Bab Duapuluh-Lima (Chapter Twenty-Five)

Didikan dari Tuhan (The Discipline of the Lord)

 

Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diriNya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah. Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang di kasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh. (Ibrani 12:3-13).

Menurut penulis kitab Ibrani yang diilhami, Bapa kita di sorga mendisiplikan semua anakNya. Jika kita tak pernah didisiplinkan olehNya, maka kita bukanlah anak-anakNya. Karena itu kita perlu sadar dan peka terhadap didikan Tuhan. Sebagian orang yang mengaku Kristen, yang hany fokus kepada berkat-berkat dan kebaikan Allah, menafsirkan setiap keadaan negatif sebagai serangan Iblis. Itu bisa jadi kesalahan besar jika Allah coba membimbing mereka kepada pertobatan melalui didikanNya atau pendisiplinanNya.

Setiap orang-tua yang baik di dunia ini mendisiplinkan anak-anaknya agar mereka mau belajar, menjadi dewasa, dan siap menghadapi kehidupan dewasa yang bertanggung-jawab. Allah juga medidik/mendisiplinkan kita agar kita tumbuh secara rohani, menjadi lebih berguna dalam pelayananNya, dan siap berdiri di hadapan tahta penghakimanNya. Ia mendisiplinkan karena Ia mengasihi kita dan Ia ingin kita meniru kesucianNya. Bapa sorgawi yang penuh kasih memberi pertumbuhan rohani kita. Alkitab berkata, “….Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” (Filipi 1:6).

Tak seorang anakpun mau pantatnya dipukul oleh orang-tuanya, dan ketika Allah mendisiplinkan kita, pengalaman itu tak “menyenangkan, namun menyedihkan”, seperti yang kita baca. Tetapi, akhirnya, kita lebih baik demikian karena disiplin menghasilkan “buah-buah kebenaran yang membawa kedamaian.”

Bilamana dan Bagaimana Allah Mendisiplinkan Kita (When and How Does God Discipline Us?)

Seperti seorang ayah, Allah hanya mendisiplinkan anakNya ketika ia bandel. Kapanpun tidak menaatiNya, kita beresiko untuk didisiplinkan olehNya. Tetapi, Tuhan sangat penuh kasih, dan biasanya Ia memberikan kita banyak waktu untuk bertobat. Pendisiplinan Tuhan terjadi setelah kita berkali-kali tidak taat dan setelah Allah berkali-kali memberi peringatan.

Bagaimana Allah mendisiplinkan kita? Seperti kita pelajari pada bab sebelumnya, didikan Tuhan bisa berupa kelemahan, penyakit atau bahkan kematian sebelum waktunya:

Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal. Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita. Tetapi kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia. (1 Korintus 11:30-32).

Kita tidak langsung berkesimpulan bahwa semua penyakit adalah akibat pendisiplinan dari Allah (ingat saat Ayub sakit). Tetapi, jika penyakit tidak menyerang, kita sebaiknya mengecek rohani kita untuk mengetahui apakah kita sudah membuka pintu bagi pendisiplinan dari Allah melalui ketidaktaatan.

Kita dapat menghindari hukuman Allah jika kita menilai diri kita sendiri —yakni, mengakui dosa dan meminta ampun. Wajarlah bila kita simpulkan bahwa kita nanti disembuhkan saat kita bertobat jika penyakit kita merupakan hasil pendisiplinan Allah.

Dengan hukuman dari Allah, Paulus berkata bahwa kita sebenarnya menghindari hukuman bersama dengan dunia. Apa artinya? Paulus bisa saja bermaksud berkata bahwa pendisiplinan dari Allah membawa kita kepada pertobatan sehingga akhirnya kita tak mendapat hukuman neraka bersama dengan dunia. Hal itu sulit diterima oleh orang yang menganggap kesucian sebagai hal yang tidak wajib bagi orang yang sedang menuju ke sorga. Tetapi bagi orang yang telah membaca Khotbah di Bukit oleh Yesus, ia tahu bahwa hanya orang yang menaati Allah akan masuk KerajaanNya (lihat Matius 7:21). Dengan demikian jika kita terus berbuat dosa dan tidak bertobat, kita beresiko kehilangan kehidupan kekal. Pujilah Tuhan atas pendisiplinanNya yang membawa kita kepada pertobatan dan menyelamatkan kita dari neraka!

Setan sebagai Alat Hukuman Allah (Satan as a Tool of God’s Judgment)

Dari beberapa perikop Alkitab, Allah jelas dapat memakai Setan untuk maksud pendisiplinan dari Tuhan. Misalnya, dalam perumpamaan hamba yang tidak mengampuni dalam Matius 18, Yesus berkata bahwa tuan sang hamba “marah” ketika ia tahu bahwa hambanya yang telah diampuni tak mengampuni sesama hamba. “Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.” (Matius 18:34). Yesus mengakhiri perumpamaan itu dengan kata-kata tegas:

Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Matius 18:35).

Siapakah “algojo-algojo” itu? Mungkin sekali, merekalah Iblis dan roh-roh jahat. Allah dapat menyerahkan seorang anakNya yang bandel kepada Iblis agar ia bertobat. Kesulitan hidup dan bencana menjadi cara untuk membuat orang bertobat —seperti yang dipelajari oleh anak yang hilang (lihat Lukas 15:14-19).

Dalam Perjanjian Lama, kita temukan contoh-contoh Allah yang memakai Setan atau roh-roh jahat demi pendisiplinanNya atau hukumanNya bagi kehidupan orang yang layak mendapatkan amarahNya. Contoh dalam Hakim-Hakim 9 adalah “Allah membangkitkan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem” (Hakim-Hakim 9:23) untuk menghukum mereka atas perbuatan jahat mereka terhadap anak-anak Gideon.

Alkitab juga berkata bahwa “suatu roh jahat dari Tuhan” menyiksa Raja Saul untuk membawanya kepada pertobatan (1 Samuel 16:14). Tetapi, Saul tak pernah bertobat, dan akhirnya ia mati dalam pertempuran oleh karena pemberontakannya.

Pada kedua contoh Perjanjian Lama, Alkitab berkata bahwa roh-roh jahat ”dikirimkan dari Allah.” Bukan berarti bahwa Allah memiliki roh-roh jahat di sorga yang tengah menunggu untuk melayaniNya. Mungkin, Allah hanya izinkan roh-roh jahat dari Setan untuk bekerja tanpa batas agar orang-orang berdosa mau bertobat karena menderita.

Cara-Cara Lain Disiplin Allah (Other Means of God’s Discipline)

Dalam perjanjian lama, Allah juga sering mendidik umatNya dengan mengizinkan berbagai kesulitan seperti kelaparan atau musuh-musuh yang tak dikenal menguasai mereka. Akhirnya, mereka bertobat dan Ia membebaskan mereka dari musuh-musuhnya. Ketika mereka menolak bertobat setelah melewati masa-masa tekanan dan mendapat peringatan, Allah akhirnya izinkan kuasa asing untuk mengatasi mereka dan mengusir mereka dari negerinya, lalu mereka menjadi pengungsi.

Berdasarkan perjanjian baru, mungkin saja Allah mendisiplinkan anak-anakNya yang bandel dengan mengizinkan kesulitan dalam hidup mereka, atau Ia izinkan musuh-musuh menindas mereka. Misalnya, ayat Alkitab yang dikutip pada awal pasal tersebut tentang didikan Tuhan (Ibrani 12:3-13) ditemukan di dalam konteks orang-orang percaya Ibrani yang sedang dianiaya karena iman mereka. Tetapi, tidak semua penganiayaan diizinkan terjadi oleh karena ketidaktaatan. Setiap kejadian harus dinilai secara terpisah.

Reaksi yang Benar terhadap Pendisiplinan/Didikan dari Tuhan (Rightly Reacting to God’s Discipline)

Menurut peringatan yang dikutip di awal bab ini, kita dapat bereaksi salah terhadap pendisiplinan/didikan dari Tuhan dalam salah satu dari dua cara yang ada. Kita bisa saja “menganggap enteng didikan Tuhan, atau berputus asa apabila [kita] diperingatkan-Nya” (Ibrani 12:5). “Menganggap enteng” didikan Tuhan berarti tidak mengakui didikanNya, atau mengabaikan peringatan didikan itu. Putus asa kepada Tuhan berarti tidak membuat hatiNya senang karena kita pikir didikanNya terlalu keras. Kedua tindakan itu keliru. Akuilah bahwa Allah mengasihi kita, dan Ia mendidik kita untuk kebaikan kita. Ketika kita menerima uluran tanganNya yang penuh kasih dalam mendidik kita, kita harus bertobat dan menerima pengampunanNya.

Ketika kita bertobat, kita mengharapkan pemulihan dari didikan Tuhan. Tetapi. kita tak boleh langsung mengharapkan pemulihan dari akibat dosa kita yang tak terhindarkan, walaupun kita dapat meminta belas-kasihan dan pertolongan Tuhan. Allah menanggapi orang yang rendah hati dan penuh penyesalan (lihat Yesaya 66:2). Alkitab berjanji, “Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.” (Mazmur 30:6).

Setelah HukumanNya menimpa bangsa Israel, Allah berjanji:

Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajah-Ku terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihani engkau, firman TUHAN, Penebusmu. (Yesaya 54:7-8).

Allah itu baik dan penuh kasih karunia!

Untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai didikan Tuhan, lihat 2 Tawarikh 6:24-31, 36-39; 7:13-14; Mazmur 73:14; 94:12-13; 106:40-46; 118:18; 119:67, 71; Yeremia 2:29-30; 5:23-25; 14:12; 30:11; Hagai 1:2-13;2:17; Kisah Para Rasul 5:1-11; Wahyu 3:19.