa dalam bahasa lidah lain, roh kita berdoa, dan biasanya kita cenderung lebih peka kepada roh kita. Dengan membaca dan merenungkan Firman Tuhan, kita juga menjadi lebih peka kepada roh kita karena Firman Tuhan adalah makanan rohani.

Ketika Allah memimpin anda ke satu arah, pimpinanNya tetap ada. Itu berarti anda harus terus mendoakan keputusan penting agar yakin bahwa Allahlah yang memimpin anda, bukan pendapat atau emosi anda sendiri. Jika tidak merasa damai di hati ketika anda berdoa ke arah tertentu, janganlah ke arah itu sampai anda yakin merasa damai.

Menerima bimbingan spektakuler adalah baik, tetapi jangan coba “percaya” untuk mendapatkan visi atau mendengarkan suara yang dapat didengar. Allah tidak berjanji untuk memimpin kita dengan cara-cara tersebut (walaupun kadang Ia menuruti kehendakNya yang berdaulat). Tetapi, kita selalu yakin bahwa Ia akan memimpin kita dengan kesaksian batin kita.

Akhirnya, jangan tambahkan apaun kepada perkataan Allah bagi anda. Allah dapat mengungkapkan pelayanan apa yang Ia telah siapkan untuk anda di masa depan, tetapi anda dapat perkirakan bahwa waktu penggenapannya bisa saja berminggu-minggu, yang ternyata bisa saja bertahun-tahun. Saya tahu hal itu dari pengalaman. Jangan berasumsi. Paulus sedikit tahu hal yang akan terjadi di masa depannya tetapi tak tahu apapun, karena Allah tak mengungkapkan apapun. Allah ingin kita untuk selalu berjalan dengan iman.

 


[1]

Versi Bahasa Inggris dari William untuk Kisah Para Rasul 21:adalah, “Because of impressions made by the Spirit they kept on warning Paul not to set foot in Jerusalem” di mana versi itu berbeda dengan versi Bahasa Inggris dari versi New American Standard Bible/NASB, yakni, “And they kept telling Paul through the Spirit not to set foot in Jerusalem.

Bab Duapuluh (Chapter Twenty)

Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship)

Kata perempuan itu kepadaNya [Yesus]: “Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi. Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. ….. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran.” (Yohanes 4:19-24).

Kata-kata ucapan Yesus itu memberikan landasan pemahaman tentang aspek-aspek terpenting dalam penyembahan. Ia berbicara tentang “para penyembah yang benar” dan menguraikan tentang kualifikasinya. Ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang adalah penyembah tetapi bukan penyembah yang benar. Mereka dapat menganggap dirinya menyembah Allah tetapi sebenarnya tidak, karena mereka tak memenuhi persyaratanNya.

Yesus menyatakan tanda bagi penyembah yang benar —ia menyembah “dalam roh dan kebenaran.” Jadi, dapat dikatakan bahwa penyembah yang sesat adalah dia yang menyembah “dalam kedagingan dan ketidaktulusan.” Penyembah kedagingan dan sesat dapat mengalami gerakan-gerakan penyembahan, tetapi itu hanya pertunjukan, karena penyembahan itu tidak berasal dari hati yang mengasihi Allah.

Penyembahan yang benar kepada Allah hanya berasal dari hati yang mengasihi Allah. Karena itu, penyembahan dilakukan ketika jemaat berkumpul, dan juga dilakukan setiap saat dalam kehidupan kita ketika kita menaati perintah-perintah Kristus. Ajaibnya, wanita yang berbicara dengan Yesus sudah kawin lima kali dan kini hidup bersama dengan seorang suami, dan ia ingin berdebat tentang tempat yang benar untuk menyembah Allah! Betapa hebatnya wanita itu yang menggambarkan banyak orang yang menghadiri pujian penyembahan selagi kehidupan sehari-harinya memberontak kepada Allah. Mereka bukanlah penyembah-penyembah yang benar.

Yesus pernah menegur orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat karena penyembahan mereka yang palsu dan tanpa hati:

“Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” (Matius 15:7-9, tambahkan penekanan).

Walaupun orang-orang Yahudi dan Samaria di zaman Yesus memberi tekanan penting pada tempat penyembahan, Yesus berkata bahwa tempat tidak penting. Sebaliknya, hal yang menentukan kualitas penyembahan seseorang adalah kondisi hati dan sikap orang itu kepada Allah.

Banyak “penyembahan” yang dilakukan oleh para penyembah “mati” di gereja-gereja kini hanyalah ritual “mati”. Tanpa perasaan, orang-orang hanya mengikuti kata-kata orang lain tentang Allah ketika mereka bernyanyi “lagu-lagu pujian,” dan penyembahan mereka sia-sia, karena gaya-hidup mereka mengkhianati isi hati mereka yang sebenarnya.

Allah lebih suka mendengar ungkapan sederhana “Saya mengasihiMu” yang keluar dari dalam hati seorang anak sejatiNya yang taat dibandingkan dengungan penyembahan yang membosankan tanpa perasaan hati oleh seribu orang Kristen di hari Minggu pagi yang menyanyikan “How Great Thou Art” (Aku Memuji KebesaranMu).

Menyembah dalam Roh (Worshipping in Spirit)

Sebagian orang berkata bahwa untuk menyembah “dalam roh” berarti berdoa dan bernyanyi dalam bahasa-bahasa lidah lain. Tetapi itu hanya penafsiran yang dipaksakan bila kita perhatikan perkataan Yesus bahwa “satu jam akan datang, dan sekarang adalah, ketika para penyembah yang benar menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran,” yang menunjukkan bahwa sudah ada orang-orang yang memenuhi syarat untuk penyembahan “dalam roh” ketika Ia membuat pernyataanNya. Sudah tentu, tak seorangpun berbahasa lidah sampai hari Pentakosta. Karena itu, setiap orang percaya, apakah ia dapat berbahasa lidah atau tidak, dapat menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Berdoa dan bernyanyi dalam bahasa lidah lain tentu dapat membantu orang percaya dalam penyembahannya, tetapi bahkan berdoa dalam bahasa lidah dapat menjadi ritual yang tanpa hati.

Satu pendekatan menarik ke dalam penyembahan dalam gereja mula-mula terdapat dalam Kisah Para Rasul 13:1-2:

Pada waktu itu dalam jemaat di Antiokhia ada beberapa nabi dan pengajar, yaitu: Barnabas dan Simeon yang disebut Niger, dan Lukius orang Kirene, dan Menahem yang diasuh bersama dengan raja wilayah Herodes, dan Saulus. Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus: “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.” (tambahkan penekanan).

Perhatikan perikop itu yang menyatakan bahwa mereka “melayani Tuhan.” Wajarlah bila kita anggap hal itu berarti mereka menyembahNya, sehingga kita pelajari bahwa penyembahan yang benar pada dasarnya melayani Tuhan. Tetapi, hal itu benar ketika Tuhan menjadi obyek kasih dan kepedulain kita.

Cara-Cara Menyembah (Ways to Worship)

Mazmur-mazmur, yang dapat dikatakan sebagai buku himne Israel, menganjurkan kita untuk menyembah Allah dalam beberapa cara. Misalnya, dalam Mazmur 32 kita baca:

“Bersorak-sorailah, hai orang-orang jujur!” (Mazmur 32:11b, tambahkan penekanan).

Walaupun tenang dan penuh hikmat, penyembahan mendapatkan tempatnya, juga sorak-sorak sukacita.

Bersorak-sorailah, hai orang-orang benar, dalam TUHAN! Sebab memuji-muji itu layak bagi orang-orang jujur. Bersyukurlah kepada TUHAN dengan kecapi, bermazmurlah bagiNya dengan gambus sepuluh tali! Nyanyikanlah bagiNya nyanyian baru; petiklah kecapi baik-baik dengan sorak-sorai! (Mazmur 33:1-3, tambahkan penekanan).

Kita tentu harus bernyanyi kepada Tuhan dalam penyembahan, tetapi nyanyian kita harus penuh sukacita, sebagai indikasi lain yang tampak dari luar mengenai kondisi hati seseorang. Kita dapat juga mengiringi nyanyian sukacita kita dengan alat-alat musik. Tetapi, harus saya sebutkan bahwa dalam persekutuan gereja, alat-alat musik listrik sering terlalu keras sehingga menenggelamkan nyanyian jemaat. Volume alat-alat musik listrik itu harus dikecilkan atau dimatikan. Pemazmur tak menemui masalah itu!

Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu. (Mazmur 63:5, tambahkan penekanan).

Sebagai tanda penyerahan diri dan hormat, kita dapat mengangkat tangan bagi Tuhan.

Untuk pemimpin biduan. Nyanyian Mazmur. Bersorak-sorailah bagi Allah, hai seluruh bumi, mazmurkanlah kemuliaan nama-Nya, muliakanlah Dia dengan puji-pujian! Katakanlah kepada Allah : “Betapa dahsyatnya segala pekerjaan-Mu; oleh sebab kekuatan-Mu yang besar musuh-Mu tunduk menjilat kepada-Mu. Seluruh bumi sujud menyembah kepada-Mu, dan bermazmur bagi-Mu, memazmurkan nama-Mu.” (Mazmur 66:1-4, tambahkan penekanan).

Kita harus berkata pada Tuhan betapa hebatnya Ia dan memuji Dia atas banyak sifatNya yang mengagumkan. Mazmur merupakan sarana istimewa untuk mendapatkan kata-kata yang cocok untuk memuji Tuhan. Kita perlu berbuat lebih dari hanya mengulangi kata-kata “Aku puji Engkau, Tuhan!” Banyak hal yang dapat kita katakan kepadaNya.

Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. (Mazmur 95:6).

Bahkan sikap tubuh kita bisa jadi ungkapan penyembahan kita: berdiri, berlutut atau membungkuk.

Biarlah orang-orang saleh beria-ria dalam kemuliaan, biarlah mereka bersorak-sorai di atas tempat tidur mereka! (Mazmur 149:5, tambahkan penekanan).

Tetapi, kita tak harus berdiri atau berlutut untuk menyembah — bisa saja sambil berbaring di tempat tidur.

Masuklah melalui pintu gerbangNya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataranNya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepadaNya dan pujilah nama-Nya! (Mazmur 100:4, tambahkan penekanan).

Ucapan syukur tentulah harus menjadi bagian dari penyembahan kita.

Biarlah mereka memuji-muji namaNya dengan tari-tarian. (Mazmur 149:3, tambahkan penekanan).

Kita bahkan dapat memuji Tuhan dengan menari. Tetapi, tarian bukan yang bersifat kedagingan, tidak sensual atau tidak memberikan hiburan.

Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi! Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling! Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang! Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya! (Mazmur 150:3-6).

Pujilah Tuhan untuk mereka yang berbakat musik. Karunia-karunia mereka dapat dipakai untuk memuliakan Tuhan ketika mereka memainkan alat-alat musik dengan hati yang penuh kasih.

Kidung-Kidung Rohani (Spiritual Songs)

Mazmur. Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib. (Mazmur 98:1a, tambahkan penekanan).

Tidak ada yang keliru dalam menyanyikan lagu lama, jika hal itu bukan menjadi ritual. Sehingga, kita perlu kidung baru dari hati kita. Dalam Perjanjian Baru, kita pelajari bahwa Roh Kudus akan membantu kita untuk mengkomposisi kidung-kidung baru:

Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. (Kolose 3:16).

Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita. (Efesus 5:18-20).

Paulus menulis bahwa kita harus saling menyanyikan “mazmur-mazmur, himne-himne, dan kidung-kidung rohani,” sehingga ada perbedaan antara ketiganya. Penelitian tentang kata-kata bahasa Gerika asli akan membantu, tetapi mungkin “mazmur-mazmur” berarti nyanyian mazmur-mazmur sebenarnya dari Alkitab yang diiringi dengan alat-alat musik. Di lain pihak, “Himne” bisa menjadi kidung ucapan syukur yang dikomposisikan oleh orang-orang percaya di gereja. “Kidung-kidung rohani” bisa jadi lagu-lagu spontan yang diberikan oleh Roh Kudus dan mirip dengan karunia nubuatan sederhana, hanya saja ucapannya dinyanyikan.

Pujian dan penyembahan haruslah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari —bukan hanya sesuatu yang dilakukan ketika jemaat berkumpul. Sepanjang hari kita dapat melayani Tuhan dan mengalami persekutuan erat denganNya.

Pujian — Iman dalam Tindakan (Praise—Faith in Action)

Pujian dan penyembahan adalah ungkapan iman kita kepada Allah. Jika kita benar-benar percaya janji-janji Firman Allah, lalu kita menjadi orang-orang yang penuh pujian kepada Allah. Yosua dan orang-orang Israel harus berseru mula-mula; lalu tembok-tembok runtuh. Alkitab menegur kita unutk “selalu bersukacita dalam Tuhan” (Filipi 4:4) dan “Mengucap syukurlah dalam segala hal” (1 Tesalonika 5:18a).

Contoh menonjol pujian kuasa ada dalam 2 Tawarikh 20 ketika bangsa Yehuda diserang oleh pasukan Moab dan Amon. Menjawab doa Raja Yosafat, Allah memerintahkan Israel:

Janganlah kamu takut dan terkejut karena laskar yang besar ini, sebab bukan kamu yang akan berperang melainkan Allah. Besok haruslah kamu turun menyerang mereka…… dalam peperangan ini tidak usah kamu bertempur. Hai Yehuda dan Yerusalem, tinggallah berdiri di tempatmu, dan lihatlah bagaimana TUHAN memberikan kemenangan kepadamu. Janganlah kamu takut dan terkejut. Majulah besok menghadapi mereka, TUHAN akan menyertai kamu.” (2 Tawarikh 20:15b-17).

Kisahnya berlanjut:

Keesokan harinya pagi-pagi mereka maju menuju padang gurun Tekoa. Ketika mereka hendak berangkat, berdirilah Yosafat, dan berkata: “Dengar, hai Yehuda dan penduduk Yerusalem! Percayalah kepada TUHAN, Allahmu, dan kamu akan tetap teguh! Percayalah kepada nabi-nabi-Nya, dan kamu akan berhasil!” Setelah ia berunding dengan rakyat, ia mengangkat orang-orang yang akan menyanyi nyanyian untuk TUHAN dan memuji TUHAN dalam pakaian kudus yang semarak pada waktu mereka keluar di muka orang-orang bersenjata, sambil berkata: “Nyanyikanlah nyanyian syukur bagi TUHAN, bahwa sanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!” Ketika mereka mulai bersorak-sorai dan menyanyikan nyanyian pujian, dibuat Tuhanlah penghadangan terhadap bani Amon dan Moab, dan orang-orang dari pegunungan Seir, yang hendak menyerang Yehuda, sehingga mereka terpukul kalah. Lalu bani Amon dan Moab berdiri menentang penduduk pegunungan Seir hendak menumpas dan memunahkan mereka. Segera sesudah mereka membinasakan penduduk Seir, mereka saling bunuh-membunuh. Ketika orang Yehuda tiba di tempat peninjauan di padang gurun, mereka menengok ke tempat laskar itu. Tampaklah semua telah menjadi bangkai berhantaran di tanah, tidak ada yang terluput. Lalu Yosafat dan orang-orangnya turun untuk menjarah barang-barang mereka. Mereka menemukan banyak ternak, harta milik, pakaian dan barang-barang berharga. Yang mereka rampas itu lebih banyak dari pada yang dapat dibawa. Tiga hari lamanya mereka menjarah barang-barang itu, karena begitu banyaknya. (2 Tawarikh 20: 20-25, tambahkan penekanan)

Dengan pujian yang penuh iman, kita mendapat perlindungan dan selalu berjaga-jaga!

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kuasa dalam pujian, lihat Filipi 4:6-7 (pujian membawa kedamaian), 2 Tawarikh 5:1-14 (pujian membawa hadirat Allah ), Kisah Para Rasul 13:1-2 (pujian memperjelas maskud dan rencana Allah ), dan Kisah Para Rasul 16:22-26 (dengan pujian, Allah akan membawa pemeliharaan dan pembebasan dari belenggu penjara).

To subscribe to David Servant's periodic e-teachings, click here.


Bahasa / Indonesian The Disciple-Making Minister » Bab Duapuluh (Chapter Twenty)

Bab Duapuluh-Satu (Chapter Twenty-One)

Keluarga Kristen (The Christian Family)

 

Tuhan adalah Oknum pembentuk sebuah keluarga. Tentu Dia memberikan pemahaman kepada kita tentang bagaimana seharusnya fungsi sebuah keluarga dan Dia sanggup mengingatkan kita akan bahaya-bahaya yang dapat menghancurkan keutuhan keluarga. Memang, Tuhan telah memberikan banyak prinsip dalam FirmanNya mengenai struktur keluarga dan peranan yang harus dipikul oleh tiap anggota. Ketika perintah-perintah dalam Alkitab ditaati, maka keluarga-keluarga akan menikmati semua berkat yang Allah mau mereka dapatkan. Ketika perintah dilanggar, muncullah kekacauan dan sakit-hati.

Peranan Suami dan Istri (The Role of Husband and Wife)

Allah telah merancang keluarga Kristen agar mengikuti struktur tertentu. Karena kerangka ini memberikan stabilitas bagi kehidupan keluarga, Setan bekeja keras untuk mengacaukan rancangan maksud Allah.

Pertama, Allah telah menetapkan bahwa suami menjadi kepala keluarga. Hal ini tidak memberikan hak kepada suami untuk secara egois mendominasi istri dan anak-anaknya. Allah memanggil suami untuk mengasihi, melindungi, mencukupi kebutuhan, dan memimpin keluarganya sebagai kepala keluarga. Allah juga menghendaki agar istri menyerah kepada pimpinan suaminya. Hal itu jelas dinyatakan dalam Alkitab:

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. (Efesus 5:22-24).

Suami bukanlah kepala rohani dari istrinya —Yesus adalah Pribadi yang memenuhi peran itu. Yesus adalah kepala rohani dari gerejanya, dan istri Kristen adalah anggota gereja, sama halnya dengan suami Kristen. Tetapi, di dalam keluarga, suami Kristen adalah kepala dari istri dan anak-anaknya, dan ia harus berserah kepada otoritas yang diberikan oleh Allah.

Sampai sejauh mana istri menyerah kepada suaminya? Ia harus tunduk kepada suami dalam segala sesuatu, seperti kata Paulus. Kecuali jika suaminya mengharapkannya untuk tidak menaati Firman Tuhan atau melakukan sesuatu yang melanggar kata-hatinya. Sudah tentu, tidak ada suami Kristen pernah berharap istrinya untuk melakukan sesuatu yang melanggar Firman Tuhan atau kata-hati istrinya. Suami bukanlah tuhan bagi istrinya —hanya Yesus yang memiliki tempat itu dalam kehidupan sang istri. Jika harus memilih siapa yang akan ditaati, sang istri harus memilih Yesus.

Suami harus ingat bahwa Allah tidak secara langsung selalu “berpihak kepada suami.” Allah pernah berkata kepada Abraham untuk melakukan apa kata istrinya Sarah kepadanya (lihat Kejadian 21:10-12). Alkitab juga mencatat bahwa Abigail tidak menaati suaminya yang bodoh, Nabal, dan menimbulkan bencana (lihat 1 Samuel 25:2-38).

Firman Tuhan kepada Para Suami (God’s Word to Husbands)

Kepada setiap suami, Allah berkata:

Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya ….. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri : Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 30 karena kita adalah anggota tubuh-Nya. ….Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya. (Efesus 5:25, 28-30, 33).

Suami diperintahkan untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gereja. Itu bukanlah tanggung-jawab kecil! Dengan senang hati, setiap istri tunduk kepada orang yang mencintainya persis seperti yang Yesus lakukan —yang memberikan kehidupanNya dalam kasihNya yang penuh pengorbanan. Seperti Kristus mengasihi gerejaNya, demikian juga suami harus mengasihi istri yang olehnya ia menjadi “satu daging” (Efesus5:31). Jika suami Kristen mengasihi istrinya sebagaimana seharusnya, maka ia akan menyediakan kebutuhan, mempedulikan, menghormati, menolong, memberi dorongan, dan meluangkan waktu untuk istrinya. Jika tak sanggup bertanggung-jawab mengasihi istrinya, suami itu berada dalam bahaya karena akan menghambat jawaban atas doa-doanya:

Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai [kaum] yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang. (1 Petrus 3:7, tambahkan penekanan).

Tentu, belum pernah ada pernikahan yang tak pernah mengalami konflik dan pertengkaran. Tetapi, melalui komitmen dan perkembangan buah-buah roh dalam kehidupan, suami dan istri dapat belajar hidup secara harmoni dan mengalami keberkatan yang terus-menerus dalam pernikahan Kristen. Melalui permasalahan yang tak dapat dihindarkan yang muncul dalam tiap pernikahan, setiap pasangan dapat belajar bertumbuh makin dewasa menjadi serupa dengan Kristus.

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kewajiban suami dan istri, lihat Kejadian 2:15-25; Amsal 19:13;21:9, 19; 27:15-16; 31:10-31; 1 Korintus 11:3; 13:1-8; Kolose 3:18-19; 1 Timotius 3:4-5; Titus 2:3-5; 1 Petrus 3:17.

Seks dalam Pernikahan (Sex in Marriage)

Allah adalah oknum yang menemukan seks, dan Ia menciptakan seks demi kesenangan juga untuk menghasilkan keturunan. Tetapi, Alkitab tegas-tegas berkata bahwa hubungan seks harus dinikmati hanya oleh mereka yang telah menyatukan diri mereka dalam ikatan pernikahan seumur-hidup.

Hubungan seks tanpa ikatan pernikahan digolongkan sebagai perzinahan atau perselingkuhan. Rasul Paulus menyatakan bahwa mereka yang melakukan hal-hal itu tidak akan mewarisi Kerajaan Allah (lihat 1 Korintus 6:9-11). Walaupun orang Kristen dapat dicobai dan berzinah atau berselingkuh, ia akan merasakan hukuman dalam rohnya yang akan membawanya pada pertobatan.

Paulus juga memberikan beberapa petunjuk khusus tentang tanggung-jawab seks kepada suami dan istri:

Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak. (1 Korintus 7:2-5).

Ayat-ayat di atas memperjelas bahwa seks tidak boleh digunakan sebagai “hadiah” oleh suami atau istri karena baik suami atau istri tak berkuasa atas tubuhnya sendiri.

Lagipula, seks adalah karunia pemberian Allah, dan seks adalah hal yang suci atau bukan dosa selama dalam batas-batas pernikahan. Paulus mendorong para pasangan nikah Kristen untuk tetap terlibat dalam hubungan seks. Lagipula, kita bisa temukan saran tersebut bagi para suami Kristen dalam kitab Amsal:

Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya. (Amsal 5:18-19).

[1]

 

Bila pasangan suami-istri Kristen ingin menikmati hubungan seks yang saling memberi kepuasan, maka keduanya harus memahami bahwa ada perbedaan besar karakter seksual antara pria dan wanita. Bila diperbandingkan, kualitas seksual pria lebih bersifat fisik, sedangkan kualitas seksual wanita terkait dengan emosinya. Secara seksual, pria mudah terangsang oleh stimulasi visual (lihat Matius 5:28), sedangkan secara seksual wanita cenderung terangsang melalui sentuhan (lihat 1 Korintus 7:1). Pria tertarik kepada wanita yang menarik di matanya; sedangkan wanita cenderung tertarik kepada pria yang mereka sanjung karena berbagai alasan, dibandingkan hanya daya-tarik fisik. Jadi, istri yang bijak selalu memperhatikan hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk menyenangkan suaminya sepanjang waktu. Suami yang bijak menunjukkan perhatiannya kepada istrinya setiap waktu dengan memberi pelukan dan perhatian penuh, bukannya mengharapkan istrinya untuk tetap “siap setiap saat” dalam sekejap di penghujung hari.

Tingkat dorongan seks pria cenderung meningkat dengan bertambahnya air mani dalam tubuhnya, sedangkan dorongan seks wanita meningkat atau menurun, tergantung pada siklus menstruasinya. Pria punya kapasitas rangsangan seks dan pengalaman klimaks seks dalam hitungan detik atau menit; wanita butuh waktu lebih lama. Walaupun pria biasanya siap secara fisik untuk berhubungan seks dalam beberapa detik, tubuh wanita bisa saja tak siap secara fisik selama setengah jam. Jadi, suami yang bijak menggunakan waktu untuk melakukan permainan seks pendahuluan dengan melakukan pelukan mesra, ciuman dan rangsangan dengan tangan ke bagian-bagian tubuh istri yang akan membuat istri menjadi siap melakukan persetubuhan. Jika tak tahu bagian-bagian tubuh istri, suami perlu bertanya kepada istrinya. Juga, ia harus tahu bahwa walaupun ia mampu mencapai hanya sekali klimaks seks, istrinya mampu mencapai lebih dari sekali klimaks. Suami harus paham agar istri mendapatkan apa yang diinginkannya.

Sangatlah penting agar suami dan istri Kristen saling mendiskusikan kebutuhan mereka dengan jujur dan belajar sebanyak mungkin tentang bagaimana perbedaan masing-masing. Selama berbulan-bulan dan tahunan komunikasi, penemuan dan praktek, hubungan seks antara suami dan istri dapat menghasilkan keberkatan yang semakin meningkat.

Anak-anak Keluarga Kristen (Children of a Christian Family)

Anak-anak harus diajarkan agar tunduk dan taat pada orang-tua Kristen mereka. Dan jika mereka tunduk dan taat, ada janji umur panjang dan berkat-berkat lain bagi mereka:

Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. “Hormatilah ayahmu dan ibumu”—(ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini), “supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. (Efesus 6:1-3).

Sebagai kepala keluarga, bapak-bapak Kristen bertanggung-jawab utama untuk mendidik anak-anak mereka:

Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:4).

Perlu dicatat bahwa ada dua tanggung-jawab bapak: mendidik anak-anaknya dalam disiplin dan pengajaran Tuhan. Mulanya, perhatikanlah pendisiplinan bagi anak-anak.

Pendisiplinan Anak (Child Discipline)

Anak yang tak pernah didisiplinkan akan tumbuh menjadi egois dan suka memberontak terhadap perintah. Anak harus didisiplinkan kapanpun ia dengan keras kepala tidak menaati aturan yang wajar yang telah ditetapkan sebelumnya oleh orang-tua. Anak tak boleh dihukum karena kesalahan atau karena sikap tidak bertanggung-jawab. Tetapi, anak harus menghadapi konsekwensi kesalahan dan sikap tidak bertanggung-jawabnya, sehingga dapat membantunya untuk siap menghadapi realitas kehidupan dewasa kelak.

Anak kecil harus didisiplinkan dengan memukul pantatnya, sesuai perintah Firman Tuhan. Tentu saja, bayi tak boleh dipukuli pantatnya. Itu tidak berarti bahwa bayi selalu diberikan sesuai kemauannya. Nyatanya, sejak lahirnya, harus jelas bahwa bayi adalah tanggung-jawab ibu dan ayahnya. Pada usia sangat muda, bayi dapat diajari tentang arti kata “tidak” dengan mencegahnya agar tak melakukan apa yang akan atau hampir saja dilakukan. Ketika bayi mulai mengerti arti kata “tidak“, pukulan ringan di pantatnya akan membantunya mengerti dengan lebih baik ketika ia tidak patuh. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, anak-anak akan belajar taat pada usia sangat muda.

Orang tua dapat juga melaksanakan kuasanya tanpa melakukan tindakan yang tak diinginkan bagi anaknya, seperti memberi apa yang anak nginkan setiap kali ia menangis. Perlakuan itu akan mengajarkan anak untuk menangis agar setiap keinginannya terkabul. Atau, jika orang tua mengabulkan permintaan anaknya tiap kali amarah atau rengekannya meledak, orang tua itu sebenarnya hanya mendukung perilakunya yang tak diinginkan. Orang tua yang bijak hanya menghargai perilaku yang disukai dalam diri anaknya.

Pukulan di pantat tak boleh membahayakan fisik anak tetapi tentunya memberi cukup rasa sakit agar anak yang bandel dapat menangis sebentar. Sehingga, anak akan belajar mengaitkan ketidaktaatan dengan rasa-sakit. Alkitab menegaskan:

Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya. …. Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya…Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati. ….. Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya. (Amsal 13:24; 22:15; 23:13-14; 29:15).

Ketika menerapkan aturannya, orang tua tak perlu mengancam anak untuk taat. Jika anak berkeras tidak taat, ia harus dipukuli pantatnya. Jika orang tua hanya mengancam untuk memukul pantat anak bandel itu, ia hanya membuat anak itu tetap tidak taat. Akibatnya, anak itu belajar tak taat sampai ancaman orang-tua mencapai volume tertentu.

Setelah pantatnya dipukul, si anak harus dipeluk dan dijamin bahwa ia layak mendapat kasih sayang orang tuanya.

Mendidik Anak (Train Up a Child)

Orang tua Kristen harus sadar bahwa ia bertanggung-jawab mendidik anaknya, seperti dalam Amsal 22:6: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (tambahkan penekanan).

Didikan berwujud hukuman atas ketidaktaatan dan ganjaran untuk perilaku yang baik. Anak perlu diberi pujian yang konsisten dari orang tuanya untuk memperkuat perilakunya yang baik dan sifat-sifat yang diinginkan. Anak perlu diberikan rasa aman agar ia merasa dikasihi, diterima dan dihargai oleh orang-tuanya. Orang tua dapat menunjukkan kasihnya melalui kata-kata pujian, pelukan dan ciuman, dan meluangkan waktu bersama anaknya.

“Mendidik” berarti “membuat anak taat.” Karena itu, orang tua Kristen tak boleh memberikan pilihan kepada anaknya apakah ia mau atau tidak mau ke gereja atau berdoa setiap hari dan seterusnya. Anak cukup bertanggung-jawab untuk tahu apa yang terbaik baginya —itu sebabnya Allah memberikan orang-tua kepadanya. Bagi orang tua yang menggunakan usaha dan tenaga untuk melihat agar anaknya mendapat pendidikan yang baik, Allah berjanji bahwa anaknya tak akan menyimpang dari jalan yang benar ketika mereka menjadi dewasa, seperi dalam Amsal 22:6.

Anak harus terus diberikan tanggung-jawab ketika usianya bertambah. Tujuan efektif menjadi orang-tua adalah menyiapkan anak secara bertahap untuk memikul tanggung-jawab penuh menuju kedewasaan. Ketika anak bertambah usia, ia secara bertahap diberi lebih banyak kebebasan untuk membuat keputusannya. Juga, remaja harus mengerti bahwa ia akan menerima tanggung-jawab atas konsekwensi dari keputusannya dan orang tuanya tidak akan selalu ada untuk “menjaminnya keluar” dari kesulitan.

Tanggung-jawab Orang Tua untuk Mendidik (Parents’ Responsibility to Instruct)

Seperti kita baca Efesus 6:4, ayah bertanggung-jawab mendisiplinkan anak dan harus mengajari anak di dalam Tuhan. Gereja tak bertanggung-jawab mengajari hal moralitas yang Alkitabiah kepada anak, karakter Kristen, atau teologi —itu tugas ayahnya. Adalah keliru bila orang tua mengalihkan semua tanggung-jawabnya kepada guru Sekolah Minggu untuk mengajari anak-anak tentang Allah. Perhatikan bahwa Allah memerintahkan Israel melalui Musa:

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. (Ulangan 6:6-7, tambahkan penekanan).

Anak harus diperkenalkan kepada Allah, sejak usia dini, oleh orang tua Kristen, dengan menceritakan kepada anak tentang siapa Allah dan betapa Ia mengasihinya. Anak harus diajari kisah tentang Yesus –kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitanNya. Banyak anak dapat mengerti pesan Injil sebelum usia lima atau enam tahun dan dapat memutuskan untuk melayani Tuhan. Segera setelah itu (sebelum usia enam atau tujuh tahun, terkadang sebelum usia itu), anak dapat menerima baptisan Roh Kudus dengan berbahasa lidah. Tentu, tak boleh diberikan aturan ketat karena setiap anak berbeda. Masalahnya adalah orang-orang tua Kristen membuat pendidikan rohani bagi anak-anak mereka menjadi prioritas duniawi tertinggi menurut ukuran mereka.

Sepuluh Aturan untuk Mengasihi Anak (Ten Rules for Loving Your Children)

1.)

Jangan buat anak anda frustrasi (lihat Efesus 6:4). Anak tak boleh diharuskan berperilaku seperti orang dewasa. Jika anda berharap terlalu banyak dari anak, ia tidak akan lagi membuat anda senang, karena ia tahu bahwa hal itu mustahil.

2.)

Jangan bandingkan anak anda dengan anak lain. Biarkan ia tahu seberapa besar anda menghargai sifat-sifat unik mereka dan karunia-karunia dari Allah.

3.)

Beri dia tanggung-jawab di rumah sehingga ia akan tahu bahwa ia bagian penting dalam keluarga. Penghargaan adalah bahan bangunan bagi harga diri yang sehat.

4.)

Luangkan waktu bersama anak. Sehingga anak tahu bahwa ia penting bagi anda. Memberi materi kepada anak tak dapat menggantikan diri anda baginya. Juga, seorang anak banyak dipengaruhi oleh orang yang meluangkan paling banyak waktu bersamanya.

5.)

Jika anda harus mengatakan sesuatu yang negatif, katakalah secara posifif. Saya tak pernah berkata kepada anak saya bahwa ia “jelek” ketika ia tak menaati saya. Malahan, saya berkata kepadanya, “Kau anak yang baik, dan anak yang baik tidak melakukan hal yang baru saja kau lakukan!” (Lalu saya pukul pantatnya).

6.)

Sadarilah, kata “tidak” berarti “Saya peduli padamu.” Ketika menemukan caranya, secara intuitif anak tahu anda tak cukup peduli untuk melarangnya.

7.)

Harapkan agar anak anda meniru anda. Anak belajar dari teladan orang-tuanya. Orang-tua yang bijak tak akan pernah berkata kepada anaknya, “Lakukan apa kataku, bukan apa yang kulakukan.”

8.)

Jangan beri jaminan kepada anak anda atas masalahnya. Singkirkan batu sandungan; biarkan batu loncatan ada di jalurnya.

9.)

Layani Allah dengan segenap hati anda. Saya perhatikan, anak, yang orang-tuanya suam-suam kuku, jarang melayani Allah saat ia dewasa kelak. Anak Kristen dari orang tua yang belum selamat dan anak dari orang-tua Kristen yang berkomit-men penuh biasanya tetap melayaniNya ketika berada di luar “tempat asalnya.”

10.)

Ajarkan Firman Tuhan kepada anak. Orang tua sering memprioritaskan pendidikan anaknya tetapi gagal memberikan pendidikan terpenting yang bisa diperoleh anak itu, yakni pendidikan Alkitab.

Prioritas Pelayanan, Pernikahan dan Keluarga (The Priorities of Ministry, Marriage and Family)

Mungkin kesalahan yang paling sering muncul yang dilakukan oleh tiap pemimpin Kristen adalah meremehkan pernikahan dan keluarganya karena pengabdian kepada pelayanannya. Pemimpin itu membenarkan dirinya dengan berkata bahwa pengorbanannya adalah “untuk pekerjaan Tuhan.”

Kesalahan itu diperbaiki ketika pelayan pemuridan menyadari bahwa ketaatan dan pengabdiannya yang sejati kepada Allah tercermin oleh hubungannya dengan pasangan hidupnya dan anak-anaknya. Seorang pendeta tak dapat berkata bahwa ia mengabdi kepada Allah jika ia tidak mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gerejaNya, atau jika ia tak mau meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan anak-anaknya demi mendidik mereka agar tunduk pada pengawasan dan peringatan dari Tuhan.

Lagipula, biasanya, tanda pelayanan yang bersifat kedagingan yang dilakukan dengan kekuatan diri sendiri adalah sikap tidak mempedulikan pasangan nikah dan anak-anak demi “pelayanan”. Ada banyak pendeta gereja lembaga yang memikul beban kerja berat, karena mereka membuat diri mereka lelah demi tetap menjalankan semua program gereja.

Yesus berjanji bahwa bebanNya ringan dan kukNya enak (lihat Matius 11:30). Ia tidak memanggil pelayan untuk menunjukkan pengabdiannya bagi dunia atau gereja dengan mengorbankan cintanya kepada keluarganya. Ternyata, satu syarat untuk menjadi penatua adalah ia “harus menjadi menjadi kepala keluarga yang baik” (1 Timotius 3:4). Hubungan dengan keluarganya adalah ujian bagi kelayakannya dalam pelayanan.

Terkadang, orang yang terpanggil untuk melakukan pelayanan berpindah-pindah dan harus berada jauh harus menghabiskan waktu ekstra untuk fokus pada keluarganya ketika berada di rumah. Setiap rekan sesama tubuh Kristus harus melakukan hal dalam kuasanya sehingga tugas tersebut terlaksana. Pelayan pemuridan sadar bahwa anak-anaknya adalah murid-murid utamanya. Jika ia gagal memuridkan anak-anaknya, ia tak berhak untuk mencoba melakukan pemuridan di luar rumahnya.

 


[1]

Bukti bahwa Allah berkata dengan tegas, lihat Kidung Agung 7:1-9 dan Imamat 18:1-23.