Bab Dua (Chapter Two)

Memulai Dengan Benar (Beginning Rightly)

Menurut Alkitab, murid adalah orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, yang tinggal dalam FirmanNya, sehingga dibebaskan dari dosa. Murid adalah orang yang mau mendengar untuk menaati semua perintah Kristus, dan yang mengasihi Yesus lebih dari keluarganya, kesenangannya, dan harta miliknya. Murid mewujudkan kasih itu melalui gaya hidupnya. Murid-murid sejati Yesus saling mengasihi dan menunjukkan kasih itu dalam cara-cara praktis. Mereka berbuah-buah.[1]

Yesus menyukai orang-orang seperti itu.

Jelaslah, orang yang bukan muridNya tidak dapat melakukan pemuridan bagiNya. Jadi, sebelum kita melakukan pemuridan untukNya, pertama kita harus yakin bahwa kitalah murid-muridNya. Ketika ditanyai, banyak pelayan kurang tahu tentang definisi murid. Sehingga, tak ada harapan bila mereka dapat melakukan pemuridan, bahkan ternyata mereka tak mau melakukan pemuridan. Mereka tak cukup punya komitmen kepada Yesus Kristus untuk menanggung kesulitan yang muncul ketika melakukan pemuridan sejati.

Dari sudut pandang ini, saya berasumsi, pelayan yang mau membaca terus buku ini adalah murid Tuhan Yesus Kristus, yang benar-benar menaati perintah-perintahNya. Bila tidak mau membaca buku ini, maka anda tak memiliki apresiasi membaca sampai anda membuat komitmen yang diperlukan untuk menjadi seorang murid sejati. Sekaranglah waktunya! Berlututlah dan minta ampun! Oleh kasih karuniaNya yang ajaib, Allah akan mengampunimu dan menjadikanmu ciptaan baru dalam Kristus!

Definisi Ulang Pemuridan (Redefining Discipleship)

Walaupun Yesus telah memperjelas pengertian tentang murid, banyak orang telah mengganti definisiNya dengan definisinya sendiri-sendiri. Misalnya, bagi beberapa orang, istilah murid adalah kurang jelas bagi siapapun yang mengaku sebagai orang Kristen. Bagi mereka, istilah murid telah dipersempit dari pengertian Alkitab.

Orang-orang lain menganggap pemuridan sebagai langkah kedua yang tidak wajib dilakukan untuk komitmen orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga. Mereka percaya bahwa seseorang bisa menjadi orang percaya yang pasti-masuk-sorga dalam Yesus, tetapi tidak menjadi murid Yesus! Karena sulit bagi kita bila tak memperhatikan syarat dalam melakukan pemuridan seperti kehendak Yesus dalam Alkitab, maka kita diajarkan ada dua kategori orang Kristen –yakni orang yang percaya kepada Yesus, dan murid yang percaya dan berkomitmen kepada Yesus. Dengan ungkapan ini, sering dikatakan, ada banyak orang percaya namun hanya sedikit murid, namun kedua kelompok ini akan masuk sorga.

Doktrin ini ternyata menetralisasi perintah Kristus untuk melakukan pemuridan, yang kemudian menetralisasi cara melakukan pemuridan. Jika, menjadi seorang murid berarti komitmen penyangkalan-diri dan bahkan kesulitan hidup, dan jika menjadi seorang murid bukan kewajiban, maka sebagian besar orang akan memilih untuk tidak menjadi murid, terutama bila mereka berpikir akan masuk sorga bukan sebagai murid.

Maka, pertanyaan yang sangat penting yang harus diajukan adalah: Apakah Alkitab mengajarkan bahwa seseorang bisa menjadi orang percaya yang pasti-masuk-sorga namun dia bukan murid Yesus Kristus? Apakah pemuridan merupakan langkah tidak wajib bagi orang percaya? Apakah ada dua kategori orang Kristen, yakni orang percaya yang tak berkomitmen dan murid yang berkomitmen?

Jawaban atas semua pertanyaan itu adalah Tidak. Perjanjian Baru tak sekalipun mengajarkan dua kategori orang Kristen —orang percaya dan murid. Bila membaca kitab Kisah Para Rasul, seseorang akan membaca acuan-acuan yang berulang-ulang menyangkut murid-murid, dan acuan-acuan itu bukan menyangkut kelompok lebih atas yang terdiri dari orang-orang percaya yang lebih berkomitmen. Setiap orang percaya kepada Yesus adalah seorang murid.[2]

Kenyataannya, “Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kisah Para Rasul 11:26, tambahkan penekanan).

Menarik untuk dicatat bahwa kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi murid (mathetes) disebutkan 261 kali dalam Perjanjian Baru, sedangkan kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi orang percaya (pistos) hanya disebutkan sembilan kali (diterjemahkan menjadi believer dalam Alkitab versi New American Standard [dalam Bahasa Indonesia orang percaya]). Kata dalam bahasa Yunani Christianos yang diterjemahkan menjadi Kristen hanya disebut tiga kali. Fakta-fakta ini cukup untuk memberi keyakinan kepada penanya yang jujur bahwa jemaat mula-mula yang percaya kepada Yesus semuanya dianggap sebagai murid-muridNya.

Komentar Yesus (Jesus’ Commentary)

Sudah tentu, Yesus tidak menganggap bahwa menjadi murid adalah langkah sekunder dan tidak wajib bagi orang percaya. Ketiga persyaratanNya bagi pemuridan di dalam Lukas 14 tidak ditujukan kepada orang-orang percaya sebagai undangan untuk melakukan komitmen tingkat lebih tinggi. Sebaliknya, kata-kataNya ditujukan kepada setiap orang di antara orang banyak. Pemuridan adalah langkah pertama dalam hubungan dengan Allah. Juga, kita baca dalam Yohanes 8:

Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya. Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8:30-32)

Tak seorangpun sanggup, dengan kepintarannya, mencari alasan melawan fakta yang tak terbantahkan bahwa Yesus tengah berbicara kepada orang-orang yang mengaku baru percaya dalam hal menjadi murid-muridNya. Yesus tidak berkatakepada orang-orang itu, “Sekali waktu nanti, anda mungkin mau berpikir-pikir untuk melakukan langkah berikut, langkah komitmen, untuk menjadi murid-muridKu. ”Tidak, Yesus berbicara kepada orang-orang percaya baru seolah-olah Ia mengharapkan mereka untuk menjadi murid-murid, seolah-olah kata-kata orang percaya dan murid adalah dua kata yang sama artinya. Yesus berkata kepada orang-orang yang baru mengaku percaya bahwa cara mereka membuktikan status mereka sebagai murid-muridNya adalah tetap tinggal dalam FirmanNya, sehingga membuat mereka terbebas dari dosa (lihat Yohanes 8:34-36).

Yesus tahu bahwa pengakuan iman seseorang bukan jaminan baginya untuk benar-benar percaya. Ia juga tahu, barangsiapa yang percaya Dia sebagai Anak Allah akan bertindak seperti itu —ia akan segera menjadi muridNya— yang mau menaati dan menyenangkan Dia. Setiap orang percaya/murid seperti itu tinggal dalam FirmanNya, seperti tinggal di rumah sendiri. Dan ketika menemukan kehendakNya dengan mempelajari perintah-perintahNya, ia akan terus-menerus dibebaskan dari dosa.

Itu sebabnya Yesus segera menantang orang-orang percaya baru untuk menguji diri mereka. PernyataanNya “Jika kalian benar-benar murid-muridKu” menunjukkan keyakinanNya bahwa mereka bisa saja bukan murid-murid yang benar, namun hanya mengaku diri sebagai murid. Mereka bisa saja membodohi diri mereka. Dengan lulus tes dari Yesus, mereka bisa saja yakin diri mereka adalah murid-murid sejatiNya. (Dan hal ini tampak pada bagian dialog dalam Yohanes 8:37-59 bahwa Yesus memiliki alasan yang tepat untuk meragukan ketulusan mereka).[3]

Ayat-ayat penting dalam Alkitab, Matius 28:18-20, mementahkan teori bahwa murid-murid adalah kelompok terdidik yang kedudukannya lebih tinggi dari orang-orang percaya yang berkomitmen. Yesus memerintahkan dalam Amanat AgungNya supayan murid-murid dibaptis. Sudah tentu, kesaksian dalam Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa para rasul tidak menunggu sampai orang-orang percaya baru melakukan “langkah kedua untuk komitmen radikal kepada Kristus” sebelum mereka membaptis orang-orang percaya baru. Sebaliknya, para rasul membaptis orang-orang percaya baru segera setelah mereka bertobat. Mereka percaya bahwa setiap orang percaya sejati adalah murid.

Dalam hal ini, siapapun, yang percaya murid sebagai orang percaya yang memiliki komitmen khusus, tidaklah konsisten dengan teologinya sendiri. Sebagian besar mereka membaptiskan orang yang mengaku percaya kepada Yesus, bukan menunggu orang percaya baru untuk mencapai tingkat “pemuridan” yang berkomitmen. Namun, bila mereka benar-benar percaya apa yang mereka khotbahkan, seharusnya mereka hanya membaptis orang yang telah mencapai tingkat pemuridan, bisa saja hanya ada sedikit jumlah orang percaya baru di antara orang-orang sederajat mereka.

Kejutan akhir terhadap doktrin sesat itu mungkin cukup memberi penjelasan. Bila seorang murid berbeda dengan seorang percaya, mengapa Yohanes menuliskan bahwa kasih kepada saudara-saudara adalah tanda pengenal dari orang-orang percaya yang dilahirkan kembali (lihat 1 Yohanes 3:14), dan Yesus berkata bahwa kasih kepada saudara-saudara adalah tanda pengenal bagi murid-murid sejatiNya (Yohanes 13:35)?

Asal-Muasal Doktrin Palsu ini (The Origin of this False Doctrine)

Jika ide dua kelompok orang Kristen, yakni kelompok orang percaya dan kelompok murid, yang tak terdapat dalam Alkitab, bagaimana doktrin itu dapat dipertahankan? Jawabannya adalah doktrin ini hanya didukung oleh doktrin palsu lain tentang keselamatan. Doktrin itu berketatapan bahwa syarat yang diperlukan untuk pemuridan tidak sesuai dengan fakta bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia. Berdasarkan logika itu, dapat disimpulkan bahwa persyaratan untuk melakukan pemuridan tidak bisa menjadi persyaratan untuk mendapatkan keselamatan. Sehingga, menjadi seorang murid harus merupakan langkah pilihan (tidak wajib) dalam komitmen bagi setiap orang percaya yang pasti-masuk-sorga yang diselamatkan oleh kasih karunia.

Kesalahan fatal dari teori itu adalah berbagai alasan dalam Alkitab yang menentang teori tersebut. Misalnya, apakah yang dapat menyatakan dengan lebih jelas dibandingkan perkataan Yesus menjelang akhir khotbahNya di Atas Bukit, setelah Ia menguraikan banyak perintah?

Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: ‘Tuhan, Tuhan,’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. (Matius 7:21).

Jelaslah, Yesus mengaitkan ketaatan dengan keselamatan, dalam pernyataan itu dan pernyataan lainnya. Lalu, bagaimana kita dapat menyelaraskan banyak perikop dalam Alkitab seperti perikop itu yang berisikan penegasan Alkitab bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia? Sederhana saja. Oleh kasih karuniaNya yang ajaib, kepada setiap orang, Allah untuk sementara memberi kesempatan bertobat, percaya, dan dilahirkan kembali, dikuatkan untuk hidup taat oleh Roh Kudus. Sehingga keselamatan adalah oleh kasih karunia. Tanpa kasih karunia Allah, tak seorangpun dapat diselamatkan, karena semua manusia telah berdosa. Orang berdosa tak mungkin menerima keselamatan. Jadi, dia perlu kasih karunia Allah untuk diselamatkan.

Kasih karunia Allah diungkapkan dalam banyak cara, terkait dengan keselamatan kita. Kasih karunia terwujud dalam kematian Yesus di kayu salib, ketika Allah memanggil kita melalui Injil, ketika Dia menarik kita kepada Kristus, ketika Dia mendapati kita berbuat dosa, ketika Dia memberi kita kesempatan untuk bertobat, ketika Dia mengubahkan kita dan mengisi kita dengan Roh KudusNya, ketika Di menghancurkan kuasa dosa atas kehidupan kita, ketika Dia memberi kekuatanNya bagi kita yang hidup dalam kesucian, ketika Dia mendisiplinkan kita saat kita berbuat dosa, dan lain-lain. Tak satupun berkat-berkat ini kita dapatkan. Kita diselamatkan oleh kasih karunia dari awal sampai akhir.

Tetapi, menurut Alkitab, keselamatan tidak hanya “karena kasih karunia”, namun ”oleh iman”: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman” (Efesus 2:8a, tambahkan penekanan). Kedua komponen itu diperlukan, dan tidak bertentangan. Apabila orang hendak diselamatkan, maka diperlukan kasih karunia dan iman. Allah memperluas kasih karuniaNya, dan kita merespon dengan iman. Sudah tentu, iman yang tulus menghasilkan ketaatan kepada perintah-perintah Allah. Sebagaimana ditulis oleh Yakobus dalam suratnya pasal kedua, iman tanpa perbuatan adalah mati, tak berguna, dan tidak dapat selamat (lihat Yakobus 2:14-26).[4]

Faktanya, kasih karunia Allah tak pernah membolehkan siapapun untuk berbuat dosa. Sebaliknya, kasih karunia Allah memberi kesempatan sementara untuk bertobat dan dilahirkan kembali. Setelah kematian, tak ada lagi kesempatan untuk bertobat dan dilahirkan kembali, sehingga kasih karunia Allah tak lagi ada. Karena itu, kasih karuniaNya yang menyelamatkan pasti bersifat sementara.

Wanita yang Diselamatkan oleh Yesus oleh Kasih Karunia Melalui Iman (A Woman Whom Jesus Saved by Grace Through Faith)

Gambaran sempurna tentang keselamatan yang ditunjukkan oleh kasih karunia melalui iman terdapat dalam kisah tentang pertemuan Yesus dengan wanita yang tertangkap berbuat zinah. Lalu kata Yesus: “Akupun tidak menghukum engkau [yakni kasih karunia, karena ia layak dihukum]. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yohanes 8:11, tambahkan penekanan). Saat ia seharusnya mati, Yesus membebaskannya. Namun Yesus menyuruhnya pergi dengan peringatan: Mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi. Perkataan ini persis sama dengan perkataanNya kepada setiap orang berdosa di dunia — ”Aku tidak menghukummu sekarang. Engkau seharusnya mati dan dihukum selamanya dalam neraka, namun Aku akan menunjukkan kepadamu kasih karunia. Namun kasih karunia hanyalah sementara, jadi bertobatlah. Sekarang, berhentilah berbuat dosa, sebelum kasih karuniaKu habis dan engkau dapati dirimu berdiri di hadapan penghakimanKu sebagai seorang berdosa yang kedapatan bersalah.”

Misalkan wanita yang berzinah itu bertobat sesuai perintah Yesus. Bila ia bertobat, ia diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Ia diselamatkan oleh kasih karunia karena, sebagai orang berdosa, ia tak mungkin diselamatkan tanpa kasih karunia Allah, Ia mungkin tak pernah berkata dengan tepat bahwa ia mendapatkan keselamatan melalui usahanya sendiri. Dan ia diselamatkan melalui iman karena ia percaya kepada Yesus dan kemudian percaya kepada perkataanNya, dengan memperhatikan peringatanNya, dan bertobat dari dosanya sebelum terlambat. Orang yang beriman dalam Yesus harus bertobat, karena Yesus mengingatkan jika tidak bertobat, ia akan binasa (lihat Lukas 13:3). Yesus juga sangat menegaskan bahwa hanya orang yang melakukan kehendak Bapa akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Matius 7:21). Bila seseorang percaya kepada Yesus, ia akan percaya dan memperhatikan setiap peringatanNya.

Tetapi, misalkan wanita yang berzinah itu tidak bertobat dari dosanya. Ia terus berbuat dosa, lalu mati dan berdiri di hadapan penghakiman Yesus. Misalkan wanita itu berkata kepada, “Oh Yesus! Saya senang sekali bertemu Engkau! Saya ingat saat Engkau tidak menghukum saya karena doa saya ketika saya dibawa di hadapanmu ketika di bumi. Tentunya Engkau masih penuh kasih karunia. Maka, Engkau tidak menghukum saya, tentunya sekarang Engkau tidak menghukum saya!”

Apa pendapat saudara? Apakah Yesus menyambut wanita itu menuju sorga? Jawabannya jelas. Paulus mengingatkan, “Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Korintus 6:9-10)

Dengan kata lain, persyaratan Yesus untuk melakukan pemuridan tak lebih dari persyaratan untuk mendapatkan iman yang sungguh-sungguh di dalamNya, yang sama dengan iman yang menyelamatkan. Dan setiap orang beriman yang menyelamatkan telah diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Karena keselamatan adalah oleh kasih karunia, tidak ada dasar Alkitabiah untuk pernyataan bahwa persyaratan Yesus untuk melakukan pemuridan adalah sesuai persyaratanNya untuk mendapatkan keselamatan. Pemuridan bukanlah langkah pilihan untuk orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga; sebaliknya, pemuridan adalah bukti iman murni yang menyelamatkan.[5]

Dengan demikian, untuk berhasil di mata Allah, seorang pendeta harus memulai proses pemuridan dengan benar melalui pengabaran Injil yang benar, dengan memanggil orang-orang untuk memiliki iman yang taat. Ketika para pelayan mendukung doktrin palsu bahwa pemuridan adalah langkah pilihan untuk melakukan komitmen bagi orang-orang percaya yang pasti-masuk-sorga, maka mereka melawan perintah Kristus untuk melakukan pemuridan dan berseru-seru tentang kasih karunia yang sesat dan injil yang sesat. Hanya murid-murid sejati Kristus memiliki iman yang menyelamatkan dan akan masuk sorga, sesuai janji Yesus: “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga.” (Matius 7:21).

Injil Baru yang Sesat (The New False Gospel)

Karena konsep keliru di dalam injil modern mengenai kasih karunia Allah dalam keselamatan, unsur-unsur penting dalam Alkitab sering dipersempit, dan dianggap tak sesuai lagi dengan pesan kasih karunia. Namun injil sesat hanya menghasilkan orang-orang Kristen sesat, sehingga kini, kita tak akan temukan banyak “petobat” baru di gereja dalam beberapa minggu setelah mereka “menerima Kristus.” Juga, banyak orang yang bergereja seringkali tak dapat dibedakan dari orang-orang yang lahir baru, sehingga mereka memiliki nilai-nilai yang sama dan melakukan dosa yang sama seperti orang kebanyakan. Ini karena mereka benar-benar tak mempercayai Tuhan Yesus Kristus dan tidak sungguh-sungguh dilahirkan kembali.

Salah satu unsur penting yang kini dikeluarkan dari injil modern adalah panggilan untuk bertobat. Banyak pelayan merasa bahwa bila mereka berkata kepada orang-orang untuk berhenti berbuat dosa (seperti yang Yesus lakukan kepada wanita yang tertangkap berbuat zinah), maka itu sama dengan berkatabahwa keselamatan bukanlah kasih karunia, namun hasil usaha. Tetapi, itu keliru, karena Yohanes Pembaptis, Yesus, Petrus dan Paulus menyatakan bahwa pertobatan adalah syarat mutlak bagi keselamatan. Jika khotbah tentang pertobatan agak menafikan kasih karunia Allah dalam keselamatan, tentunya Yohanes Pembaptis, Yesus, Petrus dan Paulus menafikan kasih karunia Allah dalam keselamatan. Namun, mereka paham, kasih karunia Allah memberi orang-orang kesempatan sementara untuk bertobat, bukannya kesempatan untuk terus berbuat dosa.

Misalnya, ketika Yohanes Pembaptis menyatakan apa yang disebut oleh Lukas sebagai “Injil”, pesan utamanya adalah pertobatan (lihat Lukas 3:1-18). Orang yang tidak bertobat akan menuju neraka (lihat Matius 3:10-12; Lukas 3:17).

Yesus mengkhotbahkan hal pertobatan sejak awal pelayananNya (lihat Matius 4:17). Ia mengingatkan jika orang-orang tidak bertobat, mereka akan binasa (lihat Lukas 13:3, 5).

Ketika Yesus mengutus keduabelas muridNya untuk berkhotbah di berbagai kota, “Lalu pergilah mereka memberitakan agar orang harus bertobat” (Markus 6:12, tambahkan penekanan).

Setelah Yesus bangkit, Ia berkata kepada keduabelas muridNya untuk membawa pesan pertobatan ke seluruh dunia, karena itulah kunci pembuka pintu bagi pengampunan dosa:

Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. (Lukas 24:46-47, tambahkan penekanan).

Para rasul menaati perintah Yesus. Ketika Petrus sedang berkhotbah di hari Pentakosta, para pendengarnya yang berdosa, setelah menyadari kebenaran tentang Anak Manusia yang baru saja mereka salibkan, bertanya kepada Petrus apa yang harus mereka lakukan. Jawaban Petrus yang terutama adalah agar mereka bertobat (lihat Kisah Para Rasul 2:38).

Khotbah kedua Petrus di depan banyak orang di ruang depan istana Salomo berisikan pesan yang persis sama. Dosa-dosa tidak akan dihapuskan tanpa pertobatan:[6]

Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan. (Kisah Para Rasul 3:19a, tambahkan penekanan).

Ketika Paulus bersaksi di depan Raja Agripa, ia menyatakan bahwa Injil yang dia beritakan selalu berisikan pesan pertobatan:

Sebab itu, ya raja Agripa, kepada penglihatan yang dari sorga itu tidak pernah aku tidak taat. Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu. (Kisah Para Rasul 26:19-20, tambahkan penekanan).

Di Athena, Paulus memperingatkan setiap orang bahwa, dalam penghakiman, masing-masing mereka harus berdiri di hadapan Kristus, dan mereka yang tak bertobat tak akan siap menghadapi hari penghakiman tersebut:

Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati. (Kisah Para Rasul 17:30-31, tambahkan penekanan).

Dalam khotbah perpisahannya kepada para penatua di Efesus, Paulus menuliskan pertobatan dengan iman sebagai bagian penting dari pesannya

Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. … aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. (Kisah Para Rasul 20:20a, 21, tambahkan penekanan).

Bukti-bukti dari Alkitab itu sudah cukup memberi keyakinan bahwa jika keharusan bertobat tidak disebarluaskan, maka Injil yang benar tidak dikhotbahkan. Hubungan dengan Allah berawal dari pertobatan. Tiada pengampunan dosa tanpa pertobatan.

Definisi Ulang Pertobatan (Repentance Redefined)

Berdasarkan banyak bukti dari Alkitab, keselamatan tergantung kepada pertobatan, beberapa pelayan masih mencari cara untuk meniadakan hal perlunya pertobatan dengan menyempitkan arti yang sudah jelas demi menjadikan pertobatan itu sesuai dengan pemahaman mereka yang keliru akan kasih karunia Allah. Menurut definisi baru yang mereka miliki, pertobatan tak lebih dari perubahan pikiran mengenai siapakah Yesus itu, dan ajaibnya, sesuatu yang tidak otomatis mempengaruhi perilaku seseorang.

Jadi, apa yang diharapkan oleh para pengkhotbah di zaman Perjanjian Baru ketika mereka menyerukan agar orang-orang bertobat? Apakah mereka memanggil orang-orang hanya untuk mengubah pikirannya mengenai siapa Yesus itu, atau apakah para pengkhotbah itu menyerukan agar orang-orang mengubah perilakunnya?

Paulus percaya bahwa pertobatan sejati mengharuskan perubahan perilaku. Kita sudah membaca kesaksian ini terkait dengan pelayanannya selama puluhan tahun, sesuai penyataannya di depan Raja Agripa,

Sebab itu, ya raja Agripa, kepada penglihatan yang dari sorga itu tidak pernah aku tidak taat. Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu. (Kisah Para Rasul 26:19-20, tambahkan penekanan).

Yohanes Pembaptis juga percaya bahwa pertobatan lebih dari sekedar perubahan pikiran tentang fakta-fakta teologis. Ketika para pendengarnya yang berdosa menanggapi seruannya untuk bertobat dengan bertanya apa yang harus mereka lakukan, ia membuat uraian tentang perubahan perilaku (lihat Lukas 3:3, 10-14). Ia juga menyinggung orang-orang Farisi dan Saduki karena mereka hanya merasakan gerakan pertobatan, dan mengingatkan mereka tentang api neraka bila mereka tidak bertobat:

Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang? Jadi, hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. …. Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. (Matius 3:7-10, tambahkan penekanan).

Yesus menyampaikan pesan pertobatan yang sama dengan penyampaian Yohanes (lihat Matius 3:2; 4:17). Yesus berkata bahwa Ninewe bertobat setelah Yunus berkhotbah (lihat Lukas 11:32). Siapapun yang pernah membaca kitab Yunus tahu bahwa penduduk Ninewe berbuat lebih dari sekedar mengubah pola pikir mereka. Mereka juga mengubah perbuatan mereka, yakni meninggalkan dosa-dosanya. Yesus menyebutnya sebagai pertobatan.

Pertobatan menurut Alkitab adalah perubahan perilaku secara sukarela untuk menanggapi iman murni yang lahir di dalam hati. Bila seorang pendeta mengabarkan Injil tanpa menyebut perlunya perubahan sejati perilaku sebagai penegasan pertobatan, maka ia menentang kehendak Kristus bagi murid-murid. Pendeta itu juga menipu jemaatnya dengan mengajak mereka untuk percaya bahwa mereka dapat diselamatkan tanpa bertobat, sehingga kelak Tuhan menghukum mereka bila mempercayai pendeta itu. Ia melawan Tuhan dan mendukung Setan, apakah disadarinya atau tidak.

Bila seorang pendeta hendak melakukan pemuridan sesuai perintah Yesus, ia harus memulai proses dengan benar. Ketika ia tidak mengabarkan Injil yang benar yang menyerukan agar orang-orang bertobat dan memiliki iman yang taat, ia pasti gagal, meskipun orang menganggapnya berhasil. Ia bisa saja memiliki sidang jemaat besar, namun ia membangun di atas kayu, rumput kering atau jerami, dan ketika hasil pekerjaannya melalui api, kualitas kerjanya akan diuji. Semuanya akan terbakar habis (lihat 1 Korintus 3:12-15).

Seruan Yesus untuk Komitmen (Jesus’ Calls to Commitment)

Yesus menyerukan agar orang yang belum selamat untuk bertobat dari dosa, dan juga Ia memintanya untuk berkomitmen sendiri untuk segera mengikuti dan menaatiNya. Yesus tak pernah menawarkan keselamatan dengan syarat yang kurang, seperti sering dilakukan kini. Ia tak pernah mengundang orang untuk “menerima” Dia, dengan janji memberi ampun, lalu menyarankan dia yang mungkin berkomitmen untuk menaatiNya. Tidak, Yesus meminta justru langkah pertama itu menjadi langkah komitmen sepenuh-hati.

Sayangnya, orang yang mengaku Kristen sering mengabaikan setiap seruan Yesus untuk melakukan komitmen. Atau, bila diketahui, tiap seruan dijelaskan sebagai seruan untuk memiliki hubungan lebih erat yang ditujukan kepada orang yang sudah menerima kasih karunia Allah yang menyelamatkan, bukan kepada orang yang belum diselamatkan. Namun, banyak “orang percaya” menyatakan bahwa seruan Yesus untuk berkomitmen ditujukan kepada mereka, bukannya kepada orang yang belum diselamatkan; mereka tidak memperhatikan panggilanNya sesuai tafsiran mereka. Dalam pikiran mereka, mereka mendapat opsi untuk tak menanggapi dengan taat, dan mereka tak pernah menanggapi.

Perhatikan salah satu tawaran Yesus kepada keselamatan yang sering ditafsirkan sebagai panggilan untuk melangkah dengan lebih pasti, yang sepertinya ditujukan kepada orang yang sudah diselamatkan:

Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.” (Markus 8:34-38).

Itukah tawaran bagi orang yang tak percaya pada keselamatan atau tawaran bagi orang percaya untuk memiliki hubungan lebih serius? Bila kita jujur membacanya, jawabnya jelas.

Perhatikan bahwa Yesus berbicara kepada kerumunan orang yang terdiri dari “orang banyak dan murid-muridNya” (ayat 34, tambahkan penekanan). Jelas, orang banyak tidak termasuk murid-muridNya. Ternyata, mereka “dipanggil” olehNya untuk mendengar perkataanNya nanti. Yesus ingin setiap orang, yakni para pengikut dan pencari, untuk mengerti kebenaran ajaranNya. Perhatikan juga, Ia lalu berkata, “Apabila setiap orang” (ayat 34, tambahkan penekanan). Kata-katanya berlaku bagi setiap orang.

Ketika kita terus membaca, makin jelas kepada siapa tujuan pembicaraan Yesus. Secara khusus, perkataanNya ditujukan kepada tiap orang yang ingin (1) “mengikuti” Dia, (2) “menyelamatkan nyawanya”, (3) tidak “kehilangan nyawanya”, dan (4) berada di antara mereka yang kepadanya Yesus tak akan malu ketika Ia “datang dalam kemuliaan BapaNya dengan para malaikat kudus.” Keempat ungkapan itu menunjukkan bahwa Yesus membuat gambaran orang-orang yang mau diselamatkan. Apakah kita akan berpikir bahwa ada orang yang pasti-masuk-sorga yang tak ingin “mengikuti” Yesus dan “menyelamatkan hidupnya”? Apakah kita pikir ada orang percaya sejati yang akan “kehilangan jiwanya”, yang merasa malu pada Yesus dan perkataanNya, dan kepadanya Yesus akan malu saat Ia kembali? Jelas, dalam perikop Alkitab itu, Yesus berbicara tentang memperoleh keselamatan kekal.

Perhatikan, dari keempat kalimat dalam perikop yang terdiri dari lima kalimat itu, tiap kalimat dimulai dengan kata “Karena”. Jadi tiap kalimat membantu menjelaskan dan memperluas kalimat sebelumnya. Tiap kalimat dalam perikop itu harus ditafsirkan dengan memahami bagaimana kalimat-kalimat lain meneranginya. Perhatikan perkataan Yesus kalimat per kalimat.

Kalimat #1

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. (Markus 8:34).

Perlu dicatat, perkataan Yesus ditujukan bagi siapapun yang mau menjadi pengikutNya. Itu satu-satunya hubungan yang Yesus tawarkan sejak awal, yakni menjadi pengikutNya.

Banyak orang ingin menjadi sahabatNya tanpa mau menjadi pengikutNya, namun pilihan itu tidak ada. Yesus tidak menganggap siapapun sebagai sahabatNya bila orang itu tidak menaatiNya. Ia pernah berkata, Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. (Yohanes 15:14).

Banyak orang ingin menjadi saudaraNya tanpa mau menjadi pengikutNya, namun Yesus tetap tidak menambah pilihan itu. Ia tak menganggap siapapun sebagai saudaraNya jika ia tidak taat: “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Matius 12:50, tambahkan penekanan).

Banyak orang ingin mengikut Yesus ke sorga tanpa mau menjadi pengikutNya, namun Yesus katakan hal itu mustahil. Hanya mereka yang taat akan masuk sorga: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”. (Matius 7:21).

Yesus menjelaskan kepada orang yang mau mengikutiNya bahwa ia tak dapat mengikutiNya jika tidak menyangkal diri. Ia harus bersedia mengesampingkan segala keinginannya, berserah diri dan menaati kehendakNya. Penyangkalan-diri dan penyerahan adalah hal terpenting dalam mengikut Yesus. Itulah maksud “memikul salibmu.”

Kalimat #2

Kalimat kedua dari Yesus memperjelas pengertian kalimat pertamaNya:

Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. (Markus 8:35).

Lagi-lagi, perhatikan kalimat yang dimulai dengan “Karena”, yang berhubungan dengan kalimat pertama, sehingga menambah kejelasan. Di sini Yesus membuat perbedaan dua orang, yang dimaksudkan dalam kalimat pertama —orang yang mau menyangkal dirinya dan memikul salibnya untuk mengikutiNya dan orang yang tidak mau menyangkal dirinya dan memikul salibnya. Kedua orang itu dibedakan ketika orang yang mau kehilangan nyawanya karena Kristus dan karena Injil dan orang yang tidak mau kehilangan nyawanya. Untuk mencari hubungan antara keduanya, kita simpulkan bahwa orang pada kalimat pertama yang tidak menyangkal dirinya melambangkan orang pada kalimat kedua yang ingin menyelamatkan nyawanya namun akan kehilangan nyawanya. Dan orang pada kalimat pertama yang tadinya bersedia menyangkal dirinya melambangkan orang pada kalimat kedua yang kehilangan nyawanya namun pada akhirnya diselamatkan.

Yesus tidak berbicara tentang orang yang kehilangan atau menyelamatkan kehidupan fisiknya. Lalu, kalimat-kalimat pada perikop itu menunjukkan bahwa Yesus mengingat untung dan rugi. Yesus ungkapkan hal serupa dalam Yohanes 12:25, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. (tambahkan penekanan).

Orang di kalimat pertama yang tak menyangkal dirinya adalah orang yang sama dalam kalimat kedua yang ingin memelihara nyawanya. Jadi, logikanya, kita simpulkan bahwa “memelihara nyawa sendiri” berarti “menyelamatkan agenda sendiri untuk kehidupannya.” Hal itu menjadi jelas ketika kita menganggap orang yang dibedakan itu yang “kehilangan nyawanya demi Kristus dan Injil.” Ialah orang yang menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan meninggalkan agendanya sendiri, dan kini hidup demi melanjutkan agenda Kristus dan penyebaran Injil. Ialah orang yang akhirnya “menyelamatkan nyawanya.” Orang yang berusaha menyenangkan Kristus bukannya dirinya akhirnya akan berbahagia di sorga, sedangkan orang yang selalu menyenangkan dirinya sendiri akhiranya akan merana di neraka, kehilangan kebebasan untuk mengikuti agendanya sendiri.

Kalimat #3 & #4

Kini kalimat ketiga dan kalimat keempat:

Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya? Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Markus 8:36-37).

Pada kalimat #2, orang yang dimaksud adalah orang yang tak akan menyangkal dirinya. Ia juga ingin menyelamatkan nyawanya namun akhirnya kehilangan nyawanya. Kini ia dianggap orang yang mengejar tawaran dunia dan akhirnya “kehilangan nyawanya.” Yesus memaparkan kebodohan orang tersebut dengan membandingkan kemegahan seluruh dunia dengan kemegahan nyawanya. Tentu, tak ada bandingan. Secara teoritis, seseorang dapat memperoleh apapun tawaran duniar, namun bila konsekweni akhir dari hidupnya adalah kehidupan di neraka, ia telah membuat kesalahan paling serius.

Dari kalimat ketiga dan kalimat keempat, kita dapatkan pandangan kepada hal yang membuat orang menghindari penyangkalan diri untuk mengikut Kristus. Orang itu ingin memuaskan-diri, yang dunia tawarkan. Karena terdorong oleh kasih akan diri sendiri, orang yang menolak mengikuti Kristus hanyalah mencari kesenangan dosa; pengikut sejati Kristus menjauhkan kesenangan dosa dari kasih dan ketaatan kepadaNya. Orang yang mencoba mendapatkan segala tawaran dunia hanyalah mengejar kekayaan, kekuasaan dan prestise, sedangkan pengikut sejati Kristus pertama-tama mencari kerajaanNya dan kebenaranNya. Setiap kekayaan, kekuasaan atau prestise yang didapat orang itu dianggap sebagai pemeliharaan khusus dari Allah untuk dipakai demi kebaikan bagi kemuliaanNya.

Kalimat #5

Kita sampai pada kalimat kelima dalam perikop bahasan. Perhatikan lagi bagaimana kalimat itu dihubungkan ke kalimat-kalimat lain dengan kata awal sebab:

Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.” (Markus 8:38).

Lagi-lagi, orang ini tidak menyangkal dirinya, tetapi ia ingin mengikuti agendanya, dengan mengejar tawaran dunia, dan akhirnya kehilangan hidup dan nyawanya. Kini ia mendapat karakter sebagai orang yang malu kepada Kristus dan perkataanNya. Tentu saja, rasa malunya bersumber dari ketidakyakinannya. Bila ia benar-benar percaya Yesus Anak Allah, tentunya ia tidak malu kepadaNya atau perkataanNya. Namun ia adalah anggota “generasi yang berzinah dan berdosa”, dan Yesus akan merasa malu mengakuinya ketika Ia kembali. Jelas, Yesus tidak sedang membuat uraian tentang seorang yang diselamatkan.

Apa kesimpulan untuk ini? Keseluruhan perikop tak dapat dianggap sebagai panggilan untuk hidup dengan lebih berkomitmen yang ditujukan kepada orang yang kini hidup dengan tujuan ke sorga. Jelas, hal ini merupakan pengungkapan jalan keselamatan dengan membandingkan orang yang benar-benar diselamatkan dan orang yang tidak diselamatkan. Orang yang sungguh diselamatkan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus dan menyangkali diri untukNya, sedangkan orang yang tak diselamatkan tidak menunjukkan iman yang taat.

Seruan Lainnya untuk Komitmen (Another Call to Commitment)

Kita bisa perhatikan banyak hal, tetapi perhatikan panggilan lain untuk berkomitmen melalui Tuhan Yesus yang merupakan panggilan kepada keselamatan:

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Matius 11:28-30).

Para penginjil sering memakai perikop di atas untuk mengajak jemaat pada saat penginjilan, dan memang demikian. Kata-kata itu menjadi ajakan untuk menuju pada keselamatan. Di sini Yesus menawarkan kelegaan bagi mereka yang “letih-lesu dan berbeban berat.” Ia tak menawarkan kelegaan fisik bagi mereka berbeban secara fisik, namun kelegaan bagi jiwa mereka, sesuai perkataanNya. Orang yang belum selamat terbeban dengan rasa bersalah, ketakutan dan dosa, dan mereka menjadi letih lesu, lalu menjadi orang baik yang nanti memperoleh keselamatan.

Bila orang itu ingin mendapat kelegaan yang Yesus tawarkan, ia harus melakukan dua hal menurut kehendakNya. Ia harus (1) datang kepadaNya, dan (2), memikul kukNya.

Guru-guru sesat yang mengajarkan kasih karunia sering membelokkan pengertian ungkapan “memikul kuk Yesus.” Sebagian orang benar-benar mengklaim bahwa Yesus sedang berbicara tentang kuk yang harus ada di seputar leherNya, yang karenanya Ia menyebutnya “kuk dariNya” dan Yesus pasti sedang berbicara tentang kuk-ganda yang mereka katakan, satu bagian di seputar leherNya dan bagian lain adalah kosong, sambil menunggu kita untuk menggunakan leher kita. Tetapi, kita harus pahami bahwa Yesus berjanji untuk menarik bajak karena Ia berkata bahwa kukNya enak dan bebanNya ringan. Jadi, menurut guru-guru itu, kita perlu yakin untuk tetap terbeban kepada Yesus melalui iman, yang mengizinkanNya berkarya bagi keselamatan kita, sedangkan kita hanya mendapat manfaat yang ditawarkan melalui kasih karuniaNya! Tafsiran itu jelas tak kuat.

Tidak, bila Yesus berkata bahwa setiap orang harus memikul kukNya, maksudNya adalah orang berserah kepadaNya, menjadikanNya guru, membiarkan Dia memimpin hidupnya. Karena itu, Yesus berkata agar kita memikul kukNya dan belajar dariNya. Orang yang belum selamat bagaikan hewan liar, yang menempuh jalannya sendiri dan mengatur hidupnya. Ketika seseorang memikul kuk dari Yesus, ia menyerahkan kendali kepadaNya. Kuk Yesus itu mudah dan bebanNya ringan karena Ia menguatkan kita melalui RohNya yang tinggal di dalam kita agar kita menaatiNya.

Jadi, kita pahami lagi bahwa Yesus memanggil orang kepada keselamatan, dalam hal ini dilambangkan sebagai kelegaan kepada yang orang yang letih lesu, dengan cara meminta orang untuk berserah kepadaNya dan menjadikanNya Tuhannya.

Kesimpulan (In Summary)

Dengan kata lain, pelayan yang berhasil adalah orang yang menaati perintah Yesus untuk melakukan pemuridan, dan yang tahu bahwa pertobatan, komitmen dan pemuridan bukanlah pilihan bagi orang percaya yang pasti-masuk-sorga. Sebaliknya, pertobatan, komitmen dan pemuridan adalah ungkapan murni dari iman yang menyelamatkan. Karena itu, pelayan yang berhasil harus mengabarkan Injil berdasarkan Alkitab kepada orang yang belum diselamatkan. Pelayan itu memanggil orang yang belum diselamatkan dan mengikuti Yesus, dan ia tak memberikan jaminan kepada orang yang tidak sungguh-sungguh mengerjakan keselamatannya.


[1] Definisi ini berasal dari pembacaan Matius 28:18-20, Yohanes 8:31-32; 13:25, 15:8 dan Lukas 14:25-33.

[2] Kata murid disebutkan dalam Kisah Para Rasul 6:1, 2, 7; 9:1, 10, 19, 25, 26, 36, 38; 11:26, 29; 13:52; 14:20, 21, 22, 28; 15:10; 16:1; 18:23, 27; 19:1, 9, 30; 20:1, 30; 21:4, 16. Orang percaya hanya disebutkan dalam Kisah Para Rasul 5:14; 10:45 dan 16:1. Misalnya, dalam Kisah Para Rasul 14:21, Lukas menulis, “Paulus dan Barnabas memberitakan Injil di kota itu dan memperoleh banyak murid.” Jadi Paulus dan Barnabas melakukan pemuridan dengan mengabarkan Injil, dan orang-orang langsung menjadi murid ketika mereka bertobat, bukan pada waktu nanti.

[3] Perikop dalam Alkitab ini memaparkan praktek yang keliru sekarang ini dalam hal pemberian jaminan keselamatan kepada orang yang baru bertobat. Yesus tidak menjamin orang yang baru bertobat pasti diselamatkan karena mereka berdoa pendek untuk menerimaNya atau mengucapkan kata-kata iman dalam Dia. Sebaliknya, Ia menantang setiap orang yang baru bertobat untuk memperhatikan apakah pengakuannya itu benar-benar tulus. Kita harus mengikuti teladanNya.

[4] Lagipula, berbeda dengan mereka yang berpendirian bahwa kita diselamatkan oleh iman meskipun kita tidak melakukan perbuatan, Yakobus berkata bahwa kita tidak dapat diselamatkan hanya dengan iman sendiri: “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” Iman yang sejati tak pernah sendiri, namun selalu disertai dengan perbuatan.

[5] Perlu diingat bahwa alasan Paulus sering menegaskan bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia dan bukan hasil pekerjaan adalah karena ia terus melawan para para pembuat aturan yang benar pada masa itu. Paulus tidak mencoba untuk mengkoreksi orang-orang yang mengajarkan bahwa kesucian diperlukan untuk menuju ke sorga, karena ia sendiri percaya dan sering menegaskan fakta tersebut. Sebaliknya, ia mengirim surat kepada orang-orang Yahudi yang benar yang, karena tak memiliki konsep kasih karunia Allah dalam keselamatan, tidak memahami alasan bagi kematian Yesus. Banyak orang yang tidak percaya bahwa orang-orang bukan Yahudi bahkan dapat diselamatkan karena mereka tak punya konsep kasih karunia Allah yang menjadikan keselamatan itu mungkin. Sebagian berpendapat bahwa sunat, silsilah fisik, atau menaati Hukum Taurat (yang mereka tidak lakukan lagi) memberikan keselamatan bagi orang, sehingga membatalkan kasih karunia Allah dan perlunya kematian Kristus.

[6] Demikian juga, ketika Allah mengungkapan kepada Petrus bahwa orang-orang bukan Yahudi dapat diselamatkan hanya dengan percaya kepada Yesus, Petrus menyatakan kepada seisi rumah Kornelius, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34b-35, tambahkan penekanan). Petrus juga menyatakan dalam Kisah Para Rasul 5:32 bahwa Allah mengaruniakan Roh Kudus “kepada mereka yang menaatiNya.” Semua orang Kristen memiliki Roh Kudus di dalam dirinya (lihat Roma 8:9; Galatia 4:6).